PELAJARAN KE-XII; 21 Juni 2014
"GEREJA KRISTUS DAN HUKUM"
Sabat Petang, 14 Juni
PENDAHULUAN
Hukum dan kasih karunia. Untuk apa Allah menciptakan manusia? Allah sendiri berkata dalam firman-Nya bahwa manusia "Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku" (Yes. 43:7), karena itu Ia telah menciptakan manusia "menurut gambar-Nya" (Kej. 1:27; BIMK: "seperti diri-Nya sendiri"). Tetapi akibat dosa maka manusia "telah kehilangan kemuliaan Allah" itu (Rm. 3:23), dan hanya oleh iman kepada kasih karunia Allah saja manusia mempunyai "pengharapan akan menerima kemuliaan Allah" yang telah hilang itu (Rm. 5:2). Melalui kasih karunia itu Allah akan mengubah kita kembali sehingga "menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar" (2Kor. 3:18).
Tampaknya, Allah memang ingin memulihkan manusia kepada keadaan sebelum berdosa untuk menunjukkan bahwa Dialah sumber segala kemuliaan. "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Rm. 11:36). Sebagai respon kita terhadap tawaran kasih karunia Allah yang akan memulihkan kemuliaan itu, rasul Paulus menasihati kita sebagai umat percaya agar memperhatikan tingkah laku dalam setiap hal yang kita perbuat. Katanya, "Lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah" (1Kor. 10:31). Memelihara tingkah laku kita selaras dengan kemuliaan Allah, itu berarti hidup menurut hukum Allah.
"Gereja Allah ibarat sebuah regu lari estafet. Dimulai dari Adam di Taman Getsemane, tongkat estafet itu telah diteruskan melalui beberapa tahap sejarah keselamatan: dari Nuh kepada Abraham kepada Sinai kepada gereja Perjanjian Baru kepada gereja Reformasi, dan sekarang kepada mereka yang mengumandangkan pekabaran tiga malaikat...Lambang dari kesinambungan gereja Allah adalah hukum-Nya, yang sesudah kejatuhan harus selalu dipasangkan dengan kasih karunia Allah. Keduanya secara bersama-sama merupakan intisari dari injil" [ainea kedua dan ketiga].
Minggu, 15 Juni
HUKUM ALLAH DI TAMAN EDEN (Dari Adam ke Nuh)
Dipanggil keluar. Banyak orang yang sering menyebut "gereja" sebagai sebuah tempat ibadah umat Kristiani, atau terkadang juga untuk menyebut suatu sekte Kristen tertentu. Tetapi itu bukan pemahaman yang alkitabiah, sebab menurut Alkitab "gereja" itu merujuk kepada orang-orang yang tergabung dalam sebuah jemaat atau persekutuan jemaat. Dalam bahasa asli Perjanjian Baru (Grika), kata "gereja" pertama kali muncul dalam ucapan Yesus kepada Petrus (Mat. 16:18). Kata asli yang diterjemahkan dengan jemaat dalam ayat ini adalah ekklēsia, sebuah kata benda feminin yang arti harfiahnya adalah "sekumpulan warga yang dipanggil keluar dari rumah mereka untuk berhimpun di sebuah tempat umum" (Strong; G1577). Kata ini merupakan bentukan dari dua komponen, ek (kata perangkai yang dalam hal ini berarti "dari") dan kaleō (kata kerja yang berarti "memanggil" atau "mengundang").
Menurut sejarah Yunani purba, ekklēsia adalah sebuah tradisi demokrasi yang berlaku pada "zaman keemasan" kota Atena (480-404 SM) ketika pada waktu-waktu tertentu warga khususnya kaum pria dewasa "dipanggil keluar" dari rumah-rumah mereka untuk berkumpul di lapangan semacam alun-alun dalam rangka pengambilan keputusan bersama ataupun untuk mendengar pengumuman penting. Para penulis Alkitab kemudian mengadopsi istilah ini untuk menyebut orang-orang yang terpanggil untuk menjadi pengikut Kristus, yang kemudian dinamai "jemaat." Jadi, "gereja" pada dasarnya merujuk kepada manusia, bukan bangunan. PB versi King James menggunakan kata "jemaat" sebanyak 115 kali dalam 112 ayat.
Meskipun kita dapat mengatakan bahwa "gereja Kristus" resminya baru muncul di zaman Perjanjian Baru, yaitu sesudah Yesus Kristus mencanangkan berdirinya "gereja" atau "jemaat" (Mat. 16:18) yang berada di bawah otoritas-Nya (Ef. 1:22-23), namun berdasarkan makna kata "ekklesia" sebagai perhimpunan orang-orang yang "dipanggil keluar" dari dunia maka yang dimaksudkan dengan "jemaat Allah" itu sesungguhnya sudah ada sejak zaman Perjanjian Lama. Kata Ibrani qahal yang berarti "jemaah" atau "perhimpunan orang banyak" (Strong; H6950) telah mulai digunakan untuk keturunan Abraham (Kej. 28:3; Kel. 12:6). "Dipinjam dari dunia sekuler, kata tersebut merujuk kepada orang-orang yang telah 'dipanggil keluar.' Pada setiap generasi, Allah telah 'memanggil keluar' satu umat untuk memantulkan kehendak-Nya melalui kehidupan yang mengandung kesetiaan, keyakinan, kasih, dan penurutan" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].
