"HIDUP SEPERTI YESUS"
Sabat Petang, 9 Agustus
PENDAHULUAN
Mengasihi sesama. Alkitab membuktikan bahwa perintah untuk saling mengasihi di antara sesama manusia sudah ada dalam PL. Namun Yesus mengulangi perintah itu dengan memberi penekanan baru ketika Ia berkata: "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi" (Yoh. 13:34, ayat inti; huruf miring ditambahkan).
Kata Grika kainos (=baru) yang digunakan dalam ayat ini adalah sebuah kata sifat yang mengandung dua makna, yaitu bentuk dan substansi. Secara bentuk artinya "baru dibuat" atau "belum pernah digunakan," sedangkan secara substansif berarti "jenis baru" atau "belum pernah ada" (Strong; G2537). Dalam hal ini, dengan bukti bahwa perintah yang sama sudah pernah ada sebelumnya dalam hukum Musa (Im. 19:18), maka apa yang Yesus maksudkan dengan "perintah baru" di sini adalah sikap saling mengasihi sesama manusia dalam "bentuk dan pengertian yang baru."
"Sebelum penjelmaan Kristus, manusia tidak memiliki penyataan kasih Allah yang lengkap. Sekarang, melalui kehidupan-Nya yang tanpa pamrih dan kematian-Nya, Yesus menunjukkan makna yang sesungguhnya dan yang terdalam tentang kasih itu...Pekan ini, sementara kita memikirkan kelembutan Yesus dan kehidupan-Nya yang simpatik, penuh perhatian dan penuh pengasihan, biarlah hati kita terjamah dan dibentuk oleh prinsip yang aktif dari kasih ilahi-Nya yang merupakan tanda-air (watermark) dari Kekristenan sejati" [alinea kedua: dua kalimat terakhir; alinea terakhir].
Sesungguhnya, perintah Yesus untuk saling mengasihi di antara sesama manusia itu bukan saja ditujukan kepada murid-murid-Nya yang pertama pada abad pertama, melainkan itu ditujukan juga kepada semua murid Yesus sepanjang zaman--termasuk anda dan saya. Khususnya bagi orang Kristen, hidup saling mengasihi di antara saudara seiman adalah perintah Tuhan yang mesti diamalkan.
Minggu, 10 Agustus
BERCERMIN PADA HIDUP YESUS (Bagaimana Yesus Hidup)
Yesus dan kaum marginal. Kehidupan Yesus selama di dunia ini dekat dengan kaum marginal, yaitu golongan orang-orang yang terpinggirkan di masyarakat pada masa itu. Tradisi budaya bangsa Yahudi yang merupakan masyarakat patriarki, yaitu sistem sosial di mana lelaki dewasa adalah pusat otoritas kemasyarakatan, menempatkan kaum perempuan dan anak-anak sebagai warga masyarakat kelas dua yang tidak memiliki hak-hak sosial tertentu. Selain itu, keyakinan umum pada masa itu yang menganggap penyakit dan cacat jasmani sebagai kutukan dosa membuat masyarakat menganggap rendah orang-orang yang menderita sakit dan cacat tubuh, seperti halnya mereka memperlakukan kaum pendatang yang dianggap sebagai orang buangan karena tidak mempunyai tanah air sendiri, serta para pemungut cukai yang bekerja untuk penjajah sebagai pengkhianat dan pemeras bangsa sendiri.
Tetapi Yesus menegaskan bahwa Ia telah datang ke dunia ini bagi semua manusia, yaitu orang-orang yang sakit jasmani maupun rohani. "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa," kata-Nya (Mrk. 2:17). Pernyataan ini dibuktikan-Nya melalui pelayanan-pelayanan yang Ia lakukan bagi banyak orang, bahkan tak jarang dalam suatu pelayanan khusus untuk satu orang tertentu yang memerlukan pertolongan-Nya.
