Syaloom

Selamat datang bagi pengunjung blog ini, terima kasih atas kunjungan anda pada blog ini anda dapat download lagu-lagu rohani khusus quartet (male or ladies) termasuk partitur yang kami telah sediakan.

Blog ini khusus saya buat untuk membantu teman-teman yang mempunyai hobi menyanyi lagu-lagu rohani tetapi pada saat tertentu tidak mempunyai cukup partiture. Dan sesuai dengan judulnya maka blog ini khusus dibuat untuk quartet grup vokal, apakah itu male quartet atau ladies quartet.

Banyak orang didunia ini dan hampir semua orang yang ada di jagad raya ini menyukai musik. Sebab itu saya ingin mengajak semua teman-teman yang ingin partisipasi dalam blog ini saya persilahkan untuk memberi saran dan bahan untuk memajukan grup-grup quartet. Sering kita menyanyikan sebuah lagu dengan baik dan pendengar cuma menyukai harmoninya saja tetapi pekabaran dalam lagu itu sendiri tidak didapat karena pendengar tersebut tidak mengerti bahasa yang dinyanyikan dalam lagu tersebut untuk itu melalui blog ini saya sekali lagi mengajak siapapun untuk urung rembuk agar blog ini disukai dan dapat bermafaat buat kita semua.

Untuk itu saya akan mencoba untuk mentransfer dari partiture aslinya kedalam bahasa Indonesia. Shalom regards,

GBU
E. Nanlohy



TRANSLATORS...

Jumat, 14 November 2014

PELAJARAN SEKOLAH SABAT KE VII 15 NOVEMBER 2014: "MENGENDALIKAN LIDAH YANG TAK BERTULANG"



Sabat Petang, 8 November
PENDAHULUAN

Lidah mengungkap hati. Sebuah pepatah mengatakan, "Perkataan yang manis tidak selalu jujur, dan perkataan yang jujur tidak selalu manis." Semua orang menyukai kata-kata yang manis, tetapi saya lebih suka kata-kata jujur yang diucapkan dengan manis. Masalahnya, tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk berbicara manis, dan hanya segelintir orang yang mempunyai keberanian untuk berkata jujur. Kebanyakan dari kita fasih berbicara manis tapi tidak jujur, atau bicara jujur tapi kasar.

Kita berkomunikasi secara verbal dengan menggunakan kata-kata (lisan maupun tulisan), dan kita juga berkomunikasi secara non-verbal tanpa kata dengan menggunakan bahasa tubuh. Manusia dapat berbicara melalui kebisuannya. Namun dengan cara apapun yang anda dan saya gunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain, apa yang kita utarakan adalah isi hati ataupun buah pikiran. Banyak orang yang tangkas ketika mengungkapkan pandangannya pada suatu saat, tapi gagap tatkala hendak menyuarakan isi hatinya di saat yang lain. Bagi mereka yang petah lidah, kata-kata sering dapat "mengaburkan" isi hati yang sebenarnya.

Secara fisik, lidah merupakan organ tubuh yang serba guna. Lidah bermanfaat untuk membantu mengunyah serta mencicipi makanan, dan lidah juga berfaedah untuk menolong sewaktu berkata-kata. Bahkan, dari segi medis lidah mengandung informasi yang menyingkap kondisi kesehatan fisik maupun emosi seseorang. Secara anatomis, lidah adalah organ berotot yang dilapisi dengan jaringan-jaringan mukosa yang pada permukaannya ditutupi dengan tonjolan-tonjolan halus yang disebut papila. Pada bagian ini terdapat beberapa ribu pucuk pengecap (taste buds) sehingga dapat membedakan antara rasa manis, asin, pahit, dan asam, bahkan dapat mendeteksi rasa kelima yang disebut umami, sejenis glutamat yang terdapat misalnya dalam teh hijau.

Lebih menarik lagi, riset belum lama ini mengungkapkan bahwa lidah yang merepresentasikan sejumlah besar jaringan tubuh dapat "berkomunikasi" dengan jaringan-jaringan sejenis yang berada di bagian-bagian tubuh lainnya. Pendeknya, lidah adalah organ yang berguna dalam membantu tubuh mendapatkan zat-zat gizi yang dibutuhkan, bermanfaat untuk menyingkap kebugaran tubuh, dan berfaedah dalam mengekspresikan diri kita melalui perkataan. Tetapi khusus untuk yang terakhir ini, Tuhan Yesus mengingatkan: "Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum" (Mat. 12:36-37).

"Kata-kata dapat menenangkan dan menenteramkan, atau meracuni dan mencemari. Berapa seringkah anda mengucakan sesuatu kemudian ingin hendak menariknya kembali?...Pekan ini, seperti yang akan kita lihat, Yakobus mempunyai pesan-pesan penting tentang kata-kata" [dua alinea terakhir].

Minggu, 9 November
TAGGUNGJAWAB GURU DAN ORANGTUA (Pertanggungjawaban)

Integritas pengajar. Kita tidak tahu secara pasti apa yang melatarbelakangi Yakobus untuk menulis pesan ini: "Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat" (Yak. 3:1). Mungkin dalam pengamatan sang rasul, atau dari laporan-laporan yang diterimanya, banyak orang di jemaat-jemaat yang berminat ataupun berlagak sebagai guru, dalam hal ini adalah guru agama. Sementara menjadi pengajar firman Tuhan adalah niat yang baik dan tugas yang mulia, sang rasul prihatin dengan integritas dari kebanyakan orang-orang itu dalam hal menyelaraskan perkataan dengan perilaku mereka.

Pada zaman Yesus, golongan Farisi menguasai posisi sebagai guru agama bagi masyarakat Yahudi, dan mereka sangat bangga dengan sebutan sebagai "rabi." Tetapi Yesus sering mengecam mereka, selain karena perilaku mereka yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ajarkan (Mat. 23:3), juga karena mereka menyombongkan predikat sebagai guru agama dengan cara menuntut penghormatan di rumah ibadah maupun di pasar (ay. 6-7). Sehingga Yesus menasihati murid-murid-Nya, "Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara...Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias" (ay. 8, 10).

"Guru-guru dalam jemaat dan di sekolah-sekolah Kristen mempunyai tanggung jawab khusus yang berat karena mereka membentuk pikiran dan hati dalam cara yang akan bertahan lama. Efeknya termasuk dampak sampingan yang mereka miliki terhadap banyak orang lain di luar lingkungan pengaruhnya secara langsung. Semakin kita tahu, semakin kita bertanggungjawab untuk memanfaatkan dan menanamkan pengetahuan itu" [alinea pertama].

Pentingnya hikmat. Pada zaman Perjanjian Lama, pendidikan agama terpusat pada pengetahuan Hukum Musa (Torah) sebagai aspek primer dan pada penerapan hukum-hukum itu dalam kehidupan sehari-hari sebagai aspek sekunder. Dalam prosesnya, pendidikan agama--pendidikan moral dan etika--pada masyarakat Israel purba itu dilakukan dalam setiap keluarga di mana orangtua, khususnya ayah, adalah sebagai guru (Ul.6:6-7). Pendidikan moral agama ini dikenal dengan istilah "Pirkei Avot" ("Etika Para Bapa") atau Wisdom of the Fathers (Hikmat Para Bapa). Ini sesuai dengan perkataan Salomo, "Hai anakku, perhatikanlah hikmatku, arahkanlah telingamu kepada kepandaian yang kuajarkan, supaya engkau berpegang pada kebijaksanaan dan bibirmu memelihara pengetahuan...Hai anakku, peliharalah perintah ayahmu, dan janganlah menyia-nyiakan ajaran ibumu" (Ams. 5:1-2; 6:20).

"Orangtua mengemban tanggung jawab yang berat dalam mengajar anak-anak mereka yang pada gilirannya akan mempengaruhi orang-orang lain. Bahkan kita semua, oleh teladan yang kita tunjukkan, dapat memberi pengaruh yang besar pada orang-orang di sekeliling kita. Jadi alangkah pentingnya agar kita mencari hikmat Allah yang telah Ia janjikan pada kita (Yak. 1:5), supaya kita bisa meneladani jalan-jalan-Nya dan menerapkan pengaruh yang saleh. Karena kita semua memberi pengaruh atas orang lain, yang baik atau buruk" [alinea terakhir].

Selain para orangtua, penatua-penatua jemaat juga memikul tanggung jawab yang tidak kecil terhadap apa yang mereka ajarkan kepada jemaat, baik melalui pembicaraan maupun perilaku mereka. Rasul Paulus menyebut mereka yang menjadi pemimpin-pemimpin rohani di dalam jemaat adalah orang-orang yang "menginginkan pekerjaan yang indah" (1Tim. 3:1). Tetapi sang rasul juga menegaskan, bahwa "penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu istri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya" (ay. 2-4; bandingkan dengan Tit. 1:7-9).

Apa yang kita pelajari tentang tanggung jawab sebagai guru, pemimpin rohani, dan orangtua?
1. Dalam organisasi gereja kita ada guru-guru profesional di lembaga-lembaga pendidikan dan ada pula guru-guru rohani di dalam jemaat, termasuk "guru-guru" (pemimpin diskusi) di UKSS atau kelas SS. Amaran Yakobus bukan hendak meredupkan semangat untuk menjadi guru, tapi mendorong integritas dan kredibilitas para guru.
2. Adagium ini berlaku bagi semua guru: "A teacher who stops learning should stop teaching" (Guru yang berhenti belajar harus berhenti mengajar). Tidak ada seorang guru pun yang menguasai segala pengetahuan sehingga tidak perlu belajar lagi, termasuk guru-guru agama. Semboyan "pendidikan sepanjang hayat" juga berlaku untuk para guru.
3. Pendidikan rohani (moral dan keagamaan) bukan hanya tanggung jawab guru agama atau pemimpin rohani, tapi terutama itu adalah tanggung jawab para orangtua terhadap anak-anak mereka khususnya pada usia dini. Jadi, orangtua adalah guru pertama bagi anak-anak mereka. Guru yang baik mengajar anak didiknya dengan pengajaran dan keteladanan.

Senin, 10 November
BERHATI-HATI KETIKA BERBICARA (Kuasa Perkataan)

Berpikir sebelum berkata. Plato, filsuf Yunani abad ke-5 SM, mengatakan begini: "Orang bijak berbicara karena dia mempunyai sesuatu untuk dikatakan, orang bodoh berbicara karena dia harus mengatakan sesuatu." Sekitar 500 tahun sebelumnya Salomo sudah menulis, "Orang yang bodoh banyak biaranya..." (Pkh. 10:14). Kita juga mengenal peribahasa, "Tong kosong nyaring bunyinya."

Rasul Yakobus menyampaikan nasihat yang sama ketika dia menulis, "Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya" (Yak. 3:2). Di sini sang rasul hendak mengatakan bahwa tidak ada orang yang begitu sempurna hidupnya sehingga dia berhak untuk banyak bicara. Nasihat ini satu paket dengan apa yang disebutkan sebelumnya perihal niat menjadi guru, sebab guru itu "akan dihakimi dengan ukuran yang lebih berat" (ay. 1). Guru agama itu bekerja dengan berkata-kata (mengajar), maka perkataannya harus selaras dengan tabiatnya. Salah bicara, atau berbicara tidak sesuai dengan apa yang dipraktikkannya, besar risikonya.

"Pentingnya perkataan itu tidak mungkin berlebihan. Pemikiran menuntun kepada perkataan yang pada gilirannya membawa kepada tindakan. Perkataan juga menguatkan apa yang kita pikirkan. Jadi, perkataan itu mempengaruhi tidak saja apa yang kita lakukan tapi juga apa yang orang laib lakukan. Kita saling dihubungkan melalui bahasa" [alinea kedua: lima kalimat terakhir].

Pengaruh kata-kata. Sebuah studi yang diadakan beberapa tahun lalu oleh Universitas Arizona, AS menemukan bahwa ternyata kaum pria maupun kaum wanita sama-sama banyak bicara, yaitu sekitar 16.000 kata per hari. Dengan menggunakan alat perekam digital yang dipasangkan pada tubuh para relawan, didapati bahwa rata-rata kaum pria mengucapkan 15.669 kata dan kaum wanita 16.215 kata dalam satu hari. Tentu saja penelitian ini dilakukan di kalangan masyarakat Amerika yang menggunakan bahasa Inggris. Temuan yang ditayangkan oleh stasiun televisi ABC News ini "menggugat" pendapat sebelumnya bahwa perempuan lebih banyak berbicara daripada laki-laki, yaitu 7000 kata berbanding 20.000 kata per hari. (Baca di sini--> http://abcnews.go.com/Technology/story?id=3348076).

Percakapan tidak terlepas dari pemilihan kata, dan setiap kata yang terucap dari bibir kita akan ditangkap oleh orang lain yang mendengarnya menurut makna yang dia pahami. Itulah sebabnya kita perlu belajar untuk menggunakan kata yang tepat sesuai dengan apa yang kita maksudkan. Sebagai informasi, jumlah kosakata dalam Bahasa Indonesia adalah sekitar 90.000 kata (berdasarkan banyaknya lema atau "entri" dalam KBBI edisi keempat, 2008), tetapi yang kita sering gunakan dalam percakapan sehari-hari mungkin tidak sampai 5%. Menurut Compton's Encyclopedia, jumlah kosakata dalam bahasa Inggris ada sekitar 750.000, tapi banyaknya kata yang digunakan sehari-hari oleh penuturnya hanya berkisar antara 500-2000 kata, kurang dari 1%. Jadi, kita masih mempunyai banyak pilihan kata untuk dapat mengutarakan pemikiran maupun perasaan kita dengan lebih tepat.

Karena kita semua suka berbicara, bahkan terkadang berbicara lebih banyak daripada yang diperlukan atau berbicara pada waktu di mana seharusnya berdiam diri, maka nasihat untuk memperhatikan perkataan kita menjadi sangat penting. Dalam hal berbicara pilihan kata juga berpengaruh besar terhadap orang kepada siapa kita tujukan perkataan kita. "Kata-kata begitu kuat kemampuannya sehingga hanya dengan beberapa kalimat saja anda dapat menghancurkan seseorang, mungkin untuk sepanjang sisa hidupnya. Sebaliknya, kata-kata yang positif dapat mengangkat seseorang, mungkin juga untuk sepanjang sisa hidupnya" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang "kuasa perkataan" sehingga kita harus berhati-hati dalam berbicara?
1. Normalnya, kita lebih banyak menggunakan kata-kata untuk berkomunikasi dengan orang-orang lain ketimbang menggunakan cara yang lain. Masalahnya lidah ini seringkali "lebih tangkas" daripada pikiran dan hati, sehingga bisa saja kita terlanjur bicara sebelum berpikir dan menimbang, dengan segala akibatnya.
2. Mengingat perkataan sangat besar pengaruhnya serta akibat yang dapat ditimbulkannya, baik terhadap diri si pembicara maupun si pendengar, maka nasihat rasul Yakobus supaya berhati-hati dalam berbicara menjadi sangat relevan. Lebih banyak perkataan positif yang anda ucapkan, lebih banyak pula berkatnya bagi diri anda maupun orang lain.
3. Kata-kata adalah sarana paling efektif dan praktis untuk mengutarakan pendapat dan isi hati, bahkan bagi orang Kristen bahasa serta kata-kata adalah alat untuk pengajaran dan penginjilan. Karena itu kita perlu meningkatkan pengetahuan dalam pemakaian kata yang tepat untuk mengubah situasi menjadi lebih baik (disebut "transformational vocabulary").

Selasa, 11 November
AMARAH BUKAN HAL SEPELE (Perkara "Kecil" adalah Perkara Besar)

Lidah sebagai kemudi. Yakobus mengibaratkan lidah sebagai organ tubuh yang kecil itu sama fungsinya dengan kekang untuk mengendalikan seekor kuda yang perkasa dan kemudi untuk menyetir kapal yang besar. Tentu dalam hal ini sang rasul melihat pada ukuran fisik dari ketiga benda itu (lidah, kekang, dan kemudi) dibandingkan dengan fungsi yang dijalankannya. Tetapi lidah, seperti halnya kekang pada kuda dan kemudi pada kapal, tidak dapat bekerja sendiri tanpa dikendalikan oleh pikiran manusia. Bahkan, kecuali fenomena alam, pikiran manusia yang mengatur dan mengendalikan hampir semua hal yang berlangsung di planet ini.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mengubah kehidupan manusia, termasuk dalam cara kita berkomunikasi. Berkat perkembangan iptek, orang bisu yang tidak mampu memanfaatkan lidahnya tetap dapat "berbicara" melalui perangkat teknologi maupun dengan menggunakan gerakan-gerakan tangan sebagai bahasa isyarat. Bahkan manusia sudah dapat membuat alat yang dapat menyuarakan pemikiran melalui komputer khusus yang mengkonversikannya menjadi tulisan di layar monitor atau suara yang dapat didengar melalui perangkat audio. Tentu rasul Yakobus tidak pernah membayangkan hal seperti ini ketika dia menulis suratnya 21 abad silam. Tetapi idenya tentang peran lidah yang begitu besar dan sangat menentukan itu tidak dapat dibantah kebenarannya, sebab yang mengendalikan lidah tetap saja adalah otak atau pikiran manusia.

"Bayangkanlah seekor kuda yang sedang berlari pada kecepatan penuh dan sebuah kapal yang meluncur di atas air dengan daya jelajah maksimum tetapi keduanya menuju pada arah yang salah. Makin cepat jalannya, makin jauh pula dia dari tujuannya. Maka cara terbaik ialah berhenti dan berbalik arah sesegera mungkin. Sama halnya dengan perkataan kita. Kalau sebuah percakapan beralih dari keadaan yang buruk menjadi lebih buruk, lebih cepat kita berhenti itu lebih baik" [alinea pertama: lima kalimat terakhir].

Menukar suasana. Yakobus ternyata seorang yang berdarah panas, setidaknya waktu dia belum lama menjadi pengikut Yesus. Tatkala Guru mereka hendak menuju ke Yerusalem dan dalam perjalanan itu ingin mampir di sebuah desa orang Samaria, penolakan penduduk desa itu yang tidak mau menerima Yesus menyulut amarahnya. Lalu, bersama Yohanes, dia menyampaikan usulan ini: "Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?" (Luk. 9:54). Tentu saja kedua murid itu tahu cerita tentang nabi Elia yang menurunkan api dari langit menghanguskan 102 tentara suruhan Ahazia, raja kerajaan Israel di utara, yang terjatuh dari jendela istananya di Samaria dan hendak meminta petunjuk dari sang nabi (2Raj. 1:10, 12). Tetapi Yesus menegur kedua murid-Nya itu lalu memilih desa yang lain sebagai tempat persinggahan.

Banyak orang yang dapat menahan diri ketika harga dirinya dilecehkan, tetapi sebagian orang tidak mampu menahan emosi untuk segera bertindak. Tatkala seseorang tersulut amarahnya kadar hormon energi dan adrenalin dalam darah meningkat sehingga jantungnya berdegup lebih kencang dan cepat, pada saat itu tubuh siap menghadapi apa yang oleh otak ditafsirkan sebagai ancaman. Orang-orang yang cepat naik darah ini tergolong kelompok yang toleransinya rendah terhadap hal-hal yang menimbulkan frustrasi dan kejengkelan, sedangkan di pihak lain ada orang-orang yang toleransinya tinggi terhadap hal-hal yang memicu percekcokan. Bagi kelompok pertama ada baiknya untuk mempelajari teknik-teknik "tata kelola amarah." (Baca di sini--> http://www.mayoclinic.org/healthy-living/adult-health/in-depth/anger-management/art-20045434).

"Yesus mengubah penolakan terhadap diri-Nya oleh sebuah desa di Samaria menjadi sebuah pengalaman belajar bagi para pengikut-Nya. Di tengah suasana yang panas, ketika emosi meningkat dan gejolak perasaan untuk membela diri menuntut, kita bisa mengingat keteladanan Yesus, dan dalam arti kiasan berjalan terus 'ke desa yang lain'" [alinea kedua: dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang perkara "kecil" yang dapat menjadi besar?
1. Lidah adalah organ tubuh yang terbilang kecil tapi lincah dan lentur, dapat digerakkan ke segala jurusan dan bisa menjulur keluar atau bersembunyi di balik rongga mulut. Tapi meskipun kecil dan lentur lidah dapat "mengendalikan" suasana yang keruh dan bergejolak menjadi jernih dan tenang, atau sebaliknya.
2. Binatang buas ada pawangnya yang bisa menjinakkan, tetapi lidah tak ada pawangnya. Kata rasul Yakobus: "Semua jenis binatang liar...dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorang pun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan (Yak. 3:7-8).
3. Ketika sedang marah biasanya lidah yang lebih dulu bekerja sebelum tangan dan kaki bergerak meninju atau menendang. Seringkali kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan melalui lidah bahkan lebih parah akibatnya. Lidah tak dapat dikendalikan kecuali oleh pikiran yang juga dikendalikan oleh Roh Kudus.

Rabu, 12 November
AKIBAT SALAH UCAP (Mengendalikan Kerusakan)

Sumber kerusakan. Suatu kali seorang wanita datang kepada John Wesley, pendiri Gereja Metodis. "Sekarang saya sudah tahu talenta apa yang Tuhan berikan kepada saya," celoteh wanita itu. "Talenta saya ialah mengutarakan segala sesuatu yang saya pikirkan." Mendengar pengakuan tersebut Wesley langsung menanggapi sembari menatap wanita itu, "Saya kira Tuhan tidak keberatan kalau anda menguburkan talenta itu!" Mengucapkan apa saja yang muncul dalam pikiran, tanpa sensor, sangatlah berbahaya. Yakobus menulis: "Lidah sama dengan api. Di tubuh kita, ia merupakan sumber kejahatan yang menyebarkan kejahatan ke seluruh diri kita. Dengan api yang berasal dari neraka, ia menghanguskan seluruh hidup kita" (Yak. 3:6, BIMK). Bayangkan, gara-gara lidah yang tak dikendalikan seseorang bisa masuk neraka!

Apa yang kita katakan kepada orang lain dan apa yang orang lain katakan kepada kita, baik maupun buruk, dapat berkesan sampai seumur hidup. Kalau kita mengucapkan sesuatu yang positif kepada atau mengenai seseorang, ucapan itu dapat mengilhami orang itu dan orang lain yang mendengarnya. Sebaliknya, jika kita mengatakan sesuatu yang negatif maka hal itu bisa merusak orang itu. Perihal orang yang suka bicara sembarangan tanpa berpikir panjang, Salomo berkata, "Seperti orang gila menembakkan panah api, panah dan maut, demikianlah orang yang memperdaya sesamanya dan berkata: 'Aku hanya bersenda gurau'" (Ams. 26:18-19).

"Bukan saja api yang besar dapat dimulai dari sebuah percikan, tapi api itu juga dapat membinasakan dan menghancurkan dengan kecepatan yang mencengangkan. Dengan cara yang sama pula kata-kata dapat merusak persahabatan, perkawinan, dan nama baik. Perkataan dapat merasuk sampai ke dalam jiwa seorang anak dan merusak harga diri serta perkembangan masa depannya" [alinea ketiga].

Memperbaiki kesalahan. Orang yang sadar telah berbuat satu kesalahan tetapi tidak berusaha memperbaikinya berarti dia telah melakukan dua kesalahan sekaligus. Pertama adalah kesalahan yang sudah dilakukan, dan kedua adalah kealpaan untuk memperbaiki kesalahan itu. Begitu pula, ketika anda sadar telah mengucapkan perkataan yang salah dan tidak berusaha untuk memperbaikinya, itu berarti anda sudah melakukan dua kesalahan. Mengingat pengaruh perkataan yang dapat merusak masa depan seseorang, maka kita tidak boleh berharap bahwa ucapan kita yang salah nanti juga akan berlalu dan dilupakan. Lebih penting lagi, perkataan yang salah itu telah terekam dalam buku catatan pribadi kita di surga terhadap apa kita harus mempertanggungjawabkannya.

Tatkala orang Farisi dan ahli Taurat mengkritik Yesus karena murid-murid-Nya makan tanpa membasuh tangan lebih dulu, Yesus berkata kepada mereka, "Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang" (Mat. 15:11). Kemudian Ia menegaskan kembali pernyataan itu kepada murid-murid-Nya sendiri, "Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun ke dalam perut lalu dibuang di jamban? Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang" (ay. 17-18; huruf miring ditambahkan). Makan tanpa cuci tangan mungkin dapat membuat seseorang sakit perut akibat kuman-kuman, tetapi perkataan yang jahat dapat menajiskan orang lain dan merusak seluruh kehidupannya. Sebab itu, meralat perkataan yang salah adalah penting.

"Meskipun benar bahwa sekali perkataan terucapkan itu akan berlalu untuk selamanya dan kita tidak dapat sepenuhnya menghapus apa yang telah kita ucapkan, kita harus berusaha sedapat mungkin untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkannya dan memperbaiki apa yang bisa diperbaiki. Mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki keadaan juga akan menolong kita agar tidak mengulangi kesalahan yang sama" [alinea kelima: dua kalimat pertama].

Apa yang kita pelajari tentang memperbaiki kesalahan akibat perkataan kita?
1. Kita mungkin sering mendengar pepatah mengatakan, "Mulutmu, harimaumu." Perkataan kita adalah pemangsa yang dapat "membunuh" diri kita sendiri atau orang lain. Tidak kurang orang-orang yang menjadi korban perkataannya sendiri, atau korban dari perkataan orang lain yang sangat menyakiti hati.
2. Hampir selalu ada kesempatan untuk meralat perkataan kita yang salah, atau meluruskan kesalahpahaman akibat kata-kata yang terlanjur kita ucapkan. Namun sering kita tidak peka untuk menyadari akibat buruk dari salah ucap sehingga kita membiarkannya saja, sampai keadaan sudah terlambat dan kita menyesal.
3. Pernyataan Yesus bahwa akibat dari apa yang keluar dari mulut (kata-kata jahat) lebih berbahaya daripada apa yang masuk ke dalam mulut (makanan dan minuman yang tercemar) merupakan amaran serius terhadap bagaimana kita mesti menjaga lidah kita. Makanan bisa mencemari tubuh, tapi perkataan dapat menajiskan jiwa.

Kamis, 13 November
MULUT YANG SAMA (Berkat dan Kutuk)

Kontras. Mulut adalah organ penting dari sistem pencernaan yang menerima asupan gizi bagi kebutuhan seluruh tubuh, tetapi mulut adalah juga organ penting dari sistem komunikasi yang menyuarakan aspirasi dan ide dalam hubungan antar manusia. Jadi, mulut adalah organ tubuh untuk menerima dan juga untuk memberi. Untuk kedua fungsi tersebut mulut dibantu oleh organ lain, yaitu lidah. Jadi, mulut dan lidah merupakan satu tim yang utuh dan saling melengkapi dalam menjalankan fungsi-fungsi jasmaniah maupun rohaniah. Anda mungkin pernah mengalami betapa sengsara dan repotnya waktu mulut atau lidah tidak bisa berfungsi sepenuhnya, katakanlah akibat adanya sariawan di beberapa tempat dalam rongga mulut atau pada lidah.

Tetapi manakala lidah dan mulut dalam keadaan normal, saat kita bisa makan dengan lahap dan berceloteh dengan riuh, kita cenderung membiarkan lidah dan mulut menikmati kebebasan mereka nyaris tanpa kendali. Kita bisa makan apa saja dan berbicara apa saja, tidak terpikir soal pantangan. Dalam keadaan seperti itulah rasul Yakobus menyatakan apa yang mungkin kita lakukan dengan lidah dan mulut, "Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk" (Yak. 3:9-10).

"Gambaran tentang berkat dan kutuk yang keluar dari mulut seorang Kristen itu mencemaskan, sedikit-dikitnya begitu...Bagaimana dengan seseorang yang membicarakan perkataan kebenaran dan keajaiban tentang Yesus, tapi kemudian terdengar menceritakan sebuah lelucon yang tidak senonoh? Gambaran-gambaran seperti ini pasti secara rohani mengganggu sebab hal tersebut bertentangan dengan apa yang kita tahu benar. Mulut yang sama yang memuji Tuhan belakangan menceritakan sebuah lelucon yang kotor? Ada apa dengan perbedaan yang kontras ini?" [alinea pertama: kalimat pertama dan empat kalimat terakhir].

Dosa dan pengampunan. Diceritakan tentang seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun yang menginginkan sebuah sepeda tapi tidak punya uang untuk membelinya. Menghadapi keinginan hati yang menggebu-gebu untuk memiliki sebuah sepeda, remaja itu mempertimbangkan untuk mencuri sepeda temannya tetapi takut berdosa. Tiba-tiba dia teringat khotbah pendeta di gereja bahwa Tuhan itu sangat pemurah dan akan selalu mengampuni dosa orang yang mengakui dosanya. Hari itu juga dia langsung melakukan niatnya, pergi ke rumah temannya untuk mencuri sepeda lalu bergegas pulang ke rumah untuk mengakui dosa dan memohon pengampunan. Beres.

Terkadang kita memiliki pemikiran seperti anak pra-remaja itu, berbuat dulu baru minta ampun. Dalam banyak kasus, ada orang-orang yang asal bicara tanpa berpikir panjang, setelah timbul masalah baru minta maaf. Bahkan saya pernah terlibat untuk membereskan sebuah pertikaian gara-gara ada orang ketiga yang gemar "membawa mulut" telah menimbulkan pertengkaran sengit, tetapi setelah pihak ketiga itu dipanggil dan dikonfrontir langsung berkata dengan nada tak berdosa: "Memang saya yang bilang, tapi itu hanya main-main, koq. Maaflah kalau begitu." Duh!

"Memang, dosa kita bisa diampuni sesudah kita melakukannya; tetapi masalahnya ialah bahwa sangat sering konsekuensi dari dosa-dosa itu tetap ada, sering dengan akibat-akibat yang bukan saja atas diri kita sendiri tapi pada orang lain juga. Alangkah jauh lebih baik bertelut memohon kuasa kemenangan daripada harus meminta pengampunan sesudahnya dan kemudian mendesak agar kerusakannya dikendalikan" [alinea terakhir: dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang berkat dan kutuk terucap dari bibir kita?
1. Mungkin anda pernah dengar sebutan "mulut WC" yang diberikan kepada seseorang yang suka berkata jorok atau gemar membicarakan kebusukan-kebusukan orang. Umat Kristen sejati mesti menjaga mulutnya agar selalu "higienis" dan tidak tercemar. Berdoalah seperti Daud: "Awasilah mulutku, ya Tuhan, berjagalah pada pintu bibirku!" (Mzm. 141:3).
2. Banyak orang yang sadar kesehatan dengan menjaga makan, bahkan dengan diit ketat. Kalau untuk memelihara tubuh yang akan binasa ini saja kita rela melakukan hal itu, apalagi demi keselamatan jiwa? Mungkin anda dan saya juga perlu "diit bicara." Salomo berkata: "Siapa menjaga mulutnya memelihara nyawanya, siapa yang lebar bibir akan ditimpa kebinasaan" (Ams. 13:3).
3. Allah itu pemurah dan akan mengampuni dosa kita (Yoh. 1:9). Tetapi pengampunan dosa tidak membatalkan akibat-akibat dosa yang harus kita tanggung dalam kehidupan sekarang. "Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya..." (Gal. 6:7-8).

Jumat, 14 November
PENUTUP

Percakapan bodoh. Ada etnis-etnis tertentu yang senang bercakap-cakap apalagi secara berkelompok, dan kerap kegemaran seperti itu terbawa sampai ke lingkungan gereja. Di mana ada dua-tiga orang berkumpul dan bercengkerama, orang-orang lain akan tertarik untuk ikut nimbrung. Obrolan bebas adalah semacam rekreasi sosial yang menggairahkan, dan kita sangat mudah untuk terlibat dan hanyut dalam eforia itu. Kita terbiasa dengan "diskusi warung kopi" atau "obrolan pinggir jalan" untuk membahas tentang tema apa saja. Ada obrolan yang bermanfaat, ada pula obrolan yang sekadar ngalor-ngidul (dari selatan ke utara, dan dari utara ke selatan) tanpa tujuan.

Sementara obrolan bebas bisa bersifat rekreatif dan mempererat hubungan sosial, suasana seperti itu juga dapat menjadi ajang untuk membicarakan hal-hal yang negatif tentang sesuatu atau mengenai seseorang. Bahkan, suasana seperti itu terbuka untuk bertukar canda dengan lelucon-lelucon murahan yang berkonotasi seksual. Bukankah lelucon tentang seks selalu memancing tawa riang? Tidak terkecuali di lingkungan gereja!

"Bila berada dalam kelompok orang-orang yang memanjakan percakapan bodoh, adalah kewajiban kita untuk mengubah pokok pembicaraan sekiranya mungkin. Dengan pertolongan anugerah Allah kita harus dengan tenang mengeluarkan kata-kata atau mengemukakan pokok pembicaraan yang akan mengalihkan percakapan kepada alur yang bermanfaat..." [alinea pertama].

Orang Kristen terutama juga dikenal dari tutur katanya dan tema pembicaraan yang disukainya, bukan hanya dari cara berpakaian dan dandanan yang digemarinya. Ketika kita membicarakan tentang pemeliharaan dan kasih Allah, atau hal-hal kerohanian lainnya, orang-orang lain yang mendengarkannya turut terberkati dan dikuatkan.

"Percakapan kita haruslah kata-kata pujian dan syukur. Kalau pikiran dan hati penuh dengan kasih Allah, hal ini akan dinyatakan dalam percakapan. Bukan hal yang sulit untuk memberitahukan apa yang masuk ke dalam kehidupan rohani kita...Apabila Kristus dinyatakan sedemikian rupa dalam percakapan kita, hal itu akan memilikikuasa dalam memenangkan jiwa-jiwa kepada-Nya" [alinea kedua: kalimat ketiga sampai kelima dan kalimat terakhir].

"Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya beroleh kasih karunia" (Ef. 4:29).

(Oleh Loddy Lintong/California, 13 November 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...