Ujian dan kebebasan moral. Allah menciptakan manusia tidak saja sebagai makhluk cerdas tapi juga sebagai makhluk bermoral, dan inilah yang membedakan manusia dari hewan. Bersamaan dengan kecakapan berpikir dan kecakapan moralitas tersebut, Allah juga telah mengaruniakan kepada manusia kebebasan untuk menggunakan kedua kecakapan itu. Maka, dalam hal membuat keputusan-keputusan, manusia bukan saja harus menggunakan kecakapan berpikirnya tapi juga kecakapan moralitasnya. Sangat berbahaya jika seseorang memutuskan sesuatu tindakan semata-mata berdasarkan pikirannya tanpa mempertimbangkan moralnya, sebagaimana yang dapat kita lihat dalam tindakan Adam dan Hawa di Taman Eden ketika memetik dan memakan buah larangan itu (Kej. 2:16-17).
Perhatikan bahwa Adam dan Hawa berdosa bukan karena melanggar Sepuluh Perintah secara faktual (sebab hukum itu baru diturunkan kepada manusia sekitar 2500 tahun kemudian, yaitu 26 generasi dari Adam hingga Musa), meskipun prinsip-prinsip dari hukum itu sudah berlaku. Tetapi secara faktual Adam dan Hawa berdosa semata-mata karena melanggar perintah Allah, "Janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati" (Kej. 2:17; bandingkan dengan 3:11). Saya dapat pastikan bahwa buah "pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat" itu sama sekali tidak mengandung racun yang mematikan, tetapi pelanggaran terhadap perintah Allah itulah yang mematikan. Jadi, unsur pokok di sini bukan pada buah itu sendiri tetapi pada larangan Allah untuk memakannya, dan maksud dari larangan itu adalah sebagai ujian atas kebebasan moral yang Allah telah karuniakan kepada pasangan pertama manusia itu. Adam dan Hawa berdosa bukan karena memakan buah pohon yang membahayakan tubuh dan jiwa mereka, tetapi mereka berdosa akibat pilihan moral yang salah.
"Pada pusat moralitas adalah hukum, hukum Allah, yang menegaskan kebaikan dan kejahatan bagi kita (perhatikan bahwa pohon itu dinamai 'pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat'). Apa gunanya suatu hukum yang melarang berdusta, mencuri, dan membunuh jika makhluk-makhluk ini tidak sanggup melakukan salah satu dari hal-hal tersebut untuk memulai? Hukum itu sendiri tidak akan ada artinya dalam satu jagat raya dengan makhluk-makhluk yang secara otomatis hanya bisa berbuat yang baik saja. Namun bukan itu yang Allah maksudkan untuk menciptakan kita. Ia tidak dapat lakukan itu kalau Ia menginginkan makhluk-makhluk yang bisa sungguh-sungguh mengasihi" [alinea keempat].
Apa yang kita pelajari tentang pelanggaran hukum Adam dan Hawa?
1. Setelah Allah menciptakan pasangan manusia pertama, Adam dan Hawa, Ia memberi perintah kepada mereka agar tidak memakan buah larangan di Taman Eden. Larangan itu adalah hukum terhadap mana nenek moyang manusia itu harus tunduk, dan dalam pengertian tertentu larangan itu adalah "panggilan" kepada manusia pertama itu untuk mengikuti perintah Allah.
2. Manusia telah diciptakan Allah sebagai makhluk yang cerdas dan bermoral serta kebebasan untuk menggunakan kedua kecakapan tersebut. Dalam rangka mengembangkan kecerdasan dan moralitas itu Allah memberi mereka ujian berupa larangan memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, tetapi mereka gagal dalam ujian perdana itu dengan segala akibatnya.
3. Sepuluh Perintah Allah disebut "hukum moral" karena substansi moral yang dikandung pada setiap hukum tersebut, karena itu ketaatan pada Sepuluh Perintah itu merupakan tanggungjawab moral manusia terhadap Allah dan terhadap sesamanya manusia. Ketaatan ataupun pelanggaran kita atas hukum-hukum itu adalah bukti nyata dari moralitas anda dan saya.
Senin, 16 Juni
KEBEJATAN MORAL MANUSIA (Dari Nuh kepada Abraham)
Ketika Allah "menyesal." Nuh adalah generasi kesepuluh dari Adam yang hidup sekitar 16 abad sesudah penciptaan, atau antara tahun 2400-2300 SM. Alkitab mencatat bahwa pada zaman Nuh itu kejahatan manusia sudah demikian memuncak sehingga "menyesallah Tuhan, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya" (Kej. 6:6). Kata asli yang diterjemahkan dengan menyesal pada ayat ini adalah nacham (baca: na-haam), sebuah kata kerja dari akar kata primitif yang dapat juga diterjemahkan dengan menghibur, atau dalam pengertian tertentu berubah pikiran. Secara harfiah bisa diterangkan sebagai "menarik nafas panjang untuk menenangkan hati" (Strong; H5162), atau dalam ungkapan lain ialah "mengelus dada." Kata Ibrani yang sama juga digunakan dalam Keluaran 32:14 ketika Allah "menyesal...karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya." Jadi, tergantung pada konteks kalimatnya, kata Ibrani nacham dapat berarti suatu emosi yang negatif ataupun positif.
