Sabat Petang, 11 Oktober
PENDAHULUAN
Pengharapan dalam kekalahan. Penggodaan dan pencobaan adalah bagian dari kehidupan orang Kristen. Suka atau tidak, sadar atau tidak, setiap orang percaya pasti harus menghadapinya. Godaan dan cobaan adalah serangan-serangan yang dilancarkan iblis dalam peperangan iman melawan umat percaya, sebuah peperangan yang tak mengenal "gencatan senjata" dan terus berlangsung sepanjang hayat. Setan, musuh utama kita itu, tidak tunduk pada suatu konvensi apapun tentang aturan dan batasan dalam berperang. Iblis dapat melancarkan serangannya kapan saja, di mana saja, dan terhadap siapa saja.
Kalau ada satu hal yang terbagi secara "adil dan merata" kepada setiap orang Kristen, hal itu adalah penggodaan. Kita semua pernah digoda dan akan terus digoda sampai sekali kelak kita jatuh dalam pencobaan itu. Tidak ada seorang pun dalam rombongan umat Allah yang bebas dari serangan iblis, dalam berbagai hal dan dengan berbagai cara, sebab ketika anda dan saya memilih untuk mengikut Kristus itu berarti kita mendeklarasikan permusuhan dengan iblis.
"Kita semua telah mengalaminya. Kita berusaha untuk tidak menyerah dalam pencobaan, tetapi dalam panasnya pertempurna itu usaha kita luluh dan--karena rasa malu dan rasa benci pada diri sendiri--kita pun jatuh ke dalam dosa. Terkadang kelihatannya bahwa semakin kita fokus untuk tidak berdosa, kita merasa kian tak berdaya melawan penggodaan, dan keadaan kita pun tampak semakin tak berpengharapan" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].
Bilamana kita menghadapi cobaan yang menantang keteguhan iman kita, sering kita merasa sangsi apakah mampu menang atas pencobaan itu. Acapkali kita merasa bahwa cobaan hidup ini terlampau berat untuk dipikul, sehingga kita tergoda untuk merasa bahwa kita telah diperlakukan secara tidak adil. Dalam suasana keputusasaan kerap kita tergoda untuk bertanya-tanya, "Apakah Tuhan mendengar doa-doa saya? Atau, mungkinkan Tuhan telah kehilangan kendali?" Sepintas lalu pemikiran seperti ini terdengar sangat manusiawi serta lumrah, dan sementara kita memendam pertanyaan-pertanyaan itu di dalam hati tiba-tiba kita merasa siap untuk menyerah!
Tidak ada anak Tuhan yang sepanjang waktu selalu menang dalam setiap godaan dan cobaan, demikian pula tidak ada anak Tuhan yang selalu kalah dalam setiap pergumulan itu. Dalam peperangan iman selama hidup di dunia berdosa ini anda dan saya selalu mengalami pasang-surut iman, dan dalam situasi seperti itu membuat kemenangan dan kekalahan dalam pencobaan menjadi pengalaman kita silih-berganti. Tetapi kabar baiknya adalah: Tidak ada seorang pun umat Tuhan yang ditolak ketika datang kepada-Nya meski dia telah dikalahkan oleh cobaan maupun godaan.
"Untungnya, kita dapat meraih kemenangan atas pencobaan yang dengan mudah menjerat kita. Tak ada seorang pun di antara kita, tidak peduli betapa dia terlilit dalam dosa, yang tidak berpengharapan sebab Bapa kita yang adalah 'Bapa segala terang' (Yak. 1:17) itu lebih besar daripada kecenderungan kita kepada kejahatan, dan hanya di dalam Dia dan melalui Firman-Nya kita dapat memperoleh kemenangan" [alinea kedua].
Minggu, 12 Oktober
SUMBER SEGALA COBAAN (Akar Pencobaan)
Allah tidak mencobai. Yakobus menulis bahwa "Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun" (1:13; huruf miring ditambahkan). Dalam keseluruhan ayat ini kata Grika peirazō digunakan sebanyak empat kali, yang pada Alkitab versi TB berturut-turut diterjemahkan dengan dicobai, pencobaan, dicobai dan mencobai. Kata ini bisa mengandung makna positif dan negatif; positif jika digunakan dengan niat untuk menghasilkan hal yang baik, dan negatif kalau dipakai dengan sengaja untuk menimbulkan hal yang buruk (Strong; G3985). Penggunaan secara positif misalnya dalam 2Kor. 13:5 tentang nasihat untuk menguji diri sendiri, sedangkan secara negatif misalnya dalam Mat. 4:1,3 tentang Setan yang menggoda Yesus dan juga dalam Mrk. 10:2 ketika orang Farisi hendak mencobai Dia. Tetapi dari 42 kali penggunaan kata ini dalam 35 ayat di seluruh Perjanjian Baru (menurut konkordansi Grika dari Alkitab versi King James), kata tersebut hampir semuanya digunakan dengan makna negatif.
Pada permulaan suratnya Yakobus menulis, apabila kita "jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan" maka haruslah dianggap bahwa pencobaan itu merupakan "ujian terhadap iman" bagi orang-orang percaya (1:2-3; huruf miring ditambahkan). Kata Grika yang digunakan untuk pencobaan pada ayat ini adalah peirasmos (sebuah kata bentukan dari peirazō), sedangkan ujian di sini adalah dari kata dokimion yang berarti menguji atau membuktikan (Strong; G1383). Istilah-istilah yang sama digunakan juga dalam surat rasul Petrus ketika dia menulis, "Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu..." (1Ptr. 1:6-7; huruf miring ditambahkan). Kata pencobaan dalam ayat 6 adalah peirasmos, sedangkan kata membuktikan dalam ayat 7 adalah dokimion.
Jadi, ada perbedaan makna yang mendasar antara "pencobaan" dan "ujian" yang menimpa kehidupan umat percaya. Itulah sebabnya Yakobus mengatakan, "Kalau seseorang tergoda oleh cobaan yang semacam itu, janganlah ia berkata, 'Godaan ini datangnya dari Allah,' sebab Allah tidak dapat tergoda oleh kejahatan, dan tidak juga menggoda seorang pun. Tetapi orang tergoda kalau ia ditarik dan dipikat oleh keinginannya sendiri yang jahat" (Yak. 1:13-14, BIMK). "Yakobus tegas. Tidak saja Allah itu bukan pencipta kejahatan, Ia juga bukan sumber pencobaan. Kejahatan itu sendiri adalah sumber dari pencobaan. Menurut ayat-ayat ini, masalahnya terletak dalam diri kita sehingga menjadi alasan utama mengapa hal itu sulit ditolak" [alinea pertama].
Kemenangan atas pencobaan. Sebuah pepatah lama mengatakan, "Anda tidak dapat menghalangi seekor burung terbang di atas kepala anda, tetapi anda dapat mencegah burung itu membuat sarang di atas kepala anda." Sesungguhnya anda dan saya tidak mungkin menghindari godaan atau cobaan, namun kita dapat bertahan dan menang atas godaan maupun cobaan. Kekristenan itu bukan sekadar agama; Kekristenan adalah pertarungan iman. Karena itu, mau tak mau setiap orang Kristen harus siap berperang, "bukannya melawan manusia, melainkan melawan kekuatan segala setan-setan yang menguasai zaman yang jahat ini" (Ef. 6:12, BIMK). Untuk bertahan dan menang, setiap umat Tuhan memerlukan "ketopong keselamatan dan pedang Roh, yatu firman Allah" (ay. 17). Kita bisa menang atas cobaan yang hendak melunturkan iman dengan cara berpegang pada janji Allah yang tersimpan di dalam hati (Mzm. 119:11), dan dengan menyembah Allah serta terus berbakti kepada-Nya (Luk. 4:8).
Sementara anda dan saya maju ke kancah peperangan iman dengan "seluruh perlengkapan senjata Allah," kita juga harus waspada dan siap untuk "melawan tipu muslihat Iblis" (Ef. 6:11). Seperti halnya peperangan fisik secara militer, dalam peperangan iman secara rohani juga melibatkan persenjataan dan strategi perang. Sebuah pasukan bisa saja memiliki kekuatan persenjataan yang lengkap dan ampuh, tetapi jika komandannya salah menerapkan strategi maka pasukannya bisa kalah dalam suatu pertempuran. Strategi dalam perang berarti muslihat, dan Setan menggunakan tipu muslihat untuk mengalahkan umat Tuhan. Sebaliknya, sebagai umat Tuhan kita bisa menghadapi serangan iblis dan menang hanya dengan Firman Allah, senjata dan sekaligus strategi yang telah digunakan Yesus untuk mengalahkan godaan Setan (Luk. 4:4, 8, 12).
"Dalam ayat-ayat kitab Yakobus, dengan jelas dia memisahkan pencobaan dari dosa. Dicobai dari dalam bukanlah dosa. Bahkan Yesus pun telah dicobai. Masalahnya bukanlah pencobaan itu sendiri tetapi bagaimana kita menyambut pencobaan itu. Memiliki sifat berdosa pada hakikatnya bukanlah dosa; namun, membiarkan sifat berdosa itu mengendalikan pemikiran kita dan mendikte pilihan-pilihan kita itulah dosa. Demikianlah, kita mempunyai janji-janji yang terdapat dalam Firman Allah dan yang menawarkan kepada kita jaminan kemenangan kalau kita menuntut janji-janji itu untuk kita dan bergantung pada janji-janji itu dalam iman" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang akar pencobaan yang menimpa manusia?
1. Allah tidak mencobai manusia, tetapi Allah menguji manusia. Setan mencobai kita dengan maksud untuk menggoda kita supaya jatuh ke dalam dosa, sedangkan Allah mencobai kita dengan tujuan hendak menguji iman kita supaya semakin teguh. Pencobaan dari Setan meruntuhkan iman, tetapi cobaan dari Tuhan membangun iman.
2. Setan dapat menggoda kita dari luar, tapi khususnya dari dalam hati kita sendiri, sebab dia tahu bahwa hati manusia "lebih licik daripada segala sesuatu" (Yer. 17:9). Yesus sendiri mengatakan bahwa "dari hati orang, timbul segala pikiran jahat" dan berbagai hal yang jahat "timbul dari dalam" sehingga menajiskan orang itu (Mrk. 7:21-23).
3. Anda tidak dapat mempersalahkan siapa-siapa, bahkan Setan sekalipun, atas kekalahan terhadap godaan. Iblis memang penipu, sebab "dia adalah pendusta dan bapa segala dusta" (Yoh. 8:44); kalau tidak menipu dan berdusta, tentu dia bukan iblis. Tetapi sebagai umat Tuhan "kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup" (Ibr. 12:9).
Senin, 13 Oktober
BILA COBAAN MENJADI DOSA (Ketika Nafsu Berbuah)
Antara cobaan dan godaan. Dalam ayat-ayat berikut ini, Yakobus memberi gambaran tentang proses terjadinya dosa yang berasal dari godaan: "Kalau seseorang tergoda oleh cobaan yang semacam itu, janganlah ia berkata, 'Godaan ini datangnya dari Allah,' sebab Allah tidak dapat tergoda oleh kejahatan, dan tidak juga menggoda seorang pun. Tetapi orang tergoda kalau ia ditarik dan dipikat oleh keinginannya sendiri yang jahat. Kemudian, kalau keinginan yang jahat itu dituruti, maka lahirlah dosa; dan kalau dosa sudah matang, maka akibatnya ialah kematian" (Yak. 1:13-15, BIMK; huruf miring ditambahkan).
Fakta bahwa Yakobus menulis kata-kata ini, yang secara tegas menyatakan bahwa godaan atau cobaan bukan dari Allah datangnya, menunjukkan bahwa ada sebagian umat percaya di abad permulaan itu yang berpendapat seolah-olah Allah suka mencobai manusia. Barangkali pandangan demikian muncul karena orang Yahudi--kepada siapa suratnya semula ditujukan--dipengaruhi dengan cerita tentang Abraham yang diminta mempersembahkan Ishak sebagai kurban. "Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham" (Kej. 22:1; huruf miring ditambahkan). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan mencoba dalam ayat ini adalah nacah (dilafalkan: "na-saa"), sebuah kata kerja yang artinya menguji atau membuktikan. Sebagaimana kita tahu, Abraham lulus dari ujian ini. Jadi, Ishak sekadar "alat" yang digunakan Allah untuk menguji iman Abraham tetapi Tuhan tidak membiarkan Ishak dibunuh sehingga Abraham berdosa.
Meskipun Setan melancarkan godaan dengan motivasi untuk membuat kita berbuat dosa, iblis tidak dapat memaksa kita untuk terjerumus ke dalam godaannya sehingga kita berdosa. Hanya saja peluang iblis untuk mengalahkan manusia lebih besar karena dalam diri kita ada "keinginan jahat" (sifat keberdosaan), dan hanya jika kita menuruti kecenderungan jahat itulah maka kita akhirnya berbuat dosