Syaloom

Selamat datang bagi pengunjung blog ini, terima kasih atas kunjungan anda pada blog ini anda dapat download lagu-lagu rohani khusus quartet (male or ladies) termasuk partitur yang kami telah sediakan.

Blog ini khusus saya buat untuk membantu teman-teman yang mempunyai hobi menyanyi lagu-lagu rohani tetapi pada saat tertentu tidak mempunyai cukup partiture. Dan sesuai dengan judulnya maka blog ini khusus dibuat untuk quartet grup vokal, apakah itu male quartet atau ladies quartet.

Banyak orang didunia ini dan hampir semua orang yang ada di jagad raya ini menyukai musik. Sebab itu saya ingin mengajak semua teman-teman yang ingin partisipasi dalam blog ini saya persilahkan untuk memberi saran dan bahan untuk memajukan grup-grup quartet. Sering kita menyanyikan sebuah lagu dengan baik dan pendengar cuma menyukai harmoninya saja tetapi pekabaran dalam lagu itu sendiri tidak didapat karena pendengar tersebut tidak mengerti bahasa yang dinyanyikan dalam lagu tersebut untuk itu melalui blog ini saya sekali lagi mengajak siapapun untuk urung rembuk agar blog ini disukai dan dapat bermafaat buat kita semua.

Untuk itu saya akan mencoba untuk mentransfer dari partiture aslinya kedalam bahasa Indonesia. Shalom regards,

GBU
E. Nanlohy



TRANSLATORS...

Jumat, 31 Oktober 2014

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA KE V 1 NOVEMBER 2014: "MENGASIHI SEBAGAI UJUD PENURUTAN HUKUM"



PELAJARAN KE-V; 1 November 2014
"KASIH DAN HUKUM"


Sabat Petang, 25 Oktober
PENDAHULUAN

Siapakah "sesama manusia?" Perumpamaan Yesus mengenai orang Samaria yang baik hati--lebih tepatnya: orang Samaria yang "berani" berbaik hati--merupakan jawaban atas pertanyaan ahli Taurat yang hendak mencobai-Nya dengan pertanyaan, "Siapakah sesamaku manusia?" (Luk. 10:29). Mula-mula dia bertanya tentang bagaimana caranya beroleh hidup yang kekal (ay. 25), yang ditanggapi Yesus dengan balik bertanya apa kata Hukum Taurat (ay. 26), dan dijawabnya dengan mengutip Ulangan 6:5 dan Imamat 19:18 (ay. 27).

Ahli hukum Yahudi itu tentu bukan orang bodoh sehingga harus meminta penjelasan tentang siapakah yang dimaksud dengan "sesama manusia" dalam hal ini, tetapi dia tiba-tiba menemukan ide baru. Kalau semula dia hendak menjebak Yesus dengan pertanyaan pertama soal syarat masuk surga, sekarang dia ingin Yesus membuat pernyataan perihal makna "sesama manusia" yang tercantum dalam Hukum Musa. Sebab, kata Ibrani rea` [dilafalkan: "ra-ah" = sesama manusia] dalam Torah adalah sebuah pengertian eksklusif (terbatas) sebagai "sesama bangsa Israel" saja. Sedangkan kata Grika plēsion yang diterjemahkan dengan "sesama manusia" dalam ayat di atas secara harfiah berarti "orang yang ada di dekat" dan bermakna inklusif (luas) tanpa memandang latar belakang etnis maupun agama orang itu.

Perlu diketahui bahwa Yesus hidup pada masa dan di lingkungan masyarakat multi-kultur dan multi-bahasa, terutama akibat penjajahan bangsa Romawi dan pengaruh kebudayaan Yunani purba. Bangsa Yahudi secara umum menguasai dua bahasa ibu, yaitu Ibrani dan Aram, yang tentu saja merupakan bahasa masa kanak-kanak Yesus. Tetapi Yesus juga fasih menggunakan bahasa Grika Koine sebagai bahasa pergaulan. Ketika berdialog dengan kepala pasukan Romawi (Mat. 8:5-9, 13) dan dengan Pilatus (Yoh. 18:33-38), yang keduanya tidak dapat berbicara dalam bahasa Ibrani maupun Aram, tentu Yesus menggunakan bahasa Grika Koine bahkan tidak tertutup kemungkinan juga dalam bahasa Latin. Entahlah.

Tanggapan Yesus atas pertanyaan kedua, yang terkesan dadakan, dari ahli Taurat itu dengan cara menceritakan sebuah perumpamaan sungguh adalah cara yang jitu. Yesus gemar menggunakan perumpamaan untuk membuat orang lain berpikir dan mengambil kesimpulan sendiri, sebagaimana Ia juga gemar menjawab pertanyaan dengan pertanyaan (gaya yang dikenal sebagai "metode Sokrates"). Maka, dengan menyampaikan perumpamaan tentang orang Samaria yang "berani" mengambil risiko menolong orang Yahudi yang menjadi korban perampokan walaupun secara tradisi mereka adalah dua bangsa yang bermusuhan, sementara orang-orang yang sebangsa dengan korban itu justru menghindar, Yesus sedang mengajarkan makna "sesama manusia" itu dalam pengertiannya yang paling luhur.

"Yaitu, kita harus mengasihi sekalipun dalam keadaan sama sekali berbahaya atau tidak nyaman, dan kita harus mengasihi bahkan mereka yang tidak menyukai kita...Meskipun itu tidak mudah, dan sering melawan sifat alamiah kita, kasih sejati itu melibatkan suatu risiko yang besar dan menuntut kita untuk meruntuhkan rintangan-rintangan yang memisahkan kita sebagai sesama manusia, baik di luar dan (terutama) di dalam gereja. Pekan ini kita akan melihat apa yang Yakobus hendak katakan mengenai kebenaran penting ini" [alinea kedua: kalimat terakhir; alinea ketiga].

Minggu, 26 Oktober
NILAI AGAMA DAN STATUS SOSIAL (Orang yang Mengenakan Emas)

Membedakan orang di jemaat. Rasul Yakobus memberi nasihat yang tegas perihal kewajiban orang Kristen untuk menerapkan sikap tidak pilih kasih dalam hal memperlakukan orang lain. "Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka," tulisnya (Yak. 2:1). Perhatikan bagaimana sang rasul mengaitkan iman dengan sikap memandang muka. Selanjutnya dia memberi contoh tentang sikap memandang muka itu yang diperlihatkan dalam cara menyambut orang yang datang ke perkumpulan jemaat, bahwa kita tidak boleh menilai orang lain berdasarkan penampilan lahiriah, sebab dengan berlaku demikian "kalian membuat perbedaan di antara sesamamu dan menilai orang berdasarkan pikiran yang jahat" (ay. 4, BIMK).

Selain karena ilham Roh Kudus, saya berani mengatakan bahwa Yakobus sebagai pemimpin Gereja menulis nasihatnya itu juga berdasarkan laporan atau pengamatan langsung. Sebab dia tidak menulis suratnya untuk umat Tuhan di zaman akhir, tetapi utamanya bagi orang-orang Kristen pada zamannya. Rupanya, sikap memperlakukan orang lain berdasarkan status sosial yang dipamerkan lewat dandanan yang indah dan mahal itu bukan sudah ada sejak dulu. Sikap seperti ini tentu saja menyuburkan mentalitas suka pamer di kalangan masyarakat umum yang terbawa ke dalam gereja, sehingga sekarang pun orang tidak puas hanya sekadar mengenakan pakaian, sepatu, tas dan sebagainya, tetapi mereka maunya "memakai merek." Apalagi kalau orang-orang dari kalangan atas itu juga adalah penyumbang untuk gereja, atau "berjasa" bagi gereja.

"Gambaran ini bukan sebuah gambaran yang sangat bagus, khususnya karena hal itu dilukiskan (setidaknya berpotensi) sebagai kejadian dalam sebuah acara ibadah!...Segelintir orang-orang kalangan atas yang menghadiri perkumpulan-perkumpulan Kristen mengharapkan perlakuan yang istimewa. Mengabaikan harapan-harapan ini akan menimbulkan aib pada jemaat. Gagal bersikap 'tepat secara politis' atau menolak nilai-nilai masyarakat adalah resep bagi pelanggaran dan penyebab perpecahan" [alinea pertama: kalimat pertama; alinea kedua: tiga kalimat terakhir].

Nilai sekuler atau Kristiani? Gereja adalah jemaatnya (orang-orang), dan jemaat adalah juga anggota masyarakat. Tidak dapat disangkal bahwa dalam keseharian kita lebih banyak dan lebih sering berinteraksi dengan orang-orang dari luar gereja dibandingkan dengan orang-orang di dalam jemaat, sehingga besar kemungkinannya sebagian dari kita secara tak sengaja mengadopsi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan terbawa ke dalam gereja. Karena itu, sekularisasi di dalam jemaat adalah sebuah keniscayaan. Kalau anda perhatikan, salah satu "nilai" masyarakat umum yang terbawa ke dalam gereja ialah membedakan individu berdasarkan status sosial-ekonomi.

Alkitab menasihati kita untuk menghargai dan menghormati pemerintah dan mereka yang memegang jabatan publik untuk melayani masyarakat. "Hargailah mereka yang harus dihargai, dan hormatilah mereka yang harus dihormati," tulis rasul Paulus (Rm. 13:7, BIMK). Itulah sebabnya kita menghormati para pejabat, baik di luar gereja maupun ketika mereka bertamu ke gereja kita. Tetapi bukan terhadap mereka saja, sang rasul juga menasihatkan untuk menghormati para pendeta dan pejabat di lingkungan gereja yang juga melayani jemaat. "Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar" (1Tim. 5:17). Ini adalah nilai-nilai Kristiani yang kita junjung dalam hal memberi penghargaan berdasarkan pelayanan mereka, bukan berdasarkan kekayaan ataupun sumbangan finansial mereka kepada gereja.

"Bukanlah dosa menjadi miskin atau kaya, tetapi sebuah ukuran pengalaman Kristiani kita ialah bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang berbeda dari kita dalam hal usia, kekayaan, pendidikan, dan bahkan keyakinan agama. Kita cenderung memberi penghargaam lebih kepada mereka yang kita anggap 'di atas' kita dalam hierarki sosial dan kurang menghargai mereka yang 'di bawah.' Kita harus ingat bahwa adalah mudah untuk terbawa ke dalam kebiasaan meskipun Allah menyerukan kita untuk berbeda (baca Rm. 12:2)" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang nasihat untuk tidak memandang muka?
1. Terkadang tanda sadar kita bisa membuat suasana gereja lebih buruk dari bioskop atau arena pertunjukan berbayar yang memperlakukan penonton berdasarkan karcis, bukan pakaian yang dikenakannya. Sebab di tempat-tempat itu siapa yang bayar lebih mahal berhak duduk di kursi dan tempat yang lebih nyaman, tapi di gereja sama-sama tidak bayar saja dibeda-bedakan.
2. Seseorang pernah berkata: "Saya masuk ke dalam dunia, saya melihat gereja di dalamnya. Lalu saya masuk ke dalam gereja, saya melihat dunia di dalamnya." Gereja memang tak dapat dipisahkan dari masyarakat, dan seringkali nilai-nilai dari masyarakat luas menyusup sampai ke dalam gereja sehingga terjadilah apa yang disebut "sekularisasi."
3. Salah satu gejala sekularisasi yang semakin merebak di dalam gereja belakangan ini (mudah-mudahan saya salah!), ialah yang menyangkut keuangan. Ada kesan bahwa kebiasaan "memperkaya diri" bukan hanya terjadi di luar sana, tapi juga sudah menjadi "nilai-nilai masyarakat" yang teradopsi ke dalam.

Senin, 27 Oktober
FENOMENA KAYA-MISKIN (Pertentangan Golongan)

Siapa menindas siapa. Warren Buffet, investor Amerika yang pernah dinobatkan sebagai orang terkaya di dunia, pernah berkata: "Memang ada perang golongan sosial, tapi itu golongan saya, kelas orang kaya yang menciptakan peperangan itu, dan kami menang." Walaupun mahakaya, dia juga seorang dermawan (filantropis) yang telah berikrar untuk menggunakan 99 persen dari keuntungan bisnisnya untuk program kemanusiaan melalui Gates Foundation, sebuah yayasan amal yang didirikan dan dikelola oleh pasangan suami-istri kaya raya lainnya, Bill dan Melinda Gates. Tetapi konglomerat dunia yang dijuluki "Orang Bijak dari Omaha" ini (perusahaannya, Berkshire Hathaway Inc., berpusat di kota Omaha, Nebraska), ternyata seorang taipan yang sangat pelit pada diri sendiri dan terhadap keluarganya.

Sementara banyak di antara orang-orang yang sangat kaya menaruh kepedulian pada kaum miskin, penindasan terhadap orang miskin lebih sering datang dari kalangan orang-orang yang "setengah kaya" (golongan menengah). Tampaknya rasul Yakobus punya masalah dengan kelompok ini yang banyak terdapat di antara jemaat pada zamannya. "Dengarkanlah, hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia? Tetapi kamu telah menghinakan orang-orang miskin. Bukankah justru orang-orang kaya yang menindas kamu dan yang menyeret kamu ke pengadilan?" (Yak. 2:5-6; huruf miring ditambahkan). Perhatikan, Yakobus tidak sedang menasihati golongan kaya raya yang berada di luar gereja, dan juga tidak menasihati golongan miskin yang ada di dalam gereja. Dia sedang menasihati "kamu-kamu" yang suka menghina orang-orang miskin, padahal "kamu-kamu" itu sendiri tertindas oleh orang-orang kaya raya yang jauh lebih berkuasa.

"Menilai dari ayat-ayat ini, kelihatannya bahwa ada masalah-masalah utama di dalam gereja antara orang kaya dan orang miskin. Allah memilih orang miskin yang meskipun ditolak dunia tapi 'kaya dalam iman,' sementara orang kaya menggunakan kekayaan mereka untuk 'menindas' orang miskin. Masalah ini, yakni tentang orang kaya yang memeras orang miskin, merupakan kenyataan yang selalu terjadi pada masa itu. Lebih buruk lagi, undang-undang Romawi mengatur diskriminasi terhadap orang miskin dan membela orang kaya" [alinea kedua].

Menghujat nama Tuhan. Sebenarnya, tidak ada masalah dengan kekayaan. Sebagai alat, kekayaan itu bersifat netral, tergantung pada bagaimana seseorang menggunakannya. Seperti halnya sebilah pisau dapur, di tangan seorang koki pisau itu adalah alat yang berguna untuk membantunya menghasilkan santapan yang lezat dan menyehatkan, tetapi di tangan seorang pembunuh pisau dapur itu adalah alat yang dapat mencelakakan orang lain dan diri sendiri. Kekayaan bisa menjadi masalah apabila itu dijadikan sebagai tujuan, apalagi jika terobsesi dengan kekayaan itu, sehingga seseorang akan menggunakan segala cara untuk mendapatkannya. Kekayaan sangat berguna bagi kehidupan manusia, atau sebaliknya menjadi bencana, itu ditentukan oleh konsep dan pandangan kita mengenai kekayaan itu.

Kitabsuci mempunyai pandangan tersendiri mengenai kekayaan, dalam hal ini termasuk uang. "Berkata Tuhanlah yang menjadikan kaya," kata Salomo, "susah payah tidak menambahinya" (Ams. 10:22). Pada kesempatan lain dia juga berkata, "Percuma saja bekerja keras mencari nafkah, bangun pagi-pagi dan tidur larut malam; sebab Tuhan menyediakannya bagi mereka yang dikasihi-Nya, sementara mereka sedang tidur" (Mzm. 127:2, BIMK). Umat Tuhan tidak perlu mengejar uang atau ambisius terhadap kekayaan, "Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka" (1Tim. 6:10). Sementara menjadi kaya itu tidak salah, bagaimana seorang Kristen memburu kekayaan itulah yang berdampak pada nama baiknya sendiri dan terutama nama baik gereja dan Kristus.

"Perilaku buruk mereka benar-benar sebuah hujatan terhadap 'nama baik' Yesus. Tindakan-tindakan yang buruk itu memang sudah cukup buruk, tetapi menjadi lebih buruk lagi ketika orang-orang yang mengakui nama Yesus  yang melakukannya. Bahkan semakin jahat lagi mereka yang di dalam nama Yesus menggunakan kekayaan atau kekuasaan mereka untuk mendapatkan keuntungan atas orang-orang lain di dalam gereja yang seringkali membawa kepada perpecahan dan pertengkaran. Karena itu, betapa kita harus berhati-hati supaya perkataan dan tindakan kita selaras dengan 'nama baik' terhadap mana kita terkait" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang hubungan Kristiani antara orang kaya dan orang miskin menurut Yakobus?
1. Nasihat rasul Yakobus ditujukan khususnya ditujukan kepada "orang-orang kaya" di dalam gereja, bukan kepada para konglomerat di luar sana. Tidak ada tindakan penindasan yang lebih jahat di atas bumi ini daripada "penindasan" yang dilakukan oleh sesama umat percaya di dalam persekutuan jemaat atau dalam pekerjaan Tuhan.
2. Konsep alkitabiah tentang kekayaan ialah bahwa itu semata-mata pemberian Allah kepada orang-orang tertentu yang dikasihi-Nya, jadi kekayaan adalah berkat surgawi untuk  kehidupan duniawi. Meskipun begitu orang Kristen tidak percaya bahwa keberuntungan seseorang adalah karena takdir, apalagi karena suratan "garis tangan."
3. Salah satu perilaku buruk yang merusak nama baik gereja dan Kristus adalah perbuatan korupsi dalam segala bentuk dan manifestasinya. Korupsi itu sendiri adalah perbuatan kejahatan sehingga dikutuki dunia, korupsi yang dilakukan oleh orang Kristen adalah kejahatan yang dikutuki Tuhan, baik di luar maupun di dalam gereja.

Selasa, 28 Oktober
KEPEDULIAN PADA ORANG MISKIN DAN MALANG (Kasihilah Sesamamu)

Hukum Kerajaan. Rasul Yakobus melanjutkan suratnya, "Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: 'Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,' kamu berbuat baik" (Yak. 2:8; huruf miring ditambahkan). Perhatikan, sang rasul menyebut "Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri" itu sebagai "hukum utama." Kata Grika yang diterjemahkan dengan "utama" dalam ayat ini adalah basilikos, sebuah kata sifat yang berhubungan dengan raja atau kerajaan. (Strong; G937). Alkitab versi Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK) menerjemahkan frase basilikos nomos ini dengan "hukum Kerajaan" seperti yang juga digunakan dalam versi King James, royal law.

Dalam hal ini Yakobus tidak menciptakan hukum baru, melainkan mempertegas hukum yang sudah tercantum dalam Hukum Musa atau Torah (Im. 19:18), dan yang telah dikutip oleh Yesus Kristus dalam pengajaran-Nya (Mat. 22:39). Sang rasul menyatakan bahwa mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri--dalam konteks ini: mengasihi orang miskin--sama dengan menjalankan "hukum Kerajaan" atau hukum utama, dan hal itu adalah perbuatan yang "baik" (Grika: kalōs, juga berarti mulia). Jadi, mengasihi orang-orang miskin seperti mencintai diri sendiri adalah pengamalan nyata dari hukum Kerajaan, dan itu adalah perbuatan mulia.

"Yakobus menyebut hukum Allah sebagai 'hukum Kerajaan' (Yak. 2:8, BIMK) oleh karena itu adalah hukum 'RAJA SEGALA RAJA' (Why. 19:16). Hukum kerajaan-Nya diberikan secara rinci dalam Khotbah di Atas Bukit (Matius 5-7) yang mencakup hal pertama dari sembilan rujukan dalam Perjanjian Baru tentang mengasihi sesama kita manusia" [alinea pertama].

Dosa pilih kasih. Setelah mendorong pembacanya untuk mengamalkan hukum Kerajaan itu, dan memuji mereka yang menjalankannya adalah melakukan perbuatan yang mulia, sang rasul kemudian mengingatkan mereka: "Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran" (Yak. 2:9; huruf miring ditambahkan). Kata Grika untuk "memandang muka" dalam ayat ini adalah prosōpolēmpteō, sebuah kata kerja yang artinya "menghormati orang-orang" yang dalam konteks ini sifatnya "berdasarkan penampilan luar" (Strong; G4380). Jadi, kalau kita mengasihi orang lain dengan cara "memandang muka" (=diskriminatif atau parsial) maka pada hakikatnya hal itu adalah "berbuat dosa" karena merupakan "pelanggaran" terhadap hukum Kerajaan itu.

Kita melihat dalam kedua ayat ini konsep "dosa perbuatan" (sin of commission) diterapkan secara bersamaan dengan "dosa kelalaian" (sin of omission). Pada ayat 8, Yakobus menegaskan bahwa sebagai umat percaya orang Kristen harus mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri sebagai pengejawantahan dari hukum Kerajaan Allah, tidak melakukan hal itu berarti dosa. Sebaliknya pada ayat 9, sang rasul mengingatkan bahwa mengasihi sesama manusia secara diskriminatif, khususnya dengan cara mengabaikan orang-orang miskin, itu juga berarti berbuat dosa.

Ayat-ayat permulaan dari pasal dua ini, khusus ayat 2 dan 3, orang "miskin" (Grika: ptōchos), dapat juga diartikan sebagai orang yang "malang" bukan hanya karena kemiskinan tapi juga akibat kekurangan-kekurangan mereka sehingga tergolong ke dalam kelompok yang terpinggirkan di dalam jemaat, khususnya oleh sebab dosa mereka. "Dosa adalah yang terbesar dari segala kejahatan, dan kitalah yang harus mengasihani dan menolong orang berdosa. Banyak orang yang berbuat salah, dan yang merasa malu serta bodoh. Mereka itu lapar akan kata-kata dorongan semangat. Mereka memandang pada kesalahan dan kekhilafan mereka, sampai mereka hampir putus asa. Janganlah kiranya kita mengabaikan jiwa-jiwa ini" [alinea keempat: lima kalimat pertama].

Apa yang kita pelajari tentang perintah untuk mengasihi sesama manusia sebagai hukum Kerajaan?
1. Rasul Yohanes menulis, "Orang yang tidak mengasihi, tidak mengenal Allah; sebab Allah adalah kasih" (1Yoh. 4:8). Kasih itu bukan sekadar ciri dari Kekristenan, tetapi kasih adalah "keadaan" dari Allah itu sendiri. Jadi, kalau kita tidak mengasihi sesama manusia maka kita tidak saja dicap bukan orang Kristen tapi bahkan tidak mengenal Allah.
2. Karena sifat dan keadaan Allah adalah kasih, maka kasih itu menjadi "hukum utama" di dalam Kerajaan-Nya. Kasih Allah itu adalah asas ilahi yang sifatnya aktif dan praktis, bahkan kasih itulah tenaga pendorong yang membuat Allah bertindak secara proaktif. Itulah sebabnya, "Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa" (Rm. 5:8).
3. Mengasihi sesama manusia harus diwujudkan dalam tindakan yang adil dan tidak diskriminatif terhadap setiap orang, siapapun dia. Sebab kalau anda tidak mengasihi sesama itu berarti anda berdosa, dan jika anda mengasihi dengan cara memandang muka maka anda pun berdosa. Jadi, kita hanya punya satu pilihan: mengasihi sesama tanpa pandang buluh.

Rabu, 29 Oktober
KETAATAN BERDASARKAN KOMITMEN (Seluruh Hukum Itu)

Hukum terpenting. Bukan saja hukum Allah memerintahkan agar kita mengasihi sesama manusia tanpa diskriminasi, tetapi dalam hal penurutan terhadap hukum-hukum Allah itupun tidak boleh ada diskriminasi atau penurutan secara parsial. Rasul Yakobus menulis, "Orang yang melanggar salah satu dari hukum-hukum Allah, berarti melanggar seluruhnya" (Yak. 2:10, BIMK). Alasan yang dikemukakannya ialah karena Sumber dari hukum-hukum itu adalah Satu, yaitu Allah sendiri. "Sebab yang berkata, 'Jangan berzinah,' dialah juga yang berkata, 'Jangan membunuh.' Jadi, kalau kalian tidak berzinah, tetapi membunuh, maka kalian adalah pelanggar hukum juga," lanjutnya (ay. 11, BIMK). Dengan kata lain, melanggar satu hukum itu sama dengan melanggar semuanya. Mengapa? Karena Hukum Allah itu merupakan satu kesatuan yang utuh.

Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi juga mempraktikkan penurutan hukum Allah secara parsial sehingga Yesus menyebut mereka sebagai "orang-orang munafik." Setidaknya, para pemuka agama itu hanya mengamalkan hukum secara periferal (kulitnya saja) dan tidak bersifat esensial (intinya). "Sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan" (Mat. 23:23; huruf miring ditambahkan).

"Pertanyaan yang diajukan kepada Yesus tentang manakah hukum paling penting (mat. 22:36) mungkin dimaksudkan untuk menjebak Dia. Tetapi meskipun Yesus tampaknya telah menegaskan bahwa setiap 'iota' (huruf terkecil dalam aksara Ibrani; Mat. 5:18) adalah penting, Ia juga mengajarkan bahwa kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia merupakan perintah-perintah yang paling penting karena pada kedua hukum inilah terangkum semua hukum yang lain" [alinea kedua].

Hukum kasih. Esensi dari hukum Allah adalah kasih, dan kasih itu menyangkut hubungan emosional. Anda tidak dapat mengasihi Allah "dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu" sambil mengasihi "sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:37, 39) kalau anda tidak memiliki hubungan emosional dengan Tuhan dan dengan orang lain. Hubungan emosional ini tidak tercipta secara sekilas seperti halnya cinta pada pandangan pertama di antara dua insan, melainkan suatu hubungan emosional yang didasarkan pada kasih ilahi yang bertumbuh-kembang dalam suatu masa tertentu. Kasih kita terhadap Allah terbentuk dari kesadaran bahwa Allah telah mengasihi kita, dan kasih kita kepada sesama manusia terbangun atas kesadaran bahwa semua manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang saling membutuhkan antara satu sama lain.

Dalam kaitannya dengan penurutan hukum Allah, secara individual dan keseluruhan dari hukum moral itu, kita hanya dapat melakukannya kalau hubungan emosional kita dengan Tuhan tercipta dan terpelihara dengan baik. Anda tidak ingin menuruti hukum Allah kalau anda tidak mengasihi-Nya, bukan? Dengan demikian, anda juga tidak akan mau melayani Tuhan dengan segenap jiwa dan raga, apalagi mencintai sesama manusia dengan pengorbanan diri. Hukum Allah disebut "hukum kasih" karena hukum itu dibuat berdasarkan kasih Allah kepada manusia di satu pihak, dan hukum kasih itu akan berfungsi serta memenuhi sasarannya kalau dilaksanakan dengan kasih juga di pihak lain. Penurutan hukum Allah tidak terjadi dalam kehampaan, tapi dalam hati dan pikiran yang dipenuhi dengan rasa kasih.

"Jadi, ini bukan soal berbuat cukup banyak kebaikan supaya melebihi perbuatan-perbuatan buruk kita. Itu adalah penurutan dalam kehampaan, berbuat seolah-olah semua itu berkisar di sekeliling kita. Gantinya, oleh pengenalan akan Yesus, kita mulai mengarahkan perhatian kita jauh dari diri kita sendiri lalu mengarahkannya kepada pengabdian pada Allah dan pelayanan kepada orang-orang lain" [alinea keempat: tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang kewajiban penurutan hukum secara utuh?
1. Keutuhan hukum Allah dapat diumpamakan seperti sebuah gelang rantai yang jika salah satu mata rantai putus maka untaian rantai itupun bukan lagi sebuah gelang. Tidak ada satu hukum yang lebih besar dari hukum yang lain, dan kesempurnaan hukum itu menuntut kita untuk menaatinya juga secara sempurna dalam keutuhannya.
2. Penurutan pada hukum Allah menuntut ketaatan yang radikal. Radikalisme ketaatan pada hukum Allah itu meliputi penurutan kualitatif maupun kuantitatif. Artinya, masing-masing dari keseluruhan hukum itu harus ditaati menurut standar ilahi yang tinggi dan luas, bukan penurutan berdasarkan kemampuan manusiawi yang rendah dan sempit.
3. Keberhasilan dalam penurutan terhadap hukum Allah secara utuh dan bermutu menuntut suatu komitmen pribadi, dan didorong oleh motivasi untuk mengasihi Allah dengan segenap hati serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Komitmen yang tinggi dan motivasi yang besar niscaya akan memudahkan kita untuk menaati setiap hukum itu.

Kamis, 30 Oktober
HUKUM YANG MEMERDEKAKAN (Dihakimi oleh Hukum)

Dihakimi untuk dibebaskan. Dalam prinsip hukum sekuler seorang terdakwa diperiksa untuk membuktikan apakah dia bersalah atau tidak; kalau bersalah dihukum dan kalau tidak bersalah dibebaskan demi hukum. Semuanya bergantung pada hasil pemeriksaan yang diperkuat dengan bukti-bukti, dan kesimpulan dari hakim atau majelis hakim. Berbeda dengan itu, dalam prinsip hukum ilahi seorang berdosa--yaitu terdakwa yang sudah pasti bersalah--diperiksa untuk membuktikan apakah dosa-dosanya sudah mendapat pengampunan melalui darah Yesus atau tidak; kalau sudah diampuni berarti dia selamat tetapi kalau belum berarti dia binasa.

Karena itu Yakobus mengingatkan pembacanya: "Berkatalah dan berlakulah seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh hukum yang memerdekakan orang. Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman" (Yak. 2:12-13; huruf miring ditambahkan). Sepertinya pernyataan ini mengandung paradoks (=lawan asas), sebab bagaimana hukum yang dibuat untuk ditaati tetapi pada akhirnya hukum itu pula yang "memerdekakan" manusia? Tapi inilah keajaiban dari hukum Allah, sementara hukum itu tidak bisa menyelamatkan (Gal. 2:16) tetapi hukum itu dapat memerdekakan manusia.

"Tidak ada yang lebih jelas daripada pengajaran bahwa kita akan dihakimi oleh hukum berdasarkan pada apa yang telah kita lakukan, apakah itu baik atau jahat. Pada waktu yang sama juga Alkitab pun jelas bahwa melalui iman kepada Yesus kita dibungkus oleh kebenaran-Nya...Ini meliputi dua aspek yang perlu: pengampunan (pembenaran) dan penurutan (penyucian)" [alinea pertama; alinea kedua: kalimat pertama].

Belas kasihan. Kita menemukan keterangan tambahan tentang prosedur pengampunan itu dari tulisan rasul Paulus ini: "Sekarang tidak ada lagi penghukuman terhadap mereka yang hidup bersatu dengan Kristus Yesus. Sebab hukum Roh Allah yang membuat kita hidup bersatu dengan Kristus Yesus sudah membebaskan kita dari hukum yang menyebabkan dosa dan kematian" (Rm. 8:1-2, BIMK; huruf miring ditambahkan). Rasul Yakobus menyebut tindakan Kristus membebaskan manusia dari tuntutan hukum itu sebagai belas kasihan"Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman" (Yak. 2:13; huruf miring ditambahkan).

"Kalau kita memikirkannya terlalu jauh, kita bisa menjadi begitu ketakutan mengenai penghakiman itu sehingga kita akan menyerah dalam keputusasaan. Tetapi bukan itu yang dimaksudkan dengan 'takut akan Allah...karena telah tiba saat penghakiman-Nya' (Why. 14:7). Sebaliknya, kita harus selalu percaya pada kebenaran Yesus yang jasa-jasa-Nya saja menjadi satu-satunya pengharapan kita pada penghakiman itu. Adalah kasih kita kepada Allah, yang sudah menyelamatkan kita oleh kebenaran-Nya, yang harus memacu kita untuk melakukan segala sesuatu yang Ia minta untuk kita lakukan" [alinea keempat].

Pena inspirasi menulis: "Hukum Allah, menurut sifat dasarnya, itu tidak berubah. Itu adalah manifestasi dari kehendak dan tabiat Penciptanya. Allah itu kasih, dan hukum-Nya itu kasih. Dua prinsip agung dari hukum itu adalah kasih kepada Allah dan kepada manusia. 'Kasih adalah kegenapan hukum' (Rm. 13:10). Tabiat Allah ialah keadilan dan kebenaran, dan itulah sifat dari hukum-Nya...Dan hukum ini merupakan standar oleh mana kehidupan dan tabiat manusia akan diuji pada penghakiman" (Ellen G. White, The Watchman, 10 Oktober 1905).

Apa yang kita pelajari tentang dihakimi oleh hukum yang memerdekakan?
1. Hukum apa saja diciptakan untuk ditaati sesuai dengan maksud serta sasarannya, dan setiap hukum mengandung juga sangsi hukum untuk memberi daya paksa. Tetapi dalam hukum Allah sangsi bukanlah sebagai daya paksa supaya hukum itu ditaati, melainkan kasih. Allah ingin agar hukum-hukum-Nya ditaati berdasarkan kasih.
2. Keadilan dari hukum Allah yang memerdekakan manusia terletak pada belas kasihan Allah. Tetapi belas kasihan itu diberikan secara bersyarat, yaitu hanya kepada mereka yang juga mempraktikkan belas kasihan terhadap sesamanya. Seperti kata Yesus, "Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi..." (Mat. 7:2).
3. Belas kasihan yang murni hanya berasal dari Allah, diberikan kepada manusia melalui Yesus Kristus dan kemudian ditularkan kepada para pengikut-Nya untuk dipraktikkan terhadap sesamanya. Jadi, hakikat dari Kekristenan adalah belas kasihan. Orang Kristen tanpa rasa belas kasihan adalah seperti garam yang kehilangan rasa asinnya (Mat. 5:13).

Jumat, 31 Oktober
PENUTUP

Meninggikan nama Allah. Banyak orang berusaha mencari tahu siapa "nama" Allah yang sebenarnya. Musa juga mempertanyakanya ketika nabi besar itu diperintahkan kembali ke Mesir menemui bangsa Israel yang tengah menderita di negeri perbudakan itu (Kel. 3:13). "Beginilah kau katakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu" (ay. 14). Tentu saja Allah tidak memerlukan sebuah nama spesifik seperti anda dan saya sebagai identitas, sebab tidak ada Allah lain di seantero alam semesta ini. Melalui nabi Yesaya, Allah menegaskan: "Aku ini Tuhan, itulah nama-Ku" (Yes. 42:8). Dalam aksara Ibrani nama "Allah" tertulis dalam empat huruf mati atau konsonan sehingga tak bisa diucapkan, יהוה (dalam huruf Latin: YHWH), sebuah rangkaian empat huruf yang disebut Tetragrammaton. Kata itu kemudian ditransliterasikan menjadi Yahweh dan diterjemahkan menjadi Yehovah.

Sesungguhnya, nama Allah menunjukkan tabiat dan kuasa-Nya. Jadi, ketika rasul Yakobus berbicara mengenai orang-orang kaya raya di luar sana itu menghujat "Nama yang mulia, yang oleh-Nya kamu menjadi milik Allah" (Yak. 2:7), dia sedang bertutur tentang "tabiat Allah" yang melekat pada orang-orang Kristen sebagai jatidiri mereka. Adalah ironis sekali kalau justeru orang Kristen sendiri yang mencemarkan "nama Allah" yang tersandang di pundak mereka itu akibat tindakan-tindakan yang tidak terpuji, gantinya menjunjung tinggi nama Tuhan melalui perbuatan kebajikan dan beasl kasihan yang dituntut dari mereka.

"Allah telah mengakui anda di hadapan manusia dan malaikat-malaikat sebagai anak-Nya; berdoalah agar anda tidak mencemarkan 'Nama yang mulia, yang oleh-Nya kamu menjadi milik Allah' Yak. 2:7. Allah mengutus anda ke dunia sebagai wakil-Nya. Dalam setiap tindakan hidup anda harus menyatakan nama Allah itu" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].

"Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian" (Kol. 3:12-13).

(Oleh Loddy Lintong/California, 30 Oktober 2014)

Jumat, 24 Oktober 2014

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA KE IV ,25 OKTOBER 2014: "MENJADI ORANG KRISTEN YANG KONSEKUEN"




Sabat Petang, 18 Oktober
PENDAHULUAN

Percaya dan lakukan. Jean François Gravelet (1824-1897) adalah seorang funambulist tersohor asal Prancis yang beberapa kali sukses melakukan pertunjukan akrobatik berjalan pada seutas tali kawat yang membentang di atas air terjun raksasa Niagara Falls yang terletak di perbatasan Amerika Serikat dan Kanada. [Tampaknya terjadi kesalahan penulisan nama dalam PSSD edisi bahasa Indonesia, sebab William Niblo sebenarnya adalah nama promotornya.] Sejak pindah ke AS pada tahun 1851, akrobatikawan asal Prancis ini kemudian menggunamakan nama panggung Charles Blondin yang karena setumpuk prestasinya itu kemudian dijuluki sebagai "Si Blondin yang Hebat" (nama itu cocok dengan rambutnya yang berwarna pirang). Pertunjukan spektakulernya termasuk melintasi Niagara Falls pada ketinggian sekitar 50 meter dengan mata tertutup sejauh lebih dari 350 meter, mengangkut kompor gas dan memasak telor mata sapi, juga memanggul manajernya sambil berjalan pada seutas tali di hadapan lebih dari 25.000 penonton dari berbagai tempat. Sepanjang karirnya dia telah melakukan 17 kali penyeberangan serupa di atas air terjun yang sama tapi pada titik-titik yang berbeda.

Dalam pertunjukkannya pada bulan September 1860, setelah berhasil berjalan melintasi tali kawat sambil memanggul seorang asistennya, si "penantang maut" mengambil sebuah kereta dorong pengangkut barang kemudian menghampiri tempat duduk Pangeran Wales dari Inggris yang berada di antara ribuan penonton. "Yang Mulia, apakah anda percaya kalau saya dapat membawa seseorang duduk di atas kereta dorong ini dan melintasi air terjun itu dengan selamat?" tanya Blondin kepada sang pangeran yang langsung menjawab, "Ya." Lalu, dengan nada suara dan gerakan tubuh penuh hormat, dia pun berkata lagi: "Kalau begitu, apakah Yang Mulia bersedia saya seberangkan sambil duduk di atas kereta dorong ini?" Bukan saja menampik tawaran gila itu, sang pangeran juga meminta agar dia berhenti melakukan pertunjukkan seperti itu lagi, sebuah permintaan yang balik ditampik oleh Blondin.

Percaya dan berbuat, atau mengakui dan menerima, adalah dua hal yang berbeda. Contohnya, anda mungkin percaya apa kata dokter, tapi belum tentu anda berbuat seperti apa yang diadviskannya. Atau, anda boleh saja mengakui kebenaran firman Tuhan, tapi belum tentu anda mau menerima kebenaran yang anda akui itu. Manusia acapkali menggunakan "standar ganda" terhadap banyak hal, dan biasanya hal itu karena berbagai "pertimbangan" sehingga tidak bisa bersikap konsekuen. Seringkali kita tidak bisa mengelak untuk percaya dan mengakui suatu kebenaran oleh karena ada bukti yang tak terbantahkan, tetapi kita tidak merasa wajib untuk menerima kebenaran itu. Sang pangeran tidak bisa sangkal bukti yang disaksikannya sendiri tentang kemampuan Blondin berjalan di atas tali itu sambil mengangkut barang atau orang, tapi untuk menerima ajakan itu dengan mempertaruhkan nyawa adalah hal yang terlalu mengerikan. Tidak selamanya mudah untuk menerima sesuatu yang kita percayai.

"Tentu saja, persoalannya ialah bahwa mendengar dan melihat tidaklah cukup apabila berbicara mengenai hubungan dengan Allah. Bisa saja kita secara akal yakin tentang adanya Allah, kebenaran injil, dan Kedatangan Yesus kedua kali. Bahkan kita mungkin sudah melihat sendiri kenyataan dari kasih dan pemeliharaan Allah. Namun, meski dengan itu semua kita bisa saja tidak sungguh-sungguh siap untuk menyerahkan diri sepenuhnya ke dalam tangan-Nya, sebuah tindakan yang akan terbukti melalui perbuatan-perbuatan kita. Inilah tepatnya mengapa Yakobus menekankan pentingnya menjadi pelaku Firman itu, bukan sekadar pendengar" [alinea kedua].

Minggu, 19 Oktober
MENJADI PELAKU FIRMAN (Mengenal Musuhmu)

Musuh terbesar. Dalam sebuah acara pemuda di gereja kami, pada suatu Sabat sore menjelang tutup tahun setengah abad silam, pemimpin PA mengadakan sebuah kejutan di penghujung acara. Bersamaan dengan terbukanya pintu di bagian depan ruang perbaktian masuklah empat pemuda yang mengangkut sebuah peti jenazah di atas pundak mereka. Di depan mimbar peti jenazah itu diturunkan perlahan-lahan lalu diletakkan pada dudukan yang sudah tersedia kemudian tutupnya dibuka dan disandarkan ke tembok. Di tengah kebingungan seluruh hadirin, pemimpin meminta semuanya berjalan ke depan melewati sisi peti jenazah itu. "Saudara-saudara, hari ini kita akan melihat musuh kita semua yang seharusnya sudah lama mati," katanya. Setiap orang diberi waktu tiga detik untuk melihat ke dalam peti jenazah tanpa boleh mengeluarkan sepatah katapun. Dengan diliputi rasa ingin tahu masing-masing maju dengan tertib, hanya untuk melihat wajah sendiri di cermin besar dalam peti itu.

Kekristenan dianggap oleh banyak orang sebagai agama yang "aneh" karena mengajarkan tentang mati bagi diri sendiri. Sementara dunia mengajarkan keagungan pribadi, orang Kristen diajar untuk menyangkal diri dan mengalahkan diri sendiri. Kita mempelajari Firman Tuhan, khususnya Hukum Allah, dan menjadikannya sebagai cermin dengan apa kita memeriksa keadaan diri kita yang sebenarnya secara rohani. Tetapi mempelajari maupun mendengarkan Firman Tuhan tidak ada artinya kalau kita tidak melakukan apa yang Firman itu ajarkan. "Orang yang mendengar perkataan Allah tetapi tidak melakukannya adalah seperti orang yang sedang melihat mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Sesudah ia memperhatikannya baik-baik, ia pun pergi dan langsung melupakan bagaimana rupa mukanya itu. Hukum Allah sempurna dan mempunyai kekuatan untuk memerdekakan manusia. Dan orang yang menyelidiki dan memperhatikan baik-baik serta melakukan hukum-hukum itu, dan bukannya mendengar saja lalu melupakannya, orang itu akan diberkati Allah dalam setiap hal yang dilakukannya" (Yak. 1:23-25, BIMK).

Dengan menulis nasihat ini sebenarnya Yakobus menggemakan kembali apa yang Yesus ajarkan dalam Khotbah di Atas Bukit sekitar dua dasawarsa sebelumnya: "Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu...Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir" (Mat. 7:24, 26). Sebagai cermin, Firman dan Hukum Allah berguna untuk menyempurnakan penampilan rohani kita di hadapan Tuhan. "Sementara tidak ada salahnya dengan berusaha menjadi yang terbaik, banyak orang menghabiskan waktu dan uang yang besar jumlahnya untuk memperbaiki penampilan mereka. Tetapi kita perlu memastikan bahwa kita tidak menipu diri sendiri. Yakobus mengatakan kita perlu mendapatkan pandangan yang lebih baik mengenai diri kita sendiri, tidak peduli seberapa besar kita mungkin tidak menyukai apa yang kita lihat itu" [alinea kedua].

Bahaya percaya diri. Pemuda kaya yang datang kepada Yesus untuk bertanya soal keselamatan (Mat. 19:16-22) dan Petrus yang berani bersumpah tidak akan meninggalkan Yesus (Mat. 26:33-35) mempunyai persamaan, yaitu sama-sama memperlihatkan kesungguhan. Serius. Menurut Lukas, pemuda kaya itu adalah juga seorang pemimpin (Luk. 18:18), dan dia datang sambil berlari-lari dan bertelut di hadapan Yesus (Mrk. 10:17). Berbeda dengan Nikodemus, juga seorang pemimpin muda dan kaya yang datang menemui Yesus pada tengah malam buta untuk menghindari perhatian orang banyak, pemuda yang tidak disebutkan namanya ini menemui Yesus pada siang hari dengan cara yang sangat demonstratif dan tanpa menghiraukan suasana sekitar. Petrus juga demonstratif ketika dia sesumbar berkata kepada Yesus, "Biarpun mereka semua terguncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak...Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau" (Mat. 26:33, 35). Tetapi kita lihat, lebih gampang membuat pernyataan daripada merealisasikan pernyataan itu.

"Petrus, seperti juga orang muda itu, mempunyai gambaran yang menyimpang tentang dirinya. Dengan rasa percaya diri dia meramalkan bahwa sekalipun semua orang yang lain tersandung dan jatuh, dia akan tetap setia--bahkan sekalipun itu berarti kehilangan nyawa. Tetapi tidak ada dari keduanya yang menyadari betapa kuatnya dosa memegang dia dalam cengkeraman. Keduanya menipu diri sendiri tentang keadaan rohani mereka yang sebenarnya. Namun, Petrus akhirnya bertobat. Sejauh yang kita ketahui, pemimpin muda yang kaya itu tidak" [alinea terakhir].

Kembali ke soal cermin, hampir semua orang menggunakannya setiap hari terutama mereka yang hidup di kota. Cermin dapat digunakan ketika berdandan di rumah, tapi cermin sebagai kaca spion juga berguna untuk "memata-matai" keadaan di sekitar kita bila sedang mengemudikan kendaraan di jalan raya. Dalam hal Firman Tuhan sebagai cermin itu bisa kita gunakan untuk menyelidiki keadaan rohani pribadi, ataupun digunakan dalam "memata-matai" keadaan rohani orang lain untuk mencari kesalahan. Terpulang kepada kita masing-masing, apakah hendak menjadikan Firman Tuhan itu sebagai "cermin rohani" bagi diri sendiri atau sebagai "kaca spion" untuk menghakimi orang lain.

Apa yang kita pelajari tentang Firman Tuhan sebagai cermin?
1. Tidak menjadi patokan seberapa rajin anda membaca Alkitab dan mempelajari pelajaran Sekolah Sabat, atau setekun apa anda mendengarkan khotbah setiap hari Sabat, kalau tidak mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari maka semua Firman Tuhan itu hanya akan terdengar seperti lantunan musik yang indah untuk dinikmati, dan kemudian berlalu begitu saja.
2. Banyak orang Kristen yang tertipu dengan pandangannya sendiri mengenai keadaan kerohaniannya, seolah-olah sudah sempurna seperti perasaan pemimpin muda yang kaya itu atau seperti Petrus yang merasa dirinya kuat dan imannya teguh. "Sebab itu siapa yang menyangka bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (1Kor. 10:12).
3. Musuh yang paling sulit untuk dikalahkan adalah diri sendiri, sebab musuh itu mengenali dengan baik kekuatan maupun kelemahan kita. Satu-satunya cara untuk menang atas diri sendiri adalah dengan cara membiarkan ego kita kelaparan dan mati lemas. Sebab tiap kali anda membanggakan diri, anda memberi makan ego anda sendiri yang akan membuatnya bertambah kuat.

Senin, 20 Oktober
MENGHAYATI FIRMAN TUHAN (Menjadi Pelaku)

Menjadi dan melakukan. Ada beberapa cara untuk mempelajari Firman Tuhan, termasuk membaca langsung dari Kitabsuci atau mendengar Firman itu diajarkan atau dikhotbahkan. Saya teringat pada tahun 1960-an ketika radio transistor bertenaga batere (DC) buatan dalam negeri baru dipasarkan dan menjadi "gadget" kebanggaan karena dapat dibawa ke mana-mana, banyak orang di kampung saya yang pada hari Minggu pagi pergi ke kebun sambil mengikuti acara kebaktian dari gereja GMIM yang disiarkan melalui radio. Mereka berdalih bahwa tanpa harus ke gereja pun tetap bisa mendengar firman Tuhan dikhotbahkan oleh pendeta yang dapat ditangkap melalui radio transistor portable itu. Sekarang kita bisa melakukan hal serupa dengan teknologi yang jauh lebih canggih, mengikuti kebaktian lewat siaran langsung (live streaming) yang dipancarkan melalui internet sambil bersantai di rumah atau berekreasi di tepi pantai. Bahkan ada aplikasi pada ponsel cerdas atau komputer tablet yang dapat membacakan Alkitab untuk anda kalau sedang sibuk atau malas membacanya sendiri.

Sementara untuk mendengar Firman Tuhan dapat dilakukan dengan banyak cara yang mudah, rasul Yakobus menulis, "Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri" (Yak. 1:22; huruf miring ditambahkan). Jadi, masalahnya bukan dengan cara apa kita mendengarkan Firman itu, tetapi apakah kita melakukannya atau tidak. Kata Grika yang diterjemahkan dengan "pelaku" pada ayat ini adalah poiētēs, sebuah kata benda maskulin yang juga berarti "seorang yang menaati atau menggenapi hukum" (Strong; G4163). Sedangkan "menipu" di sini berasal dari kata Grika paralogizomai, kata kerja yang artinya "menipu dengan penalaran yang palsu" (Strong; G3884). Menjadi pelaku firman berarti menaati serta melaksanakan apa yang dikatakan oleh Tuhan melalui firman-Nya, sebab kalau tidak berbuat seperti itu maka kita sedang menipu diri sendiri dengan pengertian yang palsu tentang apa yang dimaksudkan oleh Firman itu.

"Yakobus menggabungkan kata menjadi dan melakukan. Dia tidak memisahkan kedua kata itu, juga tidak membuat yang satu lebih penting dari yang lain. Keduanya bagaikan dua sisi dari mata uang yang sama, tidak terpisahkan. Kita harus menjadi para pelaku. Lebih jauh lagi, bentuk waktu dari kata Grika untuk menjadi di sini merujuk kepada suatu pola hidup penurutan yang sedang berlangsung, sesuatu yang diharapkan dari kita sekarang ini bukannya pada waktu yang tidak terbatas di masa depan" [alinea pertama].

Bagaimana melakukan Firman itu. Menjadi pelaku Firman artinya bertindak sesuai dengan pengetahuan kita yang sepenuhnya tentang bunyi Firman itu, bukan setengah-setengah atau secara parsial. Anda tidak dapat memilah-milah apa saja dari Firman itu yang ingin anda lakukan dan mana yang tidak, sebagaimana juga anda tidak dapat memilih hukum mana saja dari Sepuluh Perintah itu yang anda mau taati dan mana yang tidak. Rasul Yakobus berkata bahwa orang yang mengabaikan salah satu bagian dari hukum-hukum itu sama dengan bersalah atas keseluruhannya (Yak. 2:10). Begitu pula, ketika kita hendak menerapkan Firman Tuhan dengan melakukan kebajikan bagi orang lain, kita harus berbuat itu kepada semua orang tanpa pandang buluh. "Tetapi kalau kalian membeda-bedakan orang berdasarkan hal-hal lahir, kalian berbuat dosa, dan hukum Allah menyatakan bahwa kalian adalah pelanggar hukum," tulisnya (ay. 9, BIMK).

Salah satu hal utama yang membedakan Kekristenan dengan ajaran-ajaran agama lain ialah adanya perintah Yesus, "Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu" (Luk. 6:27). Sebagaimana Yesus telah mengasihi dan mati bagi semua manusia, untuk orang baik maupun orang jahat, demikianlah kita sebagai para pengikut-Nya harus bisa mengasihi semua orang. Dalam khotbah-Nya di atas bukit itu Yesus juga berkata, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar" (Mat. 5:44-45). Kalau Yesus dan Bapa semawi telah menunjukkan kebaikan kepada semua orang tanpa pilih kasih, mengapa anda dan saya harus berbuat kebaikan dengan membeda-bedakan orang?

"Kedengarannya mustahil, bukan? Memang begitu, berdasarkan kemampuan kita sendiri. Kasih seperti ini tidak datang secara alamiah kepada makhluk manusia yang berdosa. Itulah sebabnya mengapa Yesus melanjutkan dengan berbicara perihal dua jenis pohon berbeda dan buah yang dihasilkan oleh masih-masing pohon itu (Luk. 6:43-45)" [alinea ketiga: empat kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang menjadi pelaku Firman dan bukan sekadar pendengar?
1. Mendengar khotbah dan mengikuti diskusi pelajaran Sekolah Sabat di UKSS setiap Sabat adalah penting untuk mengisi pikiran kita dengan pengetahuan yang benar mengenai Firman Tuhan, tapi itu saja tidak cukup. Yesus berkata: "Lebih berbahagia lagi orang yang mendengar perkataan Allah dan menjalankannya!" (Luk. 11:28, BIMK).
2. Kekristenan adalah agama yang mengajarkan kepada para penganutnya untuk melakukan apa yang mustahil menurut pemikiran manusia, sebab Yesus sendiri sudah melaksanakan apa yang mustahil dalam pandangan dunia. Menjadi orang Kristen berarti siap untuk mengasihi musuh dan mendoakan mereka yang menganiaya kita.
3. Kekristenan adalah agama yang praktis, bukan sekadar teoretis. Menjadi orang Kristen berarti mempraktikkan ajaran-ajaran Alkitab dalam kehidupan sehari-hari, dan kunci keberhasilan orang Kristen dalam melakukan Firman Tuhan adalah percaya. Yesus berkata, "Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!" (Mrk. 9:23).

Selasa, 21 Oktober
DIBENARKAN OLEH PENURUTAN (Hukum yang Memerdekakan)

Sasaran yang tercapai. Hukum dibuat untuk ditaati supaya tujuan dari hukum itu tercapai, maka setiap produk hukum harus mengandung sangsi untuk memberi efek memaksa agar peraturan perundang-undangan itu ditaati. Untuk menghindari sangsi hukum dari suatu peraturan maka kita harus mengetahui dan mematuhinya, sebab kita tidak bisa luput dari sangsi itu hanya karena alasan tidak tahu. Itu sebabnya untuk membantu masyarakat mengetahui tentang sebuah peraturan hukum maka pemerintah biasanya mengadakan sosialisasi, bahkan pada kasus-kasus tertentu diadakan uji coba, sebelum peraturan itu mulai berlaku efektif. Dalam hal ketentuan peraturan di tempat-tempat umum biasanya aturan-aturan itu dipajang di tempat yang mudah dilihat oleh masyarakat dengan menyebutkan hal-hal yang dilarang lengkap dengan sangsi-sangsinya. Di Amerika aturan lalu lintas tentang penggunaan lajur cepat di jalan bebas hambatan (carpool lane), dan aturan parkir khusus untuk pengendara mobil dengan hambatan fisik (disabled parking), terpampang jelas lengkap dengan besarnya denda kalau melanggar.

Menyangkut hukum Tuhan sang rasul menulis, "Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya" (Yak.1:25; huruf miring ditambahkan). Kata Grika untuk "meneliti" dalam ayat ini adalah parakyptō, kata kerja yang secara harfiah berarti "melihat dengan badan membungkuk ke depan" untuk dapat memandang dengan jelas. Sedangkan kata "memerdekakan" berasal dari istilah Grika eleutheria, kata benda feminin yang artinya "kebebasan yang disukai." Jadi, hukum Tuhan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Hanya dengan penyelidikan yang cermat dan mendalam kita bisa memahami mengapa Hukum Allah--yang jika dibaca sepintas lalu terkesan sangat membatasi itu--oleh sang rasul disebut "sempurna" dan "memerdekakan."

"Yakobus menggemakan Mazmur dalam menyebut hukum Allah itu 'sempurna' (Mzm. 19:7) dan jalan kelegaan (Mzm. 119:45). Tetapi perhatikan bahwa hukum dalam kitab Yakobus itu tidak dapat menyelamatkan kita dan tentu saja tidak dapat menyucikan kita. Hukum itu menunjukkan kepada kita tujuan Allah, tetapi itu tidak dapat membuat kita mengikuti tujuan tersebut, sama halnya dengan menyaksikan seorang atlet kelas dunia memperagakan kemahiran-kemahiran yang mengagumkan lalu dapat menyanggupkan kita untuk melakukan hal yang sama. Untuk mengikuti tujuan itu kita memerlukan kuasa Kristus dalam hidup kita" [alinea pertama].

Menurut oleh Roh. Ketika Yesus menyatakan bahwa pada Sepuluh Perintah Allah itulah "tergantung seluruh kitab Taurat dan kitab para nabi" (Mat. 22:40), Ia sedang berbicara tentang Sepuluh Hukum sebagai intisari dari seluruh isi Perjanjian Lama yang terdiri atas lima kitab Musa yang bagi bangsa Israel diperlakukan sebagai "hukum" (Grika: nomos) dan tulisan-tulisan para nabi lainnya. Ketika Yakobus menyebut tentang "hukum yang memerdekakan" (Yak. 1:25), dia sedang bertutur tentang Sepuluh Perintah secara spesifik. Sang rasul mengulangi sebutan "hukum yang memerdekakan" ini pada bagian lain suratnya waktu dia berbicara mengenai perlunya penurutan pada Sepuluh Perintah itu secara keseluruhan (Yak. 2:10-12).

Sebenarnya, tidak terlalu sulit untuk menaati Sepuluh Perintah itu secara harfiah sesuai dengan apa yang tersurat. Orang-orang tua kita dari generasi terdahulu banyak yang sepanjang hidup mereka tidak pernah membuat dan menyembah patung, membunuh orang, berzina, berdusta, mencuri, menginginkan milik orang lain, melanggar kekudusan hari Sabat, dan sebagainya. Namun, Yesus sudah memperluas pengertian tentang pelanggaran terhadap hukum-hukum itu berdasarkan apa yang tersirat (baca Mat. 5:21-37). Oleh sebab tidak seorang pun di antara kita yang luput dari pelanggaran terhadap hukum-hukum itu, maka kita semua membutuhkan kuasa ilahi untuk memungkinkan penurutan secara tersurat maupun tersirat dari seluruh perintah-perintah itu. Karena kita "tak berdaya oleh daging" untuk menaatinya, maka kita "tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh" (Rm. 8:2-4). Sebab "di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan," dan dengan kuasa penurutan dari Roh Allah itu "kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar" (2Kor. 3:17-18).

"Melalui Kristus, kita mengalami kemerdekaan sebagai putra-putri Allah yang diselamatkan oleh kasih karunia dan yang tidak akan terjerumus kembali ke dalam kutukan dan perbudakan yang kita alami sebagai orang-orang yang melanggar. Di dalam Kristus, kita bukan saja diampuni dari dosa-dosa kita, tapi kita sekarang memiliki hidup baru yang menyanggupkan kita menjalankan penurutan terhadap hukum itu. Namun, kita melakukan hal itu bukan untuk diselamatkan melainkan karena kemerdekaan yang datang dari mengetahui bahwa kita sudah diselamatkan dan karena itu tidak lagi dipersalahkan oleh hukum itu" [alinea ketiga: tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang hukum yang memerdekakan?
1. Hukum Allah itu "memerdekakan" kita bukan karena isinya, tapi karena penurutan kita. Untuk penurutan yang sempurna kita harus menyelidiki hukum itu dan menyukainya, bukan memandangnya sebagai aturan-aturan yang mengekang, tetapi melihatnya sebagai alat (instrumen) melalui mana sasaran kesempurnaan yang Allah inginkan bagi kita dapat dicapai.
2. Allah tahu bahwa manusia tidak sanggup menaati hukum-hukum itu berdasarkan kemampuan mereka dalam daging, karena itu Allah ingin manusia menurutinya di dalam kuasa Roh-Nya. "Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging" (Gal. 5:16).
3. Kita menaati Hukum Allah bukan karena hukum itu bisa menyelamatkan tetapi karena kita sudah diselamatkan. Hukum Allah akan terasa sebagai beban jika kita menaatinya dengan motivasi yang salah, tapi jadi menyenangkan bila menaatinya dengan perasaan merdeka. Hukum Allah itu memerdekakan jika kita menaatinya dengan kemerdekaan, bukan dengan paksaan.

Rabu, 22 Oktober
IBADAH YANG MURNI (Berguna Atau Tidak Berguna)

Orang Kristen yang berguna. Agama tak dapat dipisahkan dari ibadah; beragama artinya mengamalkan kehidupan yang beribadah. Kita beribadah kepada Allah dengan menaati perintah-perintah-Nya, termasuk perintah untuk berbuat kebaikan kepada sesama manusia (Yoh. 13:34; Mat. 22:39; Yak 4:17). Jadi, sebagai orang Kristen, anda dan saya harus menjadi orang-orang yang dapat mendatangkan kebaikan dan menjadi berkat bagi kehidupan orang lain secara khusus dan masyarakat luas pada umumnya. Kalau kita gagal menjadi orang Kristen yang berguna bagi sesama manusia, keberagamaan kita adalah suatu kegagalan. Kekristenan terbentuk untuk meneruskan misi Kristus, dan misi itu ialah menjangkau semua manusia.

Yakobus memberi contoh tentang berbuat kebaikan terhadap sesama manusia, meskipun peribadatan tidak terbatas hanya itu saja. Sang rasul menulis: "Kalau ada seseorang yang merasa dirinya seorang yang patuh beragama, tetapi ia tidak menjaga lidahnya, maka ia menipu dirinya sendiri; ibadatnya tidak ada gunanya. Ketaatan beragama yang murni dan sejati menurut pandangan Allah Bapa ialah: menolong anak-anak yatim piatu dan janda-janda yang menderita, dan menjaga diri sendiri supaya jangan dirusakkan oleh dunia ini" (Yak. 1:26-27, BIMK). Di sini Yakobus menekankan pada dua hal tentang kebajikan: menjaga kata-kata dan menolong orang yang mengalami kesusahan. Pada zaman dulu, di mana pencari nafkah satu-satunya dalam keluarga adalah suami atau ayah, maka perempuan yang kehilangan suami dan anak-anak yang kehilangan ayah--karena kematian atau perceraian--pada umumnya mereka adalah orang-orang miskin.

"Kalau ada satu hal yang Yesus, Yakobus, dan Paulus paling tekankan, maka hal itu adalah pentingnya menjadi seorang Kristen yang berguna. Dengan mengasihi 'salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini' (Mat. 25:40), dengan mengambil waktu melawat orang-orang yang paling gampang terabaikan, dengan menunjukkan keramahtamahan--dalam segala cara yang praktis dan sebagainya--kita menyatakan kasih Yesus dan menjadi saluran oleh mana Yesus mengasihi mereka melalui kita" [alinea pertama].

Kesalehan dalam perkataan. Mungkin tidak banyak di antara kita yang menyadari bahwa salah satu indikator dari kesalehan beragama ialah cara kita berkata-kata. Ada orang yang nada bicara dan perkataannya terdengar sejuk, tapi ada pula yang sering membuat telinga seakan terbakar. Seseorang pernah mengibaratkan lidah itu seperti anjing yang terbagi ke dalam tiga kelompok: anjing liar, anjing penjaga, dan anjing jinak. Jenis "anjing liar" adalah lidah yang tidak diajar dan tidak bisa dikekang sehingga bebas menggonggong; jenis "anjing penjaga" adalah lidah yang selalu siap menyerang bila merasa terganggu dan biasanya itu anjing galak; jenis "anjing jinak" adalah lidah yang dibiarkan bebas berbicara tapi tidak menyakiti karena ramah dan menghibur.

Rasul Yakobus menaruh perhatian khusus terhadap bagaimana orang Kristen menggunakan lidah mereka untuk berbicara, terbukti dari penggunaan kata "lidah" sebanyak enam kali dalam lima ayat di seluruh suratnya. Selain ayat yang kita bahas dalam pelajaran hari ini, sang rasul juga menyebut lidah itu seperti api yang kecil tapi dapat membakar hutan (3:5), lidah sebagai dunia kejahatan yang dapat menodai seluruh tubuh (3:6), lidah yang buas adalah seperti racun yang mematikan (3:8), dan lidah yang sama untuk memuji Tuhan tapi juga untuk mengutuki manusia (3:9). Kita tidak tahu apakah kekasaran berbicara mungkin sudah menggejala di antara umat Tuhan yang mula-mula, tetapi yang pasti nasihatnya tentang menjaga lidah sangat relevan dengan keadaan umat Tuhan pada zaman akhir ini.

"Yakobus menggambarkan 'agama' atau 'keberagamaan' dalam ayat 26-27 dengan satu kata yang memberi kesan kesalehan luar biasa. Sikap seperti ini mengandung akibat langsung yang kasat mata, dan orang-orang akan mengenali perbedaannya...Salah satu perubahan nyata ialah pilihan kata-kata kita. Gantinya mengeluarkan ucapan-ucapan serampangan dengan nada suara dan isyarat tubuh yang kasar, kita akan menjadi lebih peka terhadap dampak dari cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Kita akan 'mengekang' lidah kita sehingga tidak terburu-buru dengan segala keganasan dan kekuatan seperti seekor kuda liar" [alinea ketiga dan keempat].

Apa yang kita pelajari tentang menjadi orang Kristen yang berguna?
1. Umat Kristen terkenal sebagai orang-orang yang suka beribadah secara berkelompok, dan itu merupakan ciri yang baik. Tetapi rasul Yakobus menyebut bahwa ibadah yang murni harus ditandai dengan menjaga perkataan dan gaya berbicara, serta sikap prihatin yang aktif terhadap orang-orang miskin dan menderita.
2. Setiap orang Kristen seyogianya adalah seorang komunikator dan sekaligus komunikan yang baik, mampu memikat orang lain dalam cara kita berbicara dan mendengarkan. Saat kita berkata-kata orang lain bisa mengenali kelemahlembutan kita, dan saat kita mendengar orang lain berbicara mereka melihat kerendahan hati kita.
3. Kekristenan bukan kelompok yang eksklusif dengan perasaan berbeda dari orang lain. Kita dipanggil dari dunia untuk menyembah Allah yang benar, kemudian diutus kembali ke dunia untuk membagikan kebenaran itu. Kekristenan adalah ibadah dan misi; ketika beribadah kita melekat satu dengan yang lain, ketika menjalankan misi kita berpencar dan berbaur.

Kamis, 23 Oktober
MEWASPADAI PENCEMARAN ROHANI (Berbeda dari Dunia)

Peperangan batin. Ada pandangan yang keliru tentang usaha menjauhi dosa, seolah-olah orang Kristen harus hidup dan beraktivitas jauh dari lingkungan yang berdosa. Masalahnya, tidak ada setapak pun bagian di dunia ini yang steril dari dosa, sebab dosa ada di mana-mana. Dosa bisa terdapat di dalam gereja, di atas mimbar, di ruang majelis, bahkan (maaf!) dosa bisa timbul dalam hati pendeta dan penatua yang tidak waspada dan berserah. Menjauhi lingkungan dan pergaulan yang jahat tentu banyak manfaatnya demi menghindari agar tidak mudah terpapar oleh dosa, tetapi sesungguhnya peperangan terhadap dosa berlangsung dalam batin kita. Karena itu, dalam kesendirian pun dosa bisa saja bersemi--di dalam hati (=pikiran). Jadi, amaran Yakobus agar kita "tidak dicemarkan oleh dunia" (Yak. 1:27) harus dipahami sebagai anjuran untuk berusaha memenangkan peperangan mikro dalam batin kita, bukan peperangan makro melawan seluruh dunia.

Alkitab menggunakan kata "dunia" dalam tiga pengertian berbeda: [1] dunia secara fisik yang terdiri atas tanah, air, tanaman, atmosfir, dan sebagainya (2Sam. 22:16, Nah. 1:5-6); [2] dunia dalam arti penduduk bumi (Yoh. 3:16, 7:7); dan [3] dunia dalam pengertian moral, termasuk segala hal yang menarik hati sehingga dapat membuat kita terbujuk untuk melupakan Tuhan (Tit. 2:12, Rm. 12:2). Ketika Yakobus mengamarkan kita untuk waspada agar tidak dicemari oleh dunia, sang rasul sedang berbicara tentang dunia yang dapat merusak moral Kristiani. Tercemar oleh dunia berarti terpengaruh oleh penarikan dunia yang akhirnya berdampak pada kerohanian kita.

"Masalah dosa tidak terlalu banyak ditentukan pada apa yang ada di luar sana, meskipun hal itu tentu memainkan perannya, dibandingkan dengan apa yang ada di dalam diri kita, dan di dalam hati kita. Di situlah terdapat peperangan yang sesungguhnya, dan kita harus bertempur melawannya tidak peduli di mana pun kita hidup" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].

Terang dunia. Salah satu ayat emas yang disukai umat Kristen adalah 1Petrus 2:9 yang berisi pernyataan bahwa kita adalah "bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri." Tapi seringkali kita hanya berhenti sampai di situ, padahal bagian selanjutnya mengatakan "supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib." Ada hubungan yang tak terpisahkan antara "umat kepunyaan Allah" dengan "memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia." Identitas sebagai "bangsa yang terpilih" dan "bangsa yang kudus" tidak lantas membuat kita harus berdiam di atas menara gading yang jauh dari dunia sekitar, sebaliknya kita harus turun untuk memberitakan tentang perbuatan Kristus yang ajaib itu.

Yesus berkata, "Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi" (Mat. 5:14). Sebutan sebagai "terang dunia" bagi kita adalah sebuah kehormatan dan sekaligus tanggungjawab, sebab julukan itu sebenarnya adalah milik Yesus (Yoh. 8:12; 12:46). Yesus menegaskan, "Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia" (Yoh. 9:5). Setelah Yesus kembali ke surga, Ia mempercayakan predikat itu kepada anda dan saya untuk menerangi dunia yang telah digelapkan oleh dosa ini, khususnya di sekitar tempat kita berada. Karena itu tidak selayaknya orang Kristen mengidap gejala phobia (fobia=rasa ketakutan yang berlebihan) terhadap tempat-tempat yang "gelap" di dunia ini. Sambil tetap waspada dan membentengi diri dengan "seluruh perlengkapan senjata Allah" (Ef. 6:13), kita harus berani maju untuk menerangi kegelapan dunia.

"Agama sejati menuntun seseorang kepada 'lapar dan haus' akan pengalaman yang lebih mendalam (Mat. 5:6). Yesus menghabiskan waktu yang cukup untuk menyendiri bersama Bapa semawi-Nya dalam rangka mengetahui kehendak-Nya. Namun, Ia tidak pernah menutup diri dari orang banyak. Ia pergi ke tempat-tempat di mana orang banyak berada. 'Makanan'-Nya ialah menjangkau orang yang membutuhkan pertolongan, merobohkan penghalang-penghalang prasangka buruk, dan membagikan kabar baik tentang hidup kekal (Yoh. 4:28-35)" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang berada di dunia tapi harus berbeda dari dunia?
1. Menjadi orang Kristen sama dengan mendeklarasikan perang melawan Setan; ketika anda mulai melaksanakan misi Kristus berarti anda "menabuh genderang perang" di telinga Setan. Jadi, apa yang anda harapkan, kalau bukan serangan dari musuh terbesar itu? Tapi Setan tidak selalu datang bawa bom, lebih sering dengan membawa hembusan angin keduniawian yang sepoi-sepoi basah.
2. Peperangan Besar antara Setan melawan Kristus adalah peperangan kosmik di mana Bumi ini menjadi garis depan pertempuran. Yesus Kristus sudah menang secara telak, di surga maupun di dunia ini, tetapi kita yang "menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus" (Why. 12:17) memiliki pertempuran-pertempuran mikro yang harus dihadapi tiap hari.
3. Sebagai "terang dunia" setiap orang Kristen harus hidup sebagai "anak-anak terang" (Ef. 5:8) yang dibuktikan dengan perbuatan-perbuatan "kebaikan dan keadilan dan kebenaran" (ay. 9). "Kita bukan orang yang hidup dalam kegelapan...Sebab itu kita tidak boleh tidur-tidur saja seperti orang lain. Kita harus waspada dan pikiran kita harus terang" (1Tes. 5:5-6, BIMK).

Jumat, 24 Oktober
PENUTUP

Tujuan moral. Hidup di tengah dunia yang sarat dengan ciri-ciri kemerosotan moral, orang Kristen harus berani tampil berbeda dengan mencontoh pada kehidupan Yesus Kristus. Tujuan moral tertinggi bagi seorang Kristen ialah mencapai keserupaan tabiat dengan Kristus oleh bercermin selalu pada Hukum dan Firman Allah. "Hukum adalah cermin moral Allah yang agung. Manusia harus menyelaraskan perkataannya, semangatnya, tindakan-tindakannya dengan Firman Allah" [alinea pertama].

Kekristenan tidak hanya menawarkan mahkota abadi, hidup kekal, surga, dan Dunia Baru. Kekristenan juga mendorong setiap orang percaya untuk mencapai suatu kehidupan moral yang luhur selagi berada di dunia yang fana dan berdosa ini. Setiap orang Kristen sedang berlomba dalam hidupnya untuk "menguasai diri dalam segala hal" (1Kor. 9:25).

"Sebagaimana Yesus dalam sifat kemanusiaan-Nya, demikianlah Allah mengharapkan para pengikut-Nya menjadi seperti itu. Dalam kekuatan-Nya kita harus mengamalkan kehidupan yang murni dan mulia yang Juruselamat hidupkan" [alinea terakhir].

"Orang yang pikirannya dikuasai oleh tabiat manusia, orang itu bermusuhan dengan Allah; karena orang itu tidak tunduk kepada hukum Allah; dan memang ia tidak dapat tunduk kepada hukum Allah. Orang-orang yang hidup menurut tabiat manusia, tidak dapat menyenangkan Allah. Tetapi kalian tidak hidup menurut tabiat manusia. Kalian hidup menurut Roh Allah--kalau, tentunya, Roh Allah sungguh-sungguh memegang peranan di dalam dirimu. Orang yang tidak mempunyai Roh Kristus, orang itu bukanlah kepunyaan Kristus" (Rm. 8:7-9, BIMK).

(Oleh Loddy Lintong/California, 22 Oktober 2014; unggahan kedua, 23 Oktober 2014)

Jumat, 17 Oktober 2014

PELAJARAN SEKOLAH SABAT KE III 18 OKTOBER 2014: "KETIKA MENGHADAPI GODAAN DAN COBAAN"




Sabat Petang, 11 Oktober
PENDAHULUAN

Pengharapan dalam kekalahan. Penggodaan dan pencobaan adalah bagian dari kehidupan orang Kristen. Suka atau tidak, sadar atau tidak, setiap orang percaya pasti harus menghadapinya. Godaan dan cobaan adalah serangan-serangan yang dilancarkan iblis dalam peperangan iman melawan umat percaya, sebuah peperangan yang tak mengenal "gencatan senjata" dan terus berlangsung sepanjang hayat. Setan, musuh utama kita itu, tidak tunduk pada suatu konvensi apapun tentang aturan dan batasan dalam berperang. Iblis dapat melancarkan serangannya kapan saja, di mana saja, dan terhadap siapa saja.

Kalau ada satu hal yang terbagi secara "adil dan merata" kepada setiap orang Kristen, hal itu adalah penggodaan. Kita semua pernah digoda dan akan terus digoda sampai sekali kelak kita jatuh dalam pencobaan itu. Tidak ada seorang pun dalam rombongan umat Allah yang bebas dari serangan iblis, dalam berbagai hal dan dengan berbagai cara, sebab ketika anda dan saya memilih untuk mengikut Kristus itu berarti kita mendeklarasikan permusuhan dengan iblis.

"Kita semua telah mengalaminya. Kita berusaha untuk tidak menyerah dalam pencobaan, tetapi dalam panasnya pertempurna itu usaha kita luluh dan--karena rasa malu dan rasa benci pada diri sendiri--kita pun jatuh ke dalam dosa. Terkadang kelihatannya bahwa semakin kita fokus untuk tidak berdosa, kita merasa kian tak berdaya melawan penggodaan, dan keadaan kita pun tampak semakin tak berpengharapan" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].

Bilamana kita menghadapi cobaan yang menantang keteguhan iman kita, sering kita merasa sangsi apakah mampu menang atas pencobaan itu. Acapkali kita merasa bahwa cobaan hidup ini terlampau berat untuk dipikul, sehingga kita tergoda untuk merasa bahwa kita telah diperlakukan secara tidak adil. Dalam suasana keputusasaan kerap kita tergoda untuk bertanya-tanya, "Apakah Tuhan mendengar doa-doa saya? Atau, mungkinkan Tuhan telah kehilangan kendali?" Sepintas lalu pemikiran seperti ini terdengar sangat manusiawi serta lumrah, dan sementara kita memendam pertanyaan-pertanyaan itu di dalam hati tiba-tiba kita merasa siap untuk menyerah!

Tidak ada anak Tuhan yang sepanjang waktu selalu menang dalam setiap godaan dan cobaan, demikian pula tidak ada anak Tuhan yang selalu kalah dalam setiap pergumulan itu. Dalam peperangan iman selama hidup di dunia berdosa ini anda dan saya selalu mengalami pasang-surut iman, dan dalam situasi seperti itu membuat kemenangan dan kekalahan dalam pencobaan menjadi pengalaman kita silih-berganti. Tetapi kabar baiknya adalah: Tidak ada seorang pun umat Tuhan yang ditolak ketika datang kepada-Nya meski dia telah dikalahkan oleh cobaan maupun godaan.

"Untungnya, kita dapat meraih kemenangan atas pencobaan yang dengan mudah menjerat kita. Tak ada seorang pun di antara kita, tidak peduli betapa dia terlilit dalam dosa, yang tidak berpengharapan sebab Bapa kita yang adalah 'Bapa segala terang' (Yak. 1:17) itu lebih besar daripada kecenderungan kita kepada kejahatan, dan hanya di dalam Dia dan melalui Firman-Nya kita dapat memperoleh kemenangan" [alinea kedua].

Minggu, 12 Oktober
SUMBER SEGALA COBAAN (Akar Pencobaan)

Allah tidak mencobai. Yakobus menulis bahwa "Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun" (1:13; huruf miring ditambahkan). Dalam keseluruhan ayat ini kata Grika peirazō digunakan sebanyak empat kali, yang pada Alkitab versi TB berturut-turut diterjemahkan dengan dicobai, pencobaan, dicobai dan mencobai. Kata ini bisa mengandung makna positif dan negatif; positif jika digunakan dengan niat untuk menghasilkan hal yang baik, dan negatif kalau dipakai dengan sengaja untuk menimbulkan hal yang buruk (Strong; G3985). Penggunaan secara positif misalnya dalam 2Kor. 13:5 tentang nasihat untuk menguji diri sendiri, sedangkan secara negatif misalnya dalam Mat. 4:1,3 tentang Setan yang menggoda Yesus dan juga dalam Mrk. 10:2 ketika orang Farisi hendak mencobai Dia. Tetapi dari 42 kali penggunaan kata ini dalam 35 ayat di seluruh Perjanjian Baru (menurut konkordansi Grika dari Alkitab versi King James), kata tersebut hampir semuanya digunakan dengan makna negatif.

Pada permulaan suratnya Yakobus menulis, apabila kita "jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan" maka haruslah dianggap bahwa pencobaan itu merupakan "ujian terhadap iman" bagi orang-orang percaya (1:2-3; huruf miring ditambahkan). Kata Grika yang digunakan untuk pencobaan pada ayat ini adalah peirasmos (sebuah kata bentukan dari peirazō), sedangkan ujian di sini adalah dari kata dokimion yang berarti menguji atau membuktikan (Strong; G1383). Istilah-istilah yang sama digunakan juga dalam surat rasul Petrus ketika dia menulis, "Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu..." (1Ptr. 1:6-7; huruf miring ditambahkan). Kata pencobaan dalam ayat 6 adalah peirasmos, sedangkan kata membuktikan dalam ayat 7 adalah dokimion.

Jadi, ada perbedaan makna yang mendasar antara "pencobaan" dan "ujian" yang menimpa kehidupan umat percaya. Itulah sebabnya Yakobus mengatakan, "Kalau seseorang tergoda oleh cobaan yang semacam itu, janganlah ia berkata, 'Godaan ini datangnya dari Allah,' sebab Allah tidak dapat tergoda oleh kejahatan, dan tidak juga menggoda seorang pun. Tetapi orang tergoda kalau ia ditarik dan dipikat oleh keinginannya sendiri yang jahat" (Yak. 1:13-14, BIMK). "Yakobus tegas. Tidak saja Allah itu bukan pencipta kejahatan, Ia juga bukan sumber pencobaan. Kejahatan itu sendiri adalah sumber dari pencobaan. Menurut ayat-ayat ini, masalahnya terletak dalam diri kita sehingga menjadi alasan utama mengapa hal itu sulit ditolak" [alinea pertama].

Kemenangan atas pencobaan. Sebuah pepatah lama mengatakan, "Anda tidak dapat menghalangi seekor burung terbang di atas kepala anda, tetapi anda dapat mencegah burung itu membuat sarang di atas kepala anda." Sesungguhnya anda dan saya tidak mungkin menghindari godaan atau cobaan, namun kita dapat bertahan dan menang atas godaan maupun cobaan. Kekristenan itu bukan sekadar agama; Kekristenan adalah pertarungan iman. Karena itu, mau tak mau setiap orang Kristen harus siap berperang, "bukannya melawan manusia, melainkan melawan kekuatan segala setan-setan yang menguasai zaman yang jahat ini" (Ef. 6:12, BIMK). Untuk bertahan dan menang, setiap umat Tuhan memerlukan "ketopong keselamatan dan pedang Roh, yatu firman Allah" (ay. 17). Kita bisa menang atas cobaan yang hendak melunturkan iman dengan cara berpegang pada janji Allah yang tersimpan di dalam hati (Mzm. 119:11), dan dengan menyembah Allah serta terus berbakti kepada-Nya (Luk. 4:8).

Sementara anda dan saya maju ke kancah peperangan iman dengan "seluruh perlengkapan senjata Allah," kita juga harus waspada dan siap untuk "melawan tipu muslihat Iblis" (Ef. 6:11). Seperti halnya peperangan fisik secara militer, dalam peperangan iman secara rohani juga melibatkan persenjataan dan strategi perang. Sebuah pasukan bisa saja memiliki kekuatan persenjataan yang lengkap dan ampuh, tetapi jika komandannya salah menerapkan strategi maka pasukannya bisa kalah dalam suatu pertempuran. Strategi dalam perang berarti muslihat, dan Setan menggunakan tipu muslihat untuk mengalahkan umat Tuhan. Sebaliknya, sebagai umat Tuhan kita bisa menghadapi serangan iblis dan menang hanya dengan Firman Allah, senjata dan sekaligus strategi yang telah digunakan Yesus untuk mengalahkan godaan Setan (Luk. 4:4, 8, 12).

"Dalam ayat-ayat kitab Yakobus, dengan jelas dia memisahkan pencobaan dari dosa. Dicobai dari dalam bukanlah dosa. Bahkan Yesus pun telah dicobai. Masalahnya bukanlah pencobaan itu sendiri tetapi bagaimana kita menyambut pencobaan itu. Memiliki sifat berdosa pada hakikatnya bukanlah dosa; namun, membiarkan sifat berdosa itu mengendalikan pemikiran kita dan mendikte pilihan-pilihan kita itulah dosa. Demikianlah, kita mempunyai janji-janji yang terdapat dalam Firman Allah dan yang menawarkan kepada kita jaminan kemenangan kalau kita menuntut janji-janji itu untuk kita dan bergantung pada janji-janji itu dalam iman" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang akar pencobaan yang menimpa manusia?
1. Allah tidak mencobai manusia, tetapi Allah menguji manusia. Setan mencobai kita dengan maksud untuk menggoda kita supaya jatuh ke dalam dosa, sedangkan Allah mencobai kita dengan tujuan hendak menguji iman kita supaya semakin teguh. Pencobaan dari Setan meruntuhkan iman, tetapi cobaan dari Tuhan membangun iman.
2. Setan dapat menggoda kita dari luar, tapi khususnya dari dalam hati kita sendiri, sebab dia tahu bahwa hati manusia "lebih licik daripada segala sesuatu" (Yer. 17:9). Yesus sendiri mengatakan bahwa "dari hati orang, timbul segala pikiran jahat" dan berbagai hal yang jahat "timbul dari dalam" sehingga menajiskan orang itu (Mrk. 7:21-23).
3. Anda tidak dapat mempersalahkan siapa-siapa, bahkan Setan sekalipun, atas kekalahan terhadap godaan. Iblis memang penipu, sebab "dia adalah pendusta dan bapa segala dusta" (Yoh. 8:44); kalau tidak menipu dan berdusta, tentu dia bukan iblis. Tetapi sebagai umat Tuhan "kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup" (Ibr. 12:9).

Senin, 13 Oktober
BILA COBAAN MENJADI DOSA (Ketika Nafsu Berbuah)

Antara cobaan dan godaan. Dalam ayat-ayat berikut ini, Yakobus memberi gambaran tentang proses terjadinya dosa yang berasal dari godaan: "Kalau seseorang tergoda oleh cobaan yang semacam itu, janganlah ia berkata, 'Godaan ini datangnya dari Allah,' sebab Allah tidak dapat tergoda oleh kejahatan, dan tidak juga menggoda seorang pun. Tetapi orang tergoda kalau ia ditarik dan dipikat oleh keinginannya sendiri yang jahat. Kemudian, kalau keinginan yang jahat itu dituruti, maka lahirlah dosa; dan kalau dosa sudah matang, maka akibatnya ialah kematian" (Yak. 1:13-15, BIMK; huruf miring ditambahkan).

Fakta bahwa Yakobus menulis kata-kata ini, yang secara tegas menyatakan bahwa godaan atau cobaan bukan dari Allah datangnya, menunjukkan bahwa ada sebagian umat percaya di abad permulaan itu yang berpendapat seolah-olah Allah suka mencobai manusia. Barangkali pandangan demikian muncul karena orang Yahudi--kepada siapa suratnya semula ditujukan--dipengaruhi dengan cerita tentang Abraham yang diminta mempersembahkan Ishak sebagai kurban. "Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham" (Kej. 22:1; huruf miring ditambahkan). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan mencoba dalam ayat ini adalah nacah (dilafalkan: "na-saa"), sebuah kata kerja yang artinya menguji atau membuktikan. Sebagaimana kita tahu, Abraham lulus dari ujian ini. Jadi, Ishak sekadar "alat" yang digunakan Allah untuk menguji iman Abraham tetapi Tuhan tidak membiarkan Ishak dibunuh sehingga Abraham berdosa.

Meskipun Setan melancarkan godaan dengan motivasi untuk membuat kita berbuat dosa, iblis tidak dapat memaksa kita untuk terjerumus ke dalam godaannya sehingga kita berdosa. Hanya saja peluang iblis untuk mengalahkan manusia lebih besar karena dalam diri kita ada "keinginan jahat" (sifat keberdosaan), dan hanya jika kita menuruti kecenderungan jahat itulah maka kita akhirnya berbuat dosa. "Gambarannya bersifat lawan asas. Proses yang seharusnya memberi kehidupan hanya berakibat pada kematian (bandingkan dengan Rm. 7:10-13). Dosa, seperti penyakit kanker, menguasai dan memusnahkan pemilik rumah. Kita semua tahu akan hal ini, karena kita semua sudah dirusak oleh dosa. Hati kita semua jahat, dan kita tidak dapat mengubahnya" [alinea kedua].

Dosa pertama. Berbicara mengenai dosa tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang asal-usul dosa. Kita tahu bahwa dosa masuk ke dunia ini melalui Adam dan Hawa sewaktu pasangan manusia pertama itu masih tinggal di Taman Eden, tetapi sebelumnya lagi dosa sudah muncul pertama kali di surga. Di surga, dosa bersemi di hati Lusifer tanpa godaan dari luar; di Taman Eden, dosa muncul setelah Hawa digoda oleh Lusifer yang sudah berubah menjadi Setan dan menyaru sebagai ular.

Perhatikan strategi pemutarbalikkan fakta yang digunakan Setan untuk memancing Hawa mengenai larangan memakan buah pohon-pohon di dalam taman itu yang sengaja dipelintir (Kej. 3:1-3), dan bagaimana dia menanggapi penjelasan Hawa dengan melontarkan pernyataan yang seolah-olah menyingkap "rahasia" di balik perintah Allah itu (ay. 4-5). Sebenarnya sampai di situ Hawa belum berbuat dosa, tetapi dengan merenung-renungkan perkataan si ular itu Hawa sedang membuka peluang bagi dosa untuk bersemi di hatinya. "Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya" (ay. 6; huruf miring ditambahkan).

"Pada akarnya, dosa bermula dari menyangsikan Allah...Dosa selalu mulai di dalam pikiran. Seperti Hawa, kita mungkin berpikir tentang 'keuntungan-keuntungan' yang diharapkan dari berbuat salah. Lalu imajinasi dan perasaan kita mulai mengambil alih. Segera kita menangkap umpan itu dan jatuh ke dalam dosa...Sering kita bertanya-tanya bagaimana itu bisa terjadi. Jawabnya mudah: kita yang membiarkan itu terjadi. Tidak ada yang memaksa kita untuk berdosa" [alinea ketiga: kalimat pertama; alinea keempat dan kelima].

Apa yang kita pelajari tentang cobaan yang melahirkan dosa dan membuahkan maut?
1. Kalau Allah menguji keteguhan iman supaya bertambah kuat, sebaliknya Setan menguji kelemahan sifat manusiawi untuk membuat kita berdosa. Kalau Tuhan senang melihat iman umat-Nya yang percaya itu bertumbuh makin teguh, Setan senang melihat umat Tuhan yang masih bersifat berdosa itu untuk jatuh dan binasa.
2. Motivasi Allah untuk "mencobai" manusia bertolak-belakang dengan motivasi Setan untuk "menggoda" manusia. Cobaan berorientasi kepada kesempurnaan iman, sedangkan godaan berorientasi kepada kejatuhan. Allah tidak mencobai manusia supaya berdosa, tetapi Ia sering mengizinkan godaan-godaan untuk "menguji hati kita" (1Tes. 2:4).
3. Dipergoki oleh godaan itu bukan dosa, bahkan belum tentu anda akan berbuat dosa. Namun, sama seperti Hawa, dia akhirnya jatuh ke dalam dosa karena tidak segera angkat kaki menghindar dari situasi itu. Setan tidak dapat memaksa kita untuk berbuat dosa, tapi dia bisa "menghipnotis" pikiran kita sehingga berdosa.

Selasa, 14 Oktober
PEMBERIAN ALLAH YANG TERBAIK (Setiap Pemberian yang Baik dan Sempurna)

Allah sumber kehidupan. Sesudah membuat pernyataan tentang Allah yang tidak mencobai manusia sehingga berbuat dosa, Yakobus kemudian mengeluarkan pernyataan lain yang lebih penting lagi: "Saudara-saudara yang kukasihi, janganlah sesat! Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran" (Yak. 1:16-17). Mengapa sang rasul harus mendahului pernyataannya ini dengan nasihat supaya sebagai umat Tuhan anda dan saya "jangan sesat"? Kata Grika untuk sesat dalam ayat ini adalah planaō, sebuah kata kerja yang artinya terkecoh atau tertipu. Mengapa "jangan tertipu"?

Maksudnya di sini ialah agar kita jangan sampai keliru mengenai "setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna," tersebut, apakah itu dan dari mana sumbernya. Allah "telah menjadikan kita oleh firman kebenaran" sebagai "anak sulung di antara semua ciptaan-Nya" (ay. 18). Tapi setelah jatuh ke dalam dosa dan kehilangan sifat kekekalan kita itu, Allah dalam kasih-Nya telah mengikhtiarkan penebusan melalui kematian Yesus Kristus, "Anak-Nya yang Tunggal" supaya dengan percaya kepada-Nya kita bisa "beroleh hidup yang kekal" itu kembali (Yoh. 3:16). Anda boleh saja mendapat hadiah uang dalam jumlah yang besar, harta warisan yang berlimpah, atau sebuah penghargaan yang sangat bergengsi, dan semuanya itu baik dalam pemandangan manusia. Tetapi tidak ada pemberian yang "baik dan sempurna" tanpa mengandung unsur kekekalan, dan pemberian seperti itu hanya datang dari Allah saja. Janganlah kita terkecoh!

"Meskipun dosa melahirkan maut, Allah adalah sumber kehidupan. Ia adalah 'Bapa segala terang' (Yak. 1:17), sebuah rujukan kepada Penciptaan (Kej. 1:14-18). Allah menjadikan kita sebuah kehidupan baru, yaitu pemberian terbesar yang dapat kita terima 'dari atas' (bandingkan Yak. 1:17 dengan Yoh. 3:3)...Yaitu, Allah ingin agar kita selamat. Itulah kehendak-Nya, bahkan sebelum kita ada, bahwa kita harus memiliki keselamatan dan hidup baru di dalam Dia sekarang dan sepanjang kekekalan" [alinea kedua: dua kalimat pertama; alinea ketiga: dua kalimat terakhir].

Kelahiran baru. Dosa itu identik dengan kematian (Rm. 6:23; Kej. 2:17; 3:19). Itu sebabnya rasul Paulus menyatakan, "Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu" (Ef. 2:1). Tetapi syukurlah bahwa Allah dalam rahmat-Nya yang tak terduga itu telah menyediakan solusi atas masalah dosa dalam kasih karunia melalui Yesus Kristus (Rm. 5:12, 17). "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya...Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka..." (2Kor. 5:17-19; huruf miring ditambahkan).

Sebagai umat percaya, kita adalah "ciptaan baru" (atau "kelahiran baru") yang seharusnya berbeda dari keadaan kita yang lama. Sebagai ciptaan baru, kita seharusnya adalah orang-orang yang hidup dengan ciri-ciri kehidupan yang baru. Sebab anda dan saya "telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal" (1Ptr. 1:23). Sekalipun kita masih bisa jatuh ke dalam dosa, namun sebagai orang-orang yang hidup berdasarkan kelahiran baru semestinya kita memiliki prioritas-prioritas baru demi mencapai tujuan hidup yang baru. Prioritas dan tujuan hidup yang baru itu bukan lagi terpusat pada diri sendiri, melainkan tertuju kepada Yesus dan menyenangkan hati Allah.

"Yesus, Paulus, Petrus, dan Yakobus semuanya menghubungkan keselamatan dengan kelahiran baru. Keseluruhan maksud Allah dalam rencana keselamatan ialah untuk menghubungkan kembali manusia yang sudah lumat dan hancur karena dosa dengan surga. Jurang pemisah itu begitu besar dan sangat lebar sehingga tidak ada yang manusia dapat lakukan untuk menjembataninya. Hanya Firman Allah dalam ujud manusia, yakni Yesus, dapat menghubungkan kembali surga dengan dunia. Firman yang diilhamkan itu (2Tim. 3:16) secara unik sanggup menghembuskan nafas kehidupan rohani kepada mereka yang hatinya terbuka untuk menerima pemberian itu" [alinea keempat].

Apa yang kita pelajari tentang pemberian yang baik dan sempurna dari Allah?
1. Anda dan saya mungkin telah sering tertipu oleh "kebaikan" seseorang karena sikap dan tindakannya yang mula-mula lalu kita menganggapnya sebagai "orang baik," tapi ternyata di kemudian hari kita terkejut setelah kedoknya terbuka dan kelihatan aslinya. Kebaikan sejati memang hanya datang dari Tuhan.
2. Tidak semua kebaikan membuktikan bahwa orang itu baik, tapi seorang yang baik pasti berbuat kebaikan. Definisi Alkitab tentang "kebaikan" jauh lebih luas dari sekadar melakukan kebajikan, tapi termasuk menaati hukum Allah (Kis. 15:29). "Orang yang berbuat baik adalah milik Allah, dan orang yang berbuat jahat belum mengenal Allah" (3Yoh. 11, BIMK).
3. Allah adalah sumber dari "setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna" bagi manusia, khususnya dalam hal Tuhan menjadikan kita sebagai "ciptaan baru" di dalam Yesus Kristus. Setiap orang percaya harus dilahirkan kembali, "bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani...melainkan dari Allah" (Yoh. 1:13).

Rabu, 15 Oktober
MENGENDALIKAN AMARAH (Lambat Untuk Berkata-kata)

Mengekang lidah. Kita tidak tahu mengapa Yakobus tiba-tiba beralih kepada soal mengendalikan lidah karena amarah, dengan menulis: "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah" (Yak. 1:19-20). Tetapi tampaknya sang rasul menaruh keprihatinan terhadap umat Tuhan yang terlampau cepat mengumbar amarah melalui kata-kata. Yakobus menyamakan lidah yang kecil itu dengan api yang kecil tapi "dapat membakar hutan yang besar" (3:5).

Perhatikan bahwa sang rasul mengatakan, "lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah." Jadi, ini bukan sekadar nasihat untuk menahan lidah, tapi menahan diri dari mengucapkan kata-kata yang mengandung amarah. Versi BIMK (Bahasa Indonesia Masa Kini) menerjemahkan anak kalimat terakhir seperti ini: "Orang yang marah tidak dapat melakukan yang baik, yang menyenangkan hati Allah" (ay. 20). Kalau dikaitkan dengan nasihat sang rasul sebelumnya, yaitu supaya kita tetap sabar dalam menghadapi cobaan hidup, amaran ini mungkin tepat bagi sebagian dari kita yang terlalu gampang menggerutu ketika menghadapi cobaan hidup sehingga tidak mau mendengar nasihat-nasihat dari Firman Tuhan yang menguatkan hati.

"Perkataan Allah itu dahsyat. Tapi demikian pula perkataan manusia. Seberapa sering kita sudah mengeluarkan kata-kata yang belakangan kita ingin menariknya kembali? Sayangnya, hanya menyadari betapa menyakitkannya kata-kata yang salah itu, dan bagaimana amarah itu begitu merusak, kecil artinya untuk dapat menolong kita mengendalikan diri. Mengandalkan kemampuan kita sendiri, kita tidak pernah bisa benar-benar berubah. Itulah sebabnya kita perlu untuk lebih banyak mendengar Tuhan dan membiarkan Dia bekerja dalam diri kita" [alinea pertama].

Menjaga kata-kata. Sebagai umat Tuhan kita diajar untuk tidak sembarangan mengumbar perkataan. Orang bijak itu berkata, "Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi. Lidah orang benar seperti perak pilihan, tetapi pikiran orang fasik sedikit nilainya. Bibir orang benar menggembalakan banyak orang, tetapi orang bodoh mati karena kurang akal budi" (Ams. 10:19-21). Tentu ini tidak berarti bahwa kita harus menjadi sangat pendiam sehingga orang lain enggan berada di dekat kita. Tetapi selain harus menjaga kata-kata kita, harus juga diperhatikan waktu dan suasana yang tepat ketika mengucapkan sesuatu. "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak" (Ams. 25:11).

"Selama kita mengandalkan pada apa yang muncul secara alamiah dari sifat kita yang berdosa, kuasa kreatif Firman Allah terhalang dan sebagai gantinya adalah kata-kata kita sendiri yang tidak berguna bahkan menyakitkan itulah yang muncul. Tidak heran bahwa segera setelah berbicara tentang semua yang 'Bapa segala terang' itu lakukan bagi kita melalui karunia hidup baru, Yakobus mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan apa yang kita ucapkan" [alinea keempat: dua kalimat terakhir].

Sebagai pengikut Tuhan, kata-kata kita harus meninggikan Tuhan dan bermanfaat bagi orang-orang lain yang mendengarnya, terutama mereka yang sedang dirundung kemalangan. Kita harus menjadi seperti nabi Yesaya yang memiliki lidah dan telinga seorang murid, sehingga dia bersaksi: "Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid. Tuhan Allah telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang" (Yes. 50:4-5).

Apa yang kita pelajari tentang lambat berkata-kata tapi cepat mendengar?
1. Pepatah kita mengatakan, "Mulutmu, harimaumu." Anda bisa menjadi korban dari perkataan anda sendiri. Manusia diciptakan dengan dua telinga tapi hanya satu lidah; dua telinga itu terletak di luar dan selalu terbuka, sedangkan lidah itu tersimpan dalam mulut dan dikelilingi sepasang deretan gigi yang seakan menjaganya.
2. Bilamana anda menghadapi masalah kehidupan yang berat, apakah anda cenderung menjadi stres dan marah-marah? Kepada siapa kita marah-marah, diri sendiri atau Tuhan? "Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam" (Mzm. 4:5).
3. Plato, filsuf Yunani purba, menulis: "Orang bijak bicara karena ada sesuatu yang harus dia ucapkan; orang bodoh bicara karena dia harus mengucapkan sesuatu." Anda tidak dapat menjadi seorang pembicara yang baik dan bijaksana kalau anda sendiri tidak belajar menjadi pendengar yang baik dan bijaksana.

Kamis, 16 Oktober
KEBENARAN MENGGANTIKAN KECEMARAN (Diselamatkan oleh Menerima)

Membuang kekotoran. Yakobus melanjutkan suratnya dengan wejangan tentang membersihkan diri dari kekotoran dan kejahatan oleh menerima firman Tuhan dengan rendah hati. Dia menulis, "Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu" (Yak. 1:21). Hanya oleh firman Tuhan kita dapat membersihkan pikiran dan jiwa yang berlumuran kekotoran dosa, dan firman Tuhan itu harus diterima dengan rendah hati supaya tertanam di dalam hati.

"Ayat ini menyimpulkan semua yang sejauh ini telah disampaikan tentang iman dan keselamatan. Itu adalah ajakan untuk membuang segala kenajisan dan memisahkan diri kita dari kejahatan. Perintah 'buanglah' digunakan tujuh dari sembilan kali dalam Perjanjian Baru untuk memisahkan seseorang dari kebiasaan-kebiasaan jahat yang tidak ada tempat dalam kehidupan yang diserahkan kepada Kristus (Rm. 13:12; Ef. 4:22, 25; Kol. 3:8; Ibr. 12:1; 1Ptr. 2:1)...Seperti Yesus, Yakobus mencela kecenderungan manusiawi untuk terlalu peduli dengan penampilan luar, karena di atas segalanya Allah lebih peduli dengan kondisi hati kita" [alinea pertama: tiga kalimat pertama dan kalimat terakhir].

Bahkan rasul Paulus menyinggung soal kebersihan lahir dan batin ketika dia menulis: "Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah" (2Kor. 7:11; huruf miring ditambahkan). Sedangkan rasul Petrus menyebut tentang baptisan sebagai kiasan dari pembersihan dosa: "Nah, kejadian itu merupakan kiasan dari baptisan yang sekarang ini menyelamatkan kalian. Baptisan ini bukanlah suatu upacara membersihkan badan dari semua yang kotor-kotor, melainkan merupakan janjimu kepada Allah dari hati nurani yang baik. Baptisan itu menyelamatkan kalian karena Yesus Kristus sudah hidup kembali dari kematian, dan sudah naik ke surga" (1Ptr. 3:21-22, BIMK; huruf miring ditambahkan).

Mengenakan jubah kebenaran. Imam besar Yoshua, yang berdiri di hadapan Malaikat Tuhan dengan "pakaian kotor" yang melambangkan kecemaran dosa, selain mewakili bangsa Israel juga dalam pengertian tertentu merepresentasikan umat Tuhan yang bergelimang dosa. Dalam keadaan tidak berdaya itu, Yoshua menerima pengasihan Tuhan dan pakaiannya yang kotor itu ditukar dengan pakaian yang bersih. "Lihat, dengan ini aku telah menjauhkan kesalahanmu dari padamu! Aku akan mengenakan kepadamu pakaian pesta," kata Malaikat itu (Za. 3:4). "Pakaian pesta" adalah "kebenaran Kristus" yang harus dikenakan oleh setiap orang yang akan menghadiri "perkawinan Andak Domba" (Why. 19:7), yaitu keselamatan yang diberikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang mau menerimanya. Tidak heran kalau sang nabi berseru, "Aku bersukaria di dalam Tuhan, jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku, sebab Ia mengenakan pakaian keselamatan kepadaku dan menyelubungi aku dengan jubah kebenaran..." (Yes. 61:10).

"Demikian juga dalam Zakharia, pakaian yang kotor ditanggalkan sebelum jubah bersih itu dipakaikan. Ini bukan berarti bahwa kita harus menjadi tanpa dosa sebelum kita dapat dipakaikan dalam kebenaran Kristus. Kalau itu benar, siapa yang dapat diselamatkan? Itu juga tidak berarti bahwa kita tidak bisa diselamatkan atau kembali kepada Yesus jika kita jatuh lagi ke dalam dosa. Gantinya, itu berarti bahwa kita harus sepenuhnya berserah kepada-Nya, memilih untuk mati setiap hari terhadap jalan lama kita yang berdosa dan mengizinkan Dia menciptakan kita ke dalam citra-Nya. Jubah kebenaran Kristus yang sempurna itu kemudian akan membungkus kita" [alinea ketiga: enam kalimat terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Bilamana orang berdosa sudah bertobat dari dosa-dosanya dan bersatu dengan Kristus, seperti ranting yang tercangkok pada pokok anggur, tabiat orang itu diubahkan dan dia ikut ambil bagian dalam tabiat ilahi. Dia mengumpulkan perkataan Kristus dan firman-firman itu tinggal di dalam dirinya. Prinsip yang memberi kehidupan dari Juruselamat dipindahkan kepada orang Kristen itu. Dengan demikian ranting kecil itu, tak berdaun dan kelihatannya mati, dicangkokkan kepada pokok anggur yang hidup, dan serat demi serat, urat demi urat, mereguk kehidupan dan kekuatan dari padanya, hingga menjadi sebuah cabang dari induk tangkai yang bertumbuh subur" (Ellen G. White, Risalah "Penebusan atau Pengajaran Kristus," Dia yang Diurapi, hlm. 11-12).

Apa yang kita pelajari tentang keselamatan oleh menerima Firman Tuhan?
1. Kemurnian Firman Tuhan memiliki kuasa untuk memurnikan hidup kita yang kotor. Dengan menerima Firman itu ditanamkan dalam hati, kita akan memiliki kuasa dari dalam yang memurnikan seluruh jiwa kita. Selain itu, kuasa firman Tuhan juga berkuasa untuk menyempurnakan tabiat kita sehingga menjadi serupa dengan tabiat Kristus.
2. Baptisan melambangkan penyucian dan kematian dari dosa kepada hidup baru. "Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru" (Rm. 6:4).
3. Baptisan adalah langkah pertama untuk menjalani hidup baru di dalam Yesus dengan cara memantulkan tabiat-Nya. Namun demikian, baptisan dengan air tidak cukup mengubah sifat-sifat dosa yang masih melekat dalam diri kita. Anda dan saya memerlukan "jubah kebenaran Kristus" untuk menggantikan keseluruhan tabiat kita yang berdosa.

Jumat, 17 Oktober
PENUTUP

Berbuah dalam iman dan Roh. Alkitab tidak mengajarkan doktrin "sekali selamat, tetap selamat" seperti yang banyak orang Kristen percaya. Keselamatan, meskipun diberikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang mau menerimanya, itu harus dipertahankan dengan sungguh-sungguh agar kita tidak kehilangan keselamatan. Bukan karena keselamatan itu meninggalkan kita, tetapi kitalah yang meninggalkannya. Keselamatan dari Allah membebaskan kita dari dosa, tetapi tidak membebaskan kita untuk berbuat dosa.

"Rencana keselamatan bertujuan pemulihan kita sepenuhnya dari kuasa Setan. Kristus selalu memisahkan jiwa yang menyesal dari dosa. Ia telah datang untuk menghancurkan pekerjaan si jahat, dan Ia sudah menentukan agar Roh Kudus diberikan kepada setiap jiwa yang bertobat untuk menghalangi dia dari berbuat dosa" [alinea pertama].

Satu-satunya sumber kekuatan dan pertumbuhan rohani adalah Roh Kristus, yaitu Roh Kudus yang telah diutus untuk menemani anda dan saya dalam pergumulan iman. Sementara buah-buah iman ialah ketekunan, tahan uji dan keutuhan hati (Yak. 1:3-12), buah-buah Roh adalah "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri" (Gal. 5:22-23). Iman bertumbuh oleh Roh, tetapi Roh itu diterima dengan iman.

"Sementara anda menerima Roh Kristus--yaitu Roh kasih yang tidak egois dan bekerja bagi orang lain--anda akan bertumbuh dan menghasilkan buah. Rahmat dari Roh itu akan menjadi matang dalam tabiat anda. Iman anda akan bertambah, keyakinan anda kian mendalam, kasih anda menjadi sempurna. Semakin bertambah anda akan memantulkan keserupaan Kristus dalam segala hal yang suci, agung, dan elok" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].

"Tapi orang yang berharap kepada-Ku akan Kuberkati selalu. Ia bagaikan pohon di tepi sungai yang mengalir; akarnya merambat sampai ke air. Ia tak takut musim kemarau, daun-daunnya selalu hijau. Sekalipun negeri dilanda kekeringan, ia tak gelisah sebab ia selalu menghasilkan buah" (Yer. 17:7-8, BIMK).

(Oleh Loddy Lintong/California, 15 Oktober 2014)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...