"Dunia di mana Nuh dilahirkan lebih buruk dari masyarakat mana saja yang pernah ada, artinya bahwa masyarakat waktu itu sangat jahat. Dengan umur manusia yang bisa mencapai hampir seribu tahun, tidak sukar untuk melihat bagaimana kejahatan begitu berakar dalam masyarakat sehingga Allah jadi menyesal bahwa Ia pernah menciptakan manusia!" [alinea pertama].
Barangkali pertanyaan yang penting adalah: Apakah Allah bisa menyesal dan berubah pikiran? Allah yang mahatahu itu pasti sudah mengetahui apa yang akan terjadi di kemudian hari, termasuk bahwa Adam dan Hawa bakal melanggar perintah-Nya dan berdosa sehingga keturunan mereka pun akan menjadi orang-orang yang jahat. Mengapa Allah tetap menciptakan manusia dengan hak bebas memilih seperti itu, lau sekarang "menyesal" karena sudah menciptakan mereka?
Allah tidak menyesal. Alkitab menyatakan bahwa "Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal" (Bil. 23:19); bahkan, "Sang Mulia dari Israel tidak berdusta dan Ia tidak tahu menyesal; sebab Ia bukan manusia yang harus menyesal" (1Sam. 15:29). Dalam kedua ayat ini kata Ibrani yang digunakan untuk menyesal adalah nacham, sama dengan kata dalam Kej. 6:6 di atas. Apakah dengan ini bisa dianggap bahwa Alkitab itu kontradiktif, di satu bagian menyebutkan Allah itu "menyesal" tapi di bagian lain mengatakan Ia "tidak menyesal"? Bagaimana kita menerangkan perbedaan dari ayat-ayat ini?
Perlu diketahui bahwa Alkitab ditulis oleh manusia berdasarkan tuntunan Roh Allah, tetapi dalam penulisannya menggunakan gaya bahasa penulisnya, dan dalam menerangkan sesuatu peristiwa penulisnya mengandalkan daya penangkapannya sendiri. Tetapi ada bagian-bagian dalam Alkitab yang isinya merupakan salinan secara verbatim (kata demi kata) menurut apa yang diucapkan Allah. Ada kalanya juga penulisan Alkitab menggunakan apa yang disebut "bahasa fenomenologis" (phenomenological language), yaitu penuturan berdasarkan apa yang tampak menurut perspektif penulisnya, walaupun itu tidak menerangkan keadaan yang sebenarnya. Dalam upaya untuk menjelaskan sesuatu kebenaran tentang Allah, misalnya sebuah pernyataan yang bersifat teologis (theological statement), penulis Alkitab tidak menggunakan istilah-istilah teknis yang akurat tetapi hanya menggunakan kata-kata biasa yang umum. Ketika Musa dan Samuel menulis bahwa "Allah tidak menyesal" (Bil. 23:19; 1Sam. 15:29), mereka sedang menyampaikan sebuah pernyataan teologis tentang Allah; tatkala Musa mengatakan bahwa "Allah menyesal" (Kej. 6:6), dia sedang bertutur dalam bahasa fenomenologis berdasarkan pengamatannya sendiri.
Alasan mengapa Musa mengatakan bahwa "Allah menyesal" sudah menciptakan manusia ialah karena "kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata" (Kej. 6:5). Pada zaman Nuh itu bukan saja populasi manusia yang jauh meningkat (ay. 1), tapi juga pelecehan seksual (ay. 2), kerusakan alam (ay. 11), dan kebejatan moral manusia (ay. 12). Alkitab mengatakan pula bahwa keadaan pada zaman Nuh itu sama dengan keadaan pada zaman akhir: "Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia. Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia" (Mat. 24:37-40).
Apa yang kita pelajari tentang keadaan dunia pada zaman Nuh?
1. Dosa sifatnya bertumbuh secara kuantitatif dan kualitatif, seperti apa yang terjadi dari zaman Adam dan Hawa kepada zaman Nuh. Akibatnya maka Allah terpaksa melakukan tindakan pemusnahan masal, atau dalam pengertian tertentu adalah semacam "pemutihan" dengan cara melenyapkan seluruh manusia dan hanya menyisakan keluarga Nuh yang terdiri atas delapan orang saja.
2. Nuh (artinya "penghiburan" atau "kelegaan"--Kej. 5:29) mendapat kasih karunia Tuhan (Kej. 6:8) dan dipilih menjadi nenek moyang manusia generasi baru karena dia "seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah" (ay. 9). Lingkungan yang jahat dan bobrok bukan alasan bagi kita untuk ikut menjadi jahat dan bobrok pula.
3. Kejahatan dan kebejatan manusia pada zaman Nuh adalah akibat dari manusia yang mengabaikan hukum Allah. Bukankah kondisi dengan gejala yang serupa dapat kita saksikan sekarang ini, di mana pun kita tinggal dan ke mana pun kita pergi? Sepuluh Perintah Allah adalah untuk kebaikan manusia, bila hukum itu dilanggar kejahatan pun merajalela.
