Sabat Petang, 31 Mei
PENDAHULUAN
Janji dan perjanjian. Pada waktu Allah memanggil Abraham (masih bernama Abram) untuk keluar dari kampung halamannya di Ur-Kasdim, bagian selatan Babilon, Allah berkata kepadanya: "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat" (Kej. 12:2; huruf miring ditambahkan). Janji yang sering disebut sebagai "janji rangkap tiga" ini bersifat sepihak, di mana yang membuat janji adalah Allah sendiri sebagai pihak aktif sementara Abram adalah pihak pasif yang tidak berjanji apa-apa. Janji ini kemudian dipertegas lagi dalam suatu upacara khidmat dengan simbol-simbol nyawa dan darah (Kej. 15:9-18).
Janji (promise) sepihak ini berubah menjadi perjanjian (covenant) dua pihak antara Allah dengan Abram yang ditandai dengan perubahan nama Abram menjadi Abraham (Kej. 17:5). Perhatikan perkataan Allah berikut ini: "Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu" (ay. 7; huruf miring ditambahkan). Janji dari pihak Allah, "yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka" (ay. 8). Sedangkan dari pihak Abraham, "engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun" (ay. 9). Dan untuk menandakan bahwa keturunan Abraham terikat pada perjanjian ini maka Allah menuntut agar semua anak laki-laki mereka disunat, "dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu" (ay. 11).
Puluhan tahun setelah Abraham wafat, Allah mengulangi janji ini kepada anaknya, Ishak. Pada waktu terjadi bala kelaparan di Kanaan, Allah mencegah Ishak yang berniat hendak mengungsi ke Mesir tetapi mengizinkannya untuk menumpang di negeri Filistin sebagai pendatang (Kej. 26:1-2), dan sekali lagi Allah mengulangi janji yang pernah Ia ucapkan kepada Abraham dulu (ay. 3-4). Selain menegaskan kembali tentang janji-janji itu, Allah juga menyebutkan alasan mengapa Ia hendak memenuhi janji itu: "Karena Abraham telah mendengarkan firman-Ku dan memelihara kewajibannya kepada-Ku, yaitu segala perintah, ketetapan dan hukum-Ku" (ay. 5; huruf miring ditambahkan). Jadi, digenapinya perjanjian itu di pihak Allah tidak terlepas dari kewajiban menaati perintah dan hukum-Nya di pihak manusia.
"Jantung dari perjanjian ini adalah kasih Tuhan yang teguh dan setia, sebuah kasih yang Alkitab bahkan berkali-kali samakan dengan perjanjian-perjanjian itu sendiri (baca Ul. 7:9, 1Raj. 8:23, Dan. 9:4). Sebagai bagian dari perjanjian itu Allah menyerukan umat-Nya agar menaati hukum-Nya, bukan sebagai sarana keselamatan tapi sebagai buah dari keselamatan itu. Secara bersama-sama hukum dan kasih karunia selalu menjadi pusat kepada perjanjian kekal Allah" [alinea kedua].
Minggu, 1 Juni
JANJI ALLAH KEPADA NUH DAN ABRAHAM (Tanda-tanda Perjanjian)
Lambang sebuah perjanjian. Lazimnya sebuah surat perjanjian selain menyebutkan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian itu juga memuat ketentuan-ketentuan atau klausul di mana pokok dari perjanjian itu diperluas atau dibatasi. Sebuah perjanjian dianggap sah dan memiliki konsekuensi hukum apabila para pihak membubuhkan tandatangan mereka, apakah surat perjanjian itu ditulis pada kertas bermeterai (plaagzegel) atau pada kertas biasa dengan meterai tempel yang nilainya cukup. Jika surat perjanjian itu dibuat di atas kertas biasa maka tandatangan dari para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus mengenai bagian permukaan dari meterai tempel. Meterai yang resmi adalah yang diterbitkan oleh pemerintah dan masih berlaku, untuk Indonesia terdapat gambar burung Garuda dengan perisai Pancasila pada dadanya yang merupakan lambang negara RI. UU Republik Indonesia No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai dengan tegas menyebutkan bahwa biaya meterai adalah sebagai "pajak atas dokumen" (Bab I, pasal 1) yang dikenakan pada setiap dokumen resmi, termasuk tanda terima penerimaan uang yang jumlahnya satu juta rupiah atau lebih, dan di belakang hari dapat dijadikan "sebagai alat pembuktian" dalam suatu perkara yang bersifat perdata (Bab II, pasal 2). Jadi dalam hal ini meterai merupakan "tanda" yang meresmikan perjanjian tersebut.
Setelah menghukum seluruh penduduk planet ini dengan mendatangkan air bah yang meliputi seluruh permukaan bumi, dengan hanya menyisakan keluarga Nuh berjumlah delapan orang, Allah kemudian mengadakan suatu perjanjian dengan Nuh. "Inilah perjanjian-Ku dengan kamu: Aku berjanji bahwa segala makhluk yang hidup tidak akan lagi dibinasakan oleh banjir. Tidak akan lagi ada banjir yang membinasakan bumi ini. Sebagai tanda perjanjian kekal, yang Kubuat dengan kamu dan dengan segala makhluk yang hidup, maka Kutaruh pelangi-Ku di awan sebagai tanda perjanjian-Ku dengan dunia. Setiap kali, jika Aku menutupi langit dengan awan, lalu pelangi itu tampak, Aku akan mengingat janji-Ku kepadamu dan kepada segala makhluk hidup, yaitu bahwa banjir tidak akan lagi membinasakan segala yang hidup. Bilamana pelangi tampak di awan, Aku akan melihatnya dan mengingat perjanjian yang kekal itu antara Aku dengan segala makhluk yang hidup di bumi. Itulah tanda janji-Ku yang Kuberikan kepada segala makhluk yang hidup di bumi" (Kej. 9:11-17, BIMK; huruf miring ditambahkan).
Pelangi adalah sebuah fenomena alam yang kejadiannya dapat dijelaskan secara ilmiah dengan sederhana berdasarkan ilmu pengetahuan alam (IPA). Terjadinya pelangi ialah ketika cahaya matahari yang bersifat polikromatik (berwarna banyak) dengan panjang gelombang yang berbeda-beda itu menimpa titik-titik air hujan di udara sehingga terjadi perambatan cahaya yang menimbulkan pembiasan serta penyebaran warna-warni cahaya dan muncul keluar sebagai spektrum warna. Jadi, pelangi adalah "busur spektrum warna besar berbentuk lingkaran yang terjadi karena pembiasan cahaya matahari oleh butir-butir air" (Wikipedia). Namun, meskipun pelangi adalah sebuah gejala alam, Alkitab menyatakan bahwa pelangi adalah lambang atau tanda perjanjian dari Allah kepada manusia bahwa dunia ini tidak akan dibinasakan lagi dengan air. "Sebuah perjanjian secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu persetujuan antara dua pihak yang didasarkan pada janji-janji yang dibuat oleh salah satu atau kedua pihak...Sebuah perjanjian biasanya dimeteraikan dengan sedikitnya satu lambang...Lambang itu sendiri bukanlah perjanjian melainkan suatu pertanda bahwa seseorang berkewajiban terhadap sebuah perjanjian" [alinea pertama: kalimat pertama; alinea kedua: kalimat pertama dan terakhir].
Janji Allah kepada Nuh dan Abraham. Perjanjian antara Allah dengan Nuh dan dengan Abraham berbeda setidaknya dalam tiga hal: lambang, cakupan, dan syarat. Lambang perjanjian yang Allah gunakan untuk Nuh adalah pelangi, sedangkan dengan Abraham lambang yang dipakai adalah sunat atau khitan. Cakupan perjanjian Allah dengan Nuh meliputi seluruh umat manusia, sedangkan dengan Abraham hanya mencakup bangsa Israel sebagai keturunannya saja. Syarat perjanjian Allah dengan Nuh tidak ada, sedangkan perjanjian dengan Abraham melibatkan syarat penurutan perintah dan hukum Allah oleh keturunannya. Dengan kata lain, janji Allah kepada Nuh yang tanpa syarat bahwa bumi ini tidak akan dibinasakan oleh air bah itu pasti ditepati bagaimana pun kehidupan manusia di dunia ini. Sebaliknya, janji Allah kepada Abraham menuntut penurutan oleh keturunannya, sehingga perjanjian itu tidak akan digenapi kalau mereka tidak memenuhi persyaratan itu.
"Setiap kali sebuah pelangi muncul di langit, semua orang diharapkan untuk mengingat janji Allah. Hal yang sama juga dengan tanda sunat yang dimaksudkan untuk mengingatkan setiap kaum lelaki Yahudi akan peran mereka sebagai umat-Nya dalam menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Perjanjian yang satu diadakan dengan seluruh umat manusia, yang lainnya dengan bangsa Israel. Juga, dalam perjanjian yang diadakan dengan manusia sesudah Air Bah, manusia tida perlu berbuat apa-apa; janji itu tetap berlaku, tidak peduli apa yang manusia lakukan. Hal ini tidak sama dengan perjanjian yang kedua, yaitu dengan Israel; umat itu harus memenuhi bagian mereka dalam perjanjian itu" [alinea terakhir: lima kalimat terakhir].
Meskipun Allah telah berjanji tidak akan membinasakan bumi ini dengan air bah, Ia tidak pernah berjanji bahwa dunia ini tidak akan dibinasakan. Bahkan Alkitab menyatakan, "Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap...Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya" (2Ptr. 3:10, 12; huruf miring ditambahkan). Namun, sebagaimana Allah pada zaman Nuh telah menyediakan bahtera sebagai sarana untuk selamat dari air bah, demikian pula pada zaman ini Allah telah menyediakan kasih karunia oleh iman dalam Yesus Kristus sebagai jalan keselamatan.
Apa yang kita pelajari tentang lambang-lambang perjanjian Allah dengan manusia?
1. Dalam sebuah perjanjian sekuler yang diadakan di antara manusia, lambang yang tertera di atas perjanjian tertulis itu adalah "tanda pengesahan" secara hukum atas perjanjian tersebut. Dalam perjanjian yang diadakan antara Allah dengan manusia, lambang yang digunakan menjadi "tanda pengingat" bagi manusia terhadap perjanjian itu.
2. Allah menggunakan pelangi sebagai tanda perjanjian dengan Nuh. Agar dapat melihat pelangi kita harus berada pada posisi di antara matahari dan titik-titik air hujan, yaitu ketika cahaya matahari bersinar dari belakang menembus titik-titik air hujan di depan kita. Anda dapat melihat tanda keselamatan di depan anda hanya ketika terang kemuliaan Allah menyinarinya.
3. Sebagaimana Allah mensyaratkan penurutan terhadap perintah-perintah-Nya kepada keturunan Abraham sebagai bukti bahwa mereka menghargai perjanjian itu, demikianlah Allah juga menuntut umat-Nya pada zaman ini untuk menaati hukum-hukum-Nya sebagai bukti bahwa kita menghargai janji keselamatan melalui kasih karunia dalam Yesus Kristus.
Senin, 2 Juni
SIFAT JANJI ALLAH PADA ABRAHAM (Janji-janji Perjanjian)
Janji yang tidak ditepati. Masih ingat kisah kalajengking dan katak? Syahdan, menurut yang empunya cerita, pada suatu hari seekor kalajengking berniat hendak menyeberang sungai. Karena tidak bisa berenang maka kalajengking itu meminta bantuan seekor katak yang sedang berjemur di tepi sungai. Sadar bahwa sengatan kalajengking sangat mematikan, si katak menolak. Tapi kalajengking berhasil membujuk dengan argumentasi yang jitu, bahwa dia tidak akan bertindak bodoh sebab kalau dia melakukannya maka katak itu akan mati dan tenggelam sehingga dia sendiri pun akan mati tenggelam. Sang katak percaya dan bersedia mendukung kalajengking di atas pundaknya lalu mulai menyeberangi sungai itu. Setibanya di seberang, gantinya berterimakasih tiba-tiba kalajengking menyengat leher si katak. Dalam keadaan lemas menjelang ajalnya katak itu mengeluh mengapa kalajengking yang sudah ditolongnya tega berbuat itu padahal dia sudah berjanji tidak akan menggigit. Kata sang kalajengking, "Kamu sudah tahu saya ini kalajengking. Apa yang kamu harapkan dari saya?"
Dunia satwa dengan hukum rimba tentu berbeda dengan dunia manusia beradab. Meski soal melanggar janji adalah hal yang lumrah di antara manusia, tapi setidaknya kita punya hukum yang jika dijalankan dengan efektif setidaknya dapat memberi keadilan. Ketika dua orang sepakat untuk mengadakan suatu perjanjian tentu masing-masing pihak percaya dan berharap bahwa pihak lainnya mampu serta mau menepati isi perjanjian itu. Kalau salah satu pihak gagal memenuhi butir-butir ketetapan (klausul) dalam surat perjanjian yang ditandatangani oleh para pihak bersangkutan, baik secara sengaja maupun karena kelalaian, maka pihak yang dirugikan dapat memperkarakan pihak lain yang tidak memenuhi ketetapan perjanjian tersebut. Dalam istilah hukum di Indonesia, kegagalan memenuhi ketetapan perjanjian itu disebut "wanprestasi" (sebuah istilah dari bahasa Belanda yang artinya "prestasi buruk"), di mana pihak yang dirugikan dapat melayangkan tuntutan hukum sebagaimana diatur dalam KUH Perdata pasal 1267.
"Perjanjian didasarkan pada janji-janji. Bahkan, adalah mungkin untuk menggunakan kedua istilah ini secara bergantian. Tentu ketika sebuah perjanjian dibuat, diharapkan bahwa orang yang mengadakan perjanjian itu memiliki kesanggupan untuk menjalankan apa yang dijanjikan" [alinea pertama]. Kenyataannya, perjanjian di antara manusia seringkali menimbulkan sengketa oleh karena salah satu pihak tidak memenuhi janjinya sehingga merugikan pihak lain, seperti juga yang tercatat dalam Alkitab. "Dalam Perjanjian Lama, beberapa perjanjian merupakan keadaan yang bersifat lokal dan terbatas" [alinea kedua].
Ketika Allah menepati janji-Nya. Dalam janji-janji yang Allah adakan dengan manusia tentu saja itu tidak mengacu pada hukum apapun, tetapi perjanjian itu semata-mata didasarkan pada sifat Allah yang kasih dan adil. Bahkan, banyak kali Allah membuat perjanjian dengan umat-Nya yang bersifat sepihak dan tidak bergantung pada "klausul" apapun yang harus dipenuhi oleh pihak manusia, termasuk janji-Nya kepada Abraham. Seperti dikatakan oleh rasul Paulus, "Yang hendak saya kemukakan di sini ialah ini: janji Allah sudah dibuat dan disahkan lebih dahulu. Hukum agama yang diberikan 430 tahun kemudian tidak dapat membatalkan pengesahannya serta menghapuskan janji Allah itu. Sebab kalau pemberian Allah tergantung kepada hukum agama, maka itu bukan lagi pemberian yang dijanjikan. Justru karena Allah sudah menjanjikannya kepada Abraham, maka Allah memberikan itu kepadanya" (Gal. 3:17-18, BIMK).
Di sini Paulus sedang menekankan suatu prinsip yang sangat penting perihal janji Allah kepada Abraham itu, yaitu bahwa sifat perjanjian Allah itu tidak berubah-ubah. Selain itu, perjanjian tersebut digenapi dalam diri "satu orang" dari keturunan Abraham. Seperti kata sang rasul, "Janji-janji Allah dibuat oleh Allah untuk Abraham dan untuk orang keturunan Abraham. Dalam Alkitab tidak tertulis "dan untuk orang-orang keturunan Abraham", yang berarti banyak orang. Yang tertulis di situ adalah "dan untuk orang keturunanmu", berarti satu orang saja, yaitu Kristus" (ay. 16, BIMK; huruf miring ditambahkan). Perjanjian Allah dengan Abraham itu mengandung dua dimensi, jasmani dan rohani. Janji yang bersifat jasmani dan spesifik bagi keturunan Abraham adalah berupa warisan tanah perjanjian dan keturunan yang banyak, sedangkan janji yang bersifat rohani dan universil bagi semua bangsa adalah yang digenapi dalam Yesus Kristus.
"Dalam kasus Abraham, Allah melihat kebutuhan umat manusia akan kebenaran dan karena itu Ia berjanji untuk menyediakan suatu berkat bagi semua bangsa melalui benih Abraham (Kej. 22:18)...Sekalipun Allah membuat perjanjian Sinai dengan satu bangsa tertentu hal itu juga memiliki makna universil. Allah sangat jelas bahwa setiap orang asing dapat menjadi bagian dari umat pilihan (sebagai contoh, Kel. 12:48-49), dan missi Israel haruslah menjadi terang injil kepada dunia (Kel. 19:5-6)" [alinea keempat: kalimat terakhir; alinea terakhir].
Apa yang kta pelajari tentang janji manusia dan sifat perjanjian Allah?
1. Setiap orang pernah berbuat janji kepada orang lain, baik janji besar maupun kecil. Namun sebagai manusia seringkali janji-janji yang kita buat itu tidak lebih dari sebuah "janji kalajengking" yang mengecewakan. Terkadang kita begitu tulus saat berjanji, tapi bila tiba saat untuk menepatinya kita tak sanggup melawan sifat manusiawi yang egoistik.
2. Allakh tidak sama dengan manusia, maka perjanjian-Nya pun tidak sama dengan janji-janji manusia. Allah tidak pernah berubah, karena itu janji-Nya juga tidak berubah. Perjanjian Allah tidak didasarkan pada hukum apapun, melainkan semata-mata didasarkan pada sifat kasih dan keadilan-Nya. Allah pasti menepati janji-Nya karena Ia kasih dan adil, bukan karena terikat pada suatu hukum.
3. Dalam perjanjian awal Allah kepada Abraham terdapat tiga janji (Kej. 12:2), dua janji pertama bersifat jasmani dan spesifik bagi keturunan Abraham, dan janji ketiga bersifat rohani dan universil untuk semua manusia. Semua janji-janji itu sudah digenapi, keturunan Abraham sudah menjadi bangsa yang besar dan namanya masyhur, dan melalui Kristus dia sudah menjadi berkat bagi semua bangsa.
Selasa, 3 Juni
SEPULUH PERINTAH SEBAGAI DASAR PERJANJIAN (Loh Perjanjian)
Perjanjian bersyarat. Pada waktu Musa dipanggil Allah naik ke puncak gunung Sinai, pemimpin besar pertama bangsa Israel itu tinggal selama empat puluh hari dan empat puluh malam. Dalam "audiensi" kedua itu Allah telah menyerahkan kepada Musa dua keping batu berisi Sepuluh Perintah untuk menggantikan dua loh batu pertama yang telah hancur dilemparkan oleh Musa dalam amarahnya kepada bangsa Israel beberapa waktu sebelumnya (baca Keluaran 32). Seperti loh batu berisi Sepuluh Perintah pertama telah ditulis oleh jari Allah sendiri (Kel. 32:16), loh batu yang kedua ini juga ditulis oleh jari Allah (Kel. 34:1). Perbedaannya, pada saat hukum moral itu diberikan pertama kali Allah juga membacakan isinya di hadapan jemaat Israel itu dan bagi mereka suara Allah terdengar seperti guruh sehingga menimbulkan ketakutan (Kel. 20:1, 18-19).
Tampaknya Sepuluh Perintah itu kemudian disalin oleh Musa sesuai perintah Allah. Perhatikan bahwa Allah menyebut Sepuluh Perintah itu sebagai dasar dari perjanjian-Nya kepada bangsa itu: "Tuliskanlah segala firman ini, sebab berdasarkan firman ini telah Kuadakan perjanjian dengan engkau dan dengan Israel" (Kel. 34:27). Lalu Musa kembali "menuliskan pada loh itu segala perkataan perjanjian, yakni Kesepuluh Firman" (ay. 28; huruf miring ditambahkan). Di kemudian hari Allah menegaskan bahwa Sepuluh Perintah itu akan menjadi terang bagi semua bangsa lain di luar Israel, sebagaimana yang difirmankan-Nya melalui seorang nabi: "Perhatikanlah suara-Ku, hai bangsa-bangsa, dan pasanglah telinga kepada-Ku, hai suku-suku bangsa! Sebab pengajaran akan keluar dari pada-Ku dan hukum-Ku sebagai terang untuk bangsa-bangsa" (Yes. 51:4; huruf miring ditambahkan). Dengan cara demikian maka terpenuhilah maksud Allah untuk membuat bangsa Israel "menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa" (Yes. 42:6-7).
"Sekalipun suatu perjanjian didasarkan atas janji-janji, biasanya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum janji-janji itu digenapi. Perjanjian Abraham melibatkan sunat dari semua kaum lelaki baik yang lahir bagi Abraham ataupun keturunannya. Bilamana Yahweh mengadakan perjanjian dengan Israel, Ia sendiri menggoreskan tuntutan-tuntutan bagi hubungan itu pada loh-loh batu (Ul. 9:8-11). Tuntutan-tuntutan ini, yang terpelihara dalam Sepuluh Perintah, adalah untuk menjadi dasar perjanjian Allah yang abadi dengan seluruh umat manusia" [alinea pertama].
Perjanjian diperbarui dan dilestarikan. Kegagalan demi kegagalan yang dialami bangsa Israel sebagai umat pilihan Tuhan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan hukum Allah sebagai dasar perjanjian dengan mereka tidak membuat Allah membatalkan perjanjian itu. Sebaliknya, Ia telah menambahkan "perjanjian baru" atas perjanjian lama yang telah mereka ingkari itu. Allah berfirman: "Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman Tuhan, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka...Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman Tuhan: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku...Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman Tuhan, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka" (Yer. 31:31-34; huruf miring ditambahkan).
Pada prinsipnya Allah tidak pernah membatalkan Sepuluh Perintah sebagai dasar dari perjanjian dengan umat Israel meskipun mereka telah gagal memelihara perjanjian itu dengan tidak memenuhi perintah hukum Allah. Kalau Allah tidak membatalkan kewajiban bangsa Israel untuk menaati hukum-hukum-Nya, tidak mungkin Allah membatalkan kewajiban menaati hukum-hukum tersebut bagi bangsa-bangsa lain. Tetapi sebagaimana Allah telah membantu umat Israel dengan menanamkan hukum-hukum itu ke dalam batin dan hati mereka, demikian juga bagi bangsa-bangsa lain Allah menaruh hukum-Nya "di dalam hati mereka dan menuliskannya dalam akal budi mereka" (Ibr. 10:15-17).
"Di bawah Perjanjian yang Lama di gunung Sinai umat Israel dan orang-orang yang bergabung dengan masyarakat mereka diwajibkan untuk menunjukkan kesetiaan kepada perjanjian itu oleh memelihara Sepuluh Perintah. Apabila mereka melanggar satu perintah mereka diharuskan untuk memeprsembahkan seekor hewan kurban kalau mereka ingin dosa-dosa mereka diampuni...Di bawah Perjanjian yang Baru di bukit Golgota umat Allah tetap diwajibkan memelihara Sepuluh Perintah. Namun, bilamana mereka berdosa mereka tidak perlu mempersembahkan kurban terus-menerus sebab Yesus adalah kegenapan dan kurban yang sempurna bagi mereka (Ibr. 9:11-14). Perjanjian yang Baru jauh lebih baik daripada yang lama karena sekarang oleh iman kita bisa menuntut janji-janji pengampunan yang ditawarkan kepada kita melalui pengorbanan Yesus" [alinea ketiga; alinea keempat: tiga kalimat pertama].
Apa yang kita pelajari tentang perjanjian dan syarat perjanjian Allah?
1. Sepuluh Perintah adalah syarat dalam Perjanjian yang Lama antara Allah dengan Abraham dan keturunannya tapi bangsa itu telah gagal memeliharanya. Namun, bukan membatalkan hukum itu sebagai dasar perjanjian perjanjian melainkan justeru menanamkan hukum-hukum itu di dalam hati sanubari mereka.
2. Meskipun Allah telah mengadakan Perjanjian yang Baru dengan bangsa-bangsa lain, menggantikan Perjanjian yang Lama dengan bangsa Israel, kewajiban untuk menaati Sepuluh Perintah itu tidak berubah. Hanya saja kegenapan perjanjian Allah bagi kita tidak lagi didasarkan pada penurutan hukum-hukumNya.
3. Perjanjian yang Baru didasarkan dan berpusat pada Yesus Kristus sebagai "kegenapan hukum Taurat" (Rm. 10:4), tetapi Perjanjian yang Lama antara Allah dengan Abraham termasuk janji akan seorang Mesias sebagai Juruselamat atas dosa-dosa mereka. Yesus Kristus adalah Mesias yang menggenapi perjanjian yang lama, dan Juruselamat yang menggenapi perjanjian yang baru.
Rabu, 4 Juni
PENGANTARA PERJANJIAN BARU (Perjanjian dan Injil)
Perjanjian dan hukuman. Seperti telah disebutkan pada ulasan pelajaran hari Senin (2 Juni) bahwa pelanggaran terhadap suatu perjanjian yang disahkan secara hukum dapat menimbulkan konsekuensi hukum jika perjanjian itu tidak digenapi. Biasanya dalam perjanjian yang berupa kontrak bisnis disebutkan pula cara penyelesaian hukum yang disepakati bersama jika terjadi penyimpangan terhadap mana salah satu pihak merasa dirugikan. Jadi, pada prinsipnya dalam sebuah perjanjian tertulis terdapat sangsi-sangsi hukum bila ada pihak yang melanggar kesepakatan itu. Perjanjian antara Allah dengan umat-Nya, sebagaimana dapat kita baca dalam Perjanjian Lama, juga mengandung sangsi hukuman.
"Ada konsekuensi-konsekuensi yang berat atas pelanggaran perjanjian alkitabiah tertentu. Yahwe mengamarkan Abraham bahwa setiap laki-laki yang tidak disunat akan dikeluarkan dari antara umat pilihan (Kej. 17:14), dan serangkaian kutukan ditujukan kepada mereka yang menolak untuk patuh pada syarat-syarat perjanjian Sinai (Ul. 27:11-26). Pada akhirnya, orang-orang yang melanggar syarat-syarat perjanjian itu akan dihukum mati (Yeh. 18:4). Hal yang sama juga berlaku untuk Perjanjian yang Baru: mereka yang menolak untuk memelihara hukum Allah juga ditolak beroleh jalan masuk kepada hidup kekal (Rm. 6:23)" [alinea pertama].
Dalam Perjanjian yang Lama, Allah mengadakan perjanjian itu secara langsung dengan manusia, yang diwakili oleh Musa. Dalam Perjanjian yang Baru Allah tidak mengikat perjanjian secara langsung dengan manusia, tetapi melalui Kristus sebagai Pengantara. Alkitab menuturkan, "Karena itu Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian yang baru, supaya mereka yang telah terpanggil dapat menerima bagian kekal yang dijanjikan, sebab Ia telah mati untuk menebus pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan selama perjanjian yang pertama" (Ibr. 9:15). Hal ini bisa terjadi oleh sebab Yesus Kristus sudah menjalani kematian di kayu salib sebagai kurban menggantikan manusia.
Wasiat sang Pengantara. Surat wasiat adalah sebuah pernyataan tertulis yang dibuat oleh seseorang yang sudah dewasa (berumur 18 tahun atau lebih) ketika dia masih hidup dan akan berlaku secara efektif bila pembuat surat wasiat itu meninggal dunia. Kita mengenal surat wasiat olografis (tulisan tangan sendiri), surat wasiat dengan akta umum (dibuat oleh notaris yang isinya sesuai kehendak pembuat wasiat), dan surat wasiat dengan akta rahasia (dibuat sendiri oleh pembuatnya kemudian dititipkan pada notaris dalam sampul tertutup, disaksikan oleh saksi-saksi). Ketiga jenis surat wasiat itu harus ditandatangani oleh pembuatnya, dan khusus untuk surat wasiat yang menggunakan akta umum harus ditandatangani bersama oleh pembuat wasiat, notaris, dan dua orang saksi. Surat wasiat dapat dititipkan di kantor notaris untuk dibuka dan dibacakan kepada para ahli waris setelah pembuat wasiat itu meninggal dunia. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), Bab XII pasal 830, ditegaskan bahwa "pewarisan hanya terjadi karena kematian."
Sudah jelas bahwa penulis kitab Ibrani* juga mengerti hukum positif ketika dia menegaskan, "Sebab di mana ada wasiat, di situ harus diberitahukan tentang kematian pembuat wasiat itu. Karena suatu wasiat barulah sah, kalau pembuat wasiat itu telah mati, sebab ia tidak berlaku, selama pembuat wasiat itu masih hidup" (Ibr. 9:16-17; huruf miring ditambahkan). Tentu saja dia sedang merujuk kepada Yesus Kristus yang telah mencurahkan darah-Nya serta "mempersembahan diri-Nya sendiri" menjadi kurban penebusan dosa manusia (ay. 14). Jadi, maksudnya di sini ialah bahwa kita manusia berhak untuk mewarisi hidup kekal menurut Perjanjian yang Baru hanya karena Pengantara dari perjanjian tersebut, yaitu Yesus Kristus, sudah menjalani kematian. [*Saya menggunakan istilah "penulis kitab Ibrani" oleh sebab hingga kini para ahli Alkitab belum sepakat tentang siapa penulis kitab ini--antara Paulus, Barnabas, atau Apolos--meskipun sebagian besar condong kepada Paulus karena konsistensi teologinya meski gaya penulisannya tidak cocok dengan surat-surat yang ditulisnya. Tetapi Martin Luther, reformator Protestan, berpendapat Apolos karena memiliki kecakapan menulis. Pastinya, penulis kitab Ibrani adalah orang Kristen Yahudi abad pertama yang paham hukum Musa.]
"Dalam ayat 16 dan 17 sebagian terjemahan Alkitab beralih dari membicarakan 'perjanjian' dan sebagai gantinya memperkenalkan istilah 'wasiat' meskipun kata Grika yang digunakan adalah sama. Hal ini menyodorkan gagasan yang seutuhnya tentang kematian, yaitu kematian Yesus bagi kita. Bila dipahami dalam konteks itu, ayat-ayat ini mengingatkan orang percaya bahwa tanpa Kristus perjanjian itu menuntut kematian dari setiap orang berdosa. Akan tetapi, orang berdosa dapat ditudungi dan kemudian dibersihkan oleh darah Kristus yang tercurah dan dengan demikian termasuk di antara 'orang-orang yang menantikan' kedatangan-Nya (Ibr. 9:28, BIMK)" [alinea ketiga].
Apa yang kita pelajari tentang perjanjian dan injil?
1. Perjanjian yang Lama antara Allah dengan umat-Nya telah didasarkan pada penurutan hukum-Nya, di mana ketidaktaatan pada hukum telah membawa hukuman terhadap umat itu. Perjanjian yang Baru juga didasarkan pada hukum Allah, tapi karena perjanjian itu dikukuhkan melalui Kristus sebagai Pengantara maka akibat ketidaktaatan manusia pada hukum Allah telah ditanggungkan atas Kristus.
2. Melalui Perjanjian yang Baru manusia berhak mewarisi keselamatan abadi dan hidup kekal hanya oleh percaya bahwa Yesus Kristus adalah Pengantara dari perjanjian itu. Melalui "Berita Injil" maka umat percaya "turut menjadi ahli-ahli waris...dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus" (Ef. 3:6).
3. Kematian Kristus tidak bisa dihindarkan karena hanya melalui kematian-Nya dosa manusia dapat diampuni, dan oleh kematian-Nya pula "surat wasiat" yang berisi janji keselamatan itu berlaku efektif. Tanpa salib Kristus, nasib manusia dalam perjanjian yang baru akan sama dengan nasib umat Israel dalam perjanjian yang lama.
Kamis, 5 Juni
PERJANJIAN YANG MENGUNTUNGKAN MANUSIA (Keuntungan-keuntungan Perjanjian)
Manfaat hukum. Dalam dunia sekuler, perjanjian tertulis resmi yang diadakan di antara dua pihak dijamin oleh undang-undang yang diterapkan oleh pemerintah, untuk warga Indonesia dalam hal ini adalah Kitab UU Hukum Perdata. Di luar hukum, orang-orang hanya dapat membuat perjanjian di antara mereka atas dasar kepercayaan yang sering sangat merugikan apabila pihak yang berjanji tidak memenuhi janji. Sekalipun di negara-negara yang masyarakatnya sangat menghormati rasa saling percaya (high trust society), semisal di Amerika, apabila menyangkut perjanjian bisnis pasti akan membuat surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua pihak. Menyewa apartemen saja membutuhkan dokumen perjanjian berlembar-lembar yang harus anda tandatangani sampai beberapa kali, demikian pula untuk kredit barang yang merupakan "gaya hidup" masyarakat di negara Paman Sam ini. Setiap perjanjian tertulis yang ditandatangani dilindungi oleh hukum sehingga menimbulkan rasa aman terhadap para pihak yang terikat dalam perjanjian itu. Jadi, hukum memberi manfaat kepada siapa saja yang hendak mengadakan perjanjian.
"Mereka yang memasuki perjanjian dengan Allah pun bisa mulai menikmati manfaat-manfaat perjanjian itu sebelum janji-janji dilaksanakan di masa depan...Pikirkanlah misalnya tentang Sepuluh Perintah, dan betapa banyak kepedihan dan penderitaan yang manusia bisa hindari kalau saja mereka menaatinya. Siapa yang secara pribadi belum pernah mengalami sakit hati akibat pelanggaran dari hukum-hukum ini? Bahkan lebih buruk lagi, penderitaan yang datang tidak selalu terbatas pada orang yang melanggar hukum itu; seringkali bahkan orang-orang terdekat lainnya dari orang yang berbuat dosa itu juga menderita" [alinea pertama: kalimat terakhir; alinea kedua].
Bahkan hukum duniawi sekalipun dapat memberi keuntungan kepada manusia yang terlibat dalam suatu perjanjian, apalagi hukum ilahi. Tidak ada hukum dan perundang-undangan yang dibuat untuk mencelakakan warga sendiri, kecuali hukum yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintahan otoriter dan seorang diktator jahat. Tetapi Allah yang maha kuasa memerintah semesta alam berdasarkan kasih dan keadilan-Nya, sebagaimana tercermin dalam Sepuluh Perintah.
Manfaat perjanjian. Sebuah perjanjian pada dasarnya bersifat futuristik, artinya keuntungannya baru bisa dinikmati di kemudian hari bilamana isi dari perjanjian itu dilaksanakan atau digenapi. Tetapi perjanjian-perjanjian yang Allah adakan dengan manusa, baik dalam Perjanjian yang Lama maupun yang Baru, sudah dapat dinikmati manfaatnya oleh manusia sejak kita menerima dan mengikatkan diri dengan perjanjian itu. Allah memang merancangnya demikian, sebab Ia tahu bahwa manusia yang masih hidup di dunia ini setiap hari harus berjuang dalam kehidupannya.
Di antara berbagai manfaat yang sudah dapat dirasakan sekarang ini, termasuk "manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari" sehingga melahirkan sikap hidup positif yang memandang penderitaan hidup sekarang ini adalah ringan, dan melatih sudut pandang kita untuk mampu melihat hal-hal yang tidak kelihatan (2Kor. 4:16-18). Selain itu, kita merasa bahwa sekarang ini kita hidup "di dalam Anak-Nya" sehingga bilamana kita berdoa memohon sesuatu "Ia mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-Nya" (1Yoh. 5:11-14). Sejak sekarang pun Allah telah "memulai pekerjaan yang baik" di antara kita (Flp. 1:6), bahkan saat ini kita sudah memiliki hidup yang kekal itu karena siapa saja yang percaya kepada Kristus "ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup" (Yoh. 5:24).
"Yesus menggunakan bahasa yang sangat tegas dalam Injil Yohanes ketika Ia menyatakan bahwa mereka yang menerima Dia sudah 'pindah dari dalam maut ke dalam hidup' (Yoh. 5:24). Sedemikian yakinnya orang percaya itu pada keselamatannya sehingga meskipun terpenjara di bumi ini, dia dapat menyatakan sedang berada bersama-sama dengan Yesus Kristus di surga (Ef. 2:6)" [alinea ketiga].
Apa yang kita pelajari tentang keuntungan-keuntungan dari perjanjian Allah?
1. Dalam Sepuluh Perintah (hukum moral) itu kita dapat merasakan nuansa kasih dan keadilan Allah, dan dalam perjanjian-perjanjian yang Allah adakan dengan manusia kita dapat menikmati manfaat-manfaat yang menguntungkan. Perjanjian dan hukum Allah sama-sama memberi manfaat kalau manusia mau menerimanya.
2. Meskipun tujuan utama dari perjanjian itu baru akan dinikmati pada waktu Yesus datang kedua kali, umat percaya sudah mulai menikmati manfaat-manfaat sementara dari perjanjian itu sekarang. Puncak keuntungan dari perjanjian itu adalah hidup kekal yang bersifat fisik, tetapi keuntungan-keuntungan yang bersifat rohani diperoleh sekarang ini.
3. Dalam perjanjian tertulis adalah hal yang lazim untuk mencantumkan pada bagian akhir kalimat seperti: "Demikianlah surat perjanjian ini telah dibuat secara sadar dan dalam suasana tenteram serta tanpa paksaan, dan kedua pihak sepakat untuk melaksanakan isi perjanjian ini." Perjanjian dengan Allah juga tidak bersifat paksaan, sebab keselamatan atau kebinasaan adalah pilihan kita.
Jumat, 6 Juni
PENUTUP
Dasarnya adalah percaya. Bayangkanlah kalau Nuh tidak percaya lalu menolak perintah Allah untuk membangun bahtera, sudah pasti nasib manusia dan dunia ini akan lain. Bayangkan juga kalau Abraham tidak percaya pada janji Allah dan karena itu tidak menurut kepada perintah-Nya, sudah tentu eksistensin keturunannya tidak akan seperti sekarang ini dan suasana dunia pasti berbeda. Akan tetapi anda tidak perlu berspekulasi tentang apa yang bakal terjadi kalau Nuh dan Abraham tidak percaya kepada Tuhan, sebab kenyataannya mereka berdua percaya dan menurut.
Demikian pula, kita tidak perlu berspekulasi tentang nasib apa yang akan menimpa manusia dan bumi ini seandainya Allah tidak memperbarui perjanjian itu dengan perantaraan Putra-Nya, Yesus Kristus. Kenyataannya, Allah sudah mengadakan Perjanjian yang Baru, dan Yesus Kristus sudah bersedia mati sebagai Kurban tebusan dosa manusia di atas mana perjanjian yang baru itu disahkan. Apa yang anda dan saya boleh bahkan harus berandai-andai adalah tentang nasib diri sendiri, sekiranya kita tidak percaya pada janji Allah dan menolak hukum-Nya!
"Perjanjian dengan Abraham telah disahkan oleh darah Kristus, dan disebut perjanjian kedua atau baru, karena darah oleh mana perjanjian itu dimeteraikan tercurah setelah darah perjanjian yang pertama...Perjanjian kasih karunia bukanlah satu kebenaran yang baru, sebab ini sudah ada dalam pemikiran Allah sejak seluruh kekekalan. Itulah sebabnya disebut perjanjian kekal...Pengharapan bagi kita hanya ada ketika kita datang di bawah perjanjian Abraham, yaitu perjanjian kasih karunia oleh iman di dalam Yesus Kristus" [tiga alinea terakhir].
Perjanjian dan hukum Allah adalah dua hal yang saling melengkapi dan tak terpisahkan. Kedua-duanya, perjanjian dan hukum, itu juga adalah perwujudan dari sifat dan tabiat Allah dalam berinteraksi dengan manusia ciptaan-Nya. Perjanjian Allah didasarkan pada hukum-Nya, dan hukum Allah bergantung pada perjanjian-Nya. Tanpa perjanjian tidak perlu ada hukum; tanpa hukum tidak mungkin ada perjanjian. Perjanjian dan hukum Allah juga memperlihatkan kepedulian-Nya pada nasib manusia, meskipun manusia itu sendiri seringkali tidak peduli dengan nasibnya. Jika anda peduli dengan nasib abadi anda, jalan satu-satunya yang pasti adalah percaya kepada Yesus Kristus.
"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah" (Yoh. 3:16-18)
(Oleh Loddy Lintong/California, 5 Juni 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar