PELAJARAN KE-XI; 14 Juni 2014
"PARA RASUL DAN HUKUM"
Sabat Petang, 7 Juni
PENDAHULUAN
Orang Kristen dan Hukum Allah. Apakah Sepuluh Perintah Allah masih berlaku bagi umat Kristen? Kalau ya, seberapa besar hukum moral itu berpengaruh dalam keselamatan, kalau kita diselamatkan hanya oleh kasih karunia Allah dan bukan karena penurutan hukum Allah? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menjadi perdebatan dari masa ke masa, dan bagi banyak orang Kristen telah menimbulkan sikap ambivalensi (keragu-raguan). Meskipun tidak ada orang Kristen yang menolak Sepuluh Perintah (Sepuluh Hukum) Allah itu sebagai bagian dari doktrin Kekristenan, banyak yang menganggapnya sebagai sekadar kaidah moral yang tidak berpengaruh langsung terhadap keselamatan.
Menyangkut pemahaman tentang kewajiban menaati Sepuluh Perintah, umat Kristiani secara umum terbagi ke dalam tiga kelompok: (1) di bawah Perjanjian yang Baru penurutan pada hukum-hukum itu bukan lagi kewajiban; (2) hukum keempat dari Sepuluh Perintah itu, yakni tentang pengudusan Sabat hari ketujuh dalam pekan, bukan sebagai kewajiban karena hukum itu sudah dipalangkan bersama Kristus di kayu salib; (3) Sepuluh Perintah itu adalah wajib, tapi hukum keempat sudah diganti dari hari ketujuh (Sabtu) menjadi hari pertama (Minggu).
Terdapat dua kutub ekstrem dalam teologi Kristen tentang keselamatan: di satu pihak adalah paham legalisme yang meyakini bahwa keselamatan harus dicapai melalui penurutan Hukum Allah, di pihak lain adalah paham antinomianisme yang percaya bahwa keselamatan hanya oleh iman kepada kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus yang membebaskan dari kewajiban menaati Hukum Allah. Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh tidak berada di salah satu dari dua kutub yang saling bertentangan tersebut, tetapi posisi kita adalah menganut kedua paham itu secara seimbang. Kita percaya dan mengajarkan bahwa keselamatan hanya melalui kasih karunia Allah oleh iman kepada Yesus Kristus, tapi juga percaya dan mengajarkan bahwa penurutan pada Sepuluh Perintah secara utuh merupakan respon terhadap keselamatan yang kita peroleh secara cuma-cuma itu sebagaimana dituntut dalam Kitabsuci.
"Dengan begitu banyak bukti perihal keabsahan hukum Allah yang berkelanjutan, mengapa begitu banyak orang Kristen yang menentangnya?...Banyak masalah yang muncul karena semua posisi ini. Pekan ini kita akan melihat pada sikap rasul-rasul Kristus menyangkut hukum tersebut, karena sudah pasti jika hukum itu harus ditiadakan ataupun disesuaikan setelah kematian Kristus, para rasul sudah tentu mengetahui sesuatu tentang hal itu" [alinea pertama dan terakhir].
Minggu, 8 Juni
APA ARTINYA BERADA DI BAWAH KASIH KARUNIA (Paulus dan Hukum)
Inspirator, bukan pendiri. Gereja didirikan oleh Yesus Kristus sendiri (Mat. 16:18), tetapi sebutan "orang Kristen" pertama kali muncul ketika pengikut-pengikut Kristus yang mula-mula itu berkumpul di Antiokhia (Kis. 11:26). Ini terjadi pada waktu Paulus belum lama bertobat dan langsung menginjil di kampung halamannya di Tarsus, dari mana Barnabas kemudian membawanya ke Antiokhia di mana mereka tinggal dan bekerja bersama-sama satu tahun lamanya. Paulus yang rajin menulis surat penggembalaan kepada jemaat-jemaat Kristen di abad pertama itu, di mana dalam surat-suratnya terkandung begitu banyak doktrin kebenaran perihal Kekristenan, oleh para pakar penyelidik Alkitab moderen sang rasul juga sering dijuluki sebagai inspirator besar Kristen.
Surat-surat penggembalaan Paulus itu, utamanya kepada jemaat di Roma dan Galatia, banyak menyoroti soal hukum Allah dalam paham Kekristenan. Namun, jika kita perhatikan dengan lebih seksama, tantangan Paulus bukanlah terhadap Sepuluh Perintah tapi lebih khusus adalah terhadap sunat yang diwajibkan kepada orang Yahudi berdasarkan hukum Taurat. Sebenarnya, sunat adalah "tanda perjanjian" yang bersifat spesifik antara Allah dengan Abraham dan keturunannya (Kej. 17:10-12), bukan bagian dari Sepuluh Perintah sebagai hukum moral yang bersifat universil. Terhadap sunat, dan juga beberapa ketentuan lain dalam hukum upacara keagamaan Yahudi, itulah yang ditolak oleh Paulus untuk diberlakukan pada orang-orang Kristen non-Yahudi sebagaimana yang dipaksakan oleh kaum Farisi dan pemuka-pemuka agama Yahudi. Sang rasul menegaskan bahwa orang Kristen tidak berada di bawah hukum Taurat, melainkan di bawah kasih karunia (Rm. 3:28; 6:14; 7:4 dan Gal. 3:24-25).
"Jika dibaca secara terpisah, ayat-ayat ini pasti memberi kesan bahwa hukum itu tidak lagi relevan bagi orang Kristen. Akan tetapi, semua ayat ini merupakan bagian dari konteks lebih luas yang harus kita perhatikan dalam rangka memahami apa yang sebenarnya Paulus sedang katakan" [alinea kedua].
Hukum dalam konteks kasih karunia. Perkataan retorika Paulus, "Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya" (Rm. 3:31) merupakan penjelasan dari pernyataan sebelumnya, "Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat" (ay. 28; huruf miring ditambahkan). Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, logika itu dibalik dengan mengucapkan kata-kata retorika lebih dulu, "Kalau demikian, bertentangankah hukum Taurat dengan janji-janji Allah? Sekali-kali tidak!" (Gal. 3:21), sebagai penjelasan terhadap pernyataannya kemudian, "Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman" (ay. 24; huruf miring ditambahkan). Dalam perkataan lain, sang rasul hendak menegaskan bahwa keselamatan melalui kasih karunia oleh iman itu sama sekali tidak menafikan hukum Taurat.
Di sini "hukum Taurat" yang dia maksudkan bukan sekadar sunat, tetapi lebih kepada Sepuluh Perintah sebagai hukum moral. Atau, dalam gaya bahasa gaul, sang rasul hendak mengatakan bahwa mentang-mentang kita sudah dibenarkan oleh iman kepada kasih karunia lalu kita bisa begitu saja cuekin hukum Allah itu. Sebagai orang Kristen kita dibebaskan dari kewajiban menaati "hukum Taurat" dalam hal sunat, tetapi kita tidak dibebaskan dari kewajiban menaati "hukum Taurat" dalam hal Sepuluh Perintah. Setelah menjadi orang Kristen, dan dibenarkan dari pelanggaran-pelanggaran sebelumnya terhadap Sepuluh Perintah, kita sudah memiliki jaminan keselamatan di dalam Kristus. Sebaliknya, sesudah diselamatkan kita wajib untuk lebih taat lagi kepada Sepuluh Perintah itu sebagai respon kita terhadap keselamatan yang telah kita peroleh secara cuma-cuma.
"Jika hukum adalah sarana untuk keselamatan, maka tidak akan ada orang yang memiliki pengharapan akan hidup kekal. Pengharapan orang Kristen tidak terdapat dalam hukum itu, melainkan dalam Yesus Kristus yang bukan saja telah memelihara hukum itu dengan sempurna tapi juga yang melalui kuasa ajaib Allah mengizinkan orang-orang percaya untuk turut menikmati kebenaran-Nya (Rm. 8:3-4). Sekarang orang Kristen dapat melayani hukum Allah dengan hati nurani yang bebas karena Kristus sudah mengambil kutukan hukum itu (Rm. 7:25-8:2). Kasih karunia yang datang melalui Kristus tidak melepaskan kita dari hukum tapi sebaliknya mendorong kita untuk mematuhinya" [alinea terakhir: empat kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang ajaran Paulus mengenai hukum Allah?
1. Rasul Paulus bukan penganjur "agama baru" yang sekarang ini kita kenal sebagai Kekristenan, tetapi dia adalah tokoh utama dalam pengembangan Kekristenan di abad-abad permulaan dan tulisan-tulisannya menjadi sumber dari banyak doktrin Kristen. Barangkali memang Tuhan telah memilih Paulus sejak dia masih dalam kandungan ibunya (Gal. 1:15).
2. Doktrin bahwa orang yang percaya kepada Yesus dosanya telah dihapuskan sehingga mereka "tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia" (Rm. 6:14) merupakan tonggak iman Kristiani yang bersumber dari tulisan rasul Paulus. Namun, status baru ini tidak membebaskan orang Kristen dari kewajiban menaati hukum Sepuluh Perintah (ay. 15).
3. Orang berdosa tidak dibenarkan melalui penurutan hukum, melainkan oleh iman (Rm. 3:28), tetapi hukum itulah yang menuntun kita untuk sampai kepada Kristus (ay. 24). Jadi, hukum Allah (Sepuluh Perintah) mempunyai andil terhadap pembenaran orang berdosa, dan dengan demikian merupakan jalan menuju kepada kasih karunia itu.