Selasa, 17 Juni
GENERASI BARU YANG GAGAL (Dari Abraham kepada Musa)
Sejarah yang berulang. Sesudah air bah, Nuh bersama istri dan tiga putranya--Sem, Ham, dan Yafet; Kej. 5:32--beserta istri mereka masing-masing adalah satu-satunya keluarga di bumi ini. Allah kemudian memberkati mereka sambil berfirman, "Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta penuhilah bumi" (Kej. 9:1; huruf miring ditambahkan). Perintah ini sama seperti yang Allah sampaikan kepada Adam dan Hawa, "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu..." (Kej. 1:28; huruf miring ditambahkan). Tetapi setelah keturunan Nuh bertambah banyak, bukannya mereka hidup berpencar untuk memenuhi bumi ini sesuai dengan perintah Allah, tapi mereka semua menuju ke arah timur dan tiba di satu tempat berupa lembah yang luas "di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana" (Kej. 11:2). Tanah Sinear adalah sebutan lain untuk Babel (Kej. 10:10). Bukan saja tinggal bersama-sama di situ, tetapi keturunan Nuh itu sepakat untuk mendirikan sebuah kota dengan menara yang puncaknya menjulang sampai ke langit dengan maksud "supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi" (Kej. 11:4; huruf miring ditambahkan). Jadi, tujuan pembangunan pencakar langit pertama di dunia yang kemudian dikenal sebagai "Menara Babel" itu nyata-nyata untuk menunjukkan perlawanan terhadap perintah Allah.
"Sesudah Air Bah, adalah tanggungjawab Nuh dan anak-anaknya untuk menyampaikan kehendak Allah kepada keturunan mereka. Keluarga Nuh tahu bahwa penghancuran global sudah menimpa dunia sebagai akibat dari penolakan manusia untuk menaati hukum Allah, dan setelah mengalami kasih karunia Allah mereka dapat berbuat sesuatu untuk membantu menumbuhkan suatu generasi yang lebih setia. Sayangnya, tidak lama setelah air bah, penduduk bumi kembali memberontak (Kej. 11:1-9)" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].
Tampaknya apa yang dilakukan oleh keturunan Nuh itu merupakan pengulangan sejarah dari apa yang telah dilakukan oleh keturunan Adam sebelumnya. Nuh dan anak-anaknya tentu adalah orang-orang yang taat kepada Allah (kalau tidak begitu mereka tak akan terpilih sebagai sebuah keluarga untuk menurunkan satu generasi manusia baru), tetapi tidak semua anak-cucu mereka mewarisi ketaatan yang sama. Jadi, sifat ketaatan pada hukum Allah bukan sesuatu yang bisa diturunkan secara genetik, melainkan itu adalah pilihan pribadi.
Hukum dan kasih karunia. Setelah keturunan Adam dan keturunan Nuh gagal memenuhi maksud dari hakikat penciptaan manusia, Allah kemudian mengubah skenario dengan membangun satu umat melalui Abraham berdasarkan perjanjian. Apakah ada alasan spesifik mengapa Allah memilih Abraham (waktu dipanggil namanya adalah Abram), bukan orang lain? Petunjuknya datang dari pernyataan Allah sendiri, "Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan Tuhan..." (Kej. 18:19). Versi King James menerjemahkan bagian ayat ini, "For I know him, that he will command his children and his household after him..." (Sebab Aku mengenal dia, bahwa dia akan memerintahkan anak-anaknya dan kaum keluarganya menuruti dia...) Selain itu dalam PB ada penjelasan lain mengenai Abraham, "Karena beriman, maka Abraham menaati Allah ketika Allah memanggilnya dan menyuruhnya pergi ke negeri yang Allah janjikan kepadanya" (Ibr. 11:8, BIMK; huruf miring ditambahkan). Pada ayat terakhir ini kita bisa melihat hubungan kausalitas (hubungan sebab-akibat) yang erat antara iman dan ketaatan.
"Allah memanggil Abraham, seorang keturunan Sem, dan mengadakan perjanjian berkat dengan dia (Kej. 12:1-3). Alkitab tidak memberi kriteria untuk panggilan Allah pada Abraham. Dia tidak tampak seperti seorang yang mempunyai profil kebenaran seperti Nuh. Bahkan, tak lama setelah panggilan itu dia membuktikan dirinya adalah seorang pengecut dan penipu (Kej. 12:11-13), melanggar hukum Allah. Walaupun demikian, Abraham adalah seorang yang memiliki iman sejati, dan oleh kasih karunia Allah iman ini diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran. Meskipun tidak sempurna, dia bersedia mendengarkan suara Allah, sekalipun itu berarti mempercayai Allah untuk hal-hal yang semuanya kelihatan mustahil dari sudut pandang manusia" [alinea kedua].
Bagi Abraham, dan juga anak-anak Allah sebelum zaman Musa, hukum Allah diujudkan dalam bentuk perintah-perintah Allah melalui firman-Nya. Jadi, dalam kasus Abraham, ketaatannya pada perintah dan firman Allah itu sama dengan penurutannya pada hukum Allah. Karena ketaatan Abraham pada perintah dan firman Allah itulah maka dia beroleh kasih karunia Allah. Ketaatan dan penurutan itulah yang ditularkan kepada anak-anaknya melalui pengajaran dan kehidupan praktisnya, sehingga Ishak juga mengikuti keteladanan itu tatkala dia membatalkan niatnya untuk mengungsi ke Mesir dan tetap menumpang untuk sementara di negeri Filistin (Kej. 26:1-3). Allah kemudian menegaskan kembali janji-Nya dengan mengatakan, "Aku akan menepati sumpah yang telah Kuikrarkan kepada Abraham, ayahmu...karena Abraham telah mendengarkan firman-Ku dan memelihara kewajibannya kepada-Ku, yaitu segala perintah, ketetapan dan hukum-Ku" (ay. 3, 5). Ucapan ini juga sekaligus mengingatkan agar Ishak tetap memelihara iman ayahnya, dan mengajarkannya pula kepada anak-anaknya di kemudian hari.
Apa yang kita pelajari tentang iman dan penurutan Abraham?
1. Allah tidak pernah berhenti berusaha untuk menyelamatkan manusia dan memiliki satu umat yang taat kepada-Nya. Kegagalan Adam dan Nuh untuk melahirkan keturunan yang taat dan setia membuat Allah beralih kepada Abraham, jadi keturunan Abraham merupakan upaya ketiga bagi Allah untuk membangun satu umat yang bersedia menuruti kehendak-Nya.
2. Tidak seperti Nuh yang dipilih Allah berdasarkan penilaian pada kesalehan hidupnya, Abraham dipilih atas dasar perjanjian. Allah berjanji untuk memberi keturunan serta kemasyhuran dan memberkati keturunan Abraham, sebaliknya Abraham berjanji untuk taat pada hukum Allah dan mengajarkan ketaatan itu kepada keturunannya.
3. Dalam kasus Adam, kesetiaan terhadap perintah Allah tidak bertahan lama karena pemberontakan sudah terjadi sejak dini pada generasi pertama dan kedua. Dalam kasus Nuh, kesetiaan itu bertahan sedikit lebih lama, setidaknya sampai dua generasi. Dalam kasus Abraham, kesetiaan bertahan lebih lama lagi, mungkin sampai beberapa generasi. Peran dari pengajaran dan keteladanan orangtua menentukan ketahanan kesetiaan anak-anak.
Rabu, 18 Juni
JANJI YANG DITEPATI (Dari Musa kepada Yesus)
Membangun satu umat. Selama kurang-lebih 2100 tahun pertama riwayat bumi ini, sejak penciptaan (generasi Adam) hingga air bah (generasi Nuh), Allah memperlakukan semua manusia sama dan tidak ada etnis ataupun ras tertentu yang diperhatikan secara khusus. Alkitab mengindikasikan bahwa sejak kematian Habel sampai lahirnya generasi ketiga manusia telah melupakan Allah, sebab setelah kelahiran Enos, cucu Adam dari Set, barulah "orang mulai memanggil nama Tuhan" (Kej. 4:26). Sebagian orang menyebutnya sebagai "kebangkitan rohani pertama" dalam sejarah umat manusia. Berdasarkan kronologi Alkitab (Kej. 5:3-8), Enos lahir pada tahun 235 AM (Anno Mundi, atau Tahun Dunia)--yaitu 130 tahun umur Adam ketika memperanakkan Set (ay. 3) ditambah 105 tahun umur Set ketika memperanakkan Enos (ay. 6)--yang berarti bahwa selama kurun waktu hampir 235 tahun itu adalah "zaman kegelapan." Meskipun manusia mulai mencari Allah, tampaknya sebagian besar orang tetap tidak peduli terhadap Tuhan dan hidup dalam kejahatan yang kian bertambah, sampai mencapai puncaknya ketika Allah mendatangkan air bah untuk membinasakan manusia. Tetapi gagalnya keturunan Nuh memperbaiki akhlak manusia, dengan menghasilkan generasi baru yang taat hukum Tuhan, membuat Allah berniat membangun satu umat menjadi sebagai "kerajaan imam dan bangsa yang kudus" (Kel. 19:6).
Mengapa Allah perlu memiliki satu umat di atas dunia ini, dan mengapa bangsa Israel yang dipilih-Nya? Pertama, Allah memerlukan satu umat melalui siapa Ia akan memenuhi janji-Nya kepada Adam dan Hawa yaitu seorang keturunan dari perempuan itu yang akan "meremukkan kepala" Setan (Kej. 3:15). Kedua, Allah memilih bangsa Israel menjadi "umat yang kudus bagi Tuhan" demi untuk "memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyang" mereka (Ul. 7:6, 8). Jadi, Allah memerlukan satu umat yang kudus karena rencana keselamatan yang dirancang-Nya bagi manusia, dan Ia memilih bangsa Israel karena terikat pada sumpah perjanjian-Nya kepada Abraham. Supaya rencana dan janji Allah itu terwujud, Musa berpesan kepada bangsa Israel purba: "Sebab itu haruslah kau ketahui, bahwa Tuhan, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang setia, yang memegang perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang kasih kepada-Nya dan berpegang pada perintah-Nya...Jadi berpeganglah pada perintah, yakni ketetapan dan peraturan yang kusampaikan kepadamu pada hari ini untuk dilakukan" (ay. 9, 11).
"Ketika Allah memilih Israel menjadi tempat penyimpanan hukum-Nya, Ia sudah tahu bahwa mereka adalah umat yang tidak sempurna. Namun, Ia mempercayakan kepada mereka tugas membagikan kehendak-Nya kepada orang-orang lain yang tidak sempurna. Julukan 'kerajaan imam dan bangsa yang kudus' (Kel. 19:6) menunjukkan bahwa Israel harus menjadi para imam pengantara Allah bagi seluruh dunia. Bangsa itulah yang dipilih untuk membawakan kebenaran dari kehendak Allah kepada bangsa-bangsa yang bingung. Dan, terlepas dari kesalahan-kesalahan serta kegagalan-kegagalan, dan banyak kali pemberontakan terang-terangan dari bangsa Israel itu, tetap dari antara bangsa inilah Mesias sudah datang, hidup, melayani dan mati, untuk memenuhi perjanjian pakai sumpah yang diadakan dengan Abraham berabad-abad lampau" [alinea kedua].
Janji keselamatan dari "benih" Abraham. Dari tiga janji Allah ketika memanggil Abraham (waktu itu masih bernama Abram; Kej. 12:1-3) ada satu janji yang manfaatnya bersifat umum dan global--dengan demikian relevan bagi kita sebagai umat Kristen yang bukan orang Yahudi--yaitu "engkau akan menjadi berkat" (ay. 2; huruf miring ditambahkan). Janji ini kemudian diulangi lagi kepada Ishak, anaknya, dengan cara yang lebih tegas: "Oleh keturunanmu semua bangsa di bumi akan mendapat berkat" (Kej. 26:4; huruf miring ditambahkan). Janji spesifik inilah yang kemudian dikutip oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia (3:8), ketika dia berbicara tentang "Injil" yang berasal dari Abraham. Sang rasul menegaskan, "Yesus Kristus telah membuat ini, supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu...Adapun kepada Abraham diucapkan segala janji itu dan kepada keturunannya. Tidak dikatakan 'kepada keturunan-keturunannya' seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya satu orang: 'dan kepada keturunanmu,' yaitu Kristus" (Gal. 3:14, 16; huruf miring ditambahkan).
"Sekalipun banyak yang di zaman Israel purba memahami bentuk kata benda tunggal dari 'benih' itu berarti Israel sebagai satu kelompok tunggal, Paulus di sini menyodorkan Yesus secara Pribadi sebagai kegenapan sejati dan sempurna dari janji pakai sumpah itu. Jadi, injil itu sendiri, dengan penekanannya yang jelas pada hukum dan kasih karunia, secara paling lengkap menunjukkan dan menyingkapkan perjanjian itu" [alinea terakhir].
Sesungguhnya, ketika Allah memilih Abraham menjadi nenek moyang dari satu umat, dan Israel sebagai umat perjanjian itu sendiri, bertujuan untuk menjadikan mereka sebagai "saluran berkat" bagi manusia pada umumnya. Allah tidak bermaksud membangun satu umat melalui Abraham yang akan menjadi satu-satunya kelompok orang di dunia ini yang akan diselamatkan dalam kerajaan surga, melainkan untuk menjadikan mereka sebagai sarana melalui mana keselamatan bagi segala bangsa itu bisa terlaksana. Seorang "Yesus Kristus" bisa saja lahir dari orangtua mana saja yang berasal dari bangsa apa saja, tetapi Yesus Kristus sebagai "Mesias" harus berasal dari "keturunan Abraham" dan lebih khusus lagi haruslah "akar dan benih Daud" (Why. 22:16, TL).
Apa yang kita pelajari tentang janji Allah kepada Abraham yang digenapi dalam Yesus Kristus?
1. Allah memilih Abraham menjadi nenek moyang dari satu "umat pilihan" agar di dunia ini ada satu "kerajaan imam" yang memelihara hukum Allah secara sempurna dan utuh. Selain itu, Allah juga berencana bahwa melalui "bangsa yang kudus" itu Juruselamat dunia akan lahir melalui siapa rencana keselamatan itu akan terlaksana.
2. Keturunan Abraham sudah gagal memegang perjanjian mereka dengan Allah, tetapi Allah tidak gagal menggenapi janji-Nya. Sebab dalam perjanjian Allah dengan Abraham ada satu "klausul" yang manfaatnya lebih luas dari sekadar kepentingan bangsa Israel sebagai keturunan langsung dari Abraham, yaitu janji tentang keselamatan bagi semua manusia.
2. Yesus Kristus adalah "benih" (=keturunan) Abraham sebagai ujud janji Allah untuk menjadikan Abraham, melalui keturunannya, sebagai berkat keselamatan bagi dunia yang diperoleh dengan iman (Yoh. 3:16). Dan sebagaimana "kepada Abraham iman diperhitungkan sebagai kebenaran" (Rm. 4:9), demikian pula "kepada kita pun Allah memperhitungkannya" (ay. 23-24).
Kamis, 19 Juni
HUKUM ALLAH DAN UMAT YANG SISA (Dari Yesus kepada Umat yang Sisa)
Pelari estafet terakhir. Sampai dengan pelajaran hari Rabu kemarin (18 Juni) kita sudah membahas tentang tiga generasi "pelari estafet" yang pada tangan mereka memegang Hukum Allah, ataupun prinsip-prinsip dari hukum itu, sebagai "tongkat estafet" untuk dipertahankan melalui penurutan. Berturut-turut adalah Adam dan keturunannya, Nuh dan keturunannya, serta Abraham dan keturunannya. Melalui keturunan Abraham, pada generasi Musa, hukum Allah itu telah dinyatakan dalam bentuknya yang lebih rinci dan lebih kongkret dari sebelumnya, yaitu Sepuluh Perintah. Meskipun selama tiga generasi pelari estafet itu Allah secara pribadi menuntun perjalanan mereka, dengan memberi petunjuk-petunjuk langsung secara lisan, kenyataannya mereka gagal mempertahankan penurutan pada hukum itu. Akibat kegagalan demi kegagalan itu Allah telah mengutus Putra Tunggal-Nya dalam sosok Yesus Kristus, selain untuk mati sebagai tebusan atas kegagalan-kegagalan tersebut, juga untuk membuktikan bahwa sebenarnya manusia mampu menaati hukum Allah itu dan terus mempertahankannya sampai mencapai garis akhir.
"Sementara 'tongkat' itu diteruskan dari generasi ke generasi, tidak ada pelari yang cukup layak untuk melewati garis akhir. Tidak ada penerima hukum itu yang sanggup mencapai tingkaty kebenaran dari hukum itu...Namun demikian, bilamana kelihatannya seolah-olah segala harapan telah lenyap, Allah mengutus Putra-Nya 'untuk menerima tongkat itu.' Sebagai Adam Kedua, Yesus datang ke bumi ini tanpa dosa, dan melalui penyerahan yang terus-menerus kepada Bapa-Nya berhasil memelihara penurutan-Nya sampai ke Salib. Dengan kebangkitan-Nya, Yesus melewati garis akhir oleh karena Dia mematahkan belenggu maut itu. Sekarang, melalui kuasa Roh, Kristus yang sudah bangkit itu membagikan kebenaran-Nya kepada setiap orang percaya" [alinea pertama: kalimat ketiga dan keempat; alinea kedua: empat kalimat pertama].
Setelah kegagalan tiga pelari estafet sebelumnya (Adam, Nuh, dan Abraham), harapan terakhir adalah kepada "pelari estafet terakhir" atau yang keempat, yaitu "keturunan yang lain" dari perempuan itu (=Gereja Kristen), yakni satu umat "yang menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus" (Why. 12:17). Kata Grika--bahasa asli PB--yang diterjemahkan dengan "keturunan yang lain" dalam ayat ini adalah loipos, sebuah kata keterangan yang artinya sisa (Strong; G3062). Versi King James menerjemahkannya dengan "the remnant" ("yang sisa"), dan Alkitab versi Terjemahan Lama menyebutnya "yang lagi tinggal." Tampaknya terjemahan Alkitab versi TB maupun BIMK untuk bagian ini mengandung penyimpangan penafsiran, entah karena apa. Sebab itu kita lebih suka menyebut "keturunan yang lain" dalam ayat ini sebagai "umat yang sisa" sesuai dengan makna yang sebenarnya. Tetapi pertanyaan yang paling penting dan hakiki di sini adalah: Apakah kelompok "umat yang sisa" pada zaman akhir ini, sebagai "pelari estafet" keempat dan terakhir, akan berhasil mempertahankan tongkat estafet Hukum Allah itu sampai ke garis akhir--atau tidak?
Pekabaran Tiga Malaikat. Penglihatan Yohanes Pewahyu tentang tiga malaikat yang secara berturut-turut melintasi langit sambil menyampaikan amaran-amaran kepada manusia yang hidup di zaman akhir merupakan landasan missi Gereja MAHK. Bahkan dapat dikatakan bahwa Gereja Advent berdiri karena terdorong oleh missi ini, sehingga tanpa pekabaran tiga malaikat maka gereja kita ini tidak lebih dari sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) biasa dengan ciri agamis. Gereja Advent adalah Pekabaran Tiga Malaikat, dan Pekabaran Tiga Malaikat adalah Gereja Advent.
Pekabaran malaikat pertama, yang pada tangannya ada "Injil yang kekal" (Why. 14:6), ialah: "Takutlah akan Allah dan muliakanlah Dia, karena telah tiba saat penghakiman-Nya, dan sembahlah Dia yang telah menjadikan langit dan bumi dan laut dan semua mata air" (ay. 7; huruf miring ditambahkan). Manusia diamarkan agar "takut, muliakan, dan sembah" kepada Allah sebab proses penghakiman segera--atau pada saat ini: sudah--berlangsung. Berdasarkan apa manusia dihakimi? Berdasarkan Hukum Allah! Malaikat kedua berseru: "Sudah rubuh, sudah rubuh Babel, kota besar itu, yang telah memabukkan segala bangsa dengan anggur hawa nafsu cabulnya" (ay. 8; huruf miring ditambahkan). Babel melambangkan "kekacauan" dalam arti kata sarat dengan pemutarbalikkan kebenaran Kitabsuci, dan "Babel" ini merujuk kepada gereja Katolik Roma dan Kepausan. Babel moderen "sudah rubuh" bukan secara fisik, melainkan dalam arti doktrinnya yang sudah dirontokkan oleh gerakan Reformasi Protestan. Malaikat ketiga mengamarkan: "Jikalau seorang menyembah binatang dan patungnya itu, dan menerima tanda pada dahinya atau pada tangannya, maka ia akan minum dari anggur murka Allah..." (ay. 9-10; huruf miring ditambahkan). Menerima dan mengamalkan ajaran palsu dari Babel moderen, karena terpengaruh atau terpaksa, sama-sama akan merasakan hukuman Allah.
"Sayangnya, gereja Kristen--walaupun memiliki semua terang ini--membuktikan dirinya berkali-kali kurang setia terhadap perjanjian itu dibandingkan dengan Israel purba, dan kemurtadan yang dalam mengambil alih nyaris di mana-mana. Reformasi yang dimulai pada abad keenambelas mulai membalikkan kecenderungan ini, tetapi itupun goyah dan banyak doktrin-doktrin serta pengajaran palsu tetap ada dalam dunia Kristen, termasuk (seperti yang telah kita lihat) pandangan-pandangan yang keliru tentang peran dan maksud dari hukum itu dalam kehidupan Kekristenan dari Perjanjian yang Baru. Allah mau memanggil keluar satu umat yang sisa untuk memulihkan banyak kebenaran-kebenaran yang telah hilang" [alinea ketiga].
Apa yang kita pelajari tentang "umat yang sisa" sebagai pelari estafet terakhir yang membawa tongkat Hukum Allah itu?
1. Sejak dari masa penciptaan Allah ingin memiliki satu umat yang terdiri dari orang-orang yang taat kepada perintah dan prinsip-prinsip hukum-Nya. Tetapi satu persatu generasi-generasi pembawa tongkat estafet (Hukum Allah) itu berguguran karena gagal. Melalui Yesus Kristus "tongkat estafet" itu dipercayakan kepada umat yang sisa di zaman akhir.
2. Inti dari Pekabaran Tiga Malaikat ialah bahwa penurutan pada Hukum Allah harus melebihi ketaatan pada perintah manusia. Mengamarkan dunia dengan pekabaran ini berarti menyadarkan manusia tentang Allah yang mahakuasa, dan tentang penghakiman akhir yang menentukan nasib abadi dari setiap orang.
3. Pekabaran Tiga Malaikat bertujuan memanggil sebanyak-banyaknya orang agar keluar dari balik kepalsuan untuk berhimpun menjadi satu umat yang memelihara hukum Allah serta hidup menurut perintah hukum itu, dan untuk ikut berlari bersama sambil memegang "tongkat estafet" Hukum Allah itu di fase pamungkas menuju garis akhir.
Jumat, 20 Juni
PENUTUP
Pekerjaan terpenting. Pekabaran Tiga Malaikat adalah missi utama dari Gereja Advent, bukan sekadar penarikan jiwa atau baptisan. Jumlah baptisan hanyalah ukuran kuantitatif dari suatu usaha penginjilan, dan seringkali tidak melambangkan keberhasilan sesungguhnya dari apa yang harus kita lakukan sebagai kewajiban "umat yang sisa" di zaman akhir. Mungkin sudah waktunya bagi kita untuk mengembalikan semangat penginjilan yang mula-mula dari para pelopor dan pendiri gereja ini, yaitu untuk mengumandangkan Pekabaran Tiga Malaikat tanpa merisaukan soal angka-angka baptisan yang hanya bersifat pengisi laporan dan data.
"Kepada setiap jiwa yang menerima Yesus, salib Golgota itu berkata: 'Lihatlah nilai dari jiwa-jiwa itu.' 'Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk' (Mrk. 16:15). Tidak ada yang boleh diizinkan merintangi pekerjaan ini. Itulah pekerjaan paling penting untuk zaman ini; pekerjaan itu harus menjangkau jauh hingga kekekalan. Kasih yang Yesus tunjukkan bagi jiwa-jiwa manusia dalam pengorbanan yang Ia adakan untuk penebusan mereka akan menggerakkan semua pengikut-Nya" [alinea pertama: empat kalimat terakhir].
Dalam konteks Pekabaran Tiga Malaikat, penginjilan adalah seruan untuk menyembah Allah dengan cara meninggikan Hukum-Nya, sebab dengan hukum itu setiap manusia akan dihakimi dan menerima ganjarannya. Penginjilan dalam konteks ini adalah juga seruan agar mewaspadai tipu-muslihat iblis melalui gereja palsu dengan doktrinnya yang juga palsu. Penginjilan dalam konteks Pekabaran Tiga Malaikat adalah mengalihkan pandangan manusia dari dunia ini kepada Allah, kalau perlu dengan cara yang lebih agresif dan tak kenal menyerah.
"Hendaklah engkau mengabarkan berita dari Allah itu, dan terus mendesak supaya orang mendengarnya, apakah mereka mau atau tidak. Hendaklah engkau meyakinkan orang, menunjukkan kesalahan, dan memberi dorongan kepada mereka. Ajarlah orang dengan sesabar mungkin. Sebab akan sampai waktunya orang tidak mau lagi menerima ajaran yang benar. Sebaliknya, mereka akan menuruti keinginan mereka sendiri, dan mengumpulkan banyak guru guna diajarkan hal-hal yang enak didengar di telinga mereka" (2Tim. 4:2-3, BIMK).
(Oleh Loddy Lintong/California, 19 Juni 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar