PELAJARAN KE-XII; 21 Juni 2014
"GEREJA KRISTUS DAN HUKUM"
Sabat Petang, 14 Juni
PENDAHULUAN
Hukum dan kasih karunia. Untuk
apa Allah menciptakan manusia? Allah sendiri berkata dalam firman-Nya
bahwa manusia "Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku" (Yes. 43:7), karena itu Ia
telah menciptakan manusia "menurut gambar-Nya" (Kej. 1:27; BIMK:
"seperti diri-Nya sendiri"). Tetapi akibat dosa maka manusia "telah
kehilangan kemuliaan Allah" itu (Rm. 3:23), dan hanya oleh iman kepada
kasih karunia Allah saja manusia mempunyai "pengharapan akan menerima
kemuliaan Allah" yang telah hilang itu (Rm. 5:2). Melalui kasih karunia
itu Allah akan mengubah kita kembali sehingga "menjadi serupa dengan
gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar" (2Kor. 3:18).
Tampaknya,
Allah memang ingin memulihkan manusia kepada keadaan sebelum berdosa
untuk menunjukkan bahwa Dialah sumber segala kemuliaan. "Sebab segala
sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah
kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Rm. 11:36). Sebagai respon kita
terhadap tawaran kasih karunia Allah yang akan memulihkan kemuliaan itu,
rasul Paulus menasihati kita sebagai umat percaya agar memperhatikan
tingkah laku dalam setiap hal yang kita perbuat. Katanya, "Lakukanlah
semuanya itu untuk kemuliaan Allah" (1Kor. 10:31). Memelihara tingkah
laku kita selaras dengan kemuliaan Allah, itu berarti hidup menurut
hukum Allah.
"Gereja Allah ibarat sebuah regu lari
estafet. Dimulai dari Adam di Taman Getsemane, tongkat estafet itu telah
diteruskan melalui beberapa tahap sejarah keselamatan: dari Nuh kepada
Abraham kepada Sinai kepada gereja Perjanjian Baru kepada gereja
Reformasi, dan sekarang kepada mereka yang mengumandangkan pekabaran
tiga malaikat...Lambang dari kesinambungan gereja Allah adalah
hukum-Nya, yang sesudah kejatuhan harus selalu dipasangkan dengan kasih
karunia Allah. Keduanya secara bersama-sama merupakan intisari dari
injil" [ainea kedua dan ketiga].
Minggu, 15 Juni
HUKUM ALLAH DI TAMAN EDEN (Dari Adam ke Nuh)
Dipanggil keluar. Banyak
orang yang sering menyebut "gereja" sebagai sebuah tempat ibadah umat
Kristiani, atau terkadang juga untuk menyebut suatu sekte Kristen
tertentu. Tetapi itu bukan pemahaman yang alkitabiah, sebab menurut
Alkitab "gereja" itu merujuk kepada orang-orang yang tergabung dalam
sebuah jemaat atau persekutuan jemaat. Dalam bahasa asli Perjanjian Baru
(Grika), kata "gereja" pertama kali muncul dalam ucapan Yesus kepada
Petrus (Mat. 16:18). Kata asli yang diterjemahkan dengan
jemaat dalam ayat ini adalah
ekklēsia, sebuah
kata benda feminin yang arti harfiahnya adalah "sekumpulan warga yang
dipanggil keluar dari rumah mereka untuk berhimpun di sebuah tempat
umum" (Strong; G1577). Kata ini merupakan bentukan dari dua komponen,
ek (kata perangkai yang dalam hal ini berarti "dari") dan
kaleō (kata kerja yang berarti "memanggil" atau "mengundang").
Menurut sejarah Yunani purba,
ekklēsia adalah
sebuah tradisi demokrasi yang berlaku pada "zaman keemasan" kota Atena
(480-404 SM) ketika pada waktu-waktu tertentu warga khususnya kaum pria
dewasa "dipanggil keluar" dari rumah-rumah mereka untuk berkumpul di
lapangan semacam alun-alun dalam rangka pengambilan keputusan bersama
ataupun untuk mendengar pengumuman penting. Para penulis Alkitab
kemudian mengadopsi istilah ini untuk menyebut orang-orang yang
terpanggil untuk menjadi pengikut Kristus, yang kemudian dinamai
"jemaat." Jadi, "gereja" pada dasarnya merujuk kepada manusia, bukan
bangunan. PB versi King James menggunakan kata "jemaat" sebanyak 115
kali dalam 112 ayat.
Meskipun kita dapat mengatakan bahwa
"gereja Kristus" resminya baru muncul di zaman Perjanjian Baru, yaitu
sesudah Yesus Kristus mencanangkan berdirinya "gereja" atau "jemaat"
(Mat. 16:18) yang berada di bawah otoritas-Nya (Ef. 1:22-23), namun
berdasarkan makna kata "ekklesia" sebagai perhimpunan orang-orang yang
"dipanggil keluar" dari dunia maka yang dimaksudkan dengan "jemaat
Allah" itu sesungguhnya sudah ada sejak zaman Perjanjian Lama. Kata
Ibrani
qahal yang berarti "jemaah" atau "perhimpunan orang
banyak" (Strong; H6950) telah mulai digunakan untuk keturunan Abraham
(Kej. 28:3; Kel. 12:6). "Dipinjam dari dunia sekuler, kata tersebut
merujuk kepada orang-orang yang telah 'dipanggil keluar.' Pada setiap
generasi, Allah telah 'memanggil keluar' satu umat untuk memantulkan
kehendak-Nya melalui kehidupan yang mengandung kesetiaan, keyakinan,
kasih, dan penurutan" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].
Ujian dan kebebasan moral. Allah
menciptakan manusia tidak saja sebagai makhluk cerdas tapi juga sebagai
makhluk bermoral, dan inilah yang membedakan manusia dari hewan.
Bersamaan dengan kecakapan berpikir dan kecakapan moralitas tersebut,
Allah juga telah mengaruniakan kepada manusia kebebasan untuk
menggunakan kedua kecakapan itu. Maka, dalam hal membuat
keputusan-keputusan, manusia bukan saja harus menggunakan kecakapan
berpikirnya tapi juga kecakapan moralitasnya. Sangat berbahaya jika
seseorang memutuskan sesuatu tindakan semata-mata berdasarkan pikirannya
tanpa mempertimbangkan moralnya, sebagaimana yang dapat kita lihat
dalam tindakan Adam dan Hawa di Taman Eden ketika memetik dan memakan
buah larangan itu (Kej. 2:16-17).
Perhatikan bahwa Adam
dan Hawa berdosa bukan karena melanggar Sepuluh Perintah secara faktual
(sebab hukum itu baru diturunkan kepada manusia sekitar 2500 tahun
kemudian, yaitu 26 generasi dari Adam hingga Musa), meskipun
prinsip-prinsip dari hukum itu sudah berlaku. Tetapi secara faktual Adam
dan Hawa berdosa semata-mata karena melanggar perintah Allah,
"Janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya,
pastilah engkau mati" (Kej. 2:17; bandingkan dengan 3:11). Saya dapat
pastikan bahwa buah "pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat"
itu sama sekali tidak mengandung racun yang mematikan, tetapi
pelanggaran terhadap perintah Allah itulah yang mematikan. Jadi, unsur
pokok di sini bukan pada buah itu sendiri tetapi pada larangan Allah
untuk memakannya, dan maksud dari larangan itu adalah sebagai ujian atas
kebebasan moral yang Allah telah karuniakan kepada pasangan pertama
manusia itu. Adam dan Hawa berdosa bukan karena memakan buah pohon yang
membahayakan tubuh dan jiwa mereka, tetapi mereka berdosa akibat pilihan
moral yang salah.
"Pada pusat moralitas adalah hukum,
hukum Allah, yang menegaskan kebaikan dan kejahatan bagi kita
(perhatikan bahwa pohon itu dinamai 'pohon pengetahuan tentang yang baik
dan yang jahat'). Apa gunanya suatu hukum yang melarang berdusta,
mencuri, dan membunuh jika makhluk-makhluk ini tidak sanggup melakukan
salah satu dari hal-hal tersebut untuk memulai? Hukum itu sendiri tidak
akan ada artinya dalam satu jagat raya dengan makhluk-makhluk yang
secara otomatis hanya bisa berbuat yang baik saja. Namun bukan itu yang
Allah maksudkan untuk menciptakan kita. Ia tidak dapat lakukan itu kalau
Ia menginginkan makhluk-makhluk yang bisa sungguh-sungguh mengasihi"
[alinea keempat].
Apa yang kita pelajari tentang pelanggaran hukum Adam dan Hawa?
1.
Setelah Allah menciptakan pasangan manusia pertama, Adam dan Hawa, Ia
memberi perintah kepada mereka agar tidak memakan buah larangan di Taman
Eden. Larangan itu adalah hukum terhadap mana nenek moyang manusia itu
harus tunduk, dan dalam pengertian tertentu larangan itu adalah
"panggilan" kepada manusia pertama itu untuk mengikuti perintah Allah.
2.
Manusia telah diciptakan Allah sebagai makhluk yang cerdas dan bermoral
serta kebebasan untuk menggunakan kedua kecakapan tersebut. Dalam
rangka mengembangkan kecerdasan dan moralitas itu Allah memberi mereka
ujian berupa larangan memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat,
tetapi mereka gagal dalam ujian perdana itu dengan segala akibatnya.
3.
Sepuluh Perintah Allah disebut "hukum moral" karena substansi moral
yang dikandung pada setiap hukum tersebut, karena itu ketaatan pada
Sepuluh Perintah itu merupakan tanggungjawab moral manusia terhadap
Allah dan terhadap sesamanya manusia. Ketaatan ataupun pelanggaran kita
atas hukum-hukum itu adalah bukti nyata dari moralitas anda dan saya.
Senin, 16 Juni
KEBEJATAN MORAL MANUSIA (Dari Nuh kepada Abraham)
Ketika Allah "menyesal." Nuh
adalah generasi kesepuluh dari Adam yang hidup sekitar 16 abad sesudah
penciptaan, atau antara tahun 2400-2300 SM. Alkitab mencatat bahwa pada
zaman Nuh itu kejahatan manusia sudah demikian memuncak sehingga
"menyesallah Tuhan, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal
itu memilukan hati-Nya" (Kej. 6:6). Kata asli yang diterjemahkan dengan
menyesal pada ayat ini adalah
nacham (baca: na-haam), sebuah kata kerja dari akar kata primitif yang dapat juga diterjemahkan dengan
menghibur, atau dalam pengertian tertentu
berubah pikiran. Secara
harfiah bisa diterangkan sebagai "menarik nafas panjang untuk
menenangkan hati" (Strong; H5162), atau dalam ungkapan lain ialah
"mengelus dada." Kata Ibrani yang sama juga digunakan dalam Keluaran
32:14 ketika Allah "menyesal...karena malapetaka yang dirancangkan-Nya
atas umat-Nya." Jadi, tergantung pada konteks kalimatnya, kata Ibrani
nacham dapat berarti suatu emosi yang negatif ataupun positif.
"Dunia
di mana Nuh dilahirkan lebih buruk dari masyarakat mana saja yang
pernah ada, artinya bahwa masyarakat waktu itu sangat jahat. Dengan umur
manusia yang bisa mencapai hampir seribu tahun, tidak sukar untuk
melihat bagaimana kejahatan begitu berakar dalam masyarakat sehingga
Allah jadi menyesal bahwa Ia pernah menciptakan manusia!" [alinea
pertama].
Barangkali pertanyaan yang penting adalah:
Apakah Allah bisa menyesal dan berubah pikiran? Allah yang mahatahu itu
pasti sudah mengetahui apa yang akan terjadi di kemudian hari, termasuk
bahwa Adam dan Hawa bakal melanggar perintah-Nya dan berdosa sehingga
keturunan mereka pun akan menjadi orang-orang yang jahat. Mengapa Allah
tetap menciptakan manusia dengan hak bebas memilih seperti itu, lau
sekarang "menyesal" karena sudah menciptakan mereka?
Allah tidak menyesal. Alkitab
menyatakan bahwa "Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan
anak manusia, sehingga Ia menyesal" (Bil. 23:19); bahkan, "Sang Mulia
dari Israel tidak berdusta dan Ia tidak tahu menyesal; sebab Ia bukan
manusia yang harus menyesal" (1Sam. 15:29). Dalam kedua ayat ini kata
Ibrani yang digunakan untuk
menyesal adalah
nacham, sama
dengan kata dalam Kej. 6:6 di atas. Apakah dengan ini bisa dianggap
bahwa Alkitab itu kontradiktif, di satu bagian menyebutkan Allah itu
"menyesal" tapi di bagian lain mengatakan Ia "tidak menyesal"? Bagaimana
kita menerangkan perbedaan dari ayat-ayat ini?
Perlu
diketahui bahwa Alkitab ditulis oleh manusia berdasarkan tuntunan Roh
Allah, tetapi dalam penulisannya menggunakan gaya bahasa penulisnya, dan
dalam menerangkan sesuatu peristiwa penulisnya mengandalkan daya
penangkapannya sendiri. Tetapi ada bagian-bagian dalam Alkitab yang
isinya merupakan salinan secara verbatim (kata demi kata) menurut apa
yang diucapkan Allah. Ada kalanya juga penulisan Alkitab menggunakan apa
yang disebut "bahasa fenomenologis"
(phenomenological language), yaitu
penuturan berdasarkan apa yang tampak menurut perspektif penulisnya,
walaupun itu tidak menerangkan keadaan yang sebenarnya. Dalam upaya
untuk menjelaskan sesuatu kebenaran tentang Allah, misalnya sebuah
pernyataan yang bersifat teologis
(theological statement), penulis
Alkitab tidak menggunakan istilah-istilah teknis yang akurat tetapi
hanya menggunakan kata-kata biasa yang umum. Ketika Musa dan Samuel
menulis bahwa "Allah tidak menyesal" (Bil. 23:19; 1Sam. 15:29), mereka
sedang menyampaikan sebuah
pernyataan teologis tentang Allah; tatkala Musa mengatakan bahwa "Allah menyesal" (Kej. 6:6), dia sedang bertutur dalam
bahasa fenomenologis berdasarkan pengamatannya sendiri.
Alasan
mengapa Musa mengatakan bahwa "Allah menyesal" sudah menciptakan
manusia ialah karena "kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala
kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata" (Kej.
6:5). Pada zaman Nuh itu bukan saja populasi manusia yang jauh meningkat
(ay. 1), tapi juga pelecehan seksual (ay. 2), kerusakan alam (ay. 11),
dan kebejatan moral manusia (ay. 12). Alkitab mengatakan pula bahwa
keadaan pada zaman Nuh itu sama dengan keadaan pada zaman akhir: "Sebab
sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada
kedatangan Anak Manusia. Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air
bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh
masuk ke dalam bahtera, dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air
bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya
kelak pada kedatangan Anak Manusia" (Mat. 24:37-40).
Apa yang kita pelajari tentang keadaan dunia pada zaman Nuh?
1.
Dosa sifatnya bertumbuh secara kuantitatif dan kualitatif, seperti apa
yang terjadi dari zaman Adam dan Hawa kepada zaman Nuh. Akibatnya maka
Allah terpaksa melakukan tindakan pemusnahan masal, atau dalam
pengertian tertentu adalah semacam "pemutihan" dengan cara melenyapkan
seluruh manusia dan hanya menyisakan keluarga Nuh yang terdiri atas
delapan orang saja.
2. Nuh (artinya "penghiburan" atau
"kelegaan"--Kej. 5:29) mendapat kasih karunia Tuhan (Kej. 6:8) dan
dipilih menjadi nenek moyang manusia generasi baru karena dia "seorang
yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh
itu hidup bergaul dengan Allah" (ay. 9). Lingkungan yang jahat dan
bobrok bukan alasan bagi kita untuk ikut menjadi jahat dan bobrok pula.
3.
Kejahatan dan kebejatan manusia pada zaman Nuh adalah akibat dari
manusia yang mengabaikan hukum Allah. Bukankah kondisi dengan gejala
yang serupa dapat kita saksikan sekarang ini, di mana pun kita tinggal
dan ke mana pun kita pergi? Sepuluh Perintah Allah adalah untuk kebaikan
manusia, bila hukum itu dilanggar kejahatan pun merajalela.
Selasa, 17 Juni
GENERASI BARU YANG GAGAL (Dari Abraham kepada Musa)
Sejarah yang berulang. Sesudah
air bah, Nuh bersama istri dan tiga putranya--Sem, Ham, dan Yafet; Kej.
5:32--beserta istri mereka masing-masing adalah satu-satunya keluarga
di bumi ini. Allah kemudian memberkati mereka sambil berfirman,
"Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta
penuhilah bumi"
(Kej. 9:1; huruf miring ditambahkan). Perintah ini sama seperti yang
Allah sampaikan kepada Adam dan Hawa, "Beranakcuculah dan bertambah
banyak;
penuhilah bumi dan taklukkanlah itu..." (Kej. 1:28;
huruf miring ditambahkan). Tetapi setelah keturunan Nuh bertambah
banyak, bukannya mereka hidup berpencar untuk memenuhi bumi ini sesuai
dengan perintah Allah, tapi mereka semua menuju ke arah timur dan tiba
di satu tempat berupa lembah yang luas "di tanah Sinear, lalu menetaplah
mereka di sana" (Kej. 11:2). Tanah Sinear adalah sebutan lain untuk
Babel (Kej. 10:10). Bukan saja tinggal bersama-sama di situ, tetapi
keturunan Nuh itu sepakat untuk mendirikan sebuah kota dengan menara
yang puncaknya menjulang sampai ke langit dengan maksud "supaya kita
jangan terserak ke seluruh bumi" (Kej.
11:4; huruf miring ditambahkan). Jadi, tujuan pembangunan pencakar
langit pertama di dunia yang kemudian dikenal sebagai "Menara Babel" itu
nyata-nyata untuk menunjukkan perlawanan terhadap perintah Allah.
"Sesudah
Air Bah, adalah tanggungjawab Nuh dan anak-anaknya untuk menyampaikan
kehendak Allah kepada keturunan mereka. Keluarga Nuh tahu bahwa
penghancuran global sudah menimpa dunia sebagai akibat dari penolakan
manusia untuk menaati hukum Allah, dan setelah mengalami kasih karunia
Allah mereka dapat berbuat sesuatu untuk membantu menumbuhkan suatu
generasi yang lebih setia. Sayangnya, tidak lama setelah air bah,
penduduk bumi kembali memberontak (Kej. 11:1-9)" [alinea pertama: tiga
kalimat pertama].
Tampaknya apa yang dilakukan oleh
keturunan Nuh itu merupakan pengulangan sejarah dari apa yang telah
dilakukan oleh keturunan Adam sebelumnya. Nuh dan anak-anaknya tentu
adalah orang-orang yang taat kepada Allah (kalau tidak begitu mereka tak
akan terpilih sebagai sebuah keluarga untuk menurunkan satu generasi
manusia baru), tetapi tidak semua anak-cucu mereka mewarisi ketaatan
yang sama. Jadi, sifat ketaatan pada hukum Allah bukan sesuatu yang bisa
diturunkan secara genetik, melainkan itu adalah pilihan pribadi.
Hukum dan kasih karunia. Setelah
keturunan Adam dan keturunan Nuh gagal memenuhi maksud dari hakikat
penciptaan manusia, Allah kemudian mengubah skenario dengan membangun
satu umat melalui Abraham berdasarkan perjanjian. Apakah ada alasan
spesifik mengapa Allah memilih Abraham (waktu dipanggil namanya adalah
Abram), bukan orang lain? Petunjuknya datang dari pernyataan Allah
sendiri, "Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada
anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan
yang ditunjukkan Tuhan..." (Kej. 18:19). Versi King James menerjemahkan
bagian ayat ini,
"For I know him, that he will command his children and his household after him..." (Sebab
Aku mengenal dia, bahwa dia akan memerintahkan anak-anaknya dan kaum
keluarganya menuruti dia...) Selain itu dalam PB ada penjelasan lain
mengenai Abraham, "Karena
beriman, maka Abraham
menaati Allah
ketika Allah memanggilnya dan menyuruhnya pergi ke negeri yang Allah
janjikan kepadanya" (Ibr. 11:8, BIMK; huruf miring ditambahkan). Pada
ayat terakhir ini kita bisa melihat hubungan kausalitas (hubungan
sebab-akibat) yang erat antara iman dan ketaatan.
"Allah
memanggil Abraham, seorang keturunan Sem, dan mengadakan perjanjian
berkat dengan dia (Kej. 12:1-3). Alkitab tidak memberi kriteria untuk
panggilan Allah pada Abraham. Dia tidak tampak seperti seorang yang
mempunyai profil kebenaran seperti Nuh. Bahkan, tak lama setelah
panggilan itu dia membuktikan dirinya adalah seorang pengecut dan penipu
(Kej. 12:11-13), melanggar hukum Allah. Walaupun demikian, Abraham
adalah seorang yang memiliki iman sejati, dan oleh kasih karunia Allah
iman ini diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran. Meskipun tidak
sempurna, dia bersedia mendengarkan suara Allah, sekalipun itu berarti
mempercayai Allah untuk hal-hal yang semuanya kelihatan mustahil dari
sudut pandang manusia" [alinea kedua].
Bagi Abraham, dan
juga anak-anak Allah sebelum zaman Musa, hukum Allah diujudkan dalam
bentuk perintah-perintah Allah melalui firman-Nya. Jadi, dalam kasus
Abraham, ketaatannya pada perintah dan firman Allah itu sama dengan
penurutannya pada hukum Allah. Karena ketaatan Abraham pada perintah dan
firman Allah itulah maka dia beroleh kasih karunia Allah. Ketaatan dan
penurutan itulah yang ditularkan kepada anak-anaknya melalui pengajaran
dan kehidupan praktisnya, sehingga Ishak juga mengikuti keteladanan itu
tatkala dia membatalkan niatnya untuk mengungsi ke Mesir dan tetap
menumpang untuk sementara di negeri Filistin (Kej. 26:1-3). Allah
kemudian menegaskan kembali janji-Nya dengan mengatakan, "Aku akan
menepati sumpah yang telah Kuikrarkan kepada Abraham, ayahmu...karena
Abraham telah mendengarkan firman-Ku dan memelihara kewajibannya
kepada-Ku, yaitu segala perintah, ketetapan dan hukum-Ku" (ay. 3, 5).
Ucapan ini juga sekaligus mengingatkan agar Ishak tetap memelihara iman
ayahnya, dan mengajarkannya pula kepada anak-anaknya di kemudian hari.
Apa yang kita pelajari tentang iman dan penurutan Abraham?
1.
Allah tidak pernah berhenti berusaha untuk menyelamatkan manusia dan
memiliki satu umat yang taat kepada-Nya. Kegagalan Adam dan Nuh untuk
melahirkan keturunan yang taat dan setia membuat Allah beralih kepada
Abraham, jadi keturunan Abraham merupakan upaya ketiga bagi Allah untuk
membangun satu umat yang bersedia menuruti kehendak-Nya.
2.
Tidak seperti Nuh yang dipilih Allah berdasarkan penilaian pada
kesalehan hidupnya, Abraham dipilih atas dasar perjanjian. Allah
berjanji untuk memberi keturunan serta kemasyhuran dan memberkati
keturunan Abraham, sebaliknya Abraham berjanji untuk taat pada hukum
Allah dan mengajarkan ketaatan itu kepada keturunannya.
3.
Dalam kasus Adam, kesetiaan terhadap perintah Allah tidak bertahan lama
karena pemberontakan sudah terjadi sejak dini pada generasi pertama dan
kedua. Dalam kasus Nuh, kesetiaan itu bertahan sedikit lebih lama,
setidaknya sampai dua generasi. Dalam kasus Abraham, kesetiaan bertahan
lebih lama lagi, mungkin sampai beberapa generasi. Peran dari pengajaran
dan keteladanan orangtua menentukan ketahanan kesetiaan anak-anak.
Rabu, 18 Juni
JANJI YANG DITEPATI (Dari Musa kepada Yesus)
Membangun satu umat. Selama
kurang-lebih 2100 tahun pertama riwayat bumi ini, sejak penciptaan
(generasi Adam) hingga air bah (generasi Nuh), Allah memperlakukan semua
manusia sama dan tidak ada etnis ataupun ras tertentu yang diperhatikan
secara khusus. Alkitab mengindikasikan bahwa sejak kematian Habel
sampai lahirnya generasi ketiga manusia telah melupakan Allah, sebab
setelah kelahiran Enos, cucu Adam dari Set, barulah "orang mulai
memanggil nama Tuhan" (Kej. 4:26). Sebagian orang menyebutnya sebagai
"kebangkitan rohani pertama" dalam sejarah umat manusia. Berdasarkan
kronologi Alkitab (Kej. 5:3-8), Enos lahir pada tahun 235 AM (
Anno Mundi, atau
Tahun Dunia)--yaitu 130 tahun umur Adam ketika memperanakkan Set (ay.
3) ditambah 105 tahun umur Set ketika memperanakkan Enos (ay. 6)--yang
berarti bahwa selama kurun waktu hampir 235 tahun itu adalah "zaman
kegelapan." Meskipun manusia mulai mencari Allah, tampaknya sebagian
besar orang tetap tidak peduli terhadap Tuhan dan hidup dalam kejahatan
yang kian bertambah, sampai mencapai puncaknya ketika Allah mendatangkan
air bah untuk membinasakan manusia. Tetapi gagalnya keturunan Nuh
memperbaiki akhlak manusia, dengan menghasilkan generasi baru yang taat
hukum Tuhan, membuat Allah berniat membangun satu umat menjadi sebagai
"kerajaan imam dan bangsa yang kudus" (Kel. 19:6).
Mengapa
Allah perlu memiliki satu umat di atas dunia ini, dan mengapa bangsa
Israel yang dipilih-Nya? Pertama, Allah memerlukan satu umat melalui
siapa Ia akan memenuhi janji-Nya kepada Adam dan Hawa yaitu seorang
keturunan dari perempuan itu yang akan "meremukkan kepala" Setan (Kej.
3:15). Kedua, Allah memilih bangsa Israel menjadi "umat yang kudus bagi
Tuhan" demi untuk "memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada
nenek moyang" mereka (Ul. 7:6, 8). Jadi, Allah memerlukan satu umat yang
kudus karena rencana keselamatan yang dirancang-Nya bagi manusia, dan
Ia memilih bangsa Israel karena terikat pada sumpah perjanjian-Nya
kepada Abraham. Supaya rencana dan janji Allah itu terwujud,
Musa berpesan kepada bangsa Israel purba: "Sebab itu haruslah kau
ketahui, bahwa Tuhan, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang setia, yang
memegang perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang kasih
kepada-Nya dan berpegang pada perintah-Nya...Jadi berpeganglah pada
perintah, yakni ketetapan dan peraturan yang kusampaikan kepadamu pada
hari ini untuk dilakukan" (ay. 9, 11).
"Ketika Allah
memilih Israel menjadi tempat penyimpanan hukum-Nya, Ia sudah tahu bahwa
mereka adalah umat yang tidak sempurna. Namun, Ia mempercayakan kepada
mereka tugas membagikan kehendak-Nya kepada orang-orang lain yang tidak
sempurna. Julukan 'kerajaan imam dan bangsa yang kudus' (Kel. 19:6)
menunjukkan bahwa Israel harus menjadi para imam pengantara Allah bagi
seluruh dunia. Bangsa itulah yang dipilih untuk membawakan kebenaran
dari kehendak Allah kepada bangsa-bangsa yang bingung. Dan, terlepas
dari kesalahan-kesalahan serta kegagalan-kegagalan, dan banyak kali
pemberontakan terang-terangan dari bangsa Israel itu, tetap dari antara
bangsa inilah Mesias sudah datang, hidup, melayani dan mati, untuk
memenuhi perjanjian pakai sumpah yang diadakan dengan Abraham
berabad-abad lampau" [alinea kedua].
Janji keselamatan dari "benih" Abraham. Dari
tiga janji Allah ketika memanggil Abraham (waktu itu masih bernama
Abram; Kej. 12:1-3) ada satu janji yang manfaatnya bersifat umum dan
global--dengan demikian relevan bagi kita sebagai umat Kristen yang
bukan orang Yahudi--yaitu "engkau akan
menjadi berkat" (ay. 2; huruf miring ditambahkan). Janji ini kemudian diulangi lagi kepada Ishak, anaknya, dengan cara yang lebih tegas: "Oleh
keturunanmu
semua bangsa di bumi akan mendapat berkat" (Kej. 26:4; huruf miring
ditambahkan). Janji spesifik inilah yang kemudian dikutip oleh rasul
Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia (3:8), ketika dia
berbicara tentang "Injil" yang berasal dari Abraham. Sang rasul
menegaskan, "Yesus Kristus telah membuat ini, supaya di dalam Dia
berkat Abraham
sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima Roh
yang telah dijanjikan itu...Adapun kepada Abraham diucapkan segala janji
itu dan kepada keturunannya. Tidak dikatakan 'kepada
keturunan-keturunannya' seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya
satu orang: 'dan kepada keturunanmu,'
yaitu Kristus" (Gal. 3:14, 16; huruf miring ditambahkan).
"Sekalipun
banyak yang di zaman Israel purba memahami bentuk kata benda tunggal
dari 'benih' itu berarti Israel sebagai satu kelompok tunggal, Paulus di
sini menyodorkan Yesus secara Pribadi sebagai kegenapan sejati dan
sempurna dari janji pakai sumpah itu. Jadi, injil itu sendiri, dengan
penekanannya yang jelas pada hukum dan kasih karunia, secara paling
lengkap menunjukkan dan menyingkapkan perjanjian itu" [alinea terakhir].
Sesungguhnya,
ketika Allah memilih Abraham menjadi nenek moyang dari satu umat, dan
Israel sebagai umat perjanjian itu sendiri, bertujuan untuk menjadikan
mereka sebagai "saluran berkat" bagi manusia pada umumnya. Allah tidak
bermaksud membangun satu umat melalui Abraham yang akan menjadi
satu-satunya kelompok orang di dunia ini yang akan diselamatkan dalam
kerajaan surga, melainkan untuk menjadikan mereka sebagai sarana melalui
mana keselamatan bagi segala bangsa itu bisa terlaksana. Seorang "Yesus
Kristus" bisa saja lahir dari orangtua mana saja yang berasal dari
bangsa apa saja, tetapi Yesus Kristus sebagai "Mesias" harus berasal
dari "keturunan Abraham" dan lebih khusus lagi haruslah "akar dan benih
Daud" (Why. 22:16, TL).
Apa yang kita pelajari tentang janji Allah kepada Abraham yang digenapi dalam Yesus Kristus?
1.
Allah memilih Abraham menjadi nenek moyang dari satu "umat pilihan"
agar di dunia ini ada satu "kerajaan imam" yang memelihara hukum Allah
secara sempurna dan utuh. Selain itu, Allah juga berencana bahwa melalui
"bangsa yang kudus" itu Juruselamat dunia akan lahir melalui siapa
rencana keselamatan itu akan terlaksana.
2. Keturunan
Abraham sudah gagal memegang perjanjian mereka dengan Allah, tetapi
Allah tidak gagal menggenapi janji-Nya. Sebab dalam perjanjian Allah
dengan Abraham ada satu "klausul" yang manfaatnya lebih luas dari
sekadar kepentingan bangsa Israel sebagai keturunan langsung dari
Abraham, yaitu janji tentang keselamatan bagi semua manusia.
2.
Yesus Kristus adalah "benih" (=keturunan) Abraham sebagai ujud janji
Allah untuk menjadikan Abraham, melalui keturunannya, sebagai berkat
keselamatan bagi dunia yang diperoleh dengan iman (Yoh. 3:16). Dan
sebagaimana "kepada Abraham iman diperhitungkan sebagai
kebenaran" (Rm. 4:9), demikian pula "kepada kita pun Allah
memperhitungkannya" (ay. 23-24).
Kamis, 19 Juni
HUKUM ALLAH DAN UMAT YANG SISA (Dari Yesus kepada Umat yang Sisa)
Pelari estafet terakhir. Sampai
dengan pelajaran hari Rabu kemarin (18 Juni) kita sudah membahas
tentang tiga generasi "pelari estafet" yang pada tangan mereka memegang
Hukum Allah, ataupun prinsip-prinsip dari hukum itu, sebagai "tongkat
estafet" untuk dipertahankan melalui penurutan. Berturut-turut adalah
Adam dan keturunannya, Nuh dan keturunannya, serta Abraham dan
keturunannya. Melalui keturunan Abraham, pada generasi Musa, hukum Allah
itu telah dinyatakan dalam bentuknya yang lebih rinci dan lebih
kongkret dari sebelumnya, yaitu Sepuluh Perintah. Meskipun selama tiga
generasi pelari estafet itu Allah secara pribadi menuntun perjalanan
mereka, dengan memberi petunjuk-petunjuk langsung secara lisan,
kenyataannya mereka gagal mempertahankan penurutan pada hukum itu.
Akibat kegagalan demi kegagalan itu Allah telah mengutus Putra
Tunggal-Nya dalam sosok Yesus Kristus, selain untuk mati sebagai tebusan
atas kegagalan-kegagalan tersebut, juga untuk membuktikan bahwa
sebenarnya manusia mampu menaati hukum Allah itu dan terus
mempertahankannya sampai mencapai garis akhir.
"Sementara
'tongkat' itu diteruskan dari generasi ke generasi, tidak ada pelari
yang cukup layak untuk melewati garis akhir. Tidak ada penerima hukum
itu yang sanggup mencapai tingkaty kebenaran dari hukum itu...Namun
demikian, bilamana kelihatannya seolah-olah segala harapan telah lenyap,
Allah mengutus Putra-Nya 'untuk menerima tongkat itu.' Sebagai Adam
Kedua, Yesus datang ke bumi ini tanpa dosa, dan melalui penyerahan yang
terus-menerus kepada Bapa-Nya berhasil memelihara penurutan-Nya sampai
ke Salib. Dengan kebangkitan-Nya, Yesus melewati garis akhir oleh karena
Dia mematahkan belenggu maut itu. Sekarang, melalui kuasa Roh, Kristus
yang sudah bangkit itu membagikan kebenaran-Nya kepada setiap orang
percaya" [alinea pertama: kalimat ketiga dan keempat; alinea kedua:
empat kalimat pertama].
Setelah kegagalan tiga pelari
estafet sebelumnya (Adam, Nuh, dan Abraham), harapan terakhir adalah
kepada "pelari estafet terakhir" atau yang keempat, yaitu "keturunan
yang lain" dari perempuan itu (=Gereja Kristen), yakni satu umat "yang
menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus" (Why.
12:17). Kata Grika--bahasa asli PB--yang diterjemahkan dengan "keturunan
yang lain" dalam ayat ini adalah
loipos, sebuah kata keterangan yang artinya
sisa (Strong; G3062). Versi King James menerjemahkannya dengan
"the remnant"
("yang sisa"), dan Alkitab versi Terjemahan Lama menyebutnya "yang lagi
tinggal." Tampaknya terjemahan Alkitab versi TB maupun BIMK untuk
bagian ini mengandung penyimpangan penafsiran, entah karena apa. Sebab
itu kita lebih suka menyebut "keturunan yang lain" dalam ayat ini
sebagai
"umat yang sisa" sesuai dengan makna yang sebenarnya.
Tetapi pertanyaan yang paling penting dan hakiki di sini adalah: Apakah
kelompok "umat yang sisa" pada zaman akhir ini, sebagai "pelari estafet"
keempat dan terakhir, akan berhasil mempertahankan tongkat estafet
Hukum Allah itu sampai ke garis akhir--atau tidak?
Pekabaran Tiga Malaikat. Penglihatan
Yohanes Pewahyu tentang tiga malaikat yang secara berturut-turut
melintasi langit sambil menyampaikan amaran-amaran kepada manusia yang
hidup di zaman akhir merupakan landasan missi Gereja MAHK. Bahkan dapat
dikatakan bahwa Gereja Advent berdiri karena terdorong oleh missi ini,
sehingga tanpa pekabaran tiga malaikat maka gereja kita ini tidak lebih
dari sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) biasa dengan ciri agamis.
Gereja Advent adalah Pekabaran Tiga Malaikat, dan Pekabaran Tiga
Malaikat adalah Gereja Advent.
Pekabaran malaikat pertama,
yang pada tangannya ada "Injil yang kekal" (Why. 14:6), ialah:
"Takutlah akan Allah dan muliakanlah Dia,
karena telah tiba saat penghakiman-Nya,
dan sembahlah Dia yang telah menjadikan langit dan bumi dan laut dan
semua mata air" (ay. 7; huruf miring ditambahkan). Manusia diamarkan
agar "takut, muliakan, dan sembah" kepada Allah sebab proses penghakiman
segera--atau pada saat ini: sudah--berlangsung. Berdasarkan apa manusia
dihakimi? Berdasarkan Hukum Allah! Malaikat kedua berseru: "Sudah
rubuh,
sudah rubuh Babel, kota besar itu, yang telah memabukkan
segala bangsa dengan anggur hawa nafsu cabulnya" (ay. 8; huruf miring
ditambahkan). Babel melambangkan "kekacauan" dalam arti kata sarat
dengan pemutarbalikkan kebenaran Kitabsuci, dan "Babel" ini merujuk
kepada gereja Katolik Roma dan Kepausan. Babel moderen "sudah rubuh"
bukan secara fisik, melainkan dalam arti doktrinnya yang sudah
dirontokkan oleh gerakan Reformasi Protestan. Malaikat ketiga
mengamarkan:
"Jikalau seorang menyembah binatang dan patungnya itu, dan menerima tanda pada dahinya atau pada tangannya,
maka ia akan minum dari anggur murka Allah..."
(ay. 9-10; huruf miring ditambahkan). Menerima dan mengamalkan ajaran
palsu dari Babel moderen, karena terpengaruh atau terpaksa, sama-sama
akan merasakan hukuman Allah.
"Sayangnya, gereja
Kristen--walaupun memiliki semua terang ini--membuktikan dirinya
berkali-kali kurang setia terhadap perjanjian itu dibandingkan dengan
Israel purba, dan kemurtadan yang dalam mengambil alih nyaris di
mana-mana. Reformasi yang dimulai pada abad keenambelas mulai
membalikkan kecenderungan ini, tetapi itupun goyah dan banyak
doktrin-doktrin serta pengajaran palsu tetap ada dalam dunia Kristen,
termasuk (seperti yang telah kita lihat) pandangan-pandangan yang keliru
tentang peran dan maksud dari hukum itu dalam kehidupan Kekristenan
dari Perjanjian yang Baru. Allah mau memanggil keluar satu umat yang
sisa untuk memulihkan banyak kebenaran-kebenaran yang telah hilang"
[alinea ketiga].
Apa yang kita pelajari tentang "umat yang sisa" sebagai pelari estafet terakhir yang membawa tongkat Hukum Allah itu?
1.
Sejak dari masa penciptaan Allah ingin memiliki satu umat yang terdiri
dari orang-orang yang taat kepada perintah dan prinsip-prinsip
hukum-Nya. Tetapi satu persatu generasi-generasi pembawa tongkat estafet
(Hukum Allah) itu berguguran karena gagal. Melalui Yesus Kristus
"tongkat estafet" itu dipercayakan kepada umat yang sisa di zaman akhir.
2. Inti
dari Pekabaran Tiga Malaikat ialah bahwa penurutan pada Hukum Allah
harus melebihi ketaatan pada perintah manusia. Mengamarkan dunia dengan
pekabaran ini berarti menyadarkan manusia tentang Allah yang mahakuasa,
dan tentang penghakiman akhir yang menentukan nasib abadi dari setiap
orang.
3. Pekabaran Tiga Malaikat bertujuan memanggil
sebanyak-banyaknya orang agar keluar dari balik kepalsuan untuk
berhimpun menjadi satu umat yang memelihara hukum Allah serta hidup
menurut perintah hukum itu, dan untuk ikut berlari bersama sambil
memegang "tongkat estafet" Hukum Allah itu di fase pamungkas menuju
garis akhir.
Jumat, 20 Juni
PENUTUP
Pekerjaan terpenting. Pekabaran
Tiga Malaikat adalah missi utama dari Gereja Advent, bukan sekadar
penarikan jiwa atau baptisan. Jumlah baptisan hanyalah ukuran
kuantitatif dari suatu usaha penginjilan, dan seringkali tidak
melambangkan keberhasilan sesungguhnya dari apa yang harus kita lakukan
sebagai kewajiban "umat yang sisa" di zaman akhir. Mungkin sudah
waktunya bagi kita untuk mengembalikan semangat penginjilan yang
mula-mula dari para pelopor dan pendiri gereja ini, yaitu untuk
mengumandangkan Pekabaran Tiga Malaikat tanpa merisaukan soal
angka-angka baptisan yang hanya bersifat pengisi laporan dan data.
"Kepada
setiap jiwa yang menerima Yesus, salib Golgota itu berkata: 'Lihatlah
nilai dari jiwa-jiwa itu.' 'Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah
Injil kepada segala makhluk' (Mrk. 16:15). Tidak ada yang boleh
diizinkan merintangi pekerjaan ini. Itulah pekerjaan paling penting
untuk zaman ini; pekerjaan itu harus menjangkau jauh hingga kekekalan.
Kasih yang Yesus tunjukkan bagi jiwa-jiwa manusia dalam pengorbanan yang
Ia adakan untuk penebusan mereka akan menggerakkan semua pengikut-Nya"
[alinea pertama: empat kalimat terakhir].
Dalam konteks
Pekabaran Tiga Malaikat, penginjilan adalah seruan untuk menyembah Allah
dengan cara meninggikan Hukum-Nya, sebab dengan hukum itu setiap
manusia akan dihakimi dan menerima ganjarannya. Penginjilan dalam
konteks ini adalah juga seruan agar mewaspadai tipu-muslihat iblis
melalui gereja palsu dengan doktrinnya yang juga palsu. Penginjilan
dalam konteks Pekabaran Tiga Malaikat adalah mengalihkan pandangan
manusia dari dunia ini kepada Allah, kalau perlu dengan cara yang lebih
agresif dan tak kenal menyerah.
"Hendaklah engkau
mengabarkan berita dari Allah itu, dan terus mendesak supaya orang
mendengarnya, apakah mereka mau atau tidak. Hendaklah engkau meyakinkan
orang, menunjukkan kesalahan, dan memberi dorongan kepada mereka.
Ajarlah orang dengan sesabar mungkin. Sebab akan sampai waktunya orang
tidak mau lagi menerima ajaran yang benar. Sebaliknya, mereka akan
menuruti keinginan mereka sendiri, dan mengumpulkan banyak guru guna
diajarkan hal-hal yang enak didengar di telinga mereka" (2Tim. 4:2-3,
BIMK).
(Oleh Loddy Lintong/California, 19 Juni 2014)