"Tangan-Nya yang penuh kerelaan selalu siap meringankan setiap kasus penderitaan yang Ia lihat. Dengan penuh kasih sayang Ia merawat orang-orang yang dianggap sepele oleh masyarakat, seperti anak-anak, kaum wanita, orang asing, penderita kusta, dan para pemungut cukai...Simpati dan perhatian-Nya yang murah hati terhadap kesejahteraan orang lain lebih penting bagi Dia daripada kebutuhan fisik-Nya sendiri akan makanan atau tempat berteduh. Sesungguhnya, bahkan di kayu salib Ia lebih peduli pada ibu-Nya ketimbang pada penderitaan-Nya sendiri (Yoh. 19:25-27)" [alinea pertama: kalimat keempat hingga kelima, dan dua kalimat terakhir].
Belas kasihan Yesus. Kepedulian Yesus terhadap kebutuhan manusia selalu didasari dan digerakkan oleh rasa belas kasihan, termasuk pada kebutuhan jasmani mereka. Ke mana saja Yesus pergi orang banyak mengikuti Dia, bukan semata-mata karena keperluan lahiriah mereka tapi seringkali karena rindu akan pengajaran-pengajaran-Nya yang menyegarkan dan memberi pengharapan. Matius mencatat, "Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala" (Mat. 9:36; huruf miring ditambahkan).
Kerapkali orang banyak itu betah mengikuti Yesus sampai berhari-hari lamanya dengan membawa kerabat dan sahabat mereka yang sakit untuk disembuhkan, sembari mendengarkan khotbah-khotbah Yesus sampai lupa makan seperti yang terjadi pada suatu hari di pesisir danau Galilea. "Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu," kata Yesus kepada murid-murid-Nya. "Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di jalan" (Mat. 15:32).
"Yesus peka pada kebutuhan manusia dan Ia sungguh peduli terhadap mereka. Hati-Nya menjangkau dengan belas kasihan kepada orang banyak itu yang lelah dan terlantar. Ia tergerak dengan belas kasihan terhadap pribadi-pribadi yang tak berdaya seperti dua orang buta di dekat kota Yerikho (Mat. 20:34), seorang penderita kusta yang memohon (Mrk. 1:40-41), dan seorang janda yang telah kehilangan putra satu-satunya (Luk. 7:12-13)...Setiap tindakan kemurahan, setiap mujizat, setiap perkataan Yesus didorong oleh kasih-Nya yang tak terbatas" [alinea kedua; alinea ketiga: kalimat pertama].
Apa yang kita pelajari tentang kehidupan Yesus yang penuh belas kasihan?
1. Selama masa hidup-Nya di atas bumi ini Yesus telah memberi keteladanan tentang belas kasihan dan kepedulian pada setiap kebutuhan manusia, khususnya golongan masyarakat yang terpinggirkan. Meskipun kebutuhan rohani manusia menjadi perhatian utama-Nya, Yesus juga peduli pada kebutuhan jasmani mereka.
2. Orang Kristen sejati bukan saja mengikuti ajaran-ajaran Yesus Kristus tetapi juga meneladani kehidupan-Nya, dalam hal ini adalah meniru belas kasihan dan kepedulian Yesus terhadap keadaan manusia. Secara rohani kita peduli akan keselamatan mereka, secara jasmani kita peduli pada kebutuhan fisik mereka.
3. Substansi dari kepedulian selalu bersifat aktif atau terdorong untuk bertindak, bukan pasif. Demikian pula, inti dari belas kasihan ialah kasih yang menemukan ujudnya dalam pelayanan dan pertolongan kepada sesama. Jiwa dari "kepedulian" dan "belas kasihan" adalah tindakan nyata, bukan sekadar perasaan.
Senin, 11 Agustus
MENGAMALKAN KEHIDUPAN YESUS (Kasihilah Sesamamu)
Mengasihi sesama. Pengajaran Yesus tentang kasih disampaikan-Nya dalam berbagai cara. Melalui khotbah, pengajaran, perumpamaan, dan terutama dinyatakan dalam tindakan keteladanan. Sebagai orang Kristen kita bukan saja menjadi penyambung lidah Kristus tapi juga penerus dari tindakan-tindakan kemanusiaan yang pernah Ia lakukan di dunia ini, khususnya dalam mengamalkan ajaran untuk mengasihi sesama manusia. "Untuk hidup seperti Yesus berarti menunjukkan kasih yang sama seperti Ia telah tunjukkan. Ia menggambarkan jenis kasih ini melalui perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Luk. 10:30-37)" [alinea pertama: dua kalimat pertama].
Yesus menyampaikan perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati sebagai jawaban atas pertanyaan seorang ahli Taurat yang pura-pura bertanya kepada Yesus bagaimana caranya untuk mendapatkan hidup kekal, tapi sebenarnya dia mau mencobai Yesus (Luk. 10:25). Tentu saja Yesus mengetahui niat tersembunyi ini, meski begitu Ia tetap saja melayani ahli Taurat itu. Tampaknya, tanpa disadarinya Yesus sedang menggunakan kesempatan itu untuk balas menguji pengetahuan sang pakar hukum tersebut mengenai esensi dari Hukum Allah. Ahli Taurat itu cukup cerdas ketika dia menjawab Yesus dengan mengutarakan inti dari Sepuluh Perintah, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (ay. 27).
Intisari dari Sepuluh Perintah sebagai hukum moral Allah bagi manusia ialah kasih vertikal terhadap Allah (empat hukum bagian pertama) dan kasih horisontal terhadap sesama manusia (enam hukum bagian kedua). Mengasihi Allah berarti melibatkan segenap diri kita seutuhnya--baik fisik, mental, sosial, dan spiritual; mengasihi sesama manusia berarti memperlakukan orang lain seakan-akan pada diri sendiri, dalam cara yang sama dan pada waktu yang sama--baik perhatian, kepedulian, dan keinginan.
Siapakah sesamaku manusia? Inilah pertanyaan yang diajukan ahli Taurat itu kepada Yesus. Pertanyaan ini kedengaran agak aneh, sebab pakar hukum Taurat itu bisa merangkum dengan tepat intisari dari Sepuluh Perintah itu tetapi tidak mengerti uraiannya sendiri. Kemampuan intelektualitas ahli Taurat ini jelas lebih baik dari orang muda kaya yang datang kepada Yesus dengan maksud serupa, yang ketika Yesus menyinggung tentang kewajiban menuruti perintah Allah dia hanya bisa menyebutkan isi hukum-hukum itu dan penurutannya secara normatif (Mat. 19:17-19). Sebagai pakar hukum Musa ahli Taurat tersebut dapat menyimpulkan esensi dari hukum itu, bagaimana mungkin dia tidak mengerti "siapakah sesama manusia" itu? Namun Alkitab mengatakan bahwa sang ahli Taurat hanya berpura-pura tidak tahu "untuk membenarkan dirinya" (Luk. 10:29).
Setiap orang Kristen tahu dan mengerti tentang makna dari perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati, sehingga di Amerika ungkapan "Good Samaritan" digunakan terhadap orang yang pertama kali memberi pertolongan kepada korban kecelakaan di jalan raya sebelum polisi dan petugas resmi tiba di lokasi. Tetapi makna dari "Orang Samaria yang Baik Hati" tentu jauh lebih mendalam dari itu, sebab hal itu berarti suatu sikap untuk berbuat baik kepada orang lain sekalipun orang itu memusuhi kita. "Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun berbuat demikian," kata Yesus (Luk. 6:32-33). "Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka..." (ay. 35).
"Kita perlu secara khusus mengingat bahwa prinsip ini tidak mengatakan kepada kita untuk memperlakukan orang lain seperti mereka memperlakukan kita. Lagi pula, adalah mudah untuk bersikap baik kepada orang-orang yang baik terhadap kita atau berbuat jahat kepada orang-orang yang bersikap jahat kepada kita; hampir semua orang dapat berbuat begitu. Gantinya, kasih kita terhadap sesama manusia harus selalu terpisah dari cara kita memperlakukan sesama kita" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang mengasihi sesama kita manusia?
1. Inti dari Sepuluh Perintah sebagai hukum moral Allah ialah kasih; kasih secara vertikal kepada Allah, dan kasih secara horisontal kepada sesama manusia. Yesus sendiri yang mengatakan hal itu (Mat. 22:36-40), dan hal yang sama dikemukakan oleh ahli Taurat yang berbicara dengan Yesus (Luk. 10:27).
2. Konsep Yesus tentang "sesama manusia" digambarkan dalam perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati, yakni setiap orang yang memerlukan perhatian dan pertolongan kita tanpa peduli apakah orang itu teman atau musuh. Orang Kristen sejati juga harus memiliki dan menerapkan "konsep sesama manusia" seperti itu.
3. Prinsip dari "sesama manusia" adalah bersifat independen atau netral, yaitu bebas dari pertimbangan maupun pengaruh. Ketika seseorang memerlukan pertolongan atau perhatian dan berada dalam jangkauan kita untuk menolong atau memberi perhatian, siapapun orang itu, orang Kristen sejati akan berbuat kebajikan itu tanpa pamrih.
Selasa, 12 Agustus
BERBUAT KEBAJIKAN UNTUK KRISTUS (Pelayanan Kasih*)
(*Judul asli: Loving Service)
Domba atau Kambing. Dalam khotbah-Nya Yesus memaparkan sebuah pratinjauan (preview) tentang suasana kedatangan kedua kali yang berkaitan dengan penggolongan manusia, antara yang akan selamat dengan yang akan binasa. "Apabila Anak Manusia datang sebagai Raja diiringi semua malaikat-Nya, Ia akan duduk di atas takhta-Nya yang mulia," kata Yesus. "Segala bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya. Lalu Ia akan memisahkan mereka menjadi dua kumpulan seperti gembala memisahkan domba dari kambing. Orang-orang yang melakukan kehendak Allah akan dikumpulkan di sebelah kanan-Nya, dan yang lain di sebelah kiri-Nya" (Mat. 25:31-33, BIMK; huruf miring ditambahkan).
Pokok pekabaran dari perumpamaan eskatologis ini terdapat pada pernyataan Yesus: "Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (ay. 40). Jadi, perbuatan kebajikan apapun yang kita lakukan atau yang lalai kita lakukan terhadap orang lain pada hakikatnya hal itu ditujukan kepada Yesus sendiri. Frase "saudara-Ku yang paling hina" dalam ayat ini merujuk kepada kaum marginal, yaitu orang-orang yang terpinggirkan atau disepelekan dalam jemaat maupun masyarakat luas.
"Pada akhir zaman akan ada banyak kejutan. Mereka yang berada pada sisi kanan Anak Manusia tidak pernah membayangkan bahwa manifestasi kasih mereka yang tidak mementingkan diri akan sangat menentukan. Kristus tidak akan memuji mereka karena khotbah-khotbah mengesankan yang mereka sampaikan, pekerjaan berharga yang mereka sudah lakukan, atau sumbangan-sumbangan kedermawanan yang mereka telah berikan. Gantinya, Kristus akan menyambut mereka ke dalam surga karena perhatian-perhatian sepele yang mereka lakukan terhadap saudara-saudara-Nya yang paling rendah...Mereka yang berada pada sisi kanan juga akan terkejut dengan alasan yang diberikan oleh Sang Raja atas keputusan-Nya" [alinea pertaa; alinea kedua: kalimat pertama].
"Saudara-Ku yang paling hina." Berbagai penafsiran telah muncul berkenaan dengan siapakah mereka yang Yesus maksudkan sebagai "saudara-Ku yang paling hina" dalam ayat di atas. Kata Grika elachistos yang diterjemahkan dengan "paling hina" di sini adalah sebuah kata sifat yang jika dikaitkan dengan manusia merujuk kepada seseorang yang paling rendah kedudukannya atau yang paling tidak diperhitungkan (Strong; G1646). Jadi, ini menyangkut penilaian dan perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap seseorang ataupun sekelompok orang. Ketika kita meremehkan seseorang atau sekelompok orang oleh karena status sosial mereka yang dianggap rendah, pada waktu itulah Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang atau kelompok itu. Sehingga perlakuan kita terhadap orang atau kelompok itu akan diperhitungkan Yesus sebagai perlakuan kita terhadap diri-Nya sendiri, untuk mana Dia akan menuntut pertanggungjawaban dari anda dan saya.
Dalam setiap komunitas selalu ada seseorang atau segolongan orang yang dianggap rendah dan disepelekan, baik di lingkungan masyarakat luas maupun di dalam persekutuan jemaat. Bahkan, disadari atau tidak, dalam struktur kepengurusan jemaat ada jabatan-jabatan yang oleh sebagian orang dipandang rendah dan seolah-olah jabatan-jabatan itu hanya untuk orang-orang dengan tingkat sosial tertentu. Sehingga kita sungkan untuk menempatkan orang-orang dari "kalangan atas" pada jabatan tersebut, atau mereka akan tersinggung jika jemaat memilihi mereka pada jabatan-jabatan itu. Sikap yang meremehkan seseorang ataupun sesuatu jabatan pada hakikatnya adalah menyepelekan Kristus yang sangat rendah hati itu.