Senin, 9 Juni
DARI GELAP KEPADA TERANG (Petrus dan Hukum)
Ketaatan Petrus. Kaisaria adalah sebuah kota pesisir di Laut Tengah yang penduduknya kebanyak warganegara Romawi, dan di kota ini terdapat istana gubernur wilayah Yudea dan menjadi markas dari sebuah pasukan yang disebut Resimen Italia dengan komandannya Kornelius, seorang yang saleh, dermawan, dan "senantiasa berdoa kepada Allah" (Kis. 10:2). Suatu hari malaikat Allah menampakkan diri kepadanya di rumahnya. Malaikat itu berkata kepadanya, "Semua doamu dan sedekahmu telah naik ke hadirat Allah dan Allah mengingat engkau" (ay. 4), seraya menyuruh dia untuk mengirim utusan menjemput Petrus yang berada di kota Yope yang berjarak sekitar 45 Km. Keesokan harinya, di rumah tempat Petrus menginap, pada tengah hari rasul itu mendapat penglihatan berupa sehelai kain lebar yang turun dari langit yang isinya berbagai jenis hewan berkaki empat maupun melata dan juga unggas yang dagingnya haram menurut hukum agama Yahudi (ay. 11-12). Dalam keadaan sedang lapar itu, malaikat menyuruh Petrus untuk menyembelih dan memakan hewan-hewan itu, tetapi ditolaknya. "Tidak, Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir," kata Petrus (ay. 14). Sampai tiga kali malaikat itu menyuruhnya tapi selalu ditolak Petrus, sampai akhirnya kain itu terangkat kembali ke langit. Sementara sang rasul bertanya-tanya apa maksud dari penglihatan tersebut, ketiga orang suruhan Kornelius sudah tiba di depan pintu rumah itu.
Belakangan Petrus tampaknya mengerti makna dari penglihatan itu, bahwa dalam hal penginjilan dia tidak boleh membiarkan dirinya terikat pada tradisi rasial bangsanya yang membeda-bedakan antara orang Yahudi dan non-Yahudi. "Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka. Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir," katanya kepada Kornelius (ay. 28; huruf miring ditambahkan). Tetapi, ketika dalam ketidaktahuannya telah menolak perintah malaikat Tuhan agar menyembelih serta memakan hewa-hewan haram itu, Petrus menunjukkan ketaatannya pada hukum Taurat dalam hal makanan halal dan haram (Imamat 11). Seandainya Petrus jadi menyembelih hewan-hewan haram itu lalu memakan dagingnya, dia mempunyai alasan yang kuat untuk melakukan itu: pertama, dia memang sedang sangat lapar; dan kedua, itu perintah malaikat Tuhan. Tetapi bagi Petrus, situasi bukanlah alasan yang sah untuk melanggar hukum Allah.
"Petrus menerima penglihatannya beberapa tahun setelah kenaikan Yesus. Sebagai hasil dari khotbah murid-murid, ribuan orang Yahudi telah menerima Yesus sebagai Mesias. Tidak ada dalam catatan Alkitab yang memberi kesan bahwa isi pekabaran Kristen termasuk petunjuk-petunjuk untuk menolak hukum. Secara tegas peristiwa dalam Kisah pasal 10 memperlihatkan bahwa umat Kristen yang mula-mula sepenuhnya dikaitkan dengan akar keyahudian mereka" [alinea kedua].
Bangsa yang kudus. Keluarnya bangsa Israel dari negeri Mesir adalah mewujudkan rencana Allah untuk menjadikan keturunan Abraham itu menjadi sebagai suatu bangsa yang berdaulat. Allah berkata melalui Musa tentang umat Israel, "Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kau katakan kepada orang Israel" (Kel. 19:6). Menulis kepada orang-orang Kristen abad pertama yang tersebar di Asia Kecil (sekarang wilayah Turki), "yaitu orang-orang yang dipilih sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita" (1Ptr. 1:2), rasul Petrus mengutip perkataan Allah dalam kitab Keluaran untuk mengingatkan orang Kristen tentang status mereka sebagai umat percaya: "Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib" (1Ptr. 2:9). Sebagaimana bangsa Israel dipanggil keluar dari tanah perhambaan di Mesir untuk menjadi bangsa yang kudus milik Allah sendiri, demikianlah orang Kristen dipanggil keluar dari kegelapan untuk menjadi bangsa yang kudus kepunyaan Allah sendiri.
Dalam Alkitab PB, inilah satu-satunya ayat yang menyebutkan tentang orang Kristen sebagai "bangsa yang kudus." Dalam PL sebutan ini tercatat dua kali, selain pada kitab Keluaran juga pada kitab Daniel yang menubuatkan perihal nasib umat Kristen di zaman akhir: "Satu masa dan dua masa dan setengah masa; dan setelah berakhir kuasa perusak bangsa yang kudus itu, maka segala hal ini akan digenapi!" (Dan. 12:7; huruf miring ditambahkan). Jadi, dalam PL pun orang Kristen zaman akhir juga sudah disebut sebagai "bangsa yang kudus."
"Ketika Petrus merujuk para pembacanya sebagai 'imamat yang rajani, bangsa yang kudus,' mungkin mereka langsung teringat akan kisah pemberian hukum di Sinai. Sebagai pewaris Israel, mereka diharapkan untuk menaati ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang dengan jelas disebutkan dalam hukum Allah. Lalu, segera setelah mengingatkan orang banyak tentang status mereka, Petrus mendesak mereka agar mengamalkan kehidupan kebenaran (1Ptr. 2:11-12). Dia juga mengamarkan pembacanya untuk waspada terhadap guru-guru palsu yang menyebarkan injil tanpa hukum (2Ptr. 2:21; 3:2)" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang pandangan rasul Petrus mengenai hukum Allah?
1. Petrus bukan saja salah satu murid terdekat Yesus, tapi dia juga seorang yang terkenal dengan pembawaan spontanitas. Kalau Yesus telah mengajarkan bahwa hukum Allah tidak belaku lagi bagi orang Kristen, tentu dialah yang pertama kali akan mengkhotbahkannya. Faktanya, dia justeru menganjurkan pemeliharaan hukum-hukum itu.
2. Penolakan Petrus terhadap perintah malaikat Tuhan agar menyembelih dan memakan hewan yang haram dalam penglihatannya itu menunjukkan pendirian sang rasul yang meninggikan hukum Taurat, sekalipun itu hanya soal makanan ketika dia sedang lapar. Ketaatan pada hukum Allah tidak tergantung pada situasi dan kondisi.
3. Adalah Petrus yang mengamarkan umat Kristen perihal status mereka sebagai "bangsa yang kudus" yang mesti dipertahankan dengan cara "mengingat akan perkataan yang dahulu telah diucapkan oleh nabi-nabi kudus dan mengingat akan perintah Tuhan" (2Ptr. 3:2).
Selasa, 10 Juni
KASIH, INTISARI HUKUM ALLAH (Yohanes dan Hukum)
"Yohanes yang kekasih." Yohanes termasuk bagian dari "lingkaran dalam" (inner circle) Yesus Kristus ketika hidup di dunia ini. Yohanes beserta dua murid lainnya, Petrus dan Yakobus, adalah tiga serangkai yang diajak Yesus untuk menemani Dia saat berdoa di Taman Getsemani sementara murid-murid yang lain menunggu di kejauhan (Mrk. 14:32-34). Tetapi agak berbeda dari watak Petrus yang spontan dan meledak-ledak, Yohanes tampaknya memiliki kepribadian yang lembut dan tenang. Tulisan-tulisan rasul Yohanes yang banyak bertemakan kasih menunjukkan ciri tabiatnya. Yohanes menghubungkan kasih dengan hukum Allah ketika dia menulis, "Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya. Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat" (1Yoh. 5:2-3).
Sebagai salah seorang murid terdekat, Yohanes mestinya juga tahu kalau Yesus pernah mengajarkan bahwa penurutan hukum Allah itu tidak diperlukan lagi bagi orang Kristen, karena sebagai pengikut-Nya mereka tidak lagi berada di bawah hukum tetapi di bawah kasih karunia. Namun kita tidak menemukan dalam tulisan-tulisannya bahwa hukum itu tidak relevan lagi, sebaliknya dia mengatakan bahwa penurutan pada hukum Allah adalah bukti dari kasihn kita kepada-Nya. "Dan inilah kasih itu, yaitu bahwa kita harus hidup menurut perintah-Nya. Dan inilah perintah itu, yaitu bahwa kamu harus hidup di dalam kasih, sebagaimana telah kamu dengar dari mulanya" (2Yoh. 1:6).
"Sama seperti Petrus, dia berada di antara murid-murid pertama yang dipilih Yesus, dan dia juga memiliki hubungan yang khusus dengan Yesus. Karena kedekatannya dengan Yesus itulah maka dia sering disebut sebagai 'Yohanes yang kekasih.' Menilai dari bagian akhir injil-Nya (Yoh. 21:25), Yohanes banyak mengetahui informasi pribadi tentang Yesus. Sudah tentu seorang yang dekat dengan Yesus seperti Yohanes ini pasti tahu sekiranya Yesus telah meniadakan hukum Allah" [alinea pertama: empat kalimat terakhir].
Kasih dan penurutan hukum. Yohanes mencatat perkataan Yesus ketika menegaskan perihal hubungan antara kasih dengan penurutan kepada perintah Tuhan, "Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya...Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu..." (Yoh. 15:10, 12). Pada kesempatan yang lain, sewaktu menjawab pertanyaan seorang ahli Taurat yang hendak mencobai-Nya, Yesus telah menguraikan bahwa kasih kepada Allah secara vertikal dan kasih kepada sesama manusia secara horisontal adalah "hukum yang terutama" (Mat. 22:36-40). Dari kedua rangkaian ayat ini kita dapat melihat konsistensi pandangan Yesus mengenai hubungan kasih dan penurutan hukum Allah, dan dengan memerintahkan kepada para pengikut-Nya untuk saling mengasihi maka Yesus telah memberi "energi baru" pada semangat untuk menaati hukum Allah itu.
Lebih jauh sang rasul menulis, "Dan inilah tandanya bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya. Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran" (1Yoh. 2:3-4). Jadi, penurutan kepada hukum Allah (Sepuluh Perintah) merupakan bukti nyata bahwa kita mengenal Allah yang telah menulis dan menurunkan hukum-hukum itu kepada manusia untuk ditaati. Anda tidak akan menuruti perintah seseorang yang anda tidak kenal, atau sedikitnya yang anda ketahui, bukan? Kita menaati hukum Allah karena kita tahu siapa Allah yang hukum-hukum-Nya itu kita taati, akan tetapi jika kita tidak menaati hukum-hukum-Nya itu menunjukkan bahwa pada hakikatnya kita tidak mengenal Dia.
"Yesus tidak memandang perintah-perintah itu sebagai penghalang-penghalang negatif untuk disingkirkan atau dibuang; gantinya, Ia melihatnya sebagai pedoman bagi suatu hubungan kasih dengan Dia dan dengan orang-orang lain. Ketika Yohanes, murid yang kekasih itu, mengingatkan orang Kristen akan kewajiban mereka terhadap Allah, dia menggunakan bahasa kasih dan persatuan yang sama seperti yang Yesus gunakan dalam Injil. Bahkan, Yohanes mengerti bahwa kasih selamanya merupakan intisari dari hukum itu (sebagai contoh, 2Yohanes 6). Seseorang tidak bisa menyatakan bahwa dia memelihara hukum itu kalau dia tidak terlibat dalam hubungan kasih dengan Allah dan sesama manusia" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang pandangan Yohanes perihal hukum Allah?
1. Yohanes adalah salah seorang murid terdekat Yesus yang dalam tulisan-tulisannya banyak menonjolkan sisi kepribadian dari Sang Guru, khususnya kasih sebagai ciri tabiat-Nya. Kita tidak menemukan indikasi apapun dalam tulisan-tulisan rasul Yohanes bahwa Yesus telah meniadakan hukum Allah, bahkan Ia menekankan penurutan pada hukum-hukum itu.
2. Penurutan pada hukum Allah (dalam hal ini adalah Sepuluh Perintah) harus didasari pada kasih, sebab hukum itu adalah kasih dan kasih itu adalah hukum. Selain itu, penurutan pada hukum Allah juga didasarkan pada pengenal kita tentang Dia. Kita mengenal Allah itu kasih, dan mengetahui bahwa substansi dari hukum-Nya adalah kasih, maka kita menaatinya karena mengasihi Dia.
3. Penurutan pada Sepuluh Perintah bukanlah penghalang bagi kasih kasih karunia Allah, sebaliknya penurutan pada hukum itu adalah buah-buah dari kasih karunia Allah yang telah kita terima. Kasih karunia Allah adalah sumber motivasi dan kekuatan kita untuk menuruti perintah-perintah Allah dalam hukum-Nya.
Rabu, 11 Juni
HUKUM YANG MEMERDEKAKAN (Yakobus dan Hukum)
Hukum utama. Yakobus adalah murid yang memiliki hubungan khusus dengan Yesus, selain menjadi bagian dari lingkaran dalam dia juga saudara Yesus (Mat. 13:55). Sebagai orang yang dibesarkan dalam satu keluarga yang sama tentu Yakobus sangat mengenal Yesus secara pribadi dan tahu persis bagaimana cara hidup-Nya sejak kecil dalam hal ketaatan pada hukum Allah. Tidak ada dalam tulisan rasul Yakobus yang memberi kesan bahwa Yesus mengabaikan hukum Allah, baik selama masa pertumbuhan-Nya sebagai kanak-kanak maupun dalam pengajaran-Nya setelah dewasa. Bahkan, Yakobus menyebut hukum Allah itu sebagai "hukum utama" (Yak. 2:8) dan "hukum yang memerdekakan" (ay. 12). Kata asli (dari bahasa Grika) yang diterjemahkan dengan utama pada ayat pertama adalah basilikos, sebuah kata sifat yang berkaitan dengan raja atau istana (Strong; G937), sehingga versi King James menerjemahkan frase ini dengan royal law. Sementara kata asli yang diterjemahkan dengan memerdekakan pada ayat kedua adalah eleutheria, sebuah kata benda feminin yang berarti "kebebasan berbuat atau melakukan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan keselamatan" (Strong; G1657), dan dalam versi King James diterjemahkan dengan law of liberty.
Pada bagian sebelumnya sang rasul telah menulis tentang hukum Allah itu sebagai berikut: "Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya" (Yak. 1:25; huruf miring ditambahkan). Jadi, menurut rasul Yakobus, selain hukum Allah itu adalah "utama" dan "memerdekakan" manusia, hukum itu juga "sempurna" sehingga jika seseorang meneliti hukum-hukum itu dengan tekun serta bersungguh-sungguh melakukannya maka orang itu akan "berbahagia."
"Hanya ada satu kitab dalam Perjanjian Baru yang dikaitkan dengan Yakobus. Sementara penulisnya tidak menegaskan Yakobus yang mana dia, tapi secara umum diterima bahwa surat ini dari Yakobus, saudara Yesus. Walaupun pada mulanya mungkin ragu-ragu tentang Kemesiasan Yesus (Yoh. 7:5), Yakobus pada akhirnya bangkit kepada posisi kepemimpinan yang berpengaruh dalam gereja Perjanjian Baru (Kis. 15:13; Gal. 1:19). Sekali lagi, kalau Yesus telah bermaksud untuk menghapus hukum ilahi, saudara-Nya sendiri pasti sudah mengetahuinya" [alinea kedua].
Dosa perbuatan dan kelalaian. Aslinya, Yakobus mengalamatkan suratnya kepada umat Kristen Yahudi, yakni "kedua belas suku di perantauan" (Yak. 1:1). Surat Yakobus ini merupakan sebuah tulisan yang mengandung sifat praktis, bahkan sering disebut sebagai kitab yang isinya bertutur banyak tentang "cara berbuat" (how-to book). Kalau rasul Paulus mengatakan bahwa dosa adalah "berbuat kesalahan" (Kol. 3:25), maka rasul Yakobus berkata, "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa" (Yak. 4:17). Dengan demikian kita mengetahui bahwa Alkitab mengajarkan tentang dua jenis utama dari dosa, yaitu "dosa karena perbuatan" (sin of commission), dan "dosa karena kelalaian" (sin of omission). Dosa karena perbuatan ialah mengetahui bahwa sesuatu tindakan adalah melanggar hukum Allah tapi tetap saja melakukannya, sedangkan dosa karena kelalaian ialah kegagalan untuk melaksanakan apa yang Allah perintahkan untuk dilakukan.
Mengambil contoh dari Sepuluh Perintah kita dapat dengan mudah memilah mana hukum yang bersifat perintah untuk melakukan dan mana hukum yang bersifat larangan. Dari kesepuluh perintah itu terdapat 8 hukum yang tidak boleh dilakukan, dan hanya 2 hukum (Hukum Keempat dan Kelima) yang harus dilakukan. Tentu bukan secara kebetulan bahwa dua hukum yang sifatnya aktif itu meliputi kewajiban manusia secara vertikal kepada Allah (Hukum Keempat tentang pengudusan Sabat hari ketujuh) dan kewajiban manusia secara horisontal terhadap sesamanya (Hukum Kelima tentang menghormati orangtua).
Rasul Yakobus juga yang mengatakan bahwa dalam melaksanakan intisari dari hukum utama yang kedua tentang kasih kepada sesama manusia itu harus adil dan tidak boleh dengan cara yang "memandang muka" (Yak. 2:8-9), dan dia pula yang menegaskan tentang pentingnya memelihara Sepuluh Perintah itu secara utuh dan lengkap sebab "mengabaikan satu bagian...bersalah terhadap seluruhnya" (ay. 10). "Seperti Paulus dalam Roma 13:9, Yakobus sepenuhnya mengerti bahwa intisari dari hukum Allah adalah kasih (Yak. 2:8). Tidak seorang pun dapat benar-benar mengakui telah memelihara perintah-perintah Allah kalau dia tidak memperlihatkan perbuatan-perbuatan kasih yang praktis" [alinea terakhir: dua kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang pendapat Yakobus mengenai hukum Allah?
1. Yakobus adalah murid terdekat dan sekaligus saudara dari Yesus Kristus yang mengetahui sikap Gurunya itu terhadap hukum Allah. Tidak ada tulisan apapun dalam surat Yakobus yang mengindikasikan bahwa Yesus telah menghapus Sepuluh Perintah Allah itu, sebaliknya Yakobus menyebut hukum utama itu "sempurna" dan "memerdekakan" manusia.
2. Paulus dan Yakobus tidak bertentangan dalam pandangan mereka tentang Sepuluh Perintah, bahkan keduanya saling mengisi dan melengkapi. Paulus menekankan tentang "dosa karena perbuatan" sebagai pelanggaran pada hukum Allah itu, dan Yakobus menegaskan tentang "dosa karena kelalaian" karena tidak melakukan apa yang diperintahkan.
3. Rasul Yakobus tidak melihat Sepuluh Perintah Allah sebagai larangan atau pembatasan yang sifatnya pasif, sebaliknya dia memandang hukum Allah itu sebagai tindakan atau perbuatan yang bersifat aktif. Perintah-perintah kasih (vertikal dan horisontal) yang menjadi intisari dari hukum Allah itu harus dilaksanakan tanpa pandang muka (Yak. 2:8-9).
Kamis, 12 Juni
MENGHARGAI KASIH KARUNIA (Yudas dan Hukum)
Amaran terhadap ajaran sesat. Yudas, atau bentuk lain dari Yehuda, adalah nama kebanyakan untuk anak laki-laki orang Ibrani, dan dalam PB terdapat enam tokoh dengan nama yang secara harfiah artinya "seorang yang terpuji" ini. Penulis kitab Yudas ini menyebut dirinya sebagai "hamba Kristus" dan saudara dari Yakobus, tentu saja dia bukan Yudas Iskariot murid Yesus yang berkhianat itu. Tulisan Yudas dalam PB merupakan sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada orang Kristen, Yahudi maupun non-Yahudi, yaitu "mereka yang terpanggil, yang dikasihi dalam nama Bapa" (ay. 1). Inti kitab Yudas paralel dengan tulisan rasul Petrus, khususnya surat Petrus yang kedua (2 Petrus), sehingga banyak pelajar Alkitab memastikan bahwa kedua tulisan ini memiliki narasumber yang sama. Meski singkat, tulisan Yudas sangat berguna bukan saja bagi orang Kristen abad permulaan tetapi khususnya juga penting bagi umat Kristen akhir zaman, sebab isinya yang mengandung nasihat agar "tetap berjuang mempertahankan iman" (ay. 3).
Salah satu bagian penting dari kitab Yudas adalah amaran tentang anasir-anasir ajaran sesat yang menyusup ke dalam gereja. "Sebab ternyata ada orang tertentu yang telah masuk menyelusup di tengah-tengah kamu, yaitu orang-orang yang telah lama ditentukan untuk dihukum. Mereka adalah orang-orang yang fasik, yang menyalahgunakan kasih karunia Allah kita untuk melampiaskan hawa nafsu mereka, dan yang menyangkal satu-satunya Penguasa dan Tuhan kita, Yesus Kristus," tulisnya (ay. 4; huruf miring ditambahkan). Frase "menyalahgunakan kasih karunia Allah" dalam ayat ini secara implisit merujuk kepada persepsi sebagian orang Kristen yang dengan sengaja melanggar hukum Allah karena merasa sudah aman berada di bawah kasih karunia, dan secara eksplisit berbicara tentang manipulasi kasih karunia itu.
Kata-kata dalam ayat di atas menyiratkan adanya ajaran-ajaran palsu di dalam Gereja yang bersifat pelecehan terhadap kasih karunia (abuse of grace) di satu sisi, dan pada sisi lain ajaran-ajaran itu merupakan penghinaan terhadap hukum (contempt of law). "Menyebutkan tentang kasih karunia menuntut adanya hukum, sebab kasih karunia tidak akan diperlukan kalau tidak ada dosa (Rm. 5:18-6:15). Apa yang guru-guru palsu ini ajarkan begitu jahatnya sehingga Yudas menyamakannya dengan penolakan terhadap Tuhan itu sendiri" [alinea ketiga].
Iman harus dinyatakan. Penulis kitab Ibrani mengingatkan para pembacanya tentang pengalaman bangsa Israel purba dalam pengembaraan di gurun Arabia ketika umat itu membangkitkan murka Allah, sehingga seluruh generasi--kecuali dua orang, Yohua dan Kaleb--yang berangkat dari Mesir tidak diizinkan masuk ke tanah perjanjian Kanaan dan binasa di padang belantara (Ibr. 3:16-19). Dua jenis dosa yang secara khusus disebutkan dalam ayat-ayat ini adalah dosa ketidak-taatan (ay. 18) dan dosa ketidakpercayaan (ay. 19).
Seirama dengan ayat-ayat dalam kitab Ibrani itu, Yudas menulis: "Tetapi, sekalipun kamu telah mengetahui semuanya itu dan tidak meragukannya lagi, aku ingin mengingatkan kamu bahwa memang Tuhan menyelamatkan umat-Nya dari tanah Mesir, namun sekali lagi membinasakan mereka yang tidak percaya. Dan bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar" (ay. 5-6; huruf miring ditambahkan).
"Dengan gaya diplomatisnya sendiri Yudas mengingatkan pembacanya tentang pengalaman umat Israel yang sudah dibebaskan dari perbudakan di Mesir. Allah telah memenunjukkan kekuatan-Nya dan bahkan memberikan kepada mereka hukum-Nya, tetapi bilamana mereka menjadi tidak setia maka mereka menghadapi akibat-akibat mengerikan yang datang karena terpisah dari Dia. Yudas dengan sangat jelas menyatakan bahwa manusia sesungguhnya dapat memungkiri, dan mereka yang berbuat itu akan menghadapi penghakiman. Kitab Yudas sama jelasnya seperti seluruh Kitabsuci: semua orang yang mengaku mempunyai iman harus bersedia mengekspresikan iman itu melalui kehidupan penurutan" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang perlunya ketaatan pada hukum Allah menurut Yudas?
1. Yudas menyebut pandangan dari sebagian orang Kristen yang menumbuhkan pola hidup penuh hawa nafsu sebagai penyangkalan terhadap hukum Allah. Mengingkari tuntutan ketaatan pada hukum Allah merupakan pelecehan terhadap kasih karunia Allah, dan ketidaktaatan itu akan berujung pada kebinasaan.
2. Ketidaktaatan dan ketidakpercayaan adalah dua jenis dosa yang secara khusus disorot pada bagian awal kitab Yudas (ay. 5 dan 6), dan keduanya berkaitan dengan eksistensi hukum Allah dalam Kekristenan. Orang Kristen yang tidak taat hukum berarti tidak percaya bahwa hukum Allah itu tetap eksis dan merupakan bagian yang integral dari Kekristenan.
3. Yudas mengingatkan orang Kristen agar mewaspadai pengaruh kesesatan Kain dan Bileam. Ciri-ciri orang yang sesat seperti itu, dia menulis: "Mereka itu orang-orang yang menggerutu dan mengeluh tentang nasibnya, hidup menuruti hawa nafsunya, tetapi mulut mereka mengeluarkan perkataan-perkataan yang bukan-bukan dan mereka menjilat orang untuk mendapat keuntungan" (ay. 16).
Jumat, 13 Juni
PENUTUP
Pertobatan dan pengampunan. Alkitab mengajarkan bahwa pengampunan tersedia bagi orang yang bertobat (Kis. 2:38; 8:22; Mrk. 1:4). Jadi, pertobatan dan pengampunan adalah dua hal yang saling berkaitan. Rumus alkitabiahnya adalah: "Kesadaran+Pertobatan=Pengampunan" (Kis. 3:19). Pengampunan adalah hasil dari sebuah proses, yaitu kesadaran akan dosa yang menuntun seseorang kepada pertobatan. Tidak ada orang yang sekonyong-konyong bertobat tanpa didahului oleh kesadaran bahwa dirinya berdosa, dan tidak ada orang yang tiba-tiba berkesimpulan bahwa dirinya berdosa tanpa mengenal hukum Allah. Logis, bukan?
Menurut injil, keselamatan itu berdasarkan pengampunan dosa (Luk. 1:77). Karena pengampunan itu sendiri, berdasarkan rumus di atas, adalah hasil dari kesadaran akan dosa ditambah pertobatan dari dosa, maka pengenalan akan dosa menjadi kunci yang membuka pintu pertama menuju kepada keselamatan. Karena hanya dengan hukum Allah "orang mengenal dosa" (Rm. 3:20; bandingkan dengan 7:7), maka kita dapat menguraikan secara lebih jelas posisi hukum Allah dalam keselamatan. Sederhananya begini: Hukum Allah membuat kita menyadari akan keberdosaan kita, kesadaran atas keberdosaan itu membawa kita kepada pertobatan, dengan pertobatan itu kita beroleh pengampunan, dan oleh pengampunan itu kita menerima keselamatan. Iman menjadi fondasi di atas mana tahapan demi tahapan tersebut dibangun sampai menjadi suatu kesatuan proses, dan kasih karunia menjadi payung yang melingkupi seluruh proses itu. Berdasarkan ini kita mungkin lebih mudah untuk memahami peran hukum Allah sebagai bagian tak terpisahkan dari keselamatan.
"Mengapa para rasul harus mengajarkan pertobatan terhadap Allah? Sebab seorang berdosa sedang bermasalah dengan Bapa. Dia sudah melanggar hukum; dia harus menyadari dosanya, dan bertobat. Apa tugas berikutnya? Memandang kepada Yesus yang oleh darah-Nya saja dapat membersihkan dari segala dosa...Tuhan kita menyatakan bahwa orang yang paling diampuni adalah orang yang paling dikasihi; dan hanya orang yang merasakan bahwa dirinya memerlukan pengampunan itulah yang melihat dirinya seperti apa adanya, dicemari oleh dosa, pelanggar hukum Allah yang suci. Orang yang memiliki keyakinan sepenuhnya akan tuntutan kudus dari hukum itu yang akan melihat paling jelas kehebatan pelanggarannya, dan akan merasakan bahwa dia sungguh telah banyak diampuni" [lima kalimat pertama dan dua kalimat terakhir].
"Carilah Tuhan selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat! Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada Tuhan, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya" (Yes. 55:6-7).
(Oleh Loddy Lintong/California, 12 Juni 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar