Syaloom

Selamat datang bagi pengunjung blog ini, terima kasih atas kunjungan anda pada blog ini anda dapat download lagu-lagu rohani khusus quartet (male or ladies) termasuk partitur yang kami telah sediakan.

Blog ini khusus saya buat untuk membantu teman-teman yang mempunyai hobi menyanyi lagu-lagu rohani tetapi pada saat tertentu tidak mempunyai cukup partiture. Dan sesuai dengan judulnya maka blog ini khusus dibuat untuk quartet grup vokal, apakah itu male quartet atau ladies quartet.

Banyak orang didunia ini dan hampir semua orang yang ada di jagad raya ini menyukai musik. Sebab itu saya ingin mengajak semua teman-teman yang ingin partisipasi dalam blog ini saya persilahkan untuk memberi saran dan bahan untuk memajukan grup-grup quartet. Sering kita menyanyikan sebuah lagu dengan baik dan pendengar cuma menyukai harmoninya saja tetapi pekabaran dalam lagu itu sendiri tidak didapat karena pendengar tersebut tidak mengerti bahasa yang dinyanyikan dalam lagu tersebut untuk itu melalui blog ini saya sekali lagi mengajak siapapun untuk urung rembuk agar blog ini disukai dan dapat bermafaat buat kita semua.

Untuk itu saya akan mencoba untuk mentransfer dari partiture aslinya kedalam bahasa Indonesia. Shalom regards,

GBU
E. Nanlohy



TRANSLATORS...

Jumat, 09 Januari 2015

PELAJARAN SEKOLAH SABAT KE DUA 10 JANUARY 2015: "MELINDUNGI DIRI DENGAN BELAJAR DAN MENDENGAR"





Sabat Petang, 3 Januari
PENDAHULUAN

Mendengar hikmat. Telinga adalah sepasang organ pendengaran yang termasuk bagian dari pancaindra. Secara anatomis, telinga terbagi ke dalam tiga bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga luar yang terdiri atas daun telinga, lubang telinga (saluran auditori) dan selaput gendang atau sering disebut "tambur telinga" (membran timpani), berfungsi untuk menangkap getaran-getaran suara atau bunyi. Telinga tengah yang berupa rongga di mana terdapat tulang pendengaran (osikula) yang terdiri atas tiga susunan tulang yang menyatu (tulang maleus, inkus, dan stapes), berfungsi untuk meneruskan getaran-getaran suara itu ke telinga bagian dalam melalui jendela oval dan bundar. Telinga dalam yang merupakan bagian paling rumit di mana terdapat "rumah siput" (koklea) ini memiliki labirin tulang dan labirin membran dengan saraf-saraf halus sebagai reseptor, berfungsi untuk mengirim impuls ke bagian otak yang akan mengolah suara-suara itu. Telinga manusia dapat menangkap getaran suara pada rentang frekuensi antara 20-20.000 Hertz ("Hertz" atau disingkat "Hz" adalah satuan penghitung getaran suara per detik, disebut menurut nama fisikawan Heinrich Rudolf Hertz dari Jerman karena kontribusinya di bidang elektromagnetik).

Telinga bukan saja sangat penting bagi manusia tapi juga dapat memengaruhi kehidupan kita. Gangguan pendengaran--baik secara parsial maupun total, pada salah satu telinga ataupun keduanya--dapat menjadi salah satu penghalang dalam pergaulan sosial dan dapat menimbulkan perasaan rendah diri. Dalam pergaulan sehari-hari hambatan komunikasi akibat gangguan pendengaran bisa menyebabkan masalah mulai dari yang paling sederhana seperti seringnya meminta lawan bicara untuk mengulangi kata-katanya, sampai kepada persoalan lebih serius seperti percekcokan gara-gara salah dengar. Tetapi masalah paling berat bagi penderita gangguan pendengaran ialah merintangi dia menangkap dengan sempurna suatu pernyataan atau pun penjelasan sehingga menghalanginya untuk membuat kesimpulan secara tepat. Dalam proses belajar-mengajar di sekolah gangguan pendengaran bisa berdampak negatif pada prestasi belajar siswa.

Pada zaman Salomo, pendidikan moral dan pengetahuan pada umumnya diajarkan secara lisan dari orangtua ataupun guru sebagai penutur kepada anak-anak atau murid sebagai pendengar, sehingga gangguan pendengaran dapat berarti gangguan belajar yang serius. Namun, adakalanya proses pengajaran itu terhambat bukan semata-mata akibat masalah pendengaran tetapi karena sikap keras kepala dan perilaku tidak mau diajar. Dalam kondisi ini seringkali pengajaran hanya bisa berhasil kalau disertai pemaksaan bersifat fisik, yang pada zaman dulu ialah dengan mencambuk punggung supaya mau mendengarkan.

"Tidaklah cukup hanya tahu tentang benar dan salah; kita perlu tahu bagaimana memilih yang benar dan bukan yang salah. Pelatihan hikmat terdiri atas mendengarkan pengajaran yang tepat dan mengikuti serta menuruti apa yang kita telah pelajari sehingga kita tidak berakhir dengan berjalan pada arah yang salah" [alinea terakhir].

Minggu, 4 Januari
MENDENGAR DENGAN OTAK ("Dengarkanlah!")

Dengarkan dan perhatikan. Amsal pasal 4 diawali dengan imbauan Salomo kepada generasi muda, "Dengarkanlah, hai anak-anak, didikan seorang ayah, dan perhatikanlahsupaya engkau beroleh pengertian" (ay. 1; huruf miring ditambahkan). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan "dengarkanlah" dalam ayat ini adalah shama` (dilafalkan: syɘ-mæh), dan sebagai kata kerja terkadang digunakan dalam bentuk lampau (Kej. 3:8, 10), yang artinya "mendengar dengan pengertian" (Strong, H8085); sedangkan kata "perhatikanlah" adalah qashab (dilafalkan: kä-syæv), sebuah kata kerja yang berarti "memperhatikan dengan pengertian" (Strong, H7181). Di PL, dua kata dalam bentuk perintah ini sering digunakan secara bersama-sama pada satu ayat (misalnya dalam 1Sam. 15:22; Ay. 13:6; 33:31; Mzm. 61:2; Yes. 28:23, dan lain-lain).

Tentu saja di dalam mendengarkan dan memperhatikan dengan pengertian itu kita melibatkan pikiran. Ketika mendengarkan pengajaran orangtua maka seorang anak harus mendengarkannya bukan saja dengan telinga terbuka tapi juga dengan pikiran yang terbuka, serta memperhatikan pengajaran itu dengan kondisi pikiran yang aktif bekerja. Jadi, pengajaran-pengajaran itu tidak boleh hanya masuk dari kuping kiri dan keluar dari kuping kanan, melainkan mendengarkannya dengan penuh perhatian dan pengertian. Demikian juga, pengajaran-pengajaran itu harus diperhatikan dengan serius supaya dapat mencamkannya dalam hati.

"Tindakan 'mendengar' menandai langkah pertama dalam pendidikan. Dalam pemikiran orang Ibrani, kedudukan hikmat atau kecerdasan itu bukan terletak di otak, tetapi di telinga. Ini menyiratkan bahwa sebelum kita berusaha merumuskan atau memecahkan sebuah persoalan, terlebih dulu kita harus mendengarkannya. Ini berarti kita perlu mendengar dengan saksama. Ketika Salomo meminta hikmat, secara khusus dia meminta 'hati yang mendengar' (1Raj. 3:9, terjemahan harfiah)" [alinea pertama]. (Sebagaimana dapat anda periksa pada Alkitab anda, dalam ayat ini frasa aslinya berbunyi "hati yang faham" di mana kata "faham" merupakan terjemahan dari kata Ibrani shama`).

Hikmat dari luar diri kita. Pekan lalu kita sudah pelajari bahwa hikmat ilahi yang berasal dari Tuhan itu berbeda dari "hikmat duniawi" yang bertumpu pada kecerdasan dan pengetahuan. Selain itu, perbedaan yang lebih penting lagi ialah bahwa sementara hikmat duniawi merupakan hasil dari kemampuan berpikir seseorang, hikmat ilahi tidak diperoleh berdasarkan kecakapan manusia melainkan sebagai pemberian dari Tuhan. Hikmat sejati bukan hasil dari pemikiran kita, itu adalah karunia surgawi yang dapat kita peroleh dengan memintanya dari Tuhan.

Seperti telah dibahas sebelumnya, kecerdasan berpikir dan kecerdasan emosi ditambah dengan pengalaman dapat membuat seseorang menjadi arif-bijaksana dalam bertindak atau untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang pelik. Pengetahuan dan kepintaran adalah sumberdaya yang penting bagi kehidupan sepanjang menyangkut hidup sementara di atas dunia ini, dan dalam banyak hal itu berguna untuk diri kita sendiri maupun masyarakat. Tetapi hikmat duniawi seperti itu tidak dapat kita banggakan di hadapan Tuhan, sebab "bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan?" (1Kor. 1:20). Itu sebabnya kita harus mencari hikmat ilahi "seumpama harta yang terpendam" (Mat. 13:44), dan ada jaminan bahwa kita akan mendapatkannya, sebab Allah sendiri berkata "apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku" (Yer. 29:13).

"Kita tidak dapat menemukan hikmat oleh diri kita sendiri. Pribadi yang berusaha sendiri adalah sebuah konsep yang mustahil dalam bidang hikmat alikitabiah. Hikmat pada dasarnya adalah sesuatu yang kita terima, bukan sesuatu yang kita bentuk dengan kecakapan kita sendiri atau yang kita gali melalui kecemerlangan berpikir dan penalaran kita sendiri" [alinea kedua: kalimat kedua hingga keempat].

Apa yang kita pelajari tentang nasihat untuk mendengarkan dan menemukan hikmat dari Tuhan?
1. Indra pendengaran mencakup telinga dan bagian-bagiannya yang terhubung ke otak auditori pada korteks serebral. Telinga adalah bagian yang berfungsi sebagai sarana untuk "menangkap suara" kemudian mengirimnya dalam bentuk impuls saraf ke otak yang akan "menerjemahkan suara" itu. Jadi, telinga hanya alat pendengar tapi otak yang mengartikannya.
2. Banyak manusia di dunia ini yang hanya mendengar dengan telinga saja tetapi tidak pakai otak. Akibatnya, mereka mudah terpengaruh dan percaya kepada ajaran-ajaran maupun info-info yang mereka dengar tanpa mengolahnya lagi dalam pikiran. Orang yang berhikmat ialah mereka yang "mendengar dengan otak" dan "memperhatikan dengan pikiran." 
3. Hikmat Allah hanya bersumber dari Tuhan, bukan dari pikiran dan hati manusia. Karena itu kita disarankan untuk meminta dari pada-Nya, "satu-satunya Allah yang penuh hikmat" (Rm.16:27). Hikmat manusia bisa saja terdengar mempesona, tetapi "hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia...telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita" (1Kor. 2:7).

Senin, 5 Januari
MEWASPADAI BAHAYA PERZINAAN ("Lindungi Keluargamu")

Ancaman terhadap keluarga. Kitabsuci menempatkan perzinaan sebagai salah satu dosa paling keji seperti halnya pembunuhan. Dalam PL, hukuman atas perzinaan--yaitu hubungan seks antara seorang pria beristri dengan seorang wanita bersuami--adalah nyawa si pelaku. Dalam Amsal pasal 5, Salomo secara khusus menyorot hubungan seks antara orang muda dengan seorang "perempuan jalang" yang rayuan bibirnya semanis madu tetapi akibatnya "pahit seperti empedu" (ay. 3-4). Tampaknya keberadaan "PSK" (pekerja seks komersial) sudah dikenal masyarakat pada masa itu dan konsumennya terutama para pemuda yang masih hijau, suatu keadaan yang cukup mengagetkan karena terjadi di tengah bangsa Israel yang sangat religius. "Jauhilah wanita yang demikian! Bahkan jangan mendekati rumahnya. Kalau engkau bergaul dengan wanita itu, engkau akan kehilangan kehormatanmu dan nyawamu akan direnggut di masa mudamu oleh orang yang tidak kenal belas kasihan," Salomo berwanti-wanti (ay. 8-9, BIMK).

Meskipun secara eksplisit nasihat tersebut ditujukan kepada generasi muda yang belum berpengalaman dan pengajarannya di sini berkaitan dengan hikmat yang harus dipelajari oleh orang-orang muda, penyusun pelajaran SS ini membawa kita kepada pokok persoalan yang lebih luas: perzinaan. Di zaman yang begitu mengagungkan kebebasan dalam segala hal, dengan hak-hak pribadi yang semakin diakui, hubungan seks di luar ikatan pernikahan telah menjadi bagian dari pergaulan antar manusia pada skala yang lebih besar dan rentang usia yang kian lebar. Sekarang ini bukan rahasia lagi bahwa anak-anak remaja semakin banyak yang melakukan hubungan seks pra-nikah, dan kian banyak orang-orang tua yang termasuk golongan kakek atau nenek terlibat perselingkuhan sampai mengorbankan keluarganya.

"Begitu kita berketetapan untuk berjalan di jalan hikmat, kita masih harus sangat berhati-hati karena kita akan menemukan rintangan-rintangan di sepanjang jalan (baca 1Ptr. 5:8). Salah satu bahaya terbesar yang kita hadapi berkaitan dengan keluarga kita, yakni bidang kehidupan yang paling berharga dan paling intim, tetapi paling peka" [alinea pertama].

Hikmat lawan godaan. Kita tidak tahu persis bagaimana para PSK zaman dulu itu berpraktik untuk memikat pelanggan mereka, tetapi dari tulisan Salomo ini kita memperoleh kesan bahwa itu dilakukan dengan cara menggoda lewat kata-kata rayuan yang "lebih licin daripada minyak" (ay. 3). Tujuan para wanita penghibur itu jelas untuk mengeruk duit pelanggan mereka, sehingga orang bijak itu mengingatkan "supaya orang lain jangan mengenyangkan diri dengan kekayaanmu, dan hasil susah payahmu jangan masuk ke rumah orang yang tidak dikenal" (ay. 10). Dalam kondisi zaman sekarang, kebiasaan bercengkerama dengan PSK demi kenikmatan sesaat mungkin tidak sampai membuat seorang laki-laki jatuh miskin tetapi lebih kepada menggerogoti mereka secara fisik "apabila badanmu habis dimakan penyakit" (ay. 11, BIMK). Namun, kalau perzinaan itu terjadi dalam bentuk perselingkuhan jangka panjang untuk kepuasan batin sehingga melibatkan rasa cinta, tidak jarang terjadi pihak laki-laki digerogoti juga dari segi keuangan.

Jadi, tentang bagaimana menjaga kata-kata, tentu nasihat itu tidak relevan bagi perempuan ataupun laki-laki penggoda yang gemar bersina. Sebab memang kata-kata rayuan adalah "senjata" mereka, di samping memamerkan kemolekan tubuh (untuk wanita) atau kekayaan (untuk pria). Maka, nasihat paling relevan dalam hal ini ialah bagi pihak yang merasa hendak dijadikan "sasaran godaan" agar lebih banyak mendengarkan nasihat hikmat dan memelihara hikmat itu supaya dapat menangkal setiap serangan godaan.

"Menurut ayat tersebut, cara terbaik untuk melawan godaan-godaan ini, yang sering dimulai dengan kata-kata menggoda, adalah mendengarkan kata-kata hikmat. Oleh mengindahkan dan menuruti pengajaran yang diilhamkan, kita lebih mungkin untuk tetap terfokus pada hal-hal penting dan terlindungi dari perzinaan atau apapun godaan-godaan lain yang menghadang kita" [alinea keempat].

Apa yang kita pelajari tentang pentingnya hikmat dalam melindungi keluarga kita?
1. Perzinaan dapat merusak diri kita pribadi (secara fisik, moral, dan ekonomi), selain itu juga merusak hubungan kita dengan keluarga dan terutama dengan Tuhan. Perzinaan dalam bentuk apapun, sekadar "jajan" atau mempunyai "WIL" (wanita idaman lain) maupun "PIL" (pria idaman lain), adalah "kebodohan" yang berlawanan dengan hikmat.
2. Berselingkuh adalah berzina, tapi berzina belum tentu berselingkuh. Dalam berzina, seseorang dapat berhubungan seks dengan banyak pasangan (promiskuitas) untuk kenikmatan sesaat yang mungkin tanpa diimbangi oleh pasangannya. Dalam berselingkuh, hubungan seks terjadi dengan pasangan tetap untuk suatu jangka waktu karena perasaan suka sama suka.
3. Berzina diawali dalam pikiran yang kemudian dilanjutkan dalam tindakan ketika seseorang takluk pada pencobaan. Dalam banyak kasus itu terjadi karena ada unsur kemauan dan kesempatan, sebab tanpa salah satu hal itu tidak akan terjadi. Menghadapi pencobaan bisa dilakukan seperti menghadapi stres: "fight or flight" (lawan atau lari)!

Selasa, 6 Januari
HIKMAT DALAM HAL KEUANGAN ("Lindungi Persahabatanmu")

Masalah yang peka. Seseorang yang tengah menghadapi masalah keuangan mencoba meminjam uang dari temannya yang ditanggapi dengan ucapan kurang-lebih seperti ini: "Maaf, tetapi lebih baik saya tidak meminjami anda uang daripada hubungan persahabatan kita nanti rusak." Meski merasa kecewa, tapi dia bisa menenangkan hatinya dengan berpikir positif dan melihatnya dari sisi yang baik: tentu kawan itu khawatir kalau tidak bisa mengembalikan uang pinjaman itu pada waktu yang dijanjikan maka hubungan persahabatan mereka bisa rusak, dan dia memilih untuk lebih baik mengecewakan temannya daripada merusak pertemanan mereka. Bukankah ada pemeo berbunyi, "Uang tidak mengenal saudara," apalagi cuma teman? Masalah uang memang masalah yang peka.

Salomo memberi nasihat yang bijaksana tentang urusan soal uang ketika dia menulis, "Anakku, barangkali kau pernah berjanji kepada seseorang untuk menanggung utangnya. Dan boleh jadi kau telah terjerat oleh kata-katamu dan terjebak oleh janjimu sendiri. Kalau benar begitu, anakku, engkau sudah berada dalam kekuasaan orang itu. Tetapi inilah caranya kau dapat lolos: cepatlah pergi kepada orang itu; mintalah dengan sangat supaya ia mau membebaskan engkau. Janganlah pergi tidur dahulu, dan jangan beristirahat. Lepaskanlah dirimu dari perangkap itu seperti burung atau kijang melepaskan diri dari pemburu" (Ams. 6:1-5, BIMK). Dalam sistem perbankan moderen penjaminan hutang disebut kolateral, tetapi karena ini berasal dari pihak ketiga secara perorangan maka disebut personal guarantee (jaminan perorangan) yang biasanya berupa surat pernyataan sebagai "penanggung" sebagaimana diatur oleh hukum, sebab debitur yang bersangkutan tetap diminta oleh bank untuk menyediakan asetnya sebagai agunan. Pada zaman Salomo di mana pinjam-meminjam merupakan praktik antar-pribadi karena belum ada sistem perbankan, menjadi penanggung hutang orang lain adalah suatu kebodohan.

"Sementara Torah mendorong orang-orang untuk menolong yang miskin dan meminjamkan uang kepada mereka tanpa membebankan bunga (Kel. 22:25), hikmat mengamarkan kita terhadap dukungan keuangan yang tidak patut bagi seorang teman yang berhutang. Kewajiban kedermawanan tidak meniadakan kewajiban keadilan (Kel. 23:2-3). Meskipun kita harus bermurah hati ketika kita bisa, kita perlu bijaksana untuk memastikan bahwa kedermawanan kita tidak akan berubah menjadi kegagalan (bandingkan dengan Ams. 22:27)" [alinea kedua].

Pikir dulu sebelum bicara. Hikmat yang diajarkan oleh Salomo di sini menyangkut prinsip kehati-hatian, dalam hal ini soal berbicara dan berjanji. Dalam pergaulan sehari-hari kita bisa menemukan orang-orang yang sangat mudah berjanji, tapi kenyataannya sangat sulit untuk menepati janjinya. Ada pula orang-orang yang berbicara tanpa berpikir masak-masak sehingga terkesan "asbun" (asal bunyi). Kedua sifat ini, mudah berjanji tapi sulit menepati dan asal bicara tanpa berpikir, selalu menimbulkan kejengkelan dan seringkali menimbulkan rasa jijik dalam pergaulan. Orang yang berhikmat adalah seorang yang memiliki akuntabilitas (keadaan bisa dipertanggungjawabkan) yang perkataan-perkataannya dapat dipercaya dan diandalkan.

Alkitab memuat contoh menarik dan sekaligus menyedihkan tentang seorang yang terburu-buru bicara ketika berjanji kepada Tuhan. Dalam kitab Hakim-hakim pasal 11 kita membaca mengenai Yefta, seorang komandan pasukan Israel gagah berani yang dalam semangat patriotisme yang membara telah berjanji, "Kalau Tuhan mengizinkan saya mengalahkan orang Amon, dan saya kembali dengan selamat, maka siapa pun yang pertama-tama keluar dari rumah saya untuk menyambut saya, akan saya persembahkan sebagai kurban bakaran kepada Tuhan" (ay. 30-31, BIMK). Sebenarnya Tuhan memang akan memberi kemenangan kepadanya ketika Roh Allah "menghinggapi" dirinya (ay. 29), tanpa dia harus mengucapkan nazar yang tolol itu. Ketika dia dan pasukannya berhasil mengalahkan bala tentara Amon dan pulang ke rumahnya di Mizpa, putri tunggal yang dikasihinya adalah yang pertama keluar dari rumah untuk menyongsongnya sambil menari-nari. Dara cantik yang tak berdosa itu menjadi "korban" kecerobohan kata-kata ayahnya sendiri, kesedihan yang menjadi duka seluruh bangsa di kemudian hari (ay. 39-40).

"Oleh karena itu, nasihat bijaksana diberikan kepada kita dalam Amsal. Peringatan yang pertama berlaku pada perkataan kita. Alangkah pentingnya agar kita mengevaluasi keadaan dan memastikan bahwa kita mampu membantu teman kita. Jika demikian, barulah kemudian bicara dan berjanji. Memang, kehangatan persahabatan kita atau atau keadaan emosi bisa memicu komitmen kita yang mungkin kita sesali sesudah itu" [alinea ketiga].

Apa yang kita pelajari tentang bagaimana hikmat melindungi persahabatan kita?
1. Uang bukan saja "akar segala kejahatan" (1Tim. 6:10), tapi uang juga bisa menjadi akar percekcokan. Uang bisa menjadi pokok masalah dalam hubungan antar teman, dalam keluarga, dalam gereja, bahkan dalam hubungan kita dengan Tuhan. Kehati-hatian dalam hal yang berkaitan dengan uang merupakan salah satu hikmat yang diajarkan oleh Salomo.
2. Cermat dan ketat dalam soal keuangan tidak harus membuat kita jadi orang pelit, sebab kedermawanan tidak sama dengan pemborosan. Mungkin dalam mempelajari kitab Amsal ini kita telah melewatkan hikmat penting lainnya, "Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya" (Ams. 3:27).
3. Tatkala kita berdiam diri mungkin ada orang-orang yang menganggap kita bodoh, tetapi lebih baik tidak berkata apa-apa daripada membuka mulut lalu membuktikan bahwa kita memang bodoh. "Seorang bodoh pun akan disangka cerdas dan bijaksana kalau ia berdiam diri dan menutup mulutnya" (Ams. 17:28, BIMK).

Rabu, 7 Januari
RAJIN PANGKAL MAKMUR ("Lindungi Pekerjaanmu")

Belajar dari semut. Salah satu serangga paling kecil di planet ini adalah semut, dengan berbagai spesis dan ciri khas temasuk warna. Semut ada di mana-mana dengan karakter yang berbeda-beda, tetapi dalam beberapa hal memiliki kesamaan. Fakta-fakta fisiologis menarik tentang semut antara lain: memiliki sekitar 250.000 sel otak, dapat mengangkut beban 20 kali lebih berat dari bobot badannya, masa hidup 45-60 hari (kecuali semut ratu yang dapat hidup hingga 20 tahun!), mempunyai rahang yang kuat untuk mengunyah dalam gerakan menyamping seperti gunting, perutnya memiliki dua lambung (satu untuk makanannya sendiri, lainnya untuk menyimpan makanan yang akan disimpan bagi kepentingan bersama), dan hidup dalam satu koloni bahkan super-koloni seperti terdapat di California selatan yang panjangnya lebih dari 900 Km dengan kedalaman 5-6 meter. Selain itu, semut yang selalu hidup dan bekerja secara bergerombol memiliki sistem koordinasi yang baik dan fokus pada sasaran. Kita boleh menghalangi jalan semut, tapi mereka segera akan menemukan jalan lain untuk sampai ke tujuan semula dan menyelesaikan tugas.

Itu sebabnya Salomo memberi nasihat, "Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen" (Ams. 6:6-8). Semut mengumpulkan makanan dan menyimpannya dalam lumbung mereka bersama selama musim kemarau untuk persiapan pada musim dingin ketika mereka tinggal di dalam sarangnya. Di negeri-negeri dengan empat musim semut akan bekerja terus sepanjang tiga musim berturut-turut, mulai dari musim semi, musim kemarau, hingga musim gugur dan baru berhenti bekerja menjelang tibanya musim dingin atau musim salju.

"Bukan saja semut itu bekerja keras (bahkan lebih keras dari manusia, jika kita membandingkan beban yang sanggup mereka angkut dengan beban yang manusia dapat bawa berdasarkan proporsi bobot badan masing-masing), tetapi semut bekerja secara mandiri dan tidak perlu diawasi. Alasan utama dari kerja keras mereka itu ialah masa mendatang. Mereka 'mengantisipasi' masa-masa kesukaran (musim dingin) dan menyiapkan diri untuk itu. Jadi, semut mengajarkan kita hikmat untuk memikirkan masa depan ketika membuat rencana-rencana atau terlibat dalam suatu kegiatan" [alinea pertama: empat kalimat pertama].

"Belajar" dari pemalas? Kalau dari semut kita bisa belajar tentang kerajinan dan kearifan mereka menyediakan makanan untuk musim paceklik, dari pemalas kita bisa belajar tentang kemelaratan yang mereka hadapi akibat kemalasan mereka. Pelajaran dari semut adalah positif, sedangkan dari pemalas adalah negatif. Metode belajar dengan menggunakan contoh-contoh positif dan negatif lebih mengesankan dan bagi banyak orang itu lebih efektif. Misalnya, anda tidak perlu mencoba sendiri dengan menyentuhkan tangan pada knalpot sepeda motor yang mesinnya sedang hidup atau baru dimatikan untuk mengetahui bahwa knalpot itu panas dan bisa membuat tangan anda terbakar. Anda juga tidak perlu harus menunggu sampai mengalami kelaparan dulu baru mau bekerja, bukan? Orang biasa belajar dari pengalamannya sendiri, tetapi orang bijak belajar dari pengalaman orang lain!

Salomo menulis: "Sampai kapan si pemalas itu mau tidur? Kapankah ia mau bangun? Ia duduk berpangku tangan untuk beristirahat, dan ia berkata, 'Ah, aku tidur sejenak, aku mengantuk.' Tetapi sementara ia tidur, ia ditimpa kekurangan dan kemiskinan yang datang seperti perampok bersenjata," (ay. 9-11, BIMK). Tentu saja kemiskinan tidak selalu akibat dari kemalasan bekerja, sebab di zaman perekonomian sulit ini banyak orang yang menganggur bukan karena malas bekerja tapi karena tidak ada lowongan pekerjaan. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang sedang bekerja tapi kehilangan pekerjaan karena malas di tempat kerja atau tidak bekerja dengan sungguh-sungguh dan kurang berprestasi.

"Sementara semut-semut itu produktif pada musim panen, pemalas terus melipat kedua tangan mereka tanda kemalasan. Semut-semut itu melampaui diri mereka oleh membawa beban yang lebih berat daripada diri mereka sendiri dan dengan mempersiapkan untuk masa mendatang; para pemalas hidup dalam masa sekarang dan hanya sibuk dengan diri mereka sendiri" [alinea terakhir: dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang semut dan orang malas dengan segala akibatnya?
1. Bekerja, dan berhemat, bukan saja untuk kehidupan kita sekarang tapi juga masa depan. Seperti semut, kita pun harus bekerja bukan untuk kepentingan diri sendiri tapi untuk kepentingan bersama. Bekerja mencari nafkah adalah kodrat manusia setelah berdosa (Kel. 3:19). Sebab itu rasul Paulus menulis, "Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan" (2Tes. 3:10).
2. Nasihat untuk bekerja selagi kesempatan masih terbuka bukan saja berlaku dalam pekerjaan duniawi, tapi juga untuk pekerjaan Tuhan. Yesus berkata, "Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja" (Yoh. 9:4).
3. Pekerjaan apapun selalu terkait dengan produktivitas, yaitu hasil dan kemampuan untuk menghasilkan. Setiap semut memiliki tugas masing-masing yang secara sadar dan bertanggungjawab mereka kerjakan, dan semut bekerja dengan berorientasi kepada hasil. Tidak ada semut yang malas, karena itu tidak ada semut yang miskin dan kelaparan!

Kamis, 8 Januari
NASIHAT AGAR MENJAGA PIKIRAN ("Lindungi Dirimu Sendiri")

Pikiran jahat. Amaran Salomo berikutnya adalah supaya waspada terhadap orang-orang jahat, pemfitnah, pembohong, dan provokator. Tulisnya, "Tak bergunalah dan jahatlah orang yang hidup dengan mulut serong, yang mengedipkan matanya, yang bermain kaki dan menunjuk-nunjuk dengan jari, yang hatinya mengandung tipu muslihat, yang senantiasa merencanakan kejahatan, dan yang menimbulkan pertengkaran. Itulah sebabnya ia ditimpa kebinasaan dengan tiba-tiba, sesaat saja ia diremukkan tanpa dapat dipulihkan lagi" (Ams. 6:12-15). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan "tak berguna" pada ayat 12 ialah bĕliya`al (dilafalkan: bĕliyah-él), sebuah kata benda maskulin yang bisa berarti "jahat" atau "jahanam" dan dalam banyak ayat PL versi TB diterjemahkan sebagai "orang-orang dursila" (misalnya: Ul. 13:13; Hak.19:22; 1Sam. 2:12; 1Raj. 21:10). Dalam kitab Amsal kata ini masih digunakan dua kali lagi (16:27; 19:28), dan di PB kata ini digunakan hanya satu kali dengan sebutan menurut aslinya, "Belial" (2Kor. 6:15).

Sebuah peribahasa mengatakan, "Perhatikanlah pemikiranmu, itu bisa menjadi perkataan; perhatikan kata-katamu, itu bisa menjadi tindakan; perhatikan tindakanmu, itu bisa menjadi kebiasaan; perhatikan kebiasaanmu, itu bisa menjadi tabiat; perhatikan tabiatmu, karena itu bisa menjadi nasibmu." Kata-kata bijak ini telah dikaitkan dengan Frank Outlaw, seorang pengusaha Amerika yang mendirikan toserba berantai "Bi-Lo" di South Carolina sebagai penciptanya, ada pula yang mengaitkannya dengan Mahatma Gandhi, atau filsuf Cina purba Lao Tzu, Budha Gautama, dan bahkan ayah dari Margaret Thatcher (mantan PM Inggris) karena pernah mengaku bahwa kata-kata tersebut sering dia dengar dari ayahnya, dan banyak lagi. Tetapi siapapun yang pertama kali mencetuskan perkataan ini, tidak disangsikan lagi bahwa itu merupakan kata-kata bijak yang layak dicamkan.

Pena inspirasi menulis: "Anda harus mengendalikan pikiran-pikiran anda. Hal ini tidak akan menjadi tugas yang mudah; anda tidak dapat mencapai itu tanpa usaha yang ketat bahkan keras. Namun Allah menuntut hal ini dari anda; itu adalah suatu kewajiban yang dibebankan pada setiap orang yang bertanggungjawab. Anda bertanggungjawab kepada Tuhan atas pemikiran-pemikiranmu. Jika anda memuaskan angan-angan yang sia-sia, mengizinkan pikiran anda merenungkan perkara-perkara yang najis, dalam ukuran tertentu anda bersalah di hadapan Allah seolah-olah pikiran-pikiran anda itu sudah dilaksanakan menjadi perbuatan" (Ellen G. White, Testimonies for the Church, jld. 2, hlm. 561).

Akibat dosa itu luas. Selanjutnya Salomo menulis, "Enam perkara ini yang dibenci Tuhan, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara" (Ams. 6:16-19). Meski dalam ayat-ayat ini kita tidak melihat adanya hubungan antara "kemalasan" dengan hal-hal yang disebut sebagai "tujuh perkara yang menjadi kekejian" bagi Tuhan, kita menerima ini sebagai nasihat penting selain tentang kemalasan. Mungkinkah Salomo melihat kemalasan sebagai "kejahatan" yang setara dengan enam bahkan tujuh perkara yang dibenci Tuhan itu?

"Setelah mengamarkan kita terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang mengancam tiga bidang kehidupan--keluarga kita, hubungan sosial kita, dan pekerjaan kita--Amsal memberikan kepada kita sebuah gambaran tentang orang jahat. Ini adalah sindiran penuh ejekan dan observasi psikologis yang tajam...Batin orang jahat itu digambarkan sebagai terkait dengan apa yang dipikirkan di dalam hati; pada saat yang sama itu semua terwujud dalam apa yang dilakukan secara lahiriah" [alinea pertama: dua kalimat pertama dan kalimat terakhir].

Perbuatan dosa apapun pasti menyakiti pihak yang menjadi korban, dan pada gilirannya akan merugikan pelaku dosa itu sendiri. Bahkan, dalam banyak kasus, perbuatan dosa seseorang mau tak mau harus ditanggung oleh orang-orang terdekatnya, khususnya keluarga dan kelompok masyarakat di mana dia tergabung. Dalam sejarah bangsa Israel purba, dosa satu orang sering berakibat merugikan seluruh bangsa (Yosua 7). Dalam hal kebohongan dan fitnah, akibatnya bisa meluas dengan cepat seperti api yang menghanguskan. Kalau saja setiap anggota keluarga, anggota jemaat, dan anggota masyarakat dapat mengendalikan diri untuk tidak berbuat sesuatu dosa atau kejahatan, niscaya seluruh keluarga, jemaat, dan masyarakat bersangkutan dapat terhindar dari akibat-akibat merugikan yang bisa timbul dari dosa atau kejahatan itu.

Apa yang kita pelajari tentang melindungi diri sendiri dari kejahatan?
1. Pikiran manusia adalah tempat di mana dosa pertama kali tumbuh dan bersemai. Tindakan atau perbuatan hanyalah "output" dari apa yang sebelumnya telah berkembang dalam benak, sebab setiap tindakan dikendalikan oleh otak. Salomo menyebut mereka yang berkeliaran menyebar kebohongan dan fitnah sebagai orang-orang yang "tidak berguna."
2. Seseorang pernah berkata: "Anda dapat membohongi sebagian orang sepanjang waktu atau membohongi semua orang untuk sementara waktu, tetapi anda tidak dapat membohongi semua orang sepanjang waktu." Bagaimana pun kebohongan itu sekali kelak akan tertangkap, tetapi seringkali akibat yang terlanjur ditimbulkannya tak dapat lagi dihapus.
3. Hampir tidak ada perbuatan dosa atau tindakan kejahatan yang akibatnya hanya ditanggung oleh si pelaku seorang diri, bahkan yang sering terjadi orang-orang yang ikut menanggung akibatnya adalah mereka yang tidak ada hubungannya dengan pelaku atau tidak tahu apa-apa. Istilahnya, orang lain yang makan buah nangka kita yang terkena getahnya.

Jumat, 9 Januari
PENUTUP

Belajar dengan tekun. Kehidupan tidak pernah lepas dari belajar. Itu sebabnya kita menganut apa yang disebut "lifelong learning" (belajar seumur hidup) atau "lifetime education" (pendidikan sepanjang hayat). Manusia belajar sejak hari pertama hingga hari terakhir dia berada di dunia ini. Tentu yang dimaksud dengan "pendidikan" di sini ialah dalam arti luas, tidak terbatas pada pendidikan formal di sekolah. Konsep belajar atau pendidikan sepanjang hayat merupakan pengembangan dari life-long learners (orang-orang yang sepanjang umurnya terus belajar) yang digagas oleh Leslie Watkins dan diperkenalkan pertama kali di Denmark (1971), sebuah konsep yang kemudian diadopsi oleh UNESCO, badan PBB yang salah satu urusannya adalah pendidikan. Definisi dari pendidikan sepanjang hayat ialah "mengejar pengetahuan secara terus-menerus dengan sukarela dan atas kemauan sendiri, baik karena alasan-alasan pribadi maupun profesional."

Tentu saja keberhasilan dari pendidikan sepanjang hayat terutama ditentukan oleh ketekunan individu yang bersangkutan. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang terus bertumbuh-kembang dari waktu ke waktu menuntut setiap orang untuk terus belajar demi meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya, kalau tidak dia akan tertinggal. Karena itu dalam dunia pendidikan dikenal apa yang dinamai "sabbatical leave" ketika dosen yang sudah meraih gelar pendidikan doktoral atau S-3 dan telah mengajar selama tujuh tahun diberi kesempatan untuk penyegaran dan menambah pengetahuan selama setahun. Bahkan, dalam dunia pendidikan berlaku adagium: A teacher who stops learning should stop teaching (Seorang guru yang berhenti belajar harus berhenti mengajar).

Dalam kehidupan rohani, belajar sepanjang hayat juga merupakan suatu kewajiban. Kita bisa belajar dari Kitabsuci, dan kita juga belajar dari pengalaman hidup. Yesus sendiri juga belajar dari Kitabsuci (Luk. 2:40, 52) dan dari pengalaman (Ibr. 5:8). "Salomo menunjuk kepada ketekunan semut sebagai teguran kepada mereka yang menyia-nyiakan waktu mereka dalam kemalasan atau dalam praktik yang merusak jiwa dan tubuh. Semut bersiap untuk musim mendatang; tetapi banyak orang yang dikaruniai dengan daya nalar gagal bersiap untuk hidup kekal di masa mendatang" [alinea terakhir].

"Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau" (1Tim. 4:16).

(Oleh Loddy Lintong/California, 8 Januari 2015)

Jumat, 28 November 2014

Christmas-Music and Partiture The Kings Heralds Quartet

Carol of The Drum-Music and Partiture The King Heralds Quartet

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA KE IX 29 NOVEMBER 2014: "PENGHAKIMAN KASIH DAN KESELAMATAN"








Sabat Petang, 22 November
PENDAHULUAN

Sikap terhadap hukum. Dalam ilmu hukum dikenal apa yang disebut "hukum positif" (ius constitutum), yaitu hukum yang berlaku di suatu negara pada waktu tertentu. Hukum positif merupakan kumpulan peraturan-peraturan yang bersifat mengikat dan mengandung unsur pemaksaan untuk ditaati, serta sangsi-sangsi berupa hukuman bagi siapa saja yang tidak menaatinya atau yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap hukum. Tujuan dari pembuatan hukum itu sendiri ialah untuk memelihara ketertiban serta ketenteraman dalam masyarakat dan untuk memenuhi rasa keadilan di kalangan masyarakat. Maka dalam perspektif hukum positif, ketertiban hukum yang dikehendaki itu membutuhkan sikap positif dari masyarakat terhadap keberadaan hukum tersebut.

Menyangkut hukum positif ini, Theodore Roosevelt, presiden AS ke-26 [1901-1909], membuat sebuah pernyataan yang terkenal: "Tidak seorang pun berada di atas hukum dan tidak seorang pun berada di bawahnya; kita tidak meminta izin dari siapa pun ketika kita meminta dia untuk menaatinya." Pernyataan ini merupakan gagasan dasar dari Konstitusi (Undang-undang Dasar) Amerika Serikat sebagai sebuah negara berhaluan republik yang berbeda dengan paham pemerintahan monarki absolut seperti di negara-negara Eropa hingga abad ke-19 di mana raja adalah pemegang kekuasaan mutlak. Pada zaman di mana seorang raja berkuasa penuh, dialah pembuat hukum untuk dipatuhi oleh seluruh rakyat sehingga berlaku apa yang disebut rex lex, "raja adalah hukum." Karena seorang raja adalah pembuat undang-undang maka dia berhak pula untuk mengubah undang-undang itu kapan dia mau, dan dengan demikian dia sama sekali tidak tunduk pada hukum yang dibuatnya.

Bagaimana dengan "kedudukan" orang-orang kaya di hadapan hukum? Kita sering menaruh kecurigaan akan adanya perilaku istimewa yang dinikmati orang-orang kaya ketika berurusan dengan hukum, bahkan di negara-negara yang mengaku menjunjung tinggi hukum. Bulan Desember tahun lalu seorang hakim di Texas, AS dicaci karena hanya mengganjar hukuman percobaan kepada seorang remaja anak orang kaya yang mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk sehingga menabrak empat orang sampai tewas. Dalam amar putusannya sang hakim tampaknya terpengaruh dengan dalil pembela bahwa remaja itu mengalami apa yang disebut gejala “affluenza,” yaitu masalah psikologis yang konon dapat menimpa anak-anak orang kaya. Karena itu, tuntutan 20 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum tidak dipenuhi dan gantinya adalah hukuman percobaan 10 tahun ditambah perawatan kejiwaan. Hukuman percobaan berarti tidak mengharuskan anak remaja 16 tahun itu masuk penjara, kecuali jika melakukan pelanggaran hukum selama masa percobaan itu. (Baca di sini-->http://www.nytimes.com/2013/12/14/us/teenagers-sentence-in-fatal-drunken-driving-case-stirs-affluenza-debate.html).

Di negara-negara miskin dan sebagian negara berkembang yang korup, fenomena orang kaya kebal hukum kerap terlihat begitu jelas. Hukum seakan bisa "dibeli" atau "diatur" oleh kaum berduit untuk keuntungan mereka. Pemeo bahwa "orang kaya mempunyai aturannya sendiri" menjadi pemandangan sehari-hari, sementara orang miskin yang berbuat kesalahan kecil didera habis-habisan oleh hukum. Keadilan seringkali seakan hanya berpihak kepada orang kaya dan terkenal, tetapi sangat jauh dari jangkauan orang-orang miskin.

Lalu, bagaimana dengan Hukum Allah? Seperti halnya hukum positif, hukum itu diberikan demi menumbuhkan ketertiban di antara umat manusia dan untuk menciptakan hubungan yang harmonis di kalangan masyarakat secara horisontal dan juga antara manusia dengan Tuhan secara vertikal. Intisari dari hukum moral Allah, yaitu Sepuluh Perintah, adalah kasih secara vertikal dan horisontal. Yesus memerintahkan umat-Nya, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:37-39). Rasul Paulus menambahkan, "Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat" (Rm. 13:10).

"Pelajaran pekan ini diawali dengan sebuah tinjauan hukum tapi kemudian menuntun kepada beberapa kata penting tentang sebuah bentuk kesombongan dan percaya diri yang mungkin tidak kita sadari tetapi terhadap mana kita diamarkan mengenai jadi berdosa, suatu pelanggaran hukum Allah. Bahkan, dalam kitab Yakobus, di sini kepada kita diberikan cara lain untuk memandang dosa" [alinea terakhir].

Minggu, 23 November
JANGAN MENGHAKIMI (Penghakiman atau Kearifan?)

Memfitnah berarti menghakimi. Yakobus menulis: "Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah! Barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya, ia mencela hukum dan menghakiminya; dan jika engkau menghakimi hukum, maka engkau bukanlah penurut hukum, tetapi hakimnya" (Yak. 4:11; huruf miring ditambahkan). Kata Grika yang diterjemahkan dengan "saling memfitnah" dalam ayat ini adalah katalaleō, sebuah kata kerja yang berarti "berbicara jahat, mencela, mengumpat" (Strong; G2635). Versi lainnya menerjemahkan frase ini, "janganlah saling mencela atau saling menyalahkan" (BIMK=Bahasa Indonesia Masa Kini); dan "jangan seorang mencela orang" (TL=Terjemalan Lama). NKJV (New King James Version) menerjemahkannya, "do not speak evil of one another" (jangan berbicara jahat tentang satu sama lain); NIV (New International Version), "do not slander one another" (jangan saling memfitnah); dan TEV (Today's English Version), "do not criticize one another" (jangan saling mengkritik).

Dalam pengertian Bahasa Indonesia, "fitnah" sebagai kata benda adalah "perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang," sedangkan "memfitnah" sebagai bentuk kata kerja ialah "menjelekkan nama orang" (KBBI=Kamus Besar Bahasa Indonesia). Tetapi dari sejumlah versi terjemahan Alkitab di atas kita bisa menyimpulkan bahwa nasihat sang rasul kepada umat Kristen agar "tidak saling memfitnah" mengandung makna yang luas sekali. Tidak saja berkata bohong tentang orang lain untuk menjelekkan namanya, tetapi "mencela" dan "mempersalahkan" seseorang atas perbuatannya yang memang dia lakukan itu pun tidak sepatutnya terjadi di antara sesama umat percaya. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah mengata-katai seseorang di belakangnya, atau menyebarkan kesalahannya--benar maupun tidak benar--kepada orang-orang lain secara bisik-bisik.

"Di satu sisi, tampaknya Yakobus menggunakan bahasa yang lebih halus di sini daripada dalam pasal 3; namun, dampak dari 'saling memfitnah' kelihatannya lebih serius sehingga melakukan hal itu menimbulkan kesangsian pada hukum itu sendiri. Dengan menempatkan diri kita di kursi untuk menghakimi, kita mengabaikan kelemahan-kelemahan kita sendiri (baca Mat. 7:1-3) dan sebaliknya memusatkan perhatian pada kesalahan orang lain, seolah-olah kita berada di luar atau di atas hukum" [alinea pertama: kalimat kedua dan ketiga].

Kearifan rohani. Sebagai orang Kristen kita telah diajar oleh Yesus, "Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat" (Mat. 5:37). Jadi, pengikut Kristus harus menjunjung tinggi kebenaran dan tidak berkompromi dengan fakta. Dalam hal hubungan dengan sesama manusia pun kita harus berani berkata benar, "ya" kalau itu benar dan "tidak" kalau itu salah, sekalipun harus menelan akibat yang pahit.

Menyangkut apa yang disebut kebenaran--baik itu tentang ajaran firman Tuhan maupun cerita mengenai seseorang--kita harus lebih dulu menyelidik kebenarannya sebelum mengambil suatu kesimpulan (Kis. 17:11; 1Yoh. 4:1). Bahkan, terkait dengan kesalahan seorang anggota jemaat, kalaupun cerita itu benar kita tidak akan mempermalukan jemaat dengan mencari penyelesaian di luar jemaat melainkan menangani sendiri masalah itu (1Kor. 6:1-5), sementara kita juga melakukan introspeksi diri (2Kor. 13:5; Gal. 6:1). Dengan berbuat demikian, kita "makin mengasihi Allah dan sesama dan terus bertambah dalam pengetahuan yang benar dan pandangan yang bijaksana" (Flp. 1:9, BIMK). Ini merupakan karunia "kearifan rohani" yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Kristen.

"Kita harus membandingkan apa yang orang-orang ajarkan dan khotbahkan dengan Firman Allah. Kita juga sejauh mungkin harus mendorong anggota-anggota gereja untuk membereskan perbedaan-perbedaan di antara mereka sendiri gantinya dibawa ke pengadilan di mana hakim-hakimnya mungkin dituntun oleh Firman Allah dan mungkin juga tidak. Tetapi yang paling penting kita harus memeriksa diri kita sendiri menyangkut kesehatan hubungan iman kita dan apakah pendirian kita itu meninggikan serta sangat baik atau merugikan bagi pengalaman Kristiani kita" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang sikap menghakimi dan kearifan rohani?
1. Setiap orang bisa melakukan kesalahan atau berbuat dosa, tetapi ada yang diketahui orang dan ada yang tidak diketahui. Kalau kita kebetulan mengetahui kelemahan seseorang, Yesus mengajarkan agar kita menegurnya secara pribadi sebelum bertindak lebih jauh (baca Mat. 18:15-17). Jadi, semua itu tergantung pada itikad kita.
2. Kearifan rohani orang Kristen ditunjukkan melalui sikap kita sebagai orang-orang yang berpandangan luas yang tidak gampang terpengaruh dengan "cerita bisik-bisik" mengenai seseorang atau sesuatu. Mungkin semangat "check and recheck" (periksa dan periksa ulang) dalam arti kata yang sebenarnya perlu ditumbuhkan.
3. Khususnya dalam hal kebenaran pengajaran Firman Allah, "kita tidak menjadi anak-anak lagi yang terombang-ambing dan terbawa-bawa ke sana ke mari oleh arus bermacam-macam pengajaran dari orang-orang yang licik...Tidak! Sebaliknya kita harus menyatakan hal-hal yang benar dengan hati penuh kasih..." (Ef. 4:14-15, BIMK).

Senin, 24 November
MENGHAKIMI DAN MENYELAMATKAN (Pembuat Hukum adalah Hakim)

Yesus sebagai Pemberi Hukum. Yakobus menulis, "Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan..." (Yak. 4:12; huruf miring ditambahkan). Di sini sang rasul menggemakan kembali perkataan nabi Yesaya, "Sebab Tuhan ialah Hakim kita, Tuhan ialah yang memberi hukum bagi kita; Tuhan ialah Raja kita, Dia akan menyelamatkan kita" (Yes. 33:22; huruf miring ditambahkan). Kedua ayat ini sebenarnya merujuk kepada satu Pribadi yang sama, yaitu pembuat hukum dan sekaligus hakim. Dalam pernyataan Yakobus, Pribadi yang membuat hukum dan hakim itu adalah juga "berkuasa meyelamatkan"; sedangkan dalam pernyataan Yesaya, hakim dan pemberi hukum bagi kita itu adalah juga "Raja" yang "akan menyelamatkan kita." Informasi-informasi tambahan itu mengarahkan kita kepada Yesus Kristus, yaitu "Raja segala raja" (1Tim. 6:15; Why. 17:14; 19:16) yang akan menyelamatkan kita (2Tim. 1:9-10; Kis. 16:31).

Istilah "Pembuat hukum" dalam surat Yakobus di atas adalah terjemahan dari kata Grika nomothetēs, dan merupakan satu-satunya ayat di seluruh PB yang menggunakan kata ini. Tetapi dalam terjemahan bahasa Grika dari Perjanjian Lama--disebut "Septuagint" atau sering disingkat dengan "LXX" karena pekerjaan penerjemahan itu dikerjakan oleh 70 pakar bahasa, dilaksanakan antara tahun 300-200 SM--nomothetēs (kata benda) dan nomothetēo (kata kerja) digunakan sebanyak 9 kali di seluruh PL.

"Semua hukum dari Perjanjian Lama adalah dari Yesus. Hukum-hukum itu terkadang disebut hukum Musa karena hukum-hukum itu diberikan melalui dia (2Taw. 33:8; Neh. 10:29), tetapi adalah Yesus yang telah memimpin bangsa Israel melalui padang gurun dan mengucapkan Sepuluh Perintah itu kepada mereka di Bukit Sinai (baca 1Kor. 10:1-4). Dalam Khotbah di Atas Bukit, Yesus menjelaskan dan mempertegas hukum itu" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].

Yesus sebagai Hakim. Dari antara berbagai kitab dalam PL yang menubuatkan tentang Yesus Kristus atau berkaitan dengan Mesias, kitab Yesaya adalah yang paling penting dan lengkap. Setidaknya ada 20 nubuatan tentang Yesus tersebar di berbagai pasal dari kitab Yesaya yang semuanya telah digenapi, khususnya dalam pasal 53. Kitab-kitab PL lainnya yang juga mengandung nubuatan penting tentang Yesus Kristus di antaranya adalah Mikha, Zakharia, Mazmur, dan tentu saja Kejadian 3:15 yang berisi pernyataan Allah Bapa sendiri dan sering disebut sebagai "injil pertama" (protoevangelium).

Berkenaan dengan nubuatan mengenai Yesus sebagai Hakim, khususnya tercatat dalam Yesaya 11:1-5 di mana Yesus disebut sebagai "tunas" dari keturunan Isai (versi BIMK menyebutnya "tunas baru...dari keturunan Daud") yang akan menghakimi dengan adil. Sebagai hakim yang adil, "Ia tidak mengadili sekilas pandang atau berdasarkan kata orang. Orang miskin dihakiminya dengan adil, orang tak berdaya dibelanya dengan jujur; orang bersalah dihukum atas perintahnya, orang jahat ditumpasnya. Ia bertindak dengan adil dan setia dalam segala-galanya" (ay. 3-5, BIMK).

"Hanya seseorang yang mengenal hukum itu dengan baik layak untuk menghakimi apakah hukum itu sudah dilanggar atau tidak...Tetapi sebagai Pemberi hukum-hukum itu, Ia secara khusus layak untuk menjelaskan apa yang hukum-hukum itu maksudkan dan untuk menilai apakah hukum-hukum itu sudah dilanggar atau tidak. Maka pada waktu Ia datang kembali, upah yang dibawa-Nya untuk diberikan kepada semua orang menurut perbuatan mereka (Why. 22:12). Lebih jauh lagi, dengan mengambil rupa manusia, menghidupkan kehidupan tanpa dosa, mati menggantikan kita, dan bangkit mengalahkan dosa dan maut, Yesus sanggup untuk menyelamatkan kita dari dosa" [alinea kedua: kalimat pertama dan tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang Yesus sebagai Pembuat hukum dan juga Hakim?
1. Sebutan Yakobus bahwa Yesus adalah "pembuat hukum" dan sekaligus "hakim" hanya bisa dipahami dari sudut pandang rohani berdasarkan iman. Pendekatan dengan menggunakan sistem demokrasi duniawi--di mana pembuat hukum adalah legislatif dan eksekutif, dengan yudikatif sebagai pelaksana--tentu tidak relevan dengan Alkitab.
2. Alkitab mengajarkan bahwa Yesus Kristus kelak akan datang sebagai Hakim untuk menghakimi malaikat-malaikat jahat dan orang jahat (sekarang ini Dia berperan sebagai Pembela bagi umat-Nya dalam penghakiman surgawi), dan Yesus berhak serta layak untuk menghakimi manusia sebab Dia adalah Pemberi hukum moral (Sepuluh Perintah) itu.
3. Pada kedatangan-Nya yang pertama sebagai "Anak Manusia" Yesus telah mengamalkan kehidupan menurut hukum itu, dengan demikian Dia mendapat legitimasi dari Allah Bapa untuk menghakimi dunia ini (Yoh. 5:22, 27; Kis. 10:42; 2Kor. 5:10). Jadi, kualifikasi Kristus sebagai Hakim berdasarkan: (1) pengetahuan-Nya tentang hukum itu, (2) pengalaman-Nya hidup dalam hukum itu, dan (3) atas penunjukkan Allah Bapa.

Selasa, 25 November
BERSERAH PADA PEMELIHARAAN ALLAH (Perencanaan ke Depan)

"Rencana" masa depan. Kehidupan manusia penuh dengan rencana-rencana, bahkan manusia memang harus punya rencana hidup. Menyangkut rencana masa depan, Salomo berkata: "Rancangan orang rajin semata-mata mendatangkan kelimpahan, tetapi setiap orang yang tergesa-gesa hanya akan mengalami kekurangan" (Ams. 21:5). Tindakan yang tergesa-gesa dan tanpa perhitungan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam kesulitan hidup ketika dia tidak siap menghadapi risiko dari pilihan dan keputusannya. Yesus sendiri menyinggung soal perlunya berpikir masak-masak dan mempertimbangkan "kalkulasi untung-rugi" (risk/reward calculation) sebelum seseorang memutuskan untuk menjadi pengikut Dia (baca Luk. 14:27-33).

Yakobus mempunyai amaran penting bagi orang-orang Kristen yang berkata, "'Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung,' sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok" (Yak. 4:13-14). Sebagai manusia kita bisa saja membuat "investasi bisnis" dengan berbagai cara yang dianggap menguntungkan. Banyak orang Kristen yang pindah ke kota lain bahkan ke negara lain untuk memperluas usahanya, atau sekadar mencari kehidupan yang lebih baik, dan mereka berhasil sehingga menjadi penyumbang-penyumbang potensial bagi jemaat di tempat mana mereka tinggal. Sementara merencanakan kehidupan yang lebih baik adalah hal yang normal dan logis, kita harus menyadari bahwa hidup itu sendiri lebih penting daripada kekayaan. Yesus berkata: "Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kau sediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah" (Luk. 12:20-21).

"Mungkin tampaknya sangat masuk akal untuk merencanakan setahun sebelumnya atau bahkan lebih. Umumnya usaha bisnis mempunyai rencana-rencana jangka pendek, menengah, dan panjang. Secara perorangan maupun keluarga-keluarga perlu menabung bagi masa depan serta membuat persediaan untuk biaya-biaya tak terduga. Sebaliknya, kita juga harus percaya bahwa Yesus segera datang dan bahwa sekali kelak semua harta duniawi kita akan dihanguskan oleh api (baca 2Ptr. 3:10-12)" [alinea pertama].

"Insya Allah." Seseorang pernah berkata, "Dalam hidup ini satu-satunya hal yang pasti adalah ketidakpastian." Dalam perspektif ini setiap langkah yang kita rencanakan seharusnya bergantung pada Tuhan, sebab kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Karena itu rasul Yakobus menyarankan bilamana kita merencanakan sesuatu harus didahului dengan perkataan: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu" (Yak. 4:15; huruf miring ditambahkan). Konsep berpikir yang sama juga dimiliki oleh rasul Paulus ketika dia menulis kepada jemaat di Korintus, "Tetapi aku akan segera datang kepadamu, kalau Tuhan menghendakinya..." (1Kor. 4:19; huruf miring ditambahkan). Kata Grika yang diterjemahkan dengan "menghendakinya" dalam kedua ayat ini adalah thelō, sebuah kata kerja yang juga dapat berarti "bermaksud" atau "berkenan" (Strong; G2309).

Frase "jika/kalau Tuhan menghendakinya" dalam bahasa Latin adalah Deo Volente atau sering disingkat "d.v." yang pernah populer di kalangan orang Kristen abad ke-18 (menurut Kamus Merriam-Webster, frase ini diketahui telah digunakan pertama kali pada tahun 1763; menurut Dictionary.com tahun 1767). Sebagaimana kita ketahui, frase ini sangat populer di kalangan saudara-saudara kita kaum muslimin dan muslimah yang selalu melafalkannya dalam bahasa Arab, إن شاء الله, In sya' Allah (kata nun dan syin dipisahkan sesuai dengan aslinya, sehingga mendapatkan arti yang sesungguhnya "jika Allah mengizinkan"). Setelah istilah ini dipungut menjadi bagian dari kosakata Bahasa Indonesia yang resmi, dua kata pertama disatukan sehingga frase yang aslinya terdiri atas tiga kata itu berubah menjadi hanya dua kata, "Insya Allah."

"Itu artinya kita harus menyerahkan semua rencana kita kepada Allah. Kita bisa berdoa: 'Allah, aku mau mengetahui kehendak-Mu. Jika Engkau tidak berkenan dengan rencana-rencana ini, tunjukkanlah kiranya kepada saya.' Kemudian, kalau rencana-rencana kita itu tidak baik, maka Allah akan menunjukkan hal itu kepada kita--selama kita tetap menaruh perhatian dan rela memperbaiki rencana-rencana kita atau bahkan mengubahnya secara keseluruhan" [alinea terakhir: empat kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang membuat rencana masa depan?
1. Tuhan telah menganugerahkan kita manusia dengan kemampuan berpikir dan kesanggupan untuk menyusun rencana-rencana. Tetapi sementara perencanaan sebelum bertindak adalah bijaksana, kita harus membawa semua rencana itu kepada Tuhan. "Percayakanlah kepada Tuhan semua rencanamu, maka kau akan berhasil melaksanakannya" (Ams. 16:3, BIMK).
2. Hidup di dunia yang penuh ketidakpastian hanya bisa berhasil jika bersandar pada Allah yang pasti. Sebagai umat percaya kita harus melibatkan Tuhan dalam setiap rencana kita, baik secara peorangan, keluarga, terlebih sebagai gereja. Tanpa campur tangan Tuhan segala rencana dan usaha kita akan sia-sia (baca Mzm. 127:1).
3. Kalau Yakobus dan Paulus sebagai para pemimpin Gereja mula-mula menerapkan konsep "kalau Tuhan menghendakinya" dalam setiap perencanaan mereka, tidakkah umat Kristen zaman ini juga harus mempraktikkan konsep berpikir yang sama? Sering kita terlalu "PD" (=percaya diri) dengan iman kita sehingga mengira bahwa Tuhan pasti akan mengabulkan apa saja yang kita doakan.

Rabu, 26 November
MANUSIA YANG FANA (Asap)

Kefanaan hidup. Yakobus menekankan kefanaan manusia ketika dalam suratnya dia menulis, "Apa yang akan terjadi dengan kehidupanmu besok, kalian sendiri pun tidak mengetahuinya! Kalian hanya seperti asap yang sebentar saja kelihatan, kemudian lenyap" (Yak. 4:14, BIMK). Asap, uap, kabut, ulat, rumput, bunga rumput, bayangan dan lain-lain yang sifatnya rapuh serta tidak bertahan lama adalah gambaran Alkitab tentang kefanaan manusia. Maka, adalah suatu hal yang bodoh untuk merasa pasti akan hari esok kita. Salomo menasihati, "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu" (Ams. 27:1).

Kita semua telah menyaksikan, bahkan sebagian dari kita mengalaminya sendiri, betapa kematian itu bisa datang secara tiba-tiba dan tak disangka-sangka merenggut jiwa sahabat, anggota keluarga, dan orang-orang yang kita kasihi. Ada yang meninggal begitu mendadak sehingga kita tidak percaya bahwa kejadian itu benar, mungkin karena kita baru saja ketemu beberapa jam yang lalu atau baru berbicara dengan dia lewat telpon beberapa menit sebelumnya. Kematian adalah tamu yang tak diundang dan tak dapat ditolak dalam kehidupan manusia, tamu tak berperasaan yang bisa mampir menjenguk kita tanpa basa-basi.

"Dengan kata lain, selalu akan ada kematian seketika. Kita semua hanya sejauh satu detak jantung dari kematian. Siapa saja dari kita, pada saat mana saja, karena satu dari banyak alasan, dapat mati dalam sesaat. Alangkah tepatnya Yakobus berkata, 'Sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok' (Yak. 4:14, TB), termasuk kematian" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].

Ketidakadilan hidup. Bukan saja hidup ini fana, tapi kerapkali hidup ini juga tidak adil. Barangkali memang benar bahwa hidup ini hanya menyediakan kehidupan, tetapi tidak mempunyai kewajiban untuk memberi kehidupan yang adil. Sehingga pemazmur mengeluh, "Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir. Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik. Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh mereka; mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah seperti orang lain. Sebab itu mereka berkalungkan kecongkakan dan berpakaian kekerasan" (Mzm. 73:2-6).

Salomo, orang paling berhikmat yang pernah hidup di Bumi ini, seperti putus asa dengan nasib manusia ketika dia berkata: "Dan, ah, orang yang berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh! Oleh sebab itu aku membenci hidup, karena aku menganggap menyusahkan apa yang dilakukan di bawah matahari, sebab segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah aku. Dan siapakah yang mengetahui apakah orang itu berhikmat atau bodoh?" (Pkh. 2:16-19). Kematian hanyalah soal waktu, dan kemalangan hanyalah giliran. "Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba" (Pkh. 9:12).

"Kita melihat begitu banyak ketidakadilan, begitu banyak kecurangan, begitu banyak yang tidak masuk akal dalam hidup ini. Tidak heran kita semua merindukan janji hidup kekal yang diberikan kepada kita melalui Yesus. Tanpa itu, kita hanyalah sekadar asap yang akan berlalu dan terlupakan untuk selamanya" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang nasib manusia yang seperti asap?
1. Kefanaan adalah kodrat manusia sebagai akibat dosa (Rm. 6:23), dan bagi banyak orang kelahiran tidak lain daripada awal perjalanan menuju kematian. Sehingga raja Daud yang risau sampai berseru dalam angan-angannya, "Tuhan, beritahukanlah kapan ajalku supaya aku tahu betapa pendek hidupku" (Mzm. 39:5, BIMK).
2. Bagi orang yang tidak percaya kematian adalah akhir dari segalanya, bagi umat percaya kematian hanyalah akhir dari kefanaannya. Kematian orang percaya bukan terminasi [=kesudahan], tapi transisi [=peralihan]. Karena itu sebagai orang Kristen seyogianya kita tidak takut pada kematian, asalkan kita memelihara kepastian dalam Kristus (Rm. 8:11).
3. Selain kefanaan hidup kita juga menghadapi ketidakadilan hidup, apakah itu akibat perlakuan orang lain maupun karena nasib yang tidak beruntung. Tidak heran kalau Salomo sampai beranggapan "orang-orang mati...lebih bahagia dari pada orang-orang hidup" bahkan, "yang lebih bahagia daripada kedua-duanya itu kuanggap orang yang belum ada..." (Pkh. 4:2-3).

Kamis, 27 November
KEWAJIBAN "ANAK-ANAK TERANG" (Mengetahui dan Melakukan Apa yang Baik)

Dosa kelalaian. Berhubung dengan kefanaan manusia dan ketidakpastian hidup, rasul Yakobus menasihatkan umat percaya agar menyerahkan setiap rencana kita kepada Tuhan dan tidak bersikap pongah dengan rasa percaya diri yang berlebihan. "Sebenarnya kamu harus berkata: 'Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.' Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah" (Yak. 4:15-16). Perhatikan, sang rasul menyebut sikap kemandirian manusia, yang merasa dapat melakukan apa saja tanpa meminta pertimbangan Tuhan, sebagai kecongkakan dan hal itu salah. Menurut rasul Paulus, dengan mengutip Yeremia 9:23-24, "Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan" (1Kor. 1:31).

Kemudian Yakobus melanjutkan, "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa" (Yak. 4:17; huruf miring ditambahkan). Di sini sang rasul sedang berbicara kepada orang-orang Kristen pada zamannya, yang pada hematnya mereka itu sudah mengerti bahwa dalam merencanakan sesuatu harus lebih dulu meminta perkenan Tuhan. Yakobus menyebut sikap seperti itu sebagai perbuatan baik, dan tahu "berbuat baik" tetapi tidak melakukannya adalah dosa. Seperti pernah disebutkan dalam ulasan pelajaran SS terdahulu, dengan ayat ini sang rasul menyodorkan kepada kita wawasan yang lebih luas tentang dosa, bahwa selain "dosa karena perbuatan" (sin of commission) ada pula "dosa karena kelalaian" (sin of omission). Tentang dosa kelalaian ini Yesus menerangkan, "segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku," dan akibatnya adalah kebinasaan (baca Mat. 25:41-46).

"Alkitab merumuskan dosa dalam dua cara: (1) berbuat salah; (2) tidak berbuat benar. Definisi pertama diberikan oleh Yohanes: 'dosa adalah pelanggaran hukum Allah' (1Yoh. 3:4). Banyak versi moderen yang menerjemahkannya 'dosa adalah pelanggaran hukum,' tetapi kata Grika anomia merujuk kepada pelanggaran-pelanggaran hukum yang spesifik daripada sekadar kebiasaan berperilaku durhaka (baca penggunaannya dalam Rm. 4:7, Tit. 2:14, Ibr. 10:17). Definisi kedua diberikan dalam Yakobus 4:17: 'Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.' Karena itu kita harus lebih dari sekadar menolak godaan untuk berbuat salah" [alinea kedua: kalimat kedua hingga enam].

Berbuat baik. Secara umum, teologi tentang "berbuat baik" terbagi ke dalam dua pengertian: perbuatan yang menyenangkan hati sesama manusia (kebajikan), dan perbuatan yang menyenangkan hati Allah (penurutan hukum). Melalui Timotius, rasul Paulus menasihatkan: "Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan...Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi..." (1Tim. 6:17-18; huruf miring ditambahkan). Yakobus sendiri memberi penekanan pada penurutan hukum sebagai perbuatan baik ketika dia menulis, "Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: 'Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,' kamu berbuat baik" (Yak. 2:8; huruf miring ditambahkan).

"Tentunya seseorang bisa dengan mudah kecewa oleh sebab, bagaimana pun, siapa yang secara terus-menerus berbuat semua kebaikan yang mungkin dapat mereka lakukan tiap-tiap hari? Tapi bukan itu persoalannya. Bahkan kehidupan Yesus pun bukan sebuah putaran aktivitas tanpa henti...Sebagaimana ada batasnya untuk berapa banyak kita bisa makan sekali duduk, demikian juga ada batasnya berapa banyak dapat kita lakukan. Itulah sebabnya Yesus lebih jauh mengatakan bahwa sebagian orang menabur sedangkan yang lain menuai, tapi keduanya 'bersukacita bersama' (ay. 36-38). Sementara kita bekerja bagi Tuhan, kita akan dikuatkan untuk berbuat lebih banyak lagi dan akan berdoa bagi kerelaan yang lebih besar untuk digunakan dalam setiap cara yang mungkin" [alinea terakhir: dua kalimat pertama dan tiga kalimat terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Hukum Allah mempersalahkan bukan saja atas apa yang kita telah lakukan tapi juga apa yang kita tidak lakukan. Pada hari perhitungan terakhir, kita akan mendapat suatu daftar dari dosa-dosa kelalaian dan juga dosa-dosa perbuatan. Allah akan membawa setiap perbuatan ke dalam penghakiman, dengan setiap hal yang rahasia. Tidaklah cukup bahwa oleh ukuran tabiatmu sendiri anda membuktikan tidak melakukan kesalahan yang positif. Fakta bahwa seseorang tidak melakukan kebaikan yang positif sudah cukup untuk mempersalahkan dia sebagai seorang hamba yang jahat dan malas" (Ellen G. White, Manuscript Releases, jld. 6, hlm. 141).

Apa yang kita pelajari tentang akibat dari mengetahui apa yang baik tapi tidak melakukannya?
1. Sejak semula manusia tidak diciptakan sebagai makhluk yang independen (mandiri) dan terlepas dari pengendalian Tuhan. Sebagai umat Tuhan kebergantungan kita bahkan lebih besar lagi, sampai pada tahap di mana kita tidak dapat berbuat apa-apa sendirian. Kata Yesus: "Sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa" (Yoh. 15:5).
2. Penyerahan diri kepada Tuhan secara tuntas adalah kewajiban setiap "anak-anak terang" untuk menghasilkan "kebaikan dan keadilan dan kebenaran" (Ef. 5:8-9). Melalui perbuatan-perbuatan kebajikan itu anda membiarkan terang itu "bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga" (Mat. 5:16).
3. Yakobus membuka wawasan kita tentang dosa menjadi kian luas dengan menyingkapkan bahwa kita berdosa bukan karena perbuatan saja tapi juga karena kelalaian untuk berbuat hal yang baik. Kita berbuat baik kepada sesama manusia dengan melakukan kebajikan, dan kita berbuat baik kepada Tuhan dengan menaati hukum-hukum-Nya.

Jumat, 28 November
PENUTUP

Jangan membanggakan kebenaran. Manusia sangat rentan terhadap godaan untuk membanggakan diri, dan kita semua selalu mempunyai banyak hal untuk dibanggakan. Bahkan, ada sebagian orang yang suka membanggakan kerendahan hatinya. Kebanggaan apapun selalu menyenangkan sebab hal itu memancing kekaguman serta pujian dari orang lain, dan pujian memuaskan ego anda dan saya. Namun, batas antara kebanggaan dan kesombongan sangat tipis, sehingga kita sering tidak dapat membedakan lagi di antara keduanya.

Doktrin-doktrin gereja kita mengandung kebenaran-kebenaran alkitabiah, dan kita patut merasa bangga akan hal itu. Tetapi seringkali kita terlalu bangga dengan kebenaran-kebenaran itu sampai lupa mengamalkannya, bahkan yang lebih buruk lagi adalah merasa bahwa hanya kita yang memiliki kebenaran. Sikap seperti itu membuat kita acapkali merasa selalu benar dan orang lain selalu salah.

"Jangan lagi ada di antara kamu yang mengagungkan kebenaran oleh menyatakan bahwa roh ini (tentang memahami motif-motif jahat orang lain) adalah konsekuensi yang perlu untuk secara tepat berurusan dengan orang-orang yang berbuat salah dan untuk berdiri membela kebenaran. Kearifan seperti itu mempunyai banyak pengagum, tetapi hal itu sangat menipu dan membahayakan. Itu tidak datang dari atas, tapi adalah buah dari hati yang belum diperbarui. Pencetusnya adalah Setan sendiri" [alinea pertama: empat kalimat pertama].

Kebenaran sebuah doktrin tidak berarti apa-apa dan menjadi mubazir kalau hal itu tidak berkontribusi kepada penguatan iman kita tetapi hanya sekadar menjadi bahan pengetahuan saja. Lebih penting lagi, kebenaran sesuatu ajaran harus memperkokoh keteguhan hati kita untuk mempertahankan keselamatan yang telah dikaruniakan kepada kita semua.

"Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya" (Ef. 2:8-10).

(Oleh Loddy Lintong/California, 27 November 2014)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...