"Para komentator telah menyodorkan berbagai penafsiran perihal siapakah 'saudara-Ku yang paling hina' (Mat. 25:40). Adalah penting untuk menentukan siapa mereka untuk mengetahui sejauh mana tanggungjawab Kristiani kita...Tidak disangsikan bahwa semua murid Yesus adalah saudara-saudara-Nya; tetapi ruang lingkup perkataan Yesus kelihatannya lebih luas lagi. Kristus 'menyamakan diri-Nya dengan setiap anak manusia...Dia adalah Anak Manusia, dan dengan demikian menjadi saudara bagi setiap anak laki-laki dan perempuan dari Adam" [alinea terakhir: dua kalimat pertama dan dua kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang makna dari pelayanan kasih?
1. Pelayanan yang didasarkan pada kasih sejati adalah netral, tanpa pamrih, dan tidak pandang buluh. Ketika kita melayani seseorang atau sekelompok orang, sebagai orang Kristen yang benar kita mesti melakukannya dengan pemikiran bahwa kita sedang melayani Kristus sendiri. Pelayanan kasih Kristiani mengedepankan ketulusan hati, bukan pilih kasih.
2. Pada waktu Yesus datang kedua kali segala perbuatan kebajikan kita akan dinilai dan mendapat balasan. Hanya ada dua golongan, domba atau kambing; domba di sebelah kanan menerima pahala, kambing di sebelah kiri mendapat kutukan. Tidak ada kelompok "dom-bing" (setengah domba dan setengah kambing).
3. Seperti Kristus, setiap orang Kristen harus melayani dengan kasih kepada siapa saja, terutama kepada seseorang atau sekelompok orang yang karena keadaan mereka sering dianggap rendah. Orang-orang Kristen harus sadar dan waspada bahwa Yesus ada pada diri seorang atau sekelompok orang yang "hina" itu.
Rabu, 13 Agustus
KEMUSTAHILAN ATAU KENISCAYAAN (Kasihilah Musuhmu)
Melawan asas? Adalah mustahil untuk tidak mempunyai musuh sama sekali oleh sebab sikap permusuhan acapkali muncul dari pihak lain tanpa kita ingini dan yang tak dapat kita intervensi, tetapi mengasihi musuh selalu menjadi hak privasi kita yang juga tak dapat diintervensi oleh orang lain. Artinya, orang lain bisa saja memusuhi saya kalau dia mau, tetapi saya berhak untuk mengasihi dia kapan saja saya mau.
Menurut paham duniawi, mengasihi musuh adalah suatu kelemahan terbesar, tapi dalam Kekristenan justru itu suatu kejayaan. Bagi dunia mengasihi musuh adalah kemustahilan, bagi orang Kristen hal itu adalah keniscayaan. Mengasihi musuh melawan asas duniawi, namun hal itu selaras dengan asas surgawi. Gilbert K. Chesterton [1874-1936], penulis besar kelahiran Kensington, Inggris menulis: "Alkitab menyuruh kita untuk mengasihi sesama manusia dan mengasihi musuh kita karena mungkin pada umumnya mereka adalah orang-orang yang sama." Maksudnya, musuh kita itu adalah juga sesama manusia terhadap siapa kita harus mengasihi (Im. 19:18; Mat. 19:19).
Fakta bahwa perintah untuk mengasihi sesama manusia telah diturunkan sebagai hukum Allah melalui Musa, dan kemudian menjadi doktrin agama melalui pengajaran Yesus Kristus, menunjukkan bahwa aturan saling mengasihi di antara sesama manusia itu merupakan prinsip ilahi yang tidak pernah berubah. "Bukti tertinggi dari Kekristenan sejati ialah mengasihi musuh-musuh kita. Yesus menetapkan standar yang tinggi ini bertentangan dengan gagasan yang lazim pada zaman-Nya. Dari perintah, 'kasihilah sesama manusia seperti dirimua sendiri' (Im. 19:18), banyak yang telah menyimpulkan sesuatu yang Tuhan tidak pernah katakan atau rencanakan: kamu harus membenci musuhmu. Tentu saja itu tidak tersirat dalam ayat itu sendiri" [alinea pertama].
Mengapa mengasihi musuh? Kekristenan lahir di tengah memuncaknya agama legalistik Yahudi yang kaku dan kurang berbelas kasihan, di mana nilai kerohanian seseorang diukur lebih berdasarkan formalitas ketimbang ketulusan hati. Pada waktu itu masyarakat begitu materialistik, praktik peras-memeras berlangsung marak di antara sesama warga, dan kesenjangan sosial meluas di bawah tekanan kekuatan penjajah. Rakyat biasa yang kebanyakan adalah kaum miskin menjadi sasaran empuk pemilik modal yang tamak. Maka ketika Yesus Kristus tampil dengan ajaran-Nya yang lebih menekankan pada perbuatan kasih di atas dogma yang kering dan kaku, masyarakat luas menyambutnya dengan antusias dan para pemimpin agama jadi seperti kebakaran jenggot.
"Tetapi kepada kalian yang mendengar Aku sekarang ini, Aku beri pesan ini: kasihilah musuh-musuhmu, dan berbuatlah baik kepada orang yang membencimu. Berkatilah orang yang mengutukmu, dan doakanlah orang yang jahat terhadapmu," kata Yesus (Luk. 6:27-28, BIMK). "Dan kalau kalian meminjamkan uang hanya kepada orang-orang yang dapat mengembalikannya, apa jasamu? Orang berdosa pun meminjamkan uang kepada orang berdosa, lalu memintanya kembali! Seharusnya bukan begitu! Kalian sebaliknya harus mengasihi musuhmu dan berbuat baik kepada mereka. Kalian harus memberi pinjam, dan jangan mengharap mendapat kembali. Bila demikian, upahmu akan besar dan kalian akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi. Sebab Allah baik hati terhadap orang yang tidak tahu terima kasih, dan terhadap yang jahat juga. Hendaklah kalian berbelaskasihan seperti Bapamu juga berbelaskasihan!" (ay. 34-36, BIMK).
"Untuk membantu kita memahami perintah yang agung ini, Tuhan menggunakan tiga argumen. Pertama, kita harus hidup di atas standar dunia yang rendah. Bahkan orang-orang berdosa saling mengasihi, dan para penjahat pun saling tolong-menolong. Kalau mengikut Kristus tidak mengangkat kita untuk hidup dan mengasihi dalam cara yang lebih unggul dari kebaikan anak-anak dunia ini, lalu apa yang menjadi nilai lebihnya? Kedua, Allah akan membalas kita karena mengasihi musuh-musuh kita; walaupun kita tidak mengasihi karena upah, Ia akan menganugerahkannya kepada kita dengan sukacita. Dan ketiga, jenis kasih seperti ini adalah bukti dari hubungan kita dengan Bapa semawi kita, yang 'baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, dan terhadap orang-orang jahat' (Luk. 6:35)" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang ajaran Kristus untuk mengasihi musuh?
1. Bagi orang Kristen sejati, mengasihi musuh bukan semata-mata pengamalan ajaran Yesus tetapi lebih dari itu adalah sebuah kesempatan istimewa untuk mengamalkan kasih surgawi yang lebih unggul dari standar duniawi. Kekristenan mengangkat manusia berdosa ke taraf moral yang tak mungkin dijangkau oleh dunia.
2. Argumentasi yang paling jitu tentang alasan mengapa kita harus mengasihi musuh ialah berdasarkan fakta bahwa Allah sendiri menunjukkan kasih-Nya kepada semua orang, baik atau jahat (Mat. 5:45). Kalau Allah tidak membeda-bedakan orang, apakah mereka mengasihi atau memusuhi Dia, mengapa umat-Nya membeda-bedakan orang?
3. "Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?" (Mat. 5:46-47).
Kamis, 14 Agustus
TANTANGAN TERBESAR ORANG KRISTEN (Bagaimana Untuk Hidup Seperti Yesus)
Mengikut jejak Kristus. Alkitab menegaskan, "Barangsiapa mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup" (1Yoh. 2:6). Versi BIMK menerjemahkan ayat ini: "Barangsiapa berkata bahwa ia hidup bersatu dengan Allah, ia harus hidup mengikuti jejak Kristus." Mengikut jejak Kristus berarti mengamalkan cara hidup Yesus secara utuh, bagaimana Dia menjalin hubungan-Nya dengan Allah maupun berinteraksi dengan manusia. Lebih jauh rasul Yohanes menulis, "Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia tetap berada di dalam terang, dan di dalam dia tidak ada penyesatan. Tetapi barangsiapa membenci saudaranya, ia berada di dalam kegelapan dan hidup di dalam kegelapan. Ia tidak tahu ke mana ia pergi, karena kegelapan itu telah membutakan matanya" (ay. 10-11).
Pertanyaannya, mungkinkah bagi seorang manusia berdosa untuk hidup seperti Tuhan? Pertanyaan yang sangat klasik ini menyiratkan kemustahilan bagi mereka yang tidak percaya, tapi sebaliknya mengandung tantangan bagi mereka yang percaya. Manakala Yesus berkata, "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna" (Mat. 5:48), tentu saja Ia tidak sedang menyuruh kita untuk melakukan sesuatu yang mustahil melainkan sebuah tantangan yang mampu kita laksanakan. Begitu juga, tatkala Firman Tuhan mewajibkan kita untuk mengamalkan kehidupan seperti Kristus, itu lebih sebagai dorongan untuk mencapai standar kehidupan yang Yesus inginkan.
"Ajaran Yesus menentukan suatu idaman kehidupan mengasihi dan tidak mementingkan yang sedemikian tinggi sehingga kebanyakan dari kita mungkin merasa kewalahan dan putus asa. Bagaimanakah kita yang secara alami adalah egoistis dapat mengasihi sesama kita tanpa pamrih? Lagi pula, apakah mungkin bagi kita untuk mengasihi musuh-musuh kita? Dari sudut pandang manusiawi hal itu sama sekali tidak mungkin" [alinea pertama].
Tinggal di dalam Kristus. Ada korelasi positif antara tinggal di dalam Kristus dengan mengikut jejak Kristus, di mana yang pertama menyediakan "energi" yang diperlukan untuk menjalankan yang kedua. Tinggal di dalam Kristus, seperti yang telah kita pelajari pekan lalu, melambangkan kebergantungan kita manusia terhadap kuasa ilahi supaya dapat berbuat sesuatu. "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu," kata Yesus. "Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku" (Yoh. 15:4).
"Kebutuhan kita setiap hari bukan hanya menerima lagi kematian Kristus bagi kita, tetapi menyerahkan keinginan kita kepada-Nya dan tinggal di dalam Dia. Dalam cara di mana Yesus sendiri tidak mencari keinginan-Nya sendiri tetapi kehendak Bapa (Yoh. 5:30), demikianlah kita harus bergantung pada Yesus dan kehendak-Nya. Sebab tanpa Dia kita tidak dapat berbuat apa-apa" [alinea keempat].
Pena inspirasi menulis: "Allah menuntut penyerahan seutuhnya. Anda tidak dapat menerima Roh Kudus sampai anda mematahkan setiap kuk perhambaan, segala sesuatu yang mengikat anda pada ciri-ciri tabiat anda yang lama dan tak disukai. Inilah rintangan-rintangan besar bagi anda untuk memikul kuk Kristus dan belajar dari pada-Nya (Mat. 11:29). Ketenteraman abadi--siapa yang memiliki itu? Ketenteraman itu didapatkan bilamana semua sifat membenarkan diri, semua pertimbangan dari pendirian yang mementingkan diri, disingkirkan. Kedekatan dengan Kristus membuat anda mau tinggal di dalam Dia, dan Dia di dalam anda. Penyerahan diri sepenuhnya dituntut" (Ellen G. White, Bible Training School, 1 Agustus 1903).
Apa yang kita pelajari tentang bagaimana untuk hidup seperti Yesus?
1. Selama Yesus hidup di dunia ini banyak orang yang memusuhi Dia, tetapi Yesus tidak membenci mereka tetapi mengasihi mereka. Orang banyak yang atas pengaruh para pemimpin agama telah meneriakkan, "Enyahkan Dia! Enyahkan Dia! Salibkan Dia!" (Yoh. 19:15), tidak membuat Yesus membatalkan kesediaan-Nya untuk mati juga bagi orang-orang itu.
2. Mengasihi musuh adalah tidak logis, tapi dalam Kekristenan logika bukan ukuran. Tapi bagaimana kita dapat mengasihi musuh kalau terhadap saudara sendiri saja kita menaruh benci? Rasul Yohanes mengibaratkan orang yang membenci saudaranya seperti sedang hidup dalam kegelapan dan tersesat (1Yoh. 2:11).
3. Rahasia keberhasilan untuk hidup seperti Yesus, dan dengan demikian mampu mengasihi musuh, adalah bila kita tetap tinggal di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita. Sebaliknya, mustahil bagi seorang manusia untuk hidup seperti Yesus kalau Yesus tidak tinggal di dalam hatinya dan dia sendiri tidak tinggal di dalam Yesus.
Jumat, 15 Agustus
PENUTUP
Rasa simpati. Dalam psikologi dikenal apa yang disebut "sympathy pains," yaitu sensasi nyeri yang dirasakan seseorang karena melihat orang lain menderita rasa sakit, khususnya di antara dua orang yang memiliki keintiman hubungan. Misalnya suami yang turut merasakan sakit yang dialami sang istri yang hendak melahirkan, atau di antara anggota keluarga lainnya maupun sahabat karib. Hasil penelitian para ilmuwan menunjukkan bahwa fenomena ini terjadi akibat terjadinya peningkatan aktivitas di bagian "sistem saraf cermin" (mirror neuron system) pada otak orang yang menyaksikan penderitaan orang lain itu sehingga memicu gejala rasa nyeri pada dirinya sendiri. Jadi semacam rasa sakit yang mengandung sifat imitasi (meniru), di mana semakin erat hubungan antara orang yang menyaksikan dengan penderita maka kian berat pula rasa nyeri yang turut dirasakan.
Ayub sempat mengeluh ketika dalam penderitaannya yang hebat itu dia merasa seakan ditinggalkan sendirian, sehingga dia berkata kepada Tuhan: "Sesungguhnya, masakan orang tidak akan mengulurkan tangannya kepada yang rebah, jikalau ia dalam kecelakaannya tidak ada penolongnya? Bukankah aku menangis karena orang yang mengalami hari kesukaran? Bukankah susah hatiku karena orang miskin?" (Ay. 30:24-25). Ayub mengeluh, kenapa manusia yang secara alami dilahirkan dengan rasa simpati dan empati tetapi tak ada seorangpun yang datang kepadanya untuk menghibur dirinya dengan menunjukkan rasa simpati dan empati?
"Semua orang di sekeliling kita adalah jiwa-jiwa yang malang dan menghadapi ujian yang memerlukan kata-kata simpati dan tindakan pertolongan. Ada perempuan janda yang membutuhkan simpati dan bantuan. Ada anak yatim yang Kristus telah tawarkan kepada para pengikut-Nya untuk terima sebagai tanggungjawab dari Allah...Bukanlah besarnya pekerjaan yang kita lakukan, tetapi kasih dan kesetiaan dengan mana kita melakukannya itulah yang mendapat perkenan Juruselamat" [alinea pertama: tiga kalimat pertama; alinea kedua].
Turut merasakan penderitaan yang dialami oleh orang lain adalah bagian dari aspek afektif seorang manusia normal, semacam rasa peri kemanusiaan yang secara alami terdapat dalam diri kita. Sayangnya, ada sebagian orang yang justru merasa senang kalau melihat orang lain susah, dan merasa susah kalau melihat orang lain senang!
"Kesimpulannya ialah: hendaklah Saudara-saudara seia sekata dan seperasaan. Hendaklah kalian saling sayang-menyayangi seperti orang-orang yang bersaudara. Dan hendaklah kalian saling berbelaskasihan dan bersikap rendah hati. Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki; sebaliknya balaslah dengan memohonkan berkat dari Allah. Sebab Allah memanggil kalian justru supaya kalian menerima berkat daripada-Nya" (1Ptr. 3:8-9, BIMK).
(Oleh Loddy Lintong/California, 13 Agustus 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar