Syaloom

Selamat datang bagi pengunjung blog ini, terima kasih atas kunjungan anda pada blog ini anda dapat download lagu-lagu rohani khusus quartet (male or ladies) termasuk partitur yang kami telah sediakan.

Blog ini khusus saya buat untuk membantu teman-teman yang mempunyai hobi menyanyi lagu-lagu rohani tetapi pada saat tertentu tidak mempunyai cukup partiture. Dan sesuai dengan judulnya maka blog ini khusus dibuat untuk quartet grup vokal, apakah itu male quartet atau ladies quartet.

Banyak orang didunia ini dan hampir semua orang yang ada di jagad raya ini menyukai musik. Sebab itu saya ingin mengajak semua teman-teman yang ingin partisipasi dalam blog ini saya persilahkan untuk memberi saran dan bahan untuk memajukan grup-grup quartet. Sering kita menyanyikan sebuah lagu dengan baik dan pendengar cuma menyukai harmoninya saja tetapi pekabaran dalam lagu itu sendiri tidak didapat karena pendengar tersebut tidak mengerti bahasa yang dinyanyikan dalam lagu tersebut untuk itu melalui blog ini saya sekali lagi mengajak siapapun untuk urung rembuk agar blog ini disukai dan dapat bermafaat buat kita semua.

Untuk itu saya akan mencoba untuk mentransfer dari partiture aslinya kedalam bahasa Indonesia. Shalom regards,

GBU
E. Nanlohy



TRANSLATORS...

Jumat, 27 Juni 2014

The King's Heralds Quartet-The Best of Wayne Hooper (Music & Partiture)








The King's Heralds Quartet-The Best Of Wayne Hooper (Music & Partiture)

01 Psalm 46.mp3
02 It Is Thee.mp3
03 Living in the Sunlight.mp3
04 The Greatest Want of the World.mp3
05 All You That are to Mirth In.mp3
06 Lets Go on the Promise Land.mp3
07 Prayer is the Breath.mp3
08 Thou Wilt Keep Him Perfect .mp3
09 We Have This Hope.mp3
10 The Seasons.mp3
11 It Takes a Lot of Love.mp3
12 God Who Touchest Earth.mp3
13 O Lord of Space.mp3
14 Be Still and Know 1.mp3
15 God is Love.mp3
16 Rejoice Today in One Accord.mp3
17 Evening Prayer Song.mp3

01 Psalm 46 Arr.Wayne Hooper.pdf
01 Psalm 46 Trom I Arr.Wayne Hooper.pdf
01 Psalm 46 Trom II Arr.Wayne Hooper.pdf
01 Psalm 46 Trom III ,IV Arr.Wayne Hooper.pdf
03 Living In The Sunlight Of His Love Arr.Wayne Hooper.pdf
04 The Greatest Want Of The World Arr.Wayne Hooper.pdf
06 Lets Go On together To The Promised Land Arr.Wayne Hooper.pdf
08 Thou Wilt Keep Him In Perfect Peace Arr.Wayne Hooper.pdf
09 We Have This Hope Arr.Wayne Hooper.pdf
10 The Seasons_Arr.Wayne Hooper.pdf
11 It Takes A Lot Of Love Arr.Wayne Hooper.pdf
13 O Lord of Space Arr.Wayne Hooper.pdf
15 God Is Love Arr.Wayne Hooper.pdf
17 Evening Prayer Song Arr.Wayne Hooper.pdf







PELAJARAN SEKOLAH SABAT KE-XIII; 28 Juni 2014 "KERAJAAN KRISTUS DAN HUKUM"








Sabat Petang, 21 Juni
PENDAHULUAN

Kesiasiaan dunia. Belum lama berselang saya menghadiri upacara pemakaman seorang kenalan lama, teman sekolah SMP, yang meninggal akibat penyakit yang lama dideritanya. Seorang yang dapat dianggap cukup berhasil dalam hidupnya, setidaknya jika profesi dan keuangan menjadi ukuran. Dalam berbagai kesaksian yang diutarakan oleh orang-orang yang pernah dia bantu, teman saya ini adalah seorang yang suka menolong dan pemurah. Selain itu, tampaknya dia juga seorang penabung yang ketat. Karena tidak mempunyai keturunan dan keluarga langsung maka semua uang tabungan dan harta peninggalan akhirnya dihibahkan kepada orang lain, selain yang disumbangkan kepada beberapa usaha pelayanan Gereja. Menurut cerita, semua hasil kerja kerasnya selama puluhan tahun senilai milyaran rupiah itu jatuh ke pihak-pihak yang selama hidupnya tidak pernah secara langsung berjasa kepadanya atau keluarganya.

Sementara menyumbang pekerjaan Tuhan dari kekayaan yang tidak sempat dinikmati merupakan suatu tindakan terpuji, dan mewariskan harta kepada orang lain adalah perbuatan yang tentu saja menyenangkan orang lain, saya teringat kata-kata Salomo berikut ini: "Ada suatu kemalangan yang telah kulihat di bawah matahari, yang sangat menekan manusia: orang yang dikaruniai Allah kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sehingga ia tak kekurangan suatu pun yang diingininya, tetapi orang itu tidak dikaruniai kuasa oleh Allah untuk menikmatinya, melainkan orang lain yang menikmatinya! Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit" (Pkh. 6:1-2).

Steve Jobs (Feb. 1955-Okt. 2011), seorang penemu ternama di dunia teknologi informasi dan komunikasi, tergolong sangat sukses dalam bidangnya dan akan selalu dikenang sebagai sosok yang berjasa bagi peradaban manusia moderen. Dia dijuluki seorang "pelopor karismatik" dalam pengembangan komputer pribadi dengan produk-produk ciptaannya semisal iPod, iPhone, iPad, iTunes, iMac dan lain-lain. Sebagai salah seorang pendiri perusahaan komputer Apple Incorporated sekaligus CEO (chief executive officer), Steve termasuk jutawan dunia yang kekayaannya sewaktu meninggal tercatat hampir senilai 10 milyar dolar Amerika. Selain nama dan karyanya, dia juga akan dikenang dengan falsafah hidupnya. Salah satu ucapannya yang terkenal adalah, "Waktu anda terbatas, jadi jangan sia-siakan hidup anda dengan cara meniru kehidupan orang lain." Kemudian, tak lama sebelum meninggal dia berkata, "Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan mereka yang mau masuk surga pun tidak ingin mati untuk bisa sampai di sana. Namun kematian adalah tujuan kita bersama. Tidak seorang pun yang berhasil lolos. Dan memang harus begitu, sebab sangat mungkin Kematian merupakan satu-satunya penemuan terbaik dari Kehidupan. Kematian itu adalah agen perubahan dari Kehidupan. Kematian menghapus yang lama untuk menyediakan jalan bagi yang baru." Tentu saja pendapat Steve Jobs tentang kehidupan dan kematian tidak berlandaskan pandangan alkitabiah.

"Akan tetapi Jobs menempatkannya secara terbalik. Apa yang mendorongnya untuk mencari peruntungan yang lebih besar di dunia ini, kematian (atau sedikitnya hal-hal yang pasti tentang kematian) seharusnya membuktikan kesia-siaan dari menanam kehidupan terlalu permanen di sini yang dasarnya selalu tidak kuat. Tentu saja banyak yang Jobs telah capai, tetapi dibandingkan dengan jutaan tahun atau masa kekekalan, apakah itu penting?...Memang, kepada kita sudah dijanjikan bahwa dunia ini dan segala isinya akan dibinasakan, dan Allah akan mendirikan satu dunia yang baru dan kekal di mana dosa dan kematian (semua akibat dari pelanggaran hukum Allah) tidak akan pernah ada lagi" [alinea kedua dan ketiga].

Minggu, 22 Juni
KEHIDUPAN DI MASA KEKEKALAN (Kerajaan Allah)

Kekuasaan yang dirampas. Kitabsuci mengungkapkan bahwa pada mulanya kekuasaan atas seluruh dunia ini telah dipercayakan kepada manusia, ketika Allah berfirman: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi" (Kej. 1:26). Namun, Setan telah merebut kekuasaan itu dari tangan Adam dan Hawa tatkala pasangan pertama itu tertipu oleh rayuannya sehingga berdosa akibat memakan buah dari pohon yang dilarang itu, dan dengan demikian melanggar perintah Allah sebagai satu-satunya "hukum" yang ada di Taman Eden waktu itu.

Jadi bukan secara kebetulan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk cerdas dan bermoral, makhluk yang kedudukannya paling tinggi di antara makhluk-makhluk hidup lainnya, sebab Allah bermaksud hendak menjadikan manusia sebagai penguasa bumi ini. Menjadi penguasa berarti menjadi pengayom dan sekaligus penanggungjawab atas obyek yang dikuasai, dan pada waktu yang sama menjadi pengelola dan penatalayan bagi Allah. Seandainya mereka tidak jatuh ke dalam dosa, Adam dan Hawa beserta segenap keturunan mereka mestinya sudah menjadi pelindung alam ciptaan Allah terhadap siapa seluruh makhluk hidup lainnya menaruh rasa hormat dan takut.

"Ketika Allah menciptakan makhluk manusia yang pertama, Ia memberikan kepada mereka kekuasaan atas segala sesuatu. Adam harus memerintah dunia ini. Namun, dengan melanggar hukum Allah dia kehilangan haknya akan kekuasaan bumi ini dan kepemilikannya beralih kepada Setan, si musuh utama. Bilamana perwakilan dari dunia-dunia lain berkumpul di hadapan Allah pada zaman nenek moyang, Setan yang tampil sebagai 'delegasi' dari bumi (Ay. 1:6)" [alinea pertama].

Kekuasaan atas dunia. Bukti bahwa setan sudah mengambil alih kekuasaan atas dunia ini, yakni para penguasa dan kekuasaan di dalamnya, terbukti ketika dia mencobai Tuhan Yesus di padang gurun. "Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, dan berkata kepada-Nya: 'Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku'" (Mat. 4:8-9). Janji Setan bahwa dia dapat memberikan "semua kerajaan dunia dengan kemegahannya" kepada Yesus sekiranya Anak Allah itu mau "sujud dan menyembah" dia sekaligus merupakan pernyataan yang mengklaim bahwa dialah pemilik dunia ini dan kekuasaan-kekuasaan di dalamnya. Klaim kepemilikan Setan atas dunia ini dibuktikan melalui kehidupan dari banyak penduduk bumi ini, "yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini" (2Kor. 4:4), yang secara sadar atau tidak telah "menaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka" (Ef. 2:2).

Perhatikan dua fakta berikut ini: Pertama, Setan terlalu bodoh untuk menawarkan kekuasaan atas dunia ini kepada Yesus Kristus yang adalah Raja atas segala raja dan Penguasa alam semesta ini, bukan? Tetapi dengan memberikan tawaran itu membuktikan bahwa Setan tahu kalau Anak Allah pada waktu itu benar-benar datang sebagai manusia biasa dan menanggalkan kedudukan dan kekuasaan-Nya itu di surga. Kedua, dengan berani mengajukan tawaran itu kepada Yesus Kristus membuktikan bahwa Setan memang benar-benar adalah penguasa dunia ini, secara de facto (berdasarkan kenyataan), dan de jure (secara hukum). Akan tetapi hardikan Yesus yang tegas terhadap Setan, "Enyahlah Iblis!" (Mat. 4:10), menunjukkan bahwa klaim kepemilikan Setan atas dunia ini hanya bersifat sementara sebab dalam waktu dekat Putra Allah itu akan merenggut kembali kekuasaan tersebut dari tangannya secara de jure, dan tidak akan pernah lagi dikuasainya. Allah akan mendirikan kembali kerajaan-Nya di dunia ini, dan Yesus akan menyerahkan kekuasaan atas dunia ini kepada umat percaya yang tidak akan pernah bisa direbut lagi!

"Yesus sudah datang untuk mengambil kembali bumi ini dari Setan, tetapi Ia hanya dapat melakukan itu dengan harga dari nyawa-Nya sendiri. Kalau begitu, betapa kuatnya godaan itu ketika Setan berdiri di sana dan menawarkan untuk memberikan dunia ini kepada-Nya! Namun demikian, dengan sujud menyembah Setan berarti Ia tentu akan jatuh ke dalam perangkap yang sama seperti yang dihadapi Adam, dan akibatnya juga akan bersalah dengan melanggar hukum Bapa-Nya. Seandainya Ia telah melakukan itu, rencana keselamatan pasti sudah dibatalkan, dan kita akan mati dalam dosa-dosa kita" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang kerajaan Allah di dunia ini?
1. Allah telah menciptakan Adam dan Hawa untuk berkuasa atas seluruh dunia ini, tetapi mereka gagal mempertahankannya. Terlepasnya kekuasaan itu dari tangan Adam bukan saja merupakan kekalahannya sendiri, tetapi itu adalah tragedi bagi seluruh manusia maupun alam ciptaan ini sepanjang zaman.
2. Tampaknya, cobaan yang dialami Yesus Kristus adalah atas kehendak Allah (baca Mat. 4:1; bandingkan dengan Ibr. 2:18). Sesudah "disamakan" seperti orang berdosa yang harus dibaptis (Mat. 3:15), Anak Allah yang menjelma jadi manusia itu juga perlu "dicobai" dengan penggodaan yang sama seperti kita manusia, yaitu dengan kepuasan jasmani (Mat. 4:2-4), kesombongan (ay. 5-6), dan kekuasaan (ay. 8-9).
3. Kristus mengabaikan kenikmatan sementara di dunia ini karena Ia sedang membangun kerajaan Allah yang kekal di bumi ini. Seyogianya, keteladanan inilah yang harus kita tiru. Sayangnya, banyak dari antara kita yang justeru mengorbankan peluang mendapatkan kerajaan Allah yang abadi demi meraih kekuasaan dunia yang fana.

Senin, 23 Juni
KEWARGANEGARAAN TUNGGAL (Warga Kerajaan Itu)

Berbagi kesetiaan, mungkinkah? Ada dua asas berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia dalam hal hak kewarganegaraan seseorang berdasarkan kelahirannya, yaitu yang dikenal dengan istilah ius soli (Latin: "hak atas tanah") dan ius sanguinis ("hak darah"). Ius soli, atau sering ditulis jus soli (Inggris: right of soil), adalah hak kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahirannya. Artinya, seseorang akan secara otomatis menyandang kewarganegaraan dari negara di mana dia dilahirkan, tidak peduli asal-usul keturunannya. Negara-negara yang menganut asas ini misalnya Amerika Serikat, Kanada, Brasil, dan lain-lain. Sedangkan ius sanguinis, atau jus sanguinis (Inggris: right of blood), adalah hak kewarganegaraan berdasarkan hubungan darah dengan orangtua. Artinya, seseorang akan secara otomatis menyandang kewarganegaraan dari orangtuanya, tidak peduli di negara mana dia dilahirkan. Negara-negara yang menganut asas ini termasuk Indonesia, Malaysia, Cina, dan lain-lain. Sehubungan dengan itu, lazimnya setelah seorang anak mencapai usia 18 tahun maka secara hukum dia harus memilih kewarganegaraannya, apakah mengikuti kewarganegaraan orangtuanya atau tanah kelahirannya. Tentu pilihan ini tidak berlaku bagi seorang anak yang lahir dalam wilayah hukum dari negara di mana orangtuanya menjadi warganegara.

Dalam hal kewarganegaraan ini ada negara-negara di dunia yang mengizinkan warganya memegang kewarganegaraan ganda, tapi ada pula negara-negara yang hanya mengakui kewarganegaraan tunggal. Meskipun begitu, sudah menjadi rahasia umum bahwa terkadang ada orang yang secara diam-diam memegang dua paspor dari negara berbeda dan dengan demikian memiliki kewarganegaraan ganda. Ada negara-negara yang karena alasan-alasan tertentu menerapkan kebijakan dwi-kewarganegaraan secara terbatas dengan suatu negara berdasarkan perjanjian, misalnya yang pernah berlaku antara Indonesia dan RRC (ketika masih bernama Republik Rakyat Tiongkok, disingkat RRT) pada tahun 1958 silam. Banyak pula WNI di luar negeri yang sudah memiliki kewarganegaraan asing berdasarkan naturalisasi (belakangan ini mereka sering disebut sebagai "diaspora Indonesia") berharap untuk bisa memiliki dwi-kewarganegaraan secara resmi, terutama mereka yang bermukim dan sudah menjadi warganegara Amerika. Namun kewarganegaraan itu bukan cuma soal hak tapi juga kewajiban, dan terutama adalah masalah kesetiaan sebagai warganegara. Dapatkah seseorang yang memiliki kewarganegaraan ganda itu memegang kesetiaan yang sama terhadap dua negara di mana dia menjadi warganegara? Bahkan, pertanyaan yang lebih mendasar lagi: Bisakah seseorang berbagi kesetiaan?

"Akan tetapi, tidak ada yang namanya kewarganegaraan ganda dalam pertentangan besar. Kita berada di satu pihak atau di pihak yang lain. Kerajaan kejahatan sudah memerangi kerajaan kebenaran selama ribuan tahun, dan tidak mungkin bagi seseorang untuk setia terhadap keduanya pada waktu yang sama. Kita semua harus membuat pilihan tentang kerajaan mana yang akan mendapat kesetiaan kita" [alinea kedua].

Kerajaan Kristus. Diaspora adalah sebuah istilah dari bahasa Grika diaspeirō, sebuah kata kerja yang terdiri atas dua akar kata, dia (=di antara; di seluruh) dan speirō (=saya menabur; saya menyebarkan). Jadi, diaspora adalah sebuah istilah yang pada dasarnya berarti "perantau yang tersebar di negeri asing." Dalam PB versi Terjemahan Baru (TB) kata diaspeirō yang diterjemahkan dengan "tersebar" muncul dalam tiga ayat (Kis. 8:1b, 4; 11:19), dan kata diaspora yang diterjemahkan dengan "perantauan" dan "pendatang" muncul dalam tiga ayat lain (Yoh. 7:35; Yak. 1:1; 1Ptr. 1:1). Dalam 1Petrus 2:11, kata yang diterjemahkan dengan "pendatang" dan "perantau" berasal dari dua kata Grika yang berbeda, yakni paroikos (arti harfiah=orang asing yang hidup di suatu tempat tanpa hak kewarganegaraan; arti kiasan=seorang yang hidup di dunia sebagai perantau; Strong, G3941), dan parepidēmos (arti harfiah=orang yang datang atau berkelana di negeri asing; arti kiasan=warga surga yang merantau di dunia ini; Strong, G3927). Sedangkan dalam Ibrani 11:13, kata Grika yang diterjemahkan dengan "orang asing" adalah xenos (arti harfiah=orang asing; Strong, G3581), dan kata Grika yang diterjemahkan dengan "pendatang" adalah parepidēmos.

Ketika Paulus menerangkan tentang orang Kristen non-Yahudi yang "tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan" (Ef. 2:12)--dalam hal ini tidak mendapat bagian dari perjanjian Allah dengan Abraham--maka sang rasul juga sedang menggambarkan status anda dan saya sebelumnya yang "tanpa Kristus...tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia." Tetapi sekarang, setelah menerima Kristus maka kita "yang dahulu 'jauh' sudah menjadi 'dekat' oleh darah Kristus" (ay. 13), dan oleh darah Kristus itu juga Bapa surgawi "telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih" (Kol. 1:13).

"Sekali orang-orang membuat keputusan untuk mengikut Kristus, mereka telah memilih untuk membelakangi kerajaan iblis. Dia sekarang menjadi bagian dari persekutuan yang lain, yaitu dari Tuhan Yesus Kristus, dan sebagai hasilnya orang itu sekarang menuruti aturan-Nya, hukum-Nya, perintah-Nya, bukan aturan atau hukum dan perintah si jahat. Namun, penurutan orang itu pada umumnya tidak dihargai--tentu tidak oleh iblis yang berhasrat untuk mendapatkan orang-orang ini kembali, dan seringkali juga tidak dihargai oleh orang lain yang cenderung tidak percaya pada 'orang asing dan perantau' di antara mereka. Terlepas dari rintangan-rintangan ini, Allah mempunyai satu umat yang kesetiaan pertama mereka adalah kepada Dia, bukan kepada 'penguasa dunia ini' (Yoh. 12:31)" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang orang Kristen sebagai warga kerajaan Kristus?
1. Tidak seperti kewarganegaraan di dunia ini yang memungkinkan seseorang memiliki dwi-kewarganegaraan, kerajaan surga hanya mengenal "satu kewarganegaraan" karena menyangkut kesetiaan. Yesus berkata, "Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian...ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain" (Mat. 6:24).
2. Status kewarganegaraan asli di dunia ini diperoleh secara otomatis berdasarkan faktor keturunan maupun tempat kelahiran, dan bersamaan dengan itu juga status kita sebagai orang berdosa. Namun siapa saja dapat memperoleh kewarganegaraan surga, dan bersamaan dengan itu juga status kita sebagai orang yang sudah dibenarkan, berkat pengorbanan Kristus.
3. Banyak orang berusaha menjadi warganegara dari sebuah negara tertentu melalui naturalisasi dengan persyaratan yang seringkali rumit, lama dan mahal. Tapi banyak orang--termasuk mereka yang ingin menjadi warganegara asing hanya karena alasan ekonomi itu--yang acuh tak acuh untuk menjadi warganegara surga melalui "naturalisasi" yang syaratnya sederhana, cepat dan gratis.

Selasa, 24 Juni
DIBENARKAN KARENA IMAN (Iman dan Hukum)

Kesempatan dan pilihan. Dilahirkan sebagai orang berdosa dan bersalah di hadapan hukum Allah adalah sebuah takdir yang tak dapat ditolak oleh anda dan saya. Tetapi dengan datangnya Anak Allah ke dunia ini melalui penjelmaan dalam sosok Yesus Kristus, dan mati di kayu salib sebagai Penebus dosa manusia, membuka peluang kepada semua orang untuk lepas dari status dan takdir yang mencelakakan itu. Kesempatan istimewa itu hanya dimungkinkan berkat pilihan Allah sendiri yang Ia ambil demi kepentingan manusia berdosa. Kitabsuci mengatakan, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yoh. 3:16).

"Tema yang menonjol dalam Kitabsuci adalah sederhana: Allah itu kasih. Kasih Allah paling ampuh ditunjukkan dalam kasih karunia-Nya. Dengan kuasa-Nya yang tak terbatas Ia dapat dengan mudah memusnahkan umat manusia dari muka bumi, tapi sebaliknya Ia memilih untuk menerapkan kesabaran dan memberikan kepada semua orang kesempatan untuk mengalami kesempurnaan hidup di dalam kerajaan-Nya yang kekal. Bahkan lebih dari itu, kasih-Nya dibuktikan dengan harga yang telah dibayar-Nya sendiri di Salib...Kasih Allah juga berkaitan langsung dengan keadilan-Nya. Dengan menyediakan kesempatan yang tak terbilang bagi manusia untuk memilih nasib mereka sendiri, Allah yang penuh kasih itu tidak akan memaksa mereka untuk masuk ke dalam kerajaan yang telah mereka tolak itu" [alinea pertama; alinea kedua: dua kalimat pertama].

Jadi, demi kasih-Nya kepada manusia, Allah sudah mengambil suatu keputusan yang baik dengan memberi kesempatan yang baik kepada manusia untuk membuat pilihan yang baik. Masalahnya, berdasarkan pengalaman dan kenyataan, tidak semua orang mampu memanfaatkan kesempatan yang baik untuk mengadakan pilihan yang baik. Apa yang sering terjadi adalah: kesempatan yang baik disalahgunakan dengan cara yang tidak baik untuk menghasilkan pilihan yang tidak baik!

Disucikan, dikuduskan, dan dibenarkan. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, rasul Paulus mencela cara mereka menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara mereka dengan membawa kasusnya ke pengadilan umum (1Kor. 6:1) sebagai hal yang "memalukan" (ay. 5). Lebih baik, kata Paulus, dirugikan karena diperlakukan tidak adil oleh saudara sendiri daripada mengekspos perselisihan itu ke luar dan mempermalukan seluruh jemaat (ay. 7-8). Selanjutnya sang rasul menyorot serta menyebut secara spesifik dosa-dosa masa lalu yang dilakukan oleh oknum-oknum di jemaat Korintus itu ketika dia menulis, "Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzina, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah" (ay. 9-10; huruf miring ditambahkan). Kata Grika yang diterjemahkan dengan "banci" dalam ayat ini adalah malakoi yang arti sebenarnya adalah "homoseks" dan bukan seperti bencong atau wadam (wanita adam); sedangkan kata Grika untuk "orang pemburit" di sini adalah arsenokoitēs yang arti sesungguhnya adalah "sodomi."

"Dan beberapa orang di antara kamu demikianlah dahulu," tulis Paulus. "Tetapi," lanjutnya, "kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita" (1Kor. 6:11; huruf miring ditambahkan). Dengan mengatakan bahwa mereka telah "disucikan, dikuduskan, dan dibenarkan" menunjukkan bahwa orang-orang Kristen di Korintus itu sekarang sudah berada di bawah kasih karunia dan dosa-dosa masa lalu mereka yang mengerikan itu kini sudah dihapuskan sehingga mereka layak untuk masuk surga. "Berbahagialah mereka yang membasuh jubahnya. Mereka akan memperoleh hak atas pohon-pohon kehidupan dan masuk melalui pintu-pintu gerbang ke dalam kota itu" (Why. 22:14).

"Hal yang menakjubkan ialah jika anda meletakkan 1 Korintus 6:11 bersama-sama dengan Wahyu 22:14 maka anda akan dapati orang-orang Kristen yang setia dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus; yaitu bahwa mereka 'dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat' (Rm. 3:28); tetapi mereka juga memelihara hukum itu" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang orang Kristen sebagai orang berdosa yang dibenarkan karena iman?
1. Kasih karunia Allah bagi manusia adalah hasil dari sebuah keputusan Allah yang menguntungkan bagi manusia, walaupun membawa akibat yang merugikan pada pihak Tuhan termasuk mengorbankan Putra Tunggal-Nya. Maka, seseorang yang binasa tidak dapat mempersalahkan siapapun selain dirinya sendiri yang tidak membuat pilihan yang baik untuk menyambut kasih karunia itu.
2. Sebagai manusia yang lahir di dunia ini kita ditakdirkan untuk binasa sebagai orang berdosa. Tetapi Yesus Kristus telah mengubah takdir itu oleh menanggung ke atas-Nya segala akibat dosa, dan dengan demikian memberi kesempatan kepada setiap orang untuk luput dari kebinasaan abadi melalui iman kepada-Nya.
3. Umat Kristen bukanlah orang-orang yang tidak berdosa; umat Kristen adalah orang-orang berdosa yang sudah disucikan, dikuduskan, dan dibenarkan dalam nama Yesus. Tidak jadi masalah sekeji dan sebesar apapun dosa-dosa anda, Allah berfirman: "Mari kita bereskan perkara ini. Meskipun kamu merah lembayung karena dosa-dosamu, kamu akan Kubasuh menjadi putih bersih seperti kapas" (Yes. 1:18, BIMK).

Rabu, 25 Juni
PEMERINTAHAN ORANG BENAR (Kerajaan yang Kekal)

Dunia baru. Kematian penebusan Yesus Kristus tidak saja menyelamatkan manusia tapi juga membawa perubahan dalam arti kata sebenarnya. Selain umat tebusan yang selamat itu akan diubahkan (1Kor. 15:52), dunia tempat tinggal mereka pun akan dijadikan baru (Yes. 65:17). Yohanes Pewahyu menyaksikan, "Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan laut pun tidak ada lagi" (Why. 21:1). Kata Grika untuk baru dalam ayat ini adalah kainos, sebuah kata sifat yang secara fisik berarti "baru dibuat" atau "masih segar" dan secara substansif berarti "jenis baru" atau "belum pernah ada sebelumnya" (Strong, G2537). Dalam konsep berpikir orang Yahudi, "laut" (Ibrani: yam) sering dikaitkan dengan orang fasik dan lambang dari perilaku yang liar (baca Yes. 57:20, bandingkan dengan Mzm. 89:10). Rasul Petrus menambahkan, "Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya. Tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran" (2Ptr. 3:12-13). Jadi, dunia baru tempat orang benar berkerajaan itu adalah sebuah planet ciptaan baru yang bersuasana tenteram dan dikuasai oleh kebenaran.

"Allah menciptakan satu dunia yang sempurna. Dosa masuk, lalu dunia yang sempurna itu menjadi sangat rusak. Riwayat penebusan memberitahukan kepada kita bahwa Yesus memasuki sejarah manusia supaya, selain hal-hal lain, kesempurnaan yang asli itu akan dipulihkan. Umat tebusan akan hidup dalam satu dunia yang sempurna di mana kasih menjadi penguasa tertinggi" [alinea pertama].

Bilamana Allah akan menciptakan dunia baru sesudah masa seribu tahun (milenium), untuk menjadi tempat pemukiman abadi bagi umat tebusan-Nya, bumi yang baru itu nanti secara fisik adalah sempurna seperti bumi ini pada masa penciptaan. Selain kesempurnaan secara fisik itu akan dipulihkan, Allah juga memulihkan kekuasaan manusia untuk memerintah bumi ini serta segala isinya, yaitu kekuasaan seperti yang pernah diberikan-Nya kepada Adam dulu (Kej. 1:28). Di samping itu, Allah juga akan memulihkan sistem pemerintahan di seluruh bumi yang sekarang ini dikuasai oleh pemerintahan yang korup dan cinta diri kembali kepada pemerintahan yang berasaskan kasih dan berdasarkan prinsip hukum Allah.

Kerajaan Mesias. Perihal pemerintahan di dunia baru nanti, nabi Daniel menubuatkan: "Maka pemerintahan, kekuasaan dan kebesaran dari kerajaan-kerajaan di bawah semesta langit akan diberikan kepada orang-orang kudus, umat Yang Mahatinggi: pemerintahan mereka adalah pemerintahan yang kekal, dan segala kekuasaan akan mengabdi dan patuh kepada mereka" (Dan. 7:27). Selain ketenteraman dan ketertiban, di dunia baru nanti juga kesejahteraan warganya dijamin. Yohanes Pewahyu bernubuat: "Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu" (Why. 21:4). Ketika Alkitab mengatakan bahwa "begitu besar kasih Allah akan dunia ini" (Yoh. 3:16), maka "dunia" yang dimaksudkan bukanlah bumi tempat tinggal manusia ini melainkan manusianya, sehingga Ia mencanangkan keselamatan bagi mereka melalui Yesus Kristus, "supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal."

Kerajaan Adam di Taman Eden telah runtuh dan kekuasaan pemerintahannya atas bumi ini sudah direbut oleh Setan akibat pelanggaran terhadap perintah (=prinsip hukum) Allah oleh nenek moyang pertama manusia itu. Tetapi di dunia baru nanti kejadian seperti itu tidak akan terulang sebab prinsip-prinsip Hukum Allah akan menjadi bagian dari tabiat manusia, bukan lagi sesuatu yang harus diajarkan. Seperti yang Allah canangkan bagi umat Israel, itu akan berlaku bagi umat tebusan secara keseluruhan. "Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah Tuhan! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman Tuhan, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka" (Yer. 31:33-34).

"Kerajaan Mesias itu akan berisi orang-orang yang memelihara kesetiaan kepada Allah sepanjang pengalaman rohani mereka. Menghadapi penganiayaan dan pergumulan pribadi, mereka telah memilih jalan penurutan dan menunjukkan kesediaan mereka untuk mengamalkan kehidupan pelayanan ilahi. Allah berjanji untuk mengukir hukum-Nya di hati mereka sehingga secara alamiah mereka akan melakukan hal-hal yang menyenangkan bagi Dia. Dalam kerajaan Kristus, dosa seluruhnya sudah ditaklukkan, dan kebenaran yang unggul" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang kerajaan Kristus yang kekal?
1. Kerajaan Kristus telah mulai dirintis ketika Ia datang dan hidup di dunia ini (Mat. 13:38; Mrk. 4:26-32), kemudian dilanjutkan melalui pekerjaan rasul-rasul (Luk. 9:2). Untuk sekarang ini bentuk dari kerajaan Kristus itu masih berupa kerajaan rohani, tapi sesudah masa seribu tahun kerajaan itu akan berdiri secara fisik di dunia baru.
2. Dunia baru adalah sebuah planet ciptaan baru, bukan hasil "renovasi" bumi kita ini. Sebagian orang mengutip 1Kor. 2:9 untuk melukiskan keadaan dunia baru, tetapi secara kontekstual ayat ini tidak berbicara tentang dunia baru melainkan tentang rahasia hikmat Allah. Sumber kutipan Paulus ketika mengekspresikannya (Yes. 64:4) juga tidak dalam konteks dunia baru.
3. Penguasa dunia baru nanti adalah semua umat tebusan, sistem pemerintahannya adalah kebenaran Kristus, dan Hukum Allah adalah "konstitusi" dari kerajaan yang kekal itu. Manusia yang hidup di dunia baru nanti tidak akan mengalami kesulitan apapun dalam menaati hukum-hukum Allah, sebab hukum itu sudah tertanam dalam hati dan menjadi bagian dari tabiat mereka.

Kamis, 26 Juni
KEABADIAN HUKUM MORAL (Hukum Dalam Kerajaan Itu)

Maut ditaklukkan. Di Taman Eden: hukum melahirkan pelanggaran, pelanggaran melahirkan dosa, dosa melahirkan maut; di Bukit Golgota: kasih karunia melahirkan pengampunan, pengampunan melahirkan keselamatan, keselamatan melahirkan kekekalan. Akibat dosa Adam, maut mengalahkan umat manusia; berkat penurutan Kristus, maut itu telah dikalahkan. Memang, akibat yang paling mengerikan dari dosa adalah maut, itulah sebabnya kematian adalah musuh terbesar bagi manusia. Kitabsuci menyatakan, "Musuh terakhir yang akan ditaklukkan ialah kematian" (1Kor. 15:26, BIMK), dan itu akan terjadi sesudah masa seribu tahun bilamana "maut dan kerajaan maut itu dilemparkan ke dalam lautan api" (Why. 20:14). Seperti yang kita tahu, "lautan api" itu adalah neraka, yaitu "api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya" (Mat. 25:41). Ke tempat itulah "kerajaan maut" (Grika: hadēs; Ibrani: sheol) itu akan dicampakkan.

"Tidak disangsikan bahwa kematian itu berkaitan dengan dosa, yang artinya kematian juga berkaitan dengan hukum Allah; sebab dosa adalah pelanggaran hukum Allah. Dengan demikian, tidak mungkin ada dosa tanpa hukum. Sekalipun dosa itu bergantung pada hukum, hukum itu terpisah dari dosa. Jadi, hukum bisa eksis tanpa dosa. Bahkan, keadaan seperti itu sudah berlangsung selama berabad-abad sampai Lusifer memberontak di surga" [alinea ketiga].

Hukum Allah dan dosa adalah dua hal yang berbeda dan masing-masing berdiri sendiri. Hukum berasal dari Allah, tetapi dosa tidak datang dari Allah. Bahkan, hukum dan dosa merupakan dua hal yang saling berlawanan. Meskipun dosa adalah "akibat" dari pelanggaran hukum, tapi hukum dan dosa bukan datang sebagai pasangan sebab keduanya berasal dari kutub yang bertentangan. Hukum Allah itu abadi, tetapi dosa hanya bersifat sementara karena Kristus "telah menyatakan diri-Nya, supaya Ia menghapus segala dosa, dan di dalam Dia tidak ada dosa" (1Yoh. 3:5).

Kerajaan kekal dan hukum abadi. Bilamana Kristus akan mendirikan kerajaan-Nya yang kekal di dunia baru nanti, prinsip-prinsip hukum Allah yang abadi akan menjadi semacam "konstitusi" (undang-undang dasar) dari kerajaan itu. Hanya hukum yang abadi dapat dijadikan dasar dari kerajaan yang kekal. Prinsip-prinsip hukum yang akan terukir di dalam pikiran dan hati sanubari seluruh warga kerajaan itu membuat moral setiap orang secara otomatis dikendalikan oleh prinsip-prinsip hukum itu, dan dengan demikian pelanggaran terhadap hukum menjadi mustahil. Bukan berarti bahwa warganegara kerajaan kekal itu akan terdiri atas manusia-manusia robot, tetapi moralitas penduduk dunia baru itu sudah sedemikian rupa sehingga kemungkinan pelanggaran menjadi nihil.

"Dengan pemikiran ini, ketiadaan maut dan dosa dalam kerajaan Allah tidak menuntut ketiadaan hukum...Bilamana Allah menuliskan hukum-Nya di dalam hati umat tebusan, maksud satu-satunya ialah menyegel keputusan mereka berjalan dalam jalan kebenaran untuk selama-lamanya. Karena itu, hukum-Nya menjadi esensi utama dari kerajaan-Nya. Jadi, kita memiliki segala alasan untuk percaya bahwa prinsip-prinsip hukum moral Allah akan ada di dalam kerajaan Allah yang kekal. Bedanya, tentu saja, bahwa di sana prinsip-prinsip itu tidak akan pernah dilanggar seperti yang sudah terjadi di sini" [alinea terakhir: kalimat pertama dan empat kalimat terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Kepada saya telah ditunjukkan bahwa hukum Allah akan tegak untuk selama-lamanya, dan eksis di dunia baru sepanjang masa kekekalan" (Ellen G. White, Early Writings, hlm. 217). "Tidak lama lagi kita akan melihat Dia yang menjadi pusat dari pengharapan kita akan hidup kekal. Dan di hadirat-Nya segala cobaan dan penderitaan hidup sekarang ini akan menjadi tidak berarti apa-apa...Pandanglah ke atas, pandanglah ke atas, dan biarlah imanmu terus bertambah. Hendaklah iman ini membimbingmu sepanjang jalan sempit yang menuntun ke gerbang kota Allah, ke dalam kemuliaan masa depan yang agung dan luas serta tak terbatas yang disediakan bagi umat tebusan" (Ellen G. White, Our Father Cares, hlm. 89).

Apa yang kita pelajari tentang kerajaan dan hukum Allah yang kekal?
1. Dosa bukan saja telah membawa kematian bagi manusia tapi juga menghadirkan keadaan "setengah mati" dalam kehidupan manusia, suatu kondisi yang seringkali terasa jauh lebih berat dari kematian itu sendiri. Tidak sedikit umat Tuhan yang gagal di tengah jalan karena tidak tahan menderita. Sebab itu, "Kuatkanlah tangan yang lemah lesu dan teguhkanlah lutut yang goyah" (Yes. 35:3).
2. Untuk menjamin tidak ada lagi pelanggaran di dunia baru nanti, sebenarnya Allah mempunyai dua pilihan: meniadakan hukum-Nya, atau menjadikan umat tebusan sebagai "manusia robot." Allah tidak memilih salah satu di antara alternatif itu, tetapi menghilangkan kedua pilihan tersebut. Di dunia baru nanti, hukum Allah itu akan tetap ada dan penghuninya pun bukan robot.
3. Satu jaminan yang menggembirakan kita pelajari dalam pelajaran ini, yaitu di dunia baru nanti tak seorang pun dari umat tebusan itu yang akan melanggar hukum Allah dan berdosa, sebab prinsip-prinsip hukum moral Allah akan ditanamkan ke dalam hati sanubari kita masing-masing. Sekarang pun kita dapat meminta kuasa Allah untuk mengalahkan godaan dosa.

Jumat, 27 Juni
PENUTUP

Keteladanan Kristus. Dalam keadaan di mana dosa merupakan sifat bawaan kita manusia, dan hidup di lingkungan berdosa dengan kehadiran si penggoda yang setiap saat membuntuti kita, tak seorang pun bisa luput dari dosa. Keberdosaan adalah kutukan terbesar dalam kehidupan manusia, tapi dalam hal ini kita tak dapat menyalahkan siapa pun kecuali merenungi nasib sendiri. Namun ada hal yang dapat kita lakukan dan mungkin untuk dilakukan, ialah berharap pada pengasihan Allah. Pada waktu yang sama, kita juga dapat belajar dari keteladanan Kristus yang dalam keadaan kemanusiaan telah berhasil menuruti hukum Allah itu dan tidak berdosa. Keteladanan apa yang bisa kita pelajari dari Dia?

"Setan telah menyatakan bahwa mustahil bagi manusia untuk menaati perintah-perintah Allah, dan adalah benar bahwa dengan kekuatan kita sendiri kita tidak dapat menurutinya. Tetapi Kristus sudah datang dalam wujud manusia, dan oleh penurutan-Nya yang sempurna Ia membuktikan bahwa perpaduan kemanusiaan dan keilahian dapat menaati setiap peraturan Allah itu..." [alinea pertama].

Dalam cara apa dan bagaimana kita dapat memadukan "kemanusiaan dan keilahian" supaya sanggup menuruti perintah-perintah Allah dan hukum-hukum-Nya? Sisi keilahian itu berhubungan dengan kuasa, dan sisi kemanusiaan berkaitan dengan tekad. Untuk dapat menaati hukum Allah dengan sempurna membutuhkan kuasa Allah dan tekad manusia. Kuasa ilahi sudah pasti lebih ampuh dari kekuatan pengaruh dosa, tetapi untuk mengaktifkan kuasa itu dalam diri anda dan saya harus ada kemauan yang sungguh di pihak kita untuk menuruti hukum-hukum itu serta kesediaan untuk menerima kuasa penurutan dari Allah. Seperti bila anda hendak berselancar di dunia maya, ketersediaan hot spot di tempat anda berada harus diikuti dengan setelan wi-fi pada perangkat elektronik (ponsel atau komputer) anda yang sudah dihidupkan baru hubungan internet bisa berlangsung dengan sukses. Pemutusan hubungan sewaktu-waktu dapat terjadi bila anda keluar dari wilayah liputan, atau jika anda mematikan setelan pada piranti keras milik anda!

Sebagaimana telah kita pelajari bahwa umat tebusan akan memerintah bersama Kristus di dalam kerajaan-Nya di dunia baru nanti. Memerintah ada hubungannya dengan kemenangan, sebab hanya mereka yang sudah menang dalam suatu pertarungan berhak untuk memerintah. Umat tebusan adalah orang-orang yang sudah memenangkan pertarungan di dunia ini, yaitu menang dalam pergumulan iman dan dari melawan pengaruh dosa. Para penghuni dunia baru adalah setiap orang yang sudah menang bersama Yesus Kristus.

"Barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku, sebagaimana Aku pun telah menang dan duduk bersama-sama dengan Bapa-Ku di atas takhta-Nya" (Why. 3:21).

(Oleh Loddy Lintong/California, 26 Juni 2014)

Jumat, 20 Juni 2014

PELAJARAN SEKOLAH SABAT KE-XII; 21 Juni 2014 "GEREJA KRISTUS DAN HUKUM"



PELAJARAN KE-XII; 21 Juni 2014
"GEREJA KRISTUS DAN HUKUM"


Sabat Petang, 14 Juni
PENDAHULUAN

Hukum dan kasih karunia. Untuk apa Allah menciptakan manusia? Allah sendiri berkata dalam firman-Nya bahwa manusia "Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku" (Yes. 43:7), karena itu Ia telah menciptakan manusia "menurut gambar-Nya" (Kej. 1:27; BIMK: "seperti diri-Nya sendiri"). Tetapi akibat dosa maka manusia "telah kehilangan kemuliaan Allah" itu (Rm. 3:23), dan hanya oleh iman kepada kasih karunia Allah saja manusia mempunyai "pengharapan akan menerima kemuliaan Allah" yang telah hilang itu (Rm. 5:2). Melalui kasih karunia itu Allah akan mengubah kita kembali sehingga "menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar" (2Kor. 3:18).

Tampaknya, Allah memang ingin memulihkan manusia kepada keadaan sebelum berdosa untuk menunjukkan bahwa Dialah sumber segala kemuliaan. "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Rm. 11:36). Sebagai respon kita terhadap tawaran kasih karunia Allah yang akan memulihkan kemuliaan itu, rasul Paulus menasihati kita sebagai umat percaya agar memperhatikan tingkah laku dalam setiap hal yang kita perbuat. Katanya, "Lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah" (1Kor. 10:31). Memelihara tingkah laku kita selaras dengan kemuliaan Allah, itu berarti hidup menurut hukum Allah.

"Gereja Allah ibarat sebuah regu lari estafet. Dimulai dari Adam di Taman Getsemane, tongkat estafet itu telah diteruskan melalui beberapa tahap sejarah keselamatan: dari Nuh kepada Abraham kepada Sinai kepada gereja Perjanjian Baru kepada gereja Reformasi, dan sekarang kepada mereka yang mengumandangkan pekabaran tiga malaikat...Lambang dari kesinambungan gereja Allah adalah hukum-Nya, yang sesudah kejatuhan harus selalu dipasangkan dengan kasih karunia Allah. Keduanya secara bersama-sama merupakan intisari dari injil" [ainea kedua dan ketiga].

Minggu, 15 Juni
HUKUM ALLAH DI TAMAN EDEN (Dari Adam ke Nuh)

Dipanggil keluar. Banyak orang yang sering menyebut "gereja" sebagai sebuah tempat ibadah umat Kristiani, atau terkadang juga untuk menyebut suatu sekte Kristen tertentu. Tetapi itu bukan pemahaman yang alkitabiah, sebab menurut Alkitab "gereja" itu merujuk kepada orang-orang yang tergabung dalam sebuah jemaat atau persekutuan jemaat. Dalam bahasa asli Perjanjian Baru (Grika), kata "gereja" pertama kali muncul dalam ucapan Yesus kepada Petrus (Mat. 16:18). Kata asli yang diterjemahkan dengan jemaat dalam ayat ini adalah ekklēsia, sebuah kata benda feminin yang arti harfiahnya adalah "sekumpulan warga yang dipanggil keluar dari rumah mereka untuk berhimpun di sebuah tempat umum" (Strong; G1577). Kata ini merupakan bentukan dari dua komponen, ek (kata perangkai yang dalam hal ini berarti "dari") dan kaleō (kata kerja yang berarti "memanggil" atau "mengundang").

Menurut sejarah Yunani purba, ekklēsia adalah sebuah tradisi demokrasi yang berlaku pada "zaman keemasan" kota Atena (480-404 SM) ketika pada waktu-waktu tertentu warga khususnya kaum pria dewasa "dipanggil keluar" dari rumah-rumah mereka untuk berkumpul di lapangan semacam alun-alun dalam rangka pengambilan keputusan bersama ataupun untuk mendengar pengumuman penting. Para penulis Alkitab kemudian mengadopsi istilah ini untuk menyebut orang-orang yang terpanggil untuk menjadi pengikut Kristus, yang kemudian dinamai "jemaat." Jadi, "gereja" pada dasarnya merujuk kepada manusia, bukan bangunan. PB versi King James menggunakan kata "jemaat" sebanyak 115 kali dalam 112 ayat.

Meskipun kita dapat mengatakan bahwa "gereja Kristus" resminya baru muncul di zaman Perjanjian Baru, yaitu sesudah Yesus Kristus mencanangkan berdirinya "gereja" atau "jemaat" (Mat. 16:18) yang berada di bawah otoritas-Nya (Ef. 1:22-23), namun berdasarkan makna kata "ekklesia" sebagai perhimpunan orang-orang yang "dipanggil keluar" dari dunia maka yang dimaksudkan dengan "jemaat Allah" itu sesungguhnya sudah ada sejak zaman Perjanjian Lama. Kata Ibrani qahal yang berarti "jemaah" atau "perhimpunan orang banyak" (Strong; H6950) telah mulai digunakan untuk keturunan Abraham (Kej. 28:3; Kel. 12:6). "Dipinjam dari dunia sekuler, kata tersebut merujuk kepada orang-orang yang telah 'dipanggil keluar.' Pada setiap generasi, Allah telah 'memanggil keluar' satu umat untuk memantulkan kehendak-Nya melalui kehidupan yang mengandung kesetiaan, keyakinan, kasih, dan penurutan" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].

Ujian dan kebebasan moral. Allah menciptakan manusia tidak saja sebagai makhluk cerdas tapi juga sebagai makhluk bermoral, dan inilah yang membedakan manusia dari hewan. Bersamaan dengan kecakapan berpikir dan kecakapan moralitas tersebut, Allah juga telah mengaruniakan kepada manusia kebebasan untuk menggunakan kedua kecakapan itu. Maka, dalam hal membuat keputusan-keputusan, manusia bukan saja harus menggunakan kecakapan berpikirnya tapi juga kecakapan moralitasnya. Sangat berbahaya jika seseorang memutuskan sesuatu tindakan semata-mata berdasarkan pikirannya tanpa mempertimbangkan moralnya, sebagaimana yang dapat kita lihat dalam tindakan Adam dan Hawa di Taman Eden ketika memetik dan memakan buah larangan itu (Kej. 2:16-17).

Perhatikan bahwa Adam dan Hawa berdosa bukan karena melanggar Sepuluh Perintah secara faktual (sebab hukum itu baru diturunkan kepada manusia sekitar 2500 tahun kemudian, yaitu 26 generasi dari Adam hingga Musa), meskipun prinsip-prinsip dari hukum itu sudah berlaku. Tetapi secara faktual Adam dan Hawa berdosa semata-mata karena melanggar perintah Allah, "Janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati" (Kej. 2:17; bandingkan dengan 3:11). Saya dapat pastikan bahwa buah "pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat" itu sama sekali tidak mengandung racun yang mematikan, tetapi pelanggaran terhadap perintah Allah itulah yang mematikan. Jadi, unsur pokok di sini bukan pada buah itu sendiri tetapi pada larangan Allah untuk memakannya, dan maksud dari larangan itu adalah sebagai ujian atas kebebasan moral yang Allah telah karuniakan kepada pasangan pertama manusia itu. Adam dan Hawa berdosa bukan karena memakan buah pohon yang membahayakan tubuh dan jiwa mereka, tetapi mereka berdosa akibat pilihan moral yang salah.

"Pada pusat moralitas adalah hukum, hukum Allah, yang menegaskan kebaikan dan kejahatan bagi kita (perhatikan bahwa pohon itu dinamai 'pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat'). Apa gunanya suatu hukum yang melarang berdusta, mencuri, dan membunuh jika makhluk-makhluk ini tidak sanggup melakukan salah satu dari hal-hal tersebut untuk memulai? Hukum itu sendiri tidak akan ada artinya dalam satu jagat raya dengan makhluk-makhluk yang secara otomatis hanya bisa berbuat yang baik saja. Namun bukan itu yang Allah maksudkan untuk menciptakan kita. Ia tidak dapat lakukan itu kalau Ia menginginkan makhluk-makhluk yang bisa sungguh-sungguh mengasihi" [alinea keempat].

Apa yang kita pelajari tentang pelanggaran hukum Adam dan Hawa?
1. Setelah Allah menciptakan pasangan manusia pertama, Adam dan Hawa, Ia memberi perintah kepada mereka agar tidak memakan buah larangan di Taman Eden. Larangan itu adalah hukum terhadap mana nenek moyang manusia itu harus tunduk, dan dalam pengertian tertentu larangan itu adalah "panggilan" kepada manusia pertama itu untuk mengikuti perintah Allah.
2. Manusia telah diciptakan Allah sebagai makhluk yang cerdas dan bermoral serta kebebasan untuk menggunakan kedua kecakapan tersebut. Dalam rangka mengembangkan kecerdasan dan moralitas itu Allah memberi mereka ujian berupa larangan memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, tetapi mereka gagal dalam ujian perdana itu dengan segala akibatnya.
3. Sepuluh Perintah Allah disebut "hukum moral" karena substansi moral yang dikandung pada setiap hukum tersebut, karena itu ketaatan pada Sepuluh Perintah itu merupakan tanggungjawab moral manusia terhadap Allah dan terhadap sesamanya manusia. Ketaatan ataupun pelanggaran kita atas hukum-hukum itu adalah bukti nyata dari moralitas anda dan saya.

Senin, 16 Juni
KEBEJATAN MORAL MANUSIA (Dari Nuh kepada Abraham)

Ketika Allah "menyesal." Nuh adalah generasi kesepuluh dari Adam yang hidup sekitar 16 abad sesudah penciptaan, atau antara tahun 2400-2300 SM. Alkitab mencatat bahwa pada zaman Nuh itu kejahatan manusia sudah demikian memuncak sehingga "menyesallah Tuhan, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya" (Kej. 6:6). Kata asli yang diterjemahkan dengan menyesal pada ayat ini adalah nacham (baca: na-haam), sebuah kata kerja dari akar kata primitif yang dapat juga diterjemahkan dengan menghibur, atau dalam pengertian tertentu berubah pikiran. Secara harfiah bisa diterangkan sebagai "menarik nafas panjang untuk menenangkan hati" (Strong; H5162), atau dalam ungkapan lain ialah "mengelus dada." Kata Ibrani yang sama juga digunakan dalam Keluaran 32:14 ketika Allah "menyesal...karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya." Jadi, tergantung pada konteks kalimatnya, kata Ibrani nacham dapat berarti suatu emosi yang negatif ataupun positif.

"Dunia di mana Nuh dilahirkan lebih buruk dari masyarakat mana saja yang pernah ada, artinya bahwa masyarakat waktu itu sangat jahat. Dengan umur manusia yang bisa mencapai hampir seribu tahun, tidak sukar untuk melihat bagaimana kejahatan begitu berakar dalam masyarakat sehingga Allah jadi menyesal bahwa Ia pernah menciptakan manusia!" [alinea pertama].

Barangkali pertanyaan yang penting adalah: Apakah Allah bisa menyesal dan berubah pikiran? Allah yang mahatahu itu pasti sudah mengetahui apa yang akan terjadi di kemudian hari, termasuk bahwa Adam dan Hawa bakal melanggar perintah-Nya dan berdosa sehingga keturunan mereka pun akan menjadi orang-orang yang jahat. Mengapa Allah tetap menciptakan manusia dengan hak bebas memilih seperti itu, lau sekarang "menyesal" karena sudah menciptakan mereka?

Allah tidak menyesal. Alkitab menyatakan bahwa "Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal" (Bil. 23:19); bahkan, "Sang Mulia dari Israel tidak berdusta dan Ia tidak tahu menyesal; sebab Ia bukan manusia yang harus menyesal" (1Sam. 15:29). Dalam kedua ayat ini kata Ibrani yang digunakan untuk menyesal adalah nacham, sama dengan kata dalam Kej. 6:6 di atas. Apakah dengan ini bisa dianggap bahwa Alkitab itu kontradiktif, di satu bagian menyebutkan Allah itu "menyesal" tapi di bagian lain mengatakan Ia "tidak menyesal"? Bagaimana kita menerangkan perbedaan dari ayat-ayat ini?

Perlu diketahui bahwa Alkitab ditulis oleh manusia berdasarkan tuntunan Roh Allah, tetapi dalam penulisannya menggunakan gaya bahasa penulisnya, dan dalam menerangkan sesuatu peristiwa penulisnya mengandalkan daya penangkapannya sendiri. Tetapi ada bagian-bagian dalam Alkitab yang isinya merupakan salinan secara verbatim (kata demi kata) menurut apa yang diucapkan Allah. Ada kalanya juga penulisan Alkitab menggunakan apa yang disebut "bahasa fenomenologis" (phenomenological language), yaitu penuturan berdasarkan apa yang tampak menurut perspektif penulisnya, walaupun itu tidak menerangkan keadaan yang sebenarnya. Dalam upaya untuk menjelaskan sesuatu kebenaran tentang Allah, misalnya sebuah pernyataan yang bersifat teologis (theological statement), penulis Alkitab tidak menggunakan istilah-istilah teknis yang akurat tetapi hanya menggunakan kata-kata biasa yang umum. Ketika Musa dan Samuel menulis bahwa "Allah tidak menyesal" (Bil. 23:19; 1Sam. 15:29), mereka sedang menyampaikan sebuah pernyataan teologis tentang Allah; tatkala Musa mengatakan bahwa "Allah menyesal" (Kej. 6:6), dia sedang bertutur dalam bahasa fenomenologis berdasarkan pengamatannya sendiri.

Alasan mengapa Musa mengatakan bahwa "Allah menyesal" sudah menciptakan manusia ialah karena "kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata" (Kej. 6:5). Pada zaman Nuh itu bukan saja populasi manusia yang jauh meningkat (ay. 1), tapi juga pelecehan seksual (ay. 2), kerusakan alam (ay. 11), dan kebejatan moral manusia (ay. 12). Alkitab mengatakan pula bahwa keadaan pada zaman Nuh itu sama dengan keadaan pada zaman akhir: "Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia. Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia" (Mat. 24:37-40).

Apa yang kita pelajari tentang keadaan dunia pada zaman Nuh?
1. Dosa sifatnya bertumbuh secara kuantitatif dan kualitatif, seperti apa yang terjadi dari zaman Adam dan Hawa kepada zaman Nuh. Akibatnya maka Allah terpaksa melakukan tindakan pemusnahan masal, atau dalam pengertian tertentu adalah semacam "pemutihan" dengan cara melenyapkan seluruh manusia dan hanya menyisakan keluarga Nuh yang terdiri atas delapan orang saja.
2. Nuh (artinya "penghiburan" atau "kelegaan"--Kej. 5:29) mendapat kasih karunia Tuhan (Kej. 6:8) dan dipilih menjadi nenek moyang manusia generasi baru karena dia "seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah" (ay. 9). Lingkungan yang jahat dan bobrok bukan alasan bagi kita untuk ikut menjadi jahat dan bobrok pula.
3. Kejahatan dan kebejatan manusia pada zaman Nuh adalah akibat dari manusia yang mengabaikan hukum Allah. Bukankah kondisi dengan gejala yang serupa dapat kita saksikan sekarang ini, di mana pun kita tinggal dan ke mana pun kita pergi? Sepuluh Perintah Allah adalah untuk kebaikan manusia, bila hukum itu dilanggar kejahatan pun merajalela.

Selasa, 17 Juni
GENERASI BARU YANG GAGAL (Dari Abraham kepada Musa)

Sejarah yang berulang. Sesudah air bah, Nuh bersama istri dan tiga putranya--Sem, Ham, dan Yafet; Kej. 5:32--beserta istri mereka masing-masing adalah satu-satunya keluarga di bumi ini. Allah kemudian memberkati mereka sambil berfirman, "Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta penuhilah bumi" (Kej. 9:1; huruf miring ditambahkan). Perintah ini sama seperti yang Allah sampaikan kepada Adam dan Hawa, "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu..." (Kej. 1:28; huruf miring ditambahkan). Tetapi setelah keturunan Nuh bertambah banyak, bukannya mereka hidup berpencar untuk memenuhi bumi ini sesuai dengan perintah Allah, tapi mereka semua menuju ke arah timur dan tiba di satu tempat berupa lembah yang luas "di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana" (Kej. 11:2). Tanah Sinear adalah sebutan lain untuk Babel (Kej. 10:10). Bukan saja tinggal bersama-sama di situ, tetapi keturunan Nuh itu sepakat untuk mendirikan sebuah kota dengan menara yang puncaknya menjulang sampai ke langit dengan maksud "supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi" (Kej. 11:4; huruf miring ditambahkan). Jadi, tujuan pembangunan pencakar langit pertama di dunia yang kemudian dikenal sebagai "Menara Babel" itu nyata-nyata untuk menunjukkan perlawanan terhadap perintah Allah.

"Sesudah Air Bah, adalah tanggungjawab Nuh dan anak-anaknya untuk menyampaikan kehendak Allah kepada keturunan mereka. Keluarga Nuh tahu bahwa penghancuran global sudah menimpa dunia sebagai akibat dari penolakan manusia untuk menaati hukum Allah, dan setelah mengalami kasih karunia Allah mereka dapat berbuat sesuatu untuk membantu menumbuhkan suatu generasi yang lebih setia. Sayangnya, tidak lama setelah air bah, penduduk bumi kembali memberontak (Kej. 11:1-9)" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].

Tampaknya apa yang dilakukan oleh keturunan Nuh itu merupakan pengulangan sejarah dari apa yang telah dilakukan oleh keturunan Adam sebelumnya. Nuh dan anak-anaknya tentu adalah orang-orang yang taat kepada Allah (kalau tidak begitu mereka tak akan terpilih sebagai sebuah keluarga untuk menurunkan satu generasi manusia baru), tetapi tidak semua anak-cucu mereka mewarisi ketaatan yang sama. Jadi, sifat ketaatan pada hukum Allah bukan sesuatu yang bisa diturunkan secara genetik, melainkan itu adalah pilihan pribadi.

Hukum dan kasih karunia. Setelah keturunan Adam dan keturunan Nuh gagal memenuhi maksud dari hakikat penciptaan manusia, Allah kemudian mengubah skenario dengan membangun satu umat melalui Abraham berdasarkan perjanjian. Apakah ada alasan spesifik mengapa Allah memilih Abraham (waktu dipanggil namanya adalah Abram), bukan orang lain? Petunjuknya datang dari pernyataan Allah sendiri, "Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan Tuhan..." (Kej. 18:19). Versi King James menerjemahkan bagian ayat ini, "For I know him, that he will command his children and his household after him..." (Sebab Aku mengenal dia, bahwa dia akan memerintahkan anak-anaknya dan kaum keluarganya menuruti dia...) Selain itu dalam PB ada penjelasan lain mengenai Abraham, "Karena beriman, maka Abraham menaati Allah ketika Allah memanggilnya dan menyuruhnya pergi ke negeri yang Allah janjikan kepadanya" (Ibr. 11:8, BIMK; huruf miring ditambahkan). Pada ayat terakhir ini kita bisa melihat hubungan kausalitas (hubungan sebab-akibat) yang erat antara iman dan ketaatan.

"Allah memanggil Abraham, seorang keturunan Sem, dan mengadakan perjanjian berkat dengan dia (Kej. 12:1-3). Alkitab tidak memberi kriteria untuk panggilan Allah pada Abraham. Dia tidak tampak seperti seorang yang mempunyai profil kebenaran seperti Nuh. Bahkan, tak lama setelah panggilan itu dia membuktikan dirinya adalah seorang pengecut dan penipu (Kej. 12:11-13), melanggar hukum Allah. Walaupun demikian, Abraham adalah seorang yang memiliki iman sejati, dan oleh kasih karunia Allah iman ini diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran. Meskipun tidak sempurna, dia bersedia mendengarkan suara Allah, sekalipun itu berarti mempercayai Allah untuk hal-hal yang semuanya kelihatan mustahil dari sudut pandang manusia" [alinea kedua].

Bagi Abraham, dan juga anak-anak Allah sebelum zaman Musa, hukum Allah diujudkan dalam bentuk perintah-perintah Allah melalui firman-Nya. Jadi, dalam kasus Abraham, ketaatannya pada perintah dan firman Allah itu sama dengan penurutannya pada hukum Allah. Karena ketaatan Abraham pada perintah dan firman Allah itulah maka dia beroleh kasih karunia Allah. Ketaatan dan penurutan itulah yang ditularkan kepada anak-anaknya melalui pengajaran dan kehidupan praktisnya, sehingga Ishak juga mengikuti keteladanan itu tatkala dia membatalkan niatnya untuk mengungsi ke Mesir dan tetap menumpang untuk sementara di negeri Filistin (Kej. 26:1-3). Allah kemudian menegaskan kembali janji-Nya dengan mengatakan, "Aku akan menepati sumpah yang telah Kuikrarkan kepada Abraham, ayahmu...karena Abraham telah mendengarkan firman-Ku dan memelihara kewajibannya kepada-Ku, yaitu segala perintah, ketetapan dan hukum-Ku" (ay. 3, 5). Ucapan ini juga sekaligus mengingatkan agar Ishak tetap memelihara iman ayahnya, dan mengajarkannya pula kepada anak-anaknya di kemudian hari.

Apa yang kita pelajari tentang iman dan penurutan Abraham?
1. Allah tidak pernah berhenti berusaha untuk menyelamatkan manusia dan memiliki satu umat yang taat kepada-Nya. Kegagalan Adam dan Nuh untuk melahirkan keturunan yang taat dan setia membuat Allah beralih kepada Abraham, jadi keturunan Abraham merupakan upaya ketiga bagi Allah untuk membangun satu umat yang bersedia menuruti kehendak-Nya.
2. Tidak seperti Nuh yang dipilih Allah berdasarkan penilaian pada kesalehan hidupnya, Abraham dipilih atas dasar perjanjian. Allah berjanji untuk memberi keturunan serta kemasyhuran dan memberkati keturunan Abraham, sebaliknya Abraham berjanji untuk taat pada hukum Allah dan mengajarkan ketaatan itu kepada keturunannya.
3. Dalam kasus Adam, kesetiaan terhadap perintah Allah tidak bertahan lama karena pemberontakan sudah terjadi sejak dini pada generasi pertama dan kedua. Dalam kasus Nuh, kesetiaan itu bertahan sedikit lebih lama, setidaknya sampai dua generasi. Dalam kasus Abraham, kesetiaan bertahan lebih lama lagi, mungkin sampai beberapa generasi. Peran dari pengajaran dan keteladanan orangtua menentukan ketahanan kesetiaan anak-anak.

Rabu, 18 Juni
JANJI YANG DITEPATI (Dari Musa kepada Yesus)

Membangun satu umat. Selama kurang-lebih 2100 tahun pertama riwayat bumi ini, sejak penciptaan (generasi Adam) hingga air bah (generasi Nuh), Allah memperlakukan semua manusia sama dan tidak ada etnis ataupun ras tertentu yang diperhatikan secara khusus. Alkitab mengindikasikan bahwa sejak kematian Habel sampai lahirnya generasi ketiga manusia telah melupakan Allah, sebab setelah kelahiran Enos, cucu Adam dari Set, barulah "orang mulai memanggil nama Tuhan" (Kej. 4:26). Sebagian orang menyebutnya sebagai "kebangkitan rohani pertama" dalam sejarah umat manusia. Berdasarkan kronologi Alkitab (Kej. 5:3-8), Enos lahir pada tahun 235 AM (Anno Mundi, atau Tahun Dunia)--yaitu 130 tahun umur Adam ketika memperanakkan Set (ay. 3) ditambah 105 tahun umur Set ketika memperanakkan Enos (ay. 6)--yang berarti bahwa selama kurun waktu hampir 235 tahun itu adalah "zaman kegelapan." Meskipun manusia mulai mencari Allah, tampaknya sebagian besar orang tetap tidak peduli terhadap Tuhan dan hidup dalam kejahatan yang kian bertambah, sampai mencapai puncaknya ketika Allah mendatangkan air bah untuk membinasakan manusia. Tetapi gagalnya keturunan Nuh memperbaiki akhlak manusia, dengan menghasilkan generasi baru yang taat hukum Tuhan, membuat Allah berniat membangun satu umat menjadi sebagai "kerajaan imam dan bangsa yang kudus" (Kel. 19:6).

Mengapa Allah perlu memiliki satu umat di atas dunia ini, dan mengapa bangsa Israel yang dipilih-Nya? Pertama, Allah memerlukan satu umat melalui siapa Ia akan memenuhi janji-Nya kepada Adam dan Hawa yaitu seorang keturunan dari perempuan itu yang akan "meremukkan kepala" Setan (Kej. 3:15). Kedua, Allah memilih bangsa Israel menjadi "umat yang kudus bagi Tuhan" demi untuk "memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyang" mereka (Ul. 7:6, 8). Jadi, Allah memerlukan satu umat yang kudus karena rencana keselamatan yang dirancang-Nya bagi manusia, dan Ia memilih bangsa Israel karena terikat pada sumpah perjanjian-Nya kepada Abraham. Supaya rencana dan janji Allah itu terwujud, Musa berpesan kepada bangsa Israel purba: "Sebab itu haruslah kau ketahui, bahwa Tuhan, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang setia, yang memegang perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang kasih kepada-Nya dan berpegang pada perintah-Nya...Jadi berpeganglah pada perintah, yakni ketetapan dan peraturan yang kusampaikan kepadamu pada hari ini untuk dilakukan" (ay. 9, 11).

"Ketika Allah memilih Israel menjadi tempat penyimpanan hukum-Nya, Ia sudah tahu bahwa mereka adalah umat yang tidak sempurna. Namun, Ia mempercayakan kepada mereka tugas membagikan kehendak-Nya kepada orang-orang lain yang tidak sempurna. Julukan 'kerajaan imam dan bangsa yang kudus' (Kel. 19:6) menunjukkan bahwa Israel harus menjadi para imam pengantara Allah bagi seluruh dunia. Bangsa itulah yang dipilih untuk membawakan kebenaran dari kehendak Allah kepada bangsa-bangsa yang bingung. Dan, terlepas dari kesalahan-kesalahan serta kegagalan-kegagalan, dan banyak kali pemberontakan terang-terangan dari bangsa Israel itu, tetap dari antara bangsa inilah Mesias sudah datang, hidup, melayani dan mati, untuk memenuhi perjanjian pakai sumpah yang diadakan dengan Abraham berabad-abad lampau" [alinea kedua].

Janji keselamatan dari "benih" Abraham. Dari tiga janji Allah ketika memanggil Abraham (waktu itu masih bernama Abram; Kej. 12:1-3) ada satu janji yang manfaatnya bersifat umum dan global--dengan demikian relevan bagi kita sebagai umat Kristen yang bukan orang Yahudi--yaitu "engkau akan menjadi berkat" (ay. 2; huruf miring ditambahkan). Janji ini kemudian diulangi lagi kepada Ishak, anaknya, dengan cara yang lebih tegas: "Oleh keturunanmu semua bangsa di bumi akan mendapat berkat" (Kej. 26:4; huruf miring ditambahkan). Janji spesifik inilah yang kemudian dikutip oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia (3:8), ketika dia berbicara tentang "Injil" yang berasal dari Abraham. Sang rasul menegaskan, "Yesus Kristus telah membuat ini, supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu...Adapun kepada Abraham diucapkan segala janji itu dan kepada keturunannya. Tidak dikatakan 'kepada keturunan-keturunannya' seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya satu orang: 'dan kepada keturunanmu,' yaitu Kristus" (Gal. 3:14, 16; huruf miring ditambahkan).

"Sekalipun banyak yang di zaman Israel purba memahami bentuk kata benda tunggal dari 'benih' itu berarti Israel sebagai satu kelompok tunggal, Paulus di sini menyodorkan Yesus secara Pribadi sebagai kegenapan sejati dan sempurna dari janji pakai sumpah itu. Jadi, injil itu sendiri, dengan penekanannya yang jelas pada hukum dan kasih karunia, secara paling lengkap menunjukkan dan menyingkapkan perjanjian itu" [alinea terakhir].

Sesungguhnya, ketika Allah memilih Abraham menjadi nenek moyang dari satu umat, dan Israel sebagai umat perjanjian itu sendiri, bertujuan untuk menjadikan mereka sebagai "saluran berkat" bagi manusia pada umumnya. Allah tidak bermaksud membangun satu umat melalui Abraham yang akan menjadi satu-satunya kelompok orang di dunia ini yang akan diselamatkan dalam kerajaan surga, melainkan untuk menjadikan mereka sebagai sarana melalui mana keselamatan bagi segala bangsa itu bisa terlaksana. Seorang "Yesus Kristus" bisa saja lahir dari orangtua mana saja yang berasal dari bangsa apa saja, tetapi Yesus Kristus sebagai "Mesias" harus berasal dari "keturunan Abraham" dan lebih khusus lagi haruslah "akar dan benih Daud" (Why. 22:16, TL).

Apa yang kita pelajari tentang janji Allah kepada Abraham yang digenapi dalam Yesus Kristus?
1. Allah memilih Abraham menjadi nenek moyang dari satu "umat pilihan" agar di dunia ini ada satu "kerajaan imam" yang memelihara hukum Allah secara sempurna dan utuh. Selain itu, Allah juga berencana bahwa melalui "bangsa yang kudus" itu Juruselamat dunia akan lahir melalui siapa rencana keselamatan itu akan terlaksana.
2. Keturunan Abraham sudah gagal memegang perjanjian mereka dengan Allah, tetapi Allah tidak gagal menggenapi janji-Nya. Sebab dalam perjanjian Allah dengan Abraham ada satu "klausul" yang manfaatnya lebih luas dari sekadar kepentingan bangsa Israel sebagai keturunan langsung dari Abraham, yaitu janji tentang keselamatan bagi semua manusia.
2. Yesus Kristus adalah "benih" (=keturunan) Abraham sebagai ujud janji Allah untuk menjadikan Abraham, melalui keturunannya, sebagai berkat keselamatan bagi dunia yang diperoleh dengan iman (Yoh. 3:16). Dan sebagaimana "kepada Abraham iman diperhitungkan sebagai kebenaran" (Rm. 4:9), demikian pula "kepada kita pun Allah memperhitungkannya" (ay. 23-24).

Kamis, 19 Juni
HUKUM ALLAH DAN UMAT YANG SISA (Dari Yesus kepada Umat yang Sisa)

Pelari estafet terakhir. Sampai dengan pelajaran hari Rabu kemarin (18 Juni) kita sudah membahas tentang tiga generasi "pelari estafet" yang pada tangan mereka memegang Hukum Allah, ataupun prinsip-prinsip dari hukum itu, sebagai "tongkat estafet" untuk dipertahankan melalui penurutan. Berturut-turut adalah Adam dan keturunannya, Nuh dan keturunannya, serta Abraham dan keturunannya. Melalui keturunan Abraham, pada generasi Musa, hukum Allah itu telah dinyatakan dalam bentuknya yang lebih rinci dan lebih kongkret dari sebelumnya, yaitu Sepuluh Perintah. Meskipun selama tiga generasi pelari estafet itu Allah secara pribadi menuntun perjalanan mereka, dengan memberi petunjuk-petunjuk langsung secara lisan, kenyataannya mereka gagal mempertahankan penurutan pada hukum itu. Akibat kegagalan demi kegagalan itu Allah telah mengutus Putra Tunggal-Nya dalam sosok Yesus Kristus, selain untuk mati sebagai tebusan atas kegagalan-kegagalan tersebut, juga untuk membuktikan bahwa sebenarnya manusia mampu menaati hukum Allah itu dan terus mempertahankannya sampai mencapai garis akhir.

"Sementara 'tongkat' itu diteruskan dari generasi ke generasi, tidak ada pelari yang cukup layak untuk melewati garis akhir. Tidak ada penerima hukum itu yang sanggup mencapai tingkaty kebenaran dari hukum itu...Namun demikian, bilamana kelihatannya seolah-olah segala harapan telah lenyap, Allah mengutus Putra-Nya 'untuk menerima tongkat itu.' Sebagai Adam Kedua, Yesus datang ke bumi ini tanpa dosa, dan melalui penyerahan yang terus-menerus kepada Bapa-Nya berhasil memelihara penurutan-Nya sampai ke Salib. Dengan kebangkitan-Nya, Yesus melewati garis akhir oleh karena Dia mematahkan belenggu maut itu. Sekarang, melalui kuasa Roh, Kristus yang sudah bangkit itu membagikan kebenaran-Nya kepada setiap orang percaya" [alinea pertama: kalimat ketiga dan keempat; alinea kedua: empat kalimat pertama].

Setelah kegagalan tiga pelari estafet sebelumnya (Adam, Nuh, dan Abraham), harapan terakhir adalah kepada "pelari estafet terakhir" atau yang keempat, yaitu "keturunan yang lain" dari perempuan itu (=Gereja Kristen), yakni satu umat "yang menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus" (Why. 12:17). Kata Grika--bahasa asli PB--yang diterjemahkan dengan "keturunan yang lain" dalam ayat ini adalah loipos, sebuah kata keterangan yang artinya sisa (Strong; G3062). Versi King James menerjemahkannya dengan "the remnant"  ("yang sisa"), dan Alkitab versi Terjemahan Lama menyebutnya "yang lagi tinggal." Tampaknya terjemahan Alkitab versi TB maupun BIMK untuk bagian ini mengandung penyimpangan penafsiran, entah karena apa. Sebab itu kita lebih suka menyebut "keturunan yang lain" dalam ayat ini sebagai "umat yang sisa" sesuai dengan makna yang sebenarnya. Tetapi pertanyaan yang paling penting dan hakiki di sini adalah: Apakah kelompok "umat yang sisa" pada zaman akhir ini, sebagai "pelari estafet" keempat dan terakhir, akan berhasil mempertahankan tongkat estafet Hukum Allah itu sampai ke garis akhir--atau tidak?

Pekabaran Tiga Malaikat. Penglihatan Yohanes Pewahyu tentang tiga malaikat yang secara berturut-turut melintasi langit sambil menyampaikan amaran-amaran kepada manusia yang hidup di zaman akhir merupakan landasan missi Gereja MAHK. Bahkan dapat dikatakan bahwa Gereja Advent berdiri karena terdorong oleh missi ini, sehingga tanpa pekabaran tiga malaikat maka gereja kita ini tidak lebih dari sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) biasa dengan ciri agamis. Gereja Advent adalah Pekabaran Tiga Malaikat, dan Pekabaran Tiga Malaikat adalah Gereja Advent.

Pekabaran malaikat pertama, yang pada tangannya ada "Injil yang kekal" (Why. 14:6), ialah: "Takutlah akan Allah dan muliakanlah Dia, karena telah tiba saat penghakiman-Nya, dan sembahlah Dia yang telah menjadikan langit dan bumi dan laut dan semua mata air" (ay. 7; huruf miring ditambahkan). Manusia diamarkan agar "takut, muliakan, dan sembah" kepada Allah sebab proses penghakiman segera--atau pada saat ini: sudah--berlangsung. Berdasarkan apa manusia dihakimi? Berdasarkan Hukum Allah! Malaikat kedua berseru: "Sudah rubuh, sudah rubuh Babel, kota besar itu, yang telah memabukkan segala bangsa dengan anggur hawa nafsu cabulnya" (ay. 8; huruf miring ditambahkan). Babel melambangkan "kekacauan" dalam arti kata sarat dengan pemutarbalikkan kebenaran Kitabsuci, dan "Babel" ini merujuk kepada gereja Katolik Roma dan Kepausan. Babel moderen "sudah rubuh" bukan secara fisik, melainkan dalam arti doktrinnya yang sudah dirontokkan oleh gerakan Reformasi Protestan. Malaikat ketiga mengamarkan: "Jikalau seorang menyembah binatang dan patungnya itu, dan menerima tanda pada dahinya atau pada tangannya, maka ia akan minum dari anggur murka Allah..." (ay. 9-10; huruf miring ditambahkan). Menerima dan mengamalkan ajaran palsu dari Babel moderen, karena terpengaruh atau terpaksa, sama-sama akan merasakan hukuman Allah.

"Sayangnya, gereja Kristen--walaupun memiliki semua terang ini--membuktikan dirinya berkali-kali kurang setia terhadap perjanjian itu dibandingkan dengan Israel purba, dan kemurtadan yang dalam mengambil alih nyaris di mana-mana. Reformasi yang dimulai pada abad keenambelas mulai membalikkan kecenderungan ini, tetapi itupun goyah dan banyak doktrin-doktrin serta pengajaran palsu tetap ada dalam dunia Kristen, termasuk (seperti yang telah kita lihat) pandangan-pandangan yang keliru tentang peran dan maksud dari hukum itu dalam kehidupan Kekristenan dari Perjanjian yang Baru. Allah mau memanggil keluar satu umat yang sisa untuk memulihkan banyak kebenaran-kebenaran yang telah hilang" [alinea ketiga].

Apa yang kita pelajari tentang "umat yang sisa" sebagai pelari estafet terakhir yang membawa tongkat Hukum Allah itu?
1. Sejak dari masa penciptaan Allah ingin memiliki satu umat yang terdiri dari orang-orang yang taat kepada perintah dan prinsip-prinsip hukum-Nya. Tetapi satu persatu generasi-generasi pembawa tongkat estafet (Hukum Allah) itu berguguran karena gagal. Melalui Yesus Kristus "tongkat estafet" itu dipercayakan kepada umat yang sisa di zaman akhir.
2. Inti dari Pekabaran Tiga Malaikat ialah bahwa penurutan pada Hukum Allah harus melebihi ketaatan pada perintah manusia. Mengamarkan dunia dengan pekabaran ini berarti  menyadarkan manusia tentang Allah yang mahakuasa, dan tentang penghakiman akhir yang menentukan nasib abadi dari setiap orang.
3. Pekabaran Tiga Malaikat bertujuan memanggil sebanyak-banyaknya orang agar keluar dari balik kepalsuan untuk berhimpun menjadi satu umat yang memelihara hukum Allah serta hidup menurut perintah hukum itu, dan untuk ikut berlari bersama sambil memegang "tongkat estafet" Hukum Allah itu di fase pamungkas menuju garis akhir.

Jumat, 20 Juni
PENUTUP

Pekerjaan terpenting. Pekabaran Tiga Malaikat adalah missi utama dari Gereja Advent, bukan sekadar penarikan jiwa atau baptisan. Jumlah baptisan hanyalah ukuran kuantitatif dari suatu usaha penginjilan, dan seringkali tidak melambangkan keberhasilan sesungguhnya dari apa yang harus kita lakukan sebagai kewajiban "umat yang sisa" di zaman akhir. Mungkin sudah waktunya bagi kita untuk mengembalikan semangat penginjilan yang mula-mula dari para pelopor dan pendiri gereja ini, yaitu untuk mengumandangkan Pekabaran Tiga Malaikat tanpa merisaukan soal angka-angka baptisan yang hanya bersifat pengisi laporan dan data.

"Kepada setiap jiwa yang menerima Yesus, salib Golgota itu berkata: 'Lihatlah nilai dari jiwa-jiwa itu.' 'Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk' (Mrk. 16:15). Tidak ada yang boleh diizinkan merintangi pekerjaan ini. Itulah pekerjaan paling penting untuk zaman ini; pekerjaan itu harus menjangkau jauh hingga kekekalan. Kasih yang Yesus tunjukkan bagi jiwa-jiwa manusia dalam pengorbanan yang Ia adakan untuk penebusan mereka akan menggerakkan semua pengikut-Nya" [alinea pertama: empat kalimat terakhir].

Dalam konteks Pekabaran Tiga Malaikat, penginjilan adalah seruan untuk menyembah Allah dengan cara meninggikan Hukum-Nya, sebab dengan hukum itu setiap manusia akan dihakimi dan menerima ganjarannya. Penginjilan dalam konteks ini adalah juga seruan agar mewaspadai tipu-muslihat iblis melalui gereja palsu dengan doktrinnya yang juga palsu. Penginjilan dalam konteks Pekabaran Tiga Malaikat adalah mengalihkan pandangan manusia dari dunia ini kepada Allah, kalau perlu dengan cara yang lebih agresif dan tak kenal menyerah.

"Hendaklah engkau mengabarkan berita dari Allah itu, dan terus mendesak supaya orang mendengarnya, apakah mereka mau atau tidak. Hendaklah engkau meyakinkan orang, menunjukkan kesalahan, dan memberi dorongan kepada mereka. Ajarlah orang dengan sesabar mungkin. Sebab akan sampai waktunya orang tidak mau lagi menerima ajaran yang benar. Sebaliknya, mereka akan menuruti keinginan mereka sendiri, dan mengumpulkan banyak guru guna diajarkan hal-hal yang enak didengar di telinga mereka" (2Tim. 4:2-3, BIMK).

(Oleh Loddy Lintong/California, 19 Juni 2014)

Jumat, 13 Juni 2014

PELAJARAN SEKOLAH SABAT KE-XI; 14 Juni 2014 "PARA RASUL DAN HUKUM"




PELAJARAN KE-XI; 14 Juni 2014
"PARA RASUL DAN HUKUM"


Sabat Petang, 7 Juni
PENDAHULUAN

Orang Kristen dan Hukum Allah. Apakah Sepuluh Perintah Allah masih berlaku bagi umat Kristen? Kalau ya, seberapa besar hukum moral itu berpengaruh dalam keselamatan, kalau kita diselamatkan hanya oleh kasih karunia Allah dan bukan karena penurutan hukum Allah? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menjadi perdebatan dari masa ke masa, dan bagi banyak orang Kristen telah menimbulkan sikap ambivalensi (keragu-raguan). Meskipun tidak ada orang Kristen yang menolak Sepuluh Perintah (Sepuluh Hukum) Allah itu sebagai bagian dari doktrin Kekristenan, banyak yang menganggapnya sebagai sekadar kaidah moral yang tidak berpengaruh langsung terhadap keselamatan.

Menyangkut pemahaman tentang kewajiban menaati Sepuluh Perintah, umat Kristiani secara umum terbagi ke dalam tiga kelompok: (1) di bawah Perjanjian yang Baru penurutan pada hukum-hukum itu bukan lagi kewajiban; (2) hukum keempat dari Sepuluh Perintah itu, yakni tentang pengudusan Sabat hari ketujuh dalam pekan, bukan sebagai kewajiban karena hukum itu sudah dipalangkan bersama Kristus di kayu salib; (3) Sepuluh Perintah itu adalah wajib, tapi hukum keempat sudah diganti dari hari ketujuh (Sabtu) menjadi hari pertama (Minggu).

Terdapat dua kutub ekstrem dalam teologi Kristen tentang keselamatan: di satu pihak adalah paham legalisme yang meyakini bahwa keselamatan harus dicapai melalui penurutan Hukum Allah, di pihak lain adalah paham antinomianisme yang percaya bahwa keselamatan hanya oleh iman kepada kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus yang membebaskan dari kewajiban menaati Hukum Allah. Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh tidak berada di salah satu dari dua kutub yang saling bertentangan tersebut, tetapi posisi kita adalah menganut kedua paham itu secara seimbang. Kita percaya dan mengajarkan bahwa keselamatan hanya melalui kasih karunia Allah oleh iman kepada Yesus Kristus, tapi juga percaya dan mengajarkan bahwa penurutan pada Sepuluh Perintah secara utuh merupakan respon terhadap keselamatan yang kita peroleh secara cuma-cuma itu sebagaimana dituntut dalam Kitabsuci.

"Dengan begitu banyak bukti perihal keabsahan hukum Allah yang berkelanjutan, mengapa begitu banyak orang Kristen yang menentangnya?...Banyak masalah yang muncul karena semua posisi ini. Pekan ini kita akan melihat pada sikap rasul-rasul Kristus menyangkut hukum tersebut, karena sudah pasti jika hukum itu harus ditiadakan ataupun disesuaikan setelah kematian Kristus, para rasul sudah tentu mengetahui sesuatu tentang hal itu" [alinea pertama dan terakhir].


Minggu, 8 Juni
APA ARTINYA BERADA DI BAWAH KASIH KARUNIA (Paulus dan Hukum)

Inspirator, bukan pendiri. Gereja didirikan oleh Yesus Kristus sendiri (Mat. 16:18), tetapi sebutan "orang Kristen" pertama kali muncul ketika pengikut-pengikut Kristus yang mula-mula itu berkumpul di Antiokhia (Kis. 11:26). Ini terjadi pada waktu Paulus belum lama bertobat dan langsung menginjil di kampung halamannya di Tarsus, dari mana Barnabas kemudian membawanya ke Antiokhia di mana mereka tinggal dan bekerja bersama-sama satu tahun lamanya. Paulus yang rajin menulis surat penggembalaan kepada jemaat-jemaat Kristen di abad pertama itu, di mana dalam surat-suratnya terkandung begitu banyak doktrin kebenaran perihal Kekristenan, oleh para pakar penyelidik Alkitab moderen sang rasul juga sering dijuluki sebagai inspirator besar Kristen.

Surat-surat penggembalaan Paulus itu, utamanya kepada jemaat di Roma dan Galatia, banyak menyoroti soal hukum Allah dalam paham Kekristenan. Namun, jika kita perhatikan dengan lebih seksama, tantangan Paulus bukanlah terhadap Sepuluh Perintah tapi lebih khusus adalah terhadap sunat yang diwajibkan kepada orang Yahudi berdasarkan hukum Taurat. Sebenarnya, sunat adalah "tanda perjanjian" yang bersifat spesifik antara Allah dengan Abraham dan keturunannya (Kej. 17:10-12), bukan bagian dari Sepuluh Perintah sebagai hukum moral yang bersifat universil. Terhadap sunat, dan juga beberapa ketentuan lain dalam hukum upacara keagamaan Yahudi, itulah yang ditolak oleh Paulus untuk diberlakukan pada orang-orang Kristen non-Yahudi sebagaimana yang dipaksakan oleh kaum Farisi dan pemuka-pemuka agama Yahudi. Sang rasul menegaskan bahwa orang Kristen tidak berada di bawah hukum Taurat, melainkan di bawah kasih karunia (Rm. 3:28; 6:14; 7:4 dan Gal. 3:24-25).

"Jika dibaca secara terpisah, ayat-ayat ini pasti memberi kesan bahwa hukum itu tidak lagi relevan bagi orang Kristen. Akan tetapi, semua ayat ini merupakan bagian dari konteks lebih luas yang harus kita perhatikan dalam rangka memahami apa yang sebenarnya Paulus sedang katakan" [alinea kedua].

Hukum dalam konteks kasih karunia. Perkataan retorika Paulus, "Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya" (Rm. 3:31) merupakan penjelasan dari pernyataan sebelumnya, "Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat" (ay. 28; huruf miring ditambahkan). Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, logika itu dibalik dengan mengucapkan kata-kata retorika lebih dulu, "Kalau demikian, bertentangankah hukum Taurat dengan janji-janji Allah? Sekali-kali tidak!" (Gal. 3:21), sebagai penjelasan terhadap pernyataannya kemudian, "Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman" (ay. 24; huruf miring ditambahkan). Dalam perkataan lain, sang rasul hendak menegaskan bahwa keselamatan melalui kasih karunia oleh iman itu sama sekali tidak menafikan hukum Taurat.

Di sini "hukum Taurat" yang dia maksudkan bukan sekadar sunat, tetapi lebih kepada Sepuluh Perintah sebagai hukum moral. Atau, dalam gaya bahasa gaul, sang rasul hendak mengatakan bahwa mentang-mentang kita sudah dibenarkan oleh iman kepada kasih karunia lalu kita bisa begitu saja cuekin hukum Allah itu. Sebagai orang Kristen kita dibebaskan dari kewajiban menaati "hukum Taurat" dalam hal sunat, tetapi kita tidak dibebaskan dari kewajiban menaati "hukum Taurat" dalam hal Sepuluh Perintah. Setelah menjadi orang Kristen, dan dibenarkan dari pelanggaran-pelanggaran sebelumnya terhadap Sepuluh Perintah, kita sudah memiliki jaminan keselamatan di dalam Kristus. Sebaliknya, sesudah diselamatkan kita wajib untuk lebih taat lagi kepada Sepuluh Perintah itu sebagai respon kita terhadap keselamatan yang telah kita peroleh secara cuma-cuma.

"Jika hukum adalah sarana untuk keselamatan, maka tidak akan ada orang yang memiliki pengharapan akan hidup kekal. Pengharapan orang Kristen tidak terdapat dalam hukum itu, melainkan dalam Yesus Kristus yang bukan saja telah memelihara hukum itu dengan sempurna tapi juga yang melalui kuasa ajaib Allah mengizinkan orang-orang percaya untuk turut menikmati kebenaran-Nya (Rm. 8:3-4). Sekarang orang Kristen dapat melayani hukum Allah dengan hati nurani yang bebas karena Kristus sudah mengambil kutukan hukum itu (Rm. 7:25-8:2). Kasih karunia yang datang melalui Kristus tidak melepaskan kita dari hukum tapi sebaliknya mendorong kita untuk mematuhinya" [alinea terakhir: empat kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang ajaran Paulus mengenai hukum Allah?
1. Rasul Paulus bukan penganjur "agama baru" yang sekarang ini kita kenal sebagai Kekristenan, tetapi dia adalah tokoh utama dalam pengembangan Kekristenan di abad-abad permulaan dan tulisan-tulisannya menjadi sumber dari banyak doktrin Kristen. Barangkali memang Tuhan telah memilih Paulus sejak dia masih dalam kandungan ibunya (Gal. 1:15).
2. Doktrin bahwa orang yang percaya kepada Yesus dosanya telah dihapuskan sehingga mereka "tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia" (Rm. 6:14) merupakan tonggak iman Kristiani yang bersumber dari tulisan rasul Paulus. Namun, status baru ini tidak membebaskan orang Kristen dari kewajiban menaati hukum Sepuluh Perintah (ay. 15).
3. Orang berdosa tidak dibenarkan melalui penurutan hukum, melainkan oleh iman (Rm. 3:28), tetapi hukum itulah yang menuntun kita untuk sampai kepada Kristus (ay. 24). Jadi, hukum Allah (Sepuluh Perintah) mempunyai andil terhadap pembenaran orang berdosa, dan dengan demikian merupakan jalan menuju kepada kasih karunia itu.



Senin, 9 Juni
DARI GELAP KEPADA TERANG (Petrus dan Hukum)

Ketaatan Petrus. Kaisaria adalah sebuah kota pesisir di Laut Tengah yang penduduknya kebanyak warganegara Romawi, dan di kota ini terdapat istana gubernur wilayah Yudea dan menjadi markas dari sebuah pasukan yang disebut Resimen Italia dengan komandannya Kornelius, seorang yang saleh, dermawan, dan "senantiasa berdoa kepada Allah" (Kis. 10:2). Suatu hari malaikat Allah menampakkan diri kepadanya di rumahnya. Malaikat itu berkata kepadanya, "Semua doamu dan sedekahmu telah naik ke hadirat Allah dan Allah mengingat engkau" (ay. 4), seraya menyuruh dia untuk mengirim utusan menjemput Petrus yang berada di kota Yope yang berjarak sekitar 45 Km. Keesokan harinya, di rumah tempat Petrus menginap, pada tengah hari rasul itu mendapat penglihatan berupa sehelai kain lebar yang turun dari langit yang isinya berbagai jenis hewan berkaki empat maupun melata dan juga unggas yang dagingnya haram menurut hukum agama Yahudi (ay. 11-12). Dalam keadaan sedang lapar itu, malaikat menyuruh Petrus untuk menyembelih dan memakan hewan-hewan itu, tetapi ditolaknya. "Tidak, Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir," kata Petrus (ay. 14). Sampai tiga kali malaikat itu menyuruhnya tapi selalu ditolak Petrus, sampai akhirnya kain itu terangkat kembali ke langit. Sementara sang rasul bertanya-tanya apa maksud dari penglihatan tersebut, ketiga orang suruhan Kornelius sudah tiba di depan pintu rumah itu.

Belakangan Petrus tampaknya mengerti makna dari penglihatan itu, bahwa dalam hal penginjilan dia tidak boleh membiarkan dirinya terikat pada tradisi rasial bangsanya yang membeda-bedakan antara orang Yahudi dan non-Yahudi. "Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka. Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir," katanya kepada Kornelius (ay. 28; huruf miring ditambahkan). Tetapi, ketika dalam ketidaktahuannya telah menolak perintah malaikat Tuhan agar menyembelih serta memakan hewa-hewan haram itu, Petrus menunjukkan ketaatannya pada hukum Taurat dalam hal makanan halal dan haram (Imamat 11). Seandainya Petrus jadi menyembelih hewan-hewan haram itu lalu memakan dagingnya, dia mempunyai alasan yang kuat untuk melakukan itu: pertama, dia memang sedang sangat lapar; dan kedua, itu perintah malaikat Tuhan. Tetapi bagi Petrus, situasi bukanlah alasan yang sah untuk melanggar hukum Allah.

"Petrus menerima penglihatannya beberapa tahun setelah kenaikan Yesus. Sebagai hasil dari khotbah murid-murid, ribuan orang Yahudi telah menerima Yesus sebagai Mesias. Tidak ada dalam catatan Alkitab yang memberi kesan bahwa isi pekabaran Kristen termasuk petunjuk-petunjuk untuk menolak hukum. Secara tegas peristiwa dalam Kisah pasal 10 memperlihatkan bahwa umat Kristen yang mula-mula sepenuhnya dikaitkan dengan akar keyahudian mereka" [alinea kedua].

Bangsa yang kudus. Keluarnya bangsa Israel dari negeri Mesir adalah mewujudkan rencana Allah untuk menjadikan keturunan Abraham itu menjadi sebagai suatu bangsa yang berdaulat. Allah berkata melalui Musa tentang umat Israel, "Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kau katakan kepada orang Israel" (Kel. 19:6). Menulis kepada orang-orang Kristen abad pertama yang tersebar di Asia Kecil (sekarang wilayah Turki), "yaitu orang-orang yang dipilih sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita" (1Ptr. 1:2), rasul Petrus mengutip perkataan Allah dalam kitab Keluaran untuk mengingatkan orang Kristen tentang status mereka sebagai umat percaya: "Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib" (1Ptr. 2:9). Sebagaimana bangsa Israel dipanggil keluar dari tanah perhambaan di Mesir untuk menjadi bangsa yang kudus milik Allah sendiri, demikianlah orang Kristen dipanggil keluar dari kegelapan untuk menjadi bangsa yang kudus kepunyaan Allah sendiri.

Dalam Alkitab PB, inilah satu-satunya ayat yang menyebutkan tentang orang Kristen sebagai "bangsa yang kudus." Dalam PL sebutan ini tercatat dua kali, selain pada kitab Keluaran juga pada kitab Daniel yang menubuatkan perihal nasib umat Kristen di zaman akhir: "Satu masa dan dua masa dan setengah masa; dan setelah berakhir kuasa perusak bangsa yang kudus itu, maka segala hal ini akan digenapi!" (Dan. 12:7; huruf miring ditambahkan). Jadi, dalam PL pun orang Kristen zaman akhir juga sudah disebut sebagai "bangsa yang kudus."

"Ketika Petrus merujuk para pembacanya sebagai 'imamat yang rajani, bangsa yang kudus,' mungkin mereka langsung teringat akan kisah pemberian hukum di Sinai. Sebagai pewaris Israel, mereka diharapkan untuk menaati ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang dengan jelas disebutkan dalam hukum Allah. Lalu, segera setelah mengingatkan orang banyak tentang status mereka, Petrus mendesak mereka agar mengamalkan kehidupan kebenaran (1Ptr. 2:11-12). Dia juga mengamarkan pembacanya untuk waspada terhadap guru-guru palsu yang menyebarkan injil tanpa hukum (2Ptr. 2:21; 3:2)" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang pandangan rasul Petrus mengenai hukum Allah?
1. Petrus bukan saja salah satu murid terdekat Yesus, tapi dia juga seorang yang terkenal dengan pembawaan spontanitas. Kalau Yesus telah mengajarkan bahwa hukum Allah tidak belaku lagi bagi orang Kristen, tentu dialah yang pertama kali akan mengkhotbahkannya. Faktanya, dia justeru menganjurkan pemeliharaan hukum-hukum itu.
2. Penolakan Petrus terhadap perintah malaikat Tuhan agar menyembelih dan memakan hewan yang haram dalam penglihatannya itu menunjukkan pendirian sang rasul yang meninggikan hukum Taurat, sekalipun itu hanya soal makanan ketika dia sedang lapar. Ketaatan pada hukum Allah tidak tergantung pada situasi dan kondisi.
3. Adalah Petrus yang mengamarkan umat Kristen perihal status mereka sebagai "bangsa yang kudus" yang mesti dipertahankan dengan cara "mengingat akan perkataan yang dahulu telah diucapkan oleh nabi-nabi kudus dan mengingat akan perintah Tuhan" (2Ptr. 3:2).



Selasa, 10 Juni
KASIH, INTISARI HUKUM ALLAH (Yohanes dan Hukum)

"Yohanes yang kekasih." Yohanes termasuk bagian dari "lingkaran dalam" (inner circle) Yesus Kristus ketika hidup di dunia ini. Yohanes beserta dua murid lainnya, Petrus dan Yakobus, adalah tiga serangkai yang diajak Yesus untuk menemani Dia saat berdoa di Taman Getsemani sementara murid-murid yang lain menunggu di kejauhan (Mrk. 14:32-34). Tetapi agak berbeda dari watak Petrus yang spontan dan meledak-ledak, Yohanes tampaknya memiliki kepribadian yang lembut dan tenang. Tulisan-tulisan rasul Yohanes yang banyak bertemakan kasih menunjukkan ciri tabiatnya. Yohanes menghubungkan kasih dengan hukum Allah ketika dia menulis, "Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya. Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat" (1Yoh. 5:2-3).

Sebagai salah seorang murid terdekat, Yohanes mestinya juga tahu kalau Yesus pernah mengajarkan bahwa penurutan hukum Allah itu tidak diperlukan lagi bagi orang Kristen, karena sebagai pengikut-Nya mereka tidak lagi berada di bawah hukum tetapi di bawah kasih karunia. Namun kita tidak menemukan dalam tulisan-tulisannya bahwa hukum itu tidak relevan lagi, sebaliknya dia mengatakan bahwa penurutan pada hukum Allah adalah bukti dari kasihn kita kepada-Nya. "Dan inilah kasih itu, yaitu bahwa kita harus hidup menurut perintah-Nya. Dan inilah perintah itu, yaitu bahwa kamu harus hidup di dalam kasih, sebagaimana telah kamu dengar dari mulanya" (2Yoh. 1:6).

"Sama seperti Petrus, dia berada di antara murid-murid pertama yang dipilih Yesus, dan dia juga memiliki hubungan yang khusus dengan Yesus. Karena kedekatannya dengan Yesus itulah maka dia sering disebut sebagai 'Yohanes yang kekasih.' Menilai dari bagian akhir injil-Nya (Yoh. 21:25), Yohanes banyak mengetahui informasi pribadi tentang Yesus. Sudah tentu seorang yang dekat dengan Yesus seperti Yohanes ini pasti tahu sekiranya Yesus telah meniadakan hukum Allah" [alinea pertama: empat kalimat terakhir].

Kasih dan penurutan hukum. Yohanes mencatat perkataan Yesus ketika menegaskan perihal hubungan antara kasih dengan penurutan kepada perintah Tuhan, "Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya...Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu..." (Yoh. 15:10, 12). Pada kesempatan yang lain, sewaktu menjawab pertanyaan seorang ahli Taurat yang hendak mencobai-Nya, Yesus telah menguraikan bahwa kasih kepada Allah secara vertikal dan kasih kepada sesama manusia secara horisontal adalah "hukum yang terutama" (Mat. 22:36-40). Dari kedua rangkaian ayat ini kita dapat melihat konsistensi pandangan Yesus mengenai hubungan kasih dan penurutan hukum Allah, dan dengan memerintahkan kepada para pengikut-Nya untuk saling mengasihi maka Yesus telah memberi "energi baru" pada semangat untuk menaati hukum Allah itu.

Lebih jauh sang rasul menulis, "Dan inilah tandanya bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya. Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran" (1Yoh. 2:3-4). Jadi, penurutan kepada hukum Allah (Sepuluh Perintah) merupakan bukti nyata bahwa kita mengenal Allah yang telah menulis dan menurunkan hukum-hukum itu kepada manusia untuk ditaati. Anda tidak akan menuruti perintah seseorang yang anda tidak kenal, atau sedikitnya yang anda ketahui, bukan? Kita menaati hukum Allah karena kita tahu siapa Allah yang hukum-hukum-Nya itu kita taati, akan tetapi jika kita tidak menaati hukum-hukum-Nya itu menunjukkan bahwa pada hakikatnya kita tidak mengenal Dia.

"Yesus tidak memandang perintah-perintah itu sebagai penghalang-penghalang negatif untuk disingkirkan atau dibuang; gantinya, Ia melihatnya sebagai pedoman bagi suatu hubungan kasih dengan Dia dan dengan orang-orang lain. Ketika Yohanes, murid yang kekasih itu, mengingatkan orang Kristen akan kewajiban mereka terhadap Allah, dia menggunakan bahasa kasih dan persatuan yang sama seperti yang Yesus gunakan dalam Injil. Bahkan, Yohanes mengerti bahwa kasih selamanya merupakan intisari dari hukum itu (sebagai contoh, 2Yohanes 6). Seseorang tidak bisa menyatakan bahwa dia memelihara hukum itu kalau dia tidak terlibat dalam hubungan kasih dengan Allah dan sesama manusia" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang pandangan Yohanes perihal hukum Allah?
1. Yohanes adalah salah seorang murid terdekat Yesus yang dalam tulisan-tulisannya banyak menonjolkan sisi kepribadian dari Sang Guru, khususnya kasih sebagai ciri tabiat-Nya. Kita tidak menemukan indikasi apapun dalam tulisan-tulisan rasul Yohanes bahwa Yesus telah meniadakan hukum Allah, bahkan Ia menekankan penurutan pada hukum-hukum itu.
2. Penurutan pada hukum Allah (dalam hal ini adalah Sepuluh Perintah) harus didasari pada kasih, sebab hukum itu adalah kasih dan kasih itu adalah hukum. Selain itu, penurutan pada hukum Allah juga didasarkan pada pengenal kita tentang Dia. Kita mengenal Allah itu kasih, dan mengetahui bahwa substansi dari hukum-Nya adalah kasih, maka kita menaatinya karena mengasihi Dia.
3. Penurutan pada Sepuluh Perintah bukanlah penghalang bagi kasih kasih karunia Allah, sebaliknya penurutan pada hukum itu adalah buah-buah dari kasih karunia Allah yang telah kita terima. Kasih karunia Allah adalah sumber motivasi dan kekuatan kita untuk menuruti perintah-perintah Allah dalam hukum-Nya.



Rabu, 11 Juni
HUKUM YANG MEMERDEKAKAN (Yakobus dan Hukum)

Hukum utama. Yakobus adalah murid yang memiliki hubungan khusus dengan Yesus, selain menjadi bagian dari lingkaran dalam dia juga saudara Yesus (Mat. 13:55). Sebagai orang yang dibesarkan dalam satu keluarga yang sama tentu Yakobus sangat mengenal Yesus secara pribadi dan tahu persis bagaimana cara hidup-Nya sejak kecil dalam hal ketaatan pada hukum Allah. Tidak ada dalam tulisan rasul Yakobus yang memberi kesan bahwa Yesus mengabaikan hukum Allah, baik selama masa pertumbuhan-Nya sebagai kanak-kanak maupun dalam pengajaran-Nya setelah dewasa. Bahkan, Yakobus menyebut hukum Allah itu sebagai "hukum utama" (Yak. 2:8) dan "hukum yang memerdekakan" (ay. 12). Kata asli (dari bahasa Grika) yang diterjemahkan dengan utama pada ayat pertama adalah basilikos, sebuah kata sifat yang berkaitan dengan raja atau istana (Strong; G937), sehingga versi King James menerjemahkan frase ini dengan royal law. Sementara kata asli yang diterjemahkan dengan memerdekakan pada ayat kedua adalah eleutheria, sebuah kata benda feminin yang berarti "kebebasan berbuat atau melakukan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan keselamatan" (Strong; G1657), dan dalam versi King James diterjemahkan dengan law of liberty.

Pada bagian sebelumnya sang rasul telah menulis tentang hukum Allah itu sebagai berikut: "Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya" (Yak. 1:25; huruf miring ditambahkan). Jadi, menurut rasul Yakobus, selain hukum Allah itu adalah "utama" dan "memerdekakan" manusia, hukum itu juga "sempurna" sehingga jika seseorang meneliti hukum-hukum itu dengan tekun serta bersungguh-sungguh melakukannya maka orang itu akan "berbahagia."

"Hanya ada satu kitab dalam Perjanjian Baru yang dikaitkan dengan Yakobus. Sementara penulisnya tidak menegaskan Yakobus yang mana dia, tapi secara umum diterima bahwa surat ini dari Yakobus, saudara Yesus. Walaupun pada mulanya mungkin ragu-ragu tentang Kemesiasan Yesus (Yoh. 7:5), Yakobus pada akhirnya bangkit kepada posisi kepemimpinan yang berpengaruh dalam gereja Perjanjian Baru (Kis. 15:13; Gal. 1:19). Sekali lagi, kalau Yesus telah bermaksud untuk menghapus hukum ilahi, saudara-Nya sendiri pasti sudah mengetahuinya" [alinea kedua].

Dosa perbuatan dan kelalaian. Aslinya, Yakobus mengalamatkan suratnya kepada umat Kristen Yahudi, yakni "kedua belas suku di perantauan" (Yak. 1:1). Surat Yakobus ini merupakan sebuah tulisan yang mengandung sifat praktis, bahkan sering disebut sebagai kitab yang isinya bertutur banyak tentang "cara berbuat" (how-to book). Kalau rasul Paulus mengatakan bahwa dosa adalah "berbuat kesalahan" (Kol. 3:25), maka rasul Yakobus berkata, "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa" (Yak. 4:17). Dengan demikian kita mengetahui bahwa Alkitab mengajarkan tentang dua jenis utama dari dosa, yaitu "dosa karena perbuatan" (sin of commission), dan "dosa karena kelalaian" (sin of omission). Dosa karena perbuatan ialah mengetahui bahwa sesuatu tindakan adalah melanggar hukum Allah tapi tetap saja melakukannya, sedangkan dosa karena kelalaian ialah kegagalan untuk melaksanakan apa yang Allah perintahkan untuk dilakukan.

Mengambil contoh dari Sepuluh Perintah kita dapat dengan mudah memilah mana hukum yang bersifat perintah untuk melakukan dan mana hukum yang bersifat larangan. Dari kesepuluh perintah itu terdapat 8 hukum yang tidak boleh dilakukan, dan hanya 2 hukum (Hukum Keempat dan Kelima) yang harus dilakukan. Tentu bukan secara kebetulan bahwa dua hukum yang sifatnya aktif itu meliputi kewajiban manusia secara vertikal kepada Allah (Hukum Keempat tentang pengudusan Sabat hari ketujuh) dan kewajiban manusia secara horisontal terhadap sesamanya (Hukum Kelima tentang menghormati orangtua).

Rasul Yakobus juga yang mengatakan bahwa dalam melaksanakan intisari dari hukum utama yang kedua tentang kasih kepada sesama manusia itu harus adil dan tidak boleh dengan cara yang "memandang muka" (Yak. 2:8-9), dan dia pula yang menegaskan tentang pentingnya memelihara Sepuluh Perintah itu secara utuh dan lengkap sebab "mengabaikan satu bagian...bersalah terhadap seluruhnya" (ay. 10). "Seperti Paulus dalam Roma 13:9, Yakobus sepenuhnya mengerti bahwa intisari dari hukum Allah adalah kasih (Yak. 2:8). Tidak seorang pun dapat benar-benar mengakui telah memelihara perintah-perintah Allah kalau dia tidak memperlihatkan perbuatan-perbuatan kasih yang praktis" [alinea terakhir: dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang pendapat Yakobus mengenai hukum Allah?
1. Yakobus adalah murid terdekat dan sekaligus saudara dari Yesus Kristus yang mengetahui sikap Gurunya itu terhadap hukum Allah. Tidak ada tulisan apapun dalam surat Yakobus yang mengindikasikan bahwa Yesus telah menghapus Sepuluh Perintah Allah itu, sebaliknya Yakobus menyebut hukum utama itu "sempurna" dan "memerdekakan" manusia.
2. Paulus dan Yakobus tidak bertentangan dalam pandangan mereka tentang Sepuluh Perintah, bahkan keduanya saling mengisi dan melengkapi. Paulus menekankan tentang "dosa karena perbuatan" sebagai pelanggaran pada hukum Allah itu, dan Yakobus menegaskan tentang "dosa karena kelalaian" karena tidak melakukan apa yang diperintahkan.
3. Rasul Yakobus tidak melihat Sepuluh Perintah Allah sebagai larangan atau pembatasan yang sifatnya pasif, sebaliknya dia memandang hukum Allah itu sebagai tindakan atau perbuatan yang bersifat aktif. Perintah-perintah kasih (vertikal dan horisontal) yang menjadi intisari dari hukum Allah itu harus dilaksanakan tanpa pandang muka (Yak. 2:8-9).



Kamis, 12 Juni
MENGHARGAI KASIH KARUNIA (Yudas dan Hukum)

Amaran terhadap ajaran sesat. Yudas, atau bentuk lain dari Yehuda, adalah nama kebanyakan untuk anak laki-laki orang Ibrani, dan dalam PB terdapat enam tokoh dengan nama yang secara harfiah artinya "seorang yang terpuji" ini. Penulis kitab Yudas ini menyebut dirinya sebagai "hamba Kristus" dan saudara dari Yakobus, tentu saja dia bukan Yudas Iskariot murid Yesus yang berkhianat itu. Tulisan Yudas dalam PB merupakan sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada orang Kristen, Yahudi maupun non-Yahudi, yaitu "mereka yang terpanggil, yang dikasihi dalam nama Bapa" (ay. 1). Inti kitab Yudas paralel dengan tulisan rasul Petrus, khususnya surat Petrus yang kedua (2 Petrus), sehingga banyak pelajar Alkitab memastikan bahwa kedua tulisan ini memiliki narasumber yang sama. Meski singkat, tulisan Yudas sangat berguna bukan saja bagi orang Kristen abad permulaan tetapi khususnya juga penting bagi umat Kristen akhir zaman, sebab isinya yang mengandung nasihat agar "tetap berjuang mempertahankan iman" (ay. 3).

Salah satu bagian penting dari kitab Yudas adalah amaran tentang anasir-anasir ajaran sesat yang menyusup ke dalam gereja. "Sebab ternyata ada orang tertentu yang telah masuk menyelusup di tengah-tengah kamu, yaitu orang-orang yang telah lama ditentukan untuk dihukum. Mereka adalah orang-orang yang fasik, yang menyalahgunakan kasih karunia Allah kita untuk melampiaskan hawa nafsu mereka, dan yang menyangkal satu-satunya Penguasa dan Tuhan kita, Yesus Kristus," tulisnya (ay. 4; huruf miring ditambahkan). Frase "menyalahgunakan kasih karunia Allah" dalam ayat ini secara implisit merujuk kepada persepsi sebagian orang Kristen yang dengan sengaja melanggar hukum Allah karena merasa sudah aman berada di bawah kasih karunia, dan secara eksplisit berbicara tentang manipulasi kasih karunia itu.

Kata-kata dalam ayat di atas menyiratkan adanya ajaran-ajaran palsu di dalam Gereja yang bersifat pelecehan terhadap kasih karunia (abuse of grace) di satu sisi, dan pada sisi lain ajaran-ajaran itu merupakan penghinaan terhadap hukum (contempt of law). "Menyebutkan tentang kasih karunia menuntut adanya hukum, sebab kasih karunia tidak akan diperlukan kalau tidak ada dosa (Rm. 5:18-6:15). Apa yang guru-guru palsu ini ajarkan begitu jahatnya sehingga Yudas menyamakannya dengan penolakan terhadap Tuhan itu sendiri" [alinea ketiga].

Iman harus dinyatakan. Penulis kitab Ibrani mengingatkan para pembacanya tentang pengalaman bangsa Israel purba dalam pengembaraan di gurun Arabia ketika umat itu membangkitkan murka Allah, sehingga seluruh generasi--kecuali dua orang, Yohua dan Kaleb--yang berangkat dari Mesir tidak diizinkan masuk ke tanah perjanjian Kanaan dan binasa di padang belantara (Ibr. 3:16-19). Dua jenis dosa yang secara khusus disebutkan dalam ayat-ayat ini adalah dosa ketidak-taatan (ay. 18) dan dosa ketidakpercayaan (ay. 19).

Seirama dengan ayat-ayat dalam kitab Ibrani itu, Yudas menulis: "Tetapi, sekalipun kamu telah mengetahui semuanya itu dan tidak meragukannya lagi, aku ingin mengingatkan kamu bahwa memang Tuhan menyelamatkan umat-Nya dari tanah Mesir, namun sekali lagi membinasakan mereka yang tidak percaya. Dan bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar" (ay. 5-6; huruf miring ditambahkan).

"Dengan gaya diplomatisnya sendiri Yudas mengingatkan pembacanya tentang pengalaman umat Israel yang sudah dibebaskan dari perbudakan di Mesir. Allah telah memenunjukkan kekuatan-Nya dan bahkan memberikan kepada mereka hukum-Nya, tetapi bilamana mereka menjadi tidak setia maka mereka menghadapi akibat-akibat mengerikan yang datang karena terpisah dari Dia. Yudas dengan sangat jelas menyatakan bahwa manusia sesungguhnya dapat memungkiri, dan mereka yang berbuat itu akan menghadapi penghakiman. Kitab Yudas sama jelasnya seperti seluruh Kitabsuci: semua orang yang mengaku mempunyai iman harus bersedia mengekspresikan iman itu melalui kehidupan penurutan" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang perlunya ketaatan pada hukum Allah menurut Yudas?
1. Yudas menyebut pandangan dari sebagian orang Kristen yang menumbuhkan pola hidup penuh hawa nafsu sebagai penyangkalan terhadap hukum Allah. Mengingkari tuntutan ketaatan pada hukum Allah merupakan pelecehan terhadap kasih karunia Allah, dan ketidaktaatan itu akan berujung pada kebinasaan.
2. Ketidaktaatan dan ketidakpercayaan adalah dua jenis dosa yang secara khusus disorot pada bagian awal kitab Yudas (ay. 5 dan 6), dan keduanya berkaitan dengan eksistensi hukum Allah dalam Kekristenan. Orang Kristen yang tidak taat hukum berarti tidak percaya bahwa hukum Allah itu tetap eksis dan merupakan bagian yang integral dari Kekristenan.
3. Yudas mengingatkan orang Kristen agar mewaspadai pengaruh kesesatan Kain dan Bileam. Ciri-ciri orang yang sesat seperti itu, dia menulis: "Mereka itu orang-orang yang menggerutu dan mengeluh tentang nasibnya, hidup menuruti hawa nafsunya, tetapi mulut mereka mengeluarkan perkataan-perkataan yang bukan-bukan dan mereka menjilat orang untuk mendapat keuntungan" (ay. 16).



Jumat, 13 Juni
PENUTUP

Pertobatan dan pengampunan. Alkitab mengajarkan bahwa pengampunan tersedia bagi orang yang bertobat (Kis. 2:38; 8:22; Mrk. 1:4). Jadi, pertobatan dan pengampunan adalah dua hal yang saling berkaitan. Rumus alkitabiahnya adalah: "Kesadaran+Pertobatan=Pengampunan" (Kis. 3:19). Pengampunan adalah hasil dari sebuah proses, yaitu kesadaran akan dosa yang menuntun seseorang kepada pertobatan. Tidak ada orang yang sekonyong-konyong bertobat tanpa didahului oleh kesadaran bahwa dirinya berdosa, dan tidak ada orang yang tiba-tiba berkesimpulan bahwa dirinya berdosa tanpa mengenal hukum Allah. Logis, bukan?

Menurut injil, keselamatan itu berdasarkan pengampunan dosa (Luk. 1:77). Karena pengampunan itu sendiri, berdasarkan rumus di atas, adalah hasil dari kesadaran akan dosa ditambah pertobatan dari dosa, maka pengenalan akan dosa menjadi kunci yang membuka pintu pertama menuju kepada keselamatan. Karena hanya dengan hukum Allah "orang mengenal dosa" (Rm. 3:20; bandingkan dengan 7:7), maka kita dapat menguraikan secara lebih jelas posisi hukum Allah dalam keselamatan. Sederhananya begini: Hukum Allah membuat kita menyadari akan keberdosaan kita, kesadaran atas keberdosaan itu membawa kita kepada pertobatan, dengan pertobatan itu kita beroleh pengampunan, dan oleh pengampunan itu kita menerima keselamatan. Iman menjadi fondasi di atas mana tahapan demi tahapan tersebut dibangun sampai menjadi suatu kesatuan proses, dan kasih karunia menjadi payung yang melingkupi seluruh proses itu. Berdasarkan ini kita mungkin lebih mudah untuk memahami peran hukum Allah sebagai bagian tak terpisahkan dari keselamatan.

"Mengapa para rasul harus mengajarkan pertobatan terhadap Allah? Sebab seorang berdosa sedang bermasalah dengan Bapa. Dia sudah melanggar hukum; dia harus menyadari dosanya, dan bertobat. Apa tugas berikutnya? Memandang kepada Yesus yang oleh darah-Nya saja dapat membersihkan dari segala dosa...Tuhan kita menyatakan bahwa orang yang paling diampuni adalah orang yang paling dikasihi; dan hanya orang yang merasakan bahwa dirinya memerlukan pengampunan itulah yang melihat dirinya seperti apa adanya, dicemari oleh dosa, pelanggar hukum Allah yang suci. Orang yang memiliki keyakinan sepenuhnya akan tuntutan kudus dari hukum itu yang akan melihat paling jelas kehebatan pelanggarannya, dan akan merasakan bahwa dia sungguh telah banyak diampuni" [lima kalimat pertama dan dua kalimat terakhir].

"Carilah Tuhan selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat! Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada Tuhan, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya" (Yes. 55:6-7).

(Oleh Loddy Lintong/California, 12 Juni 2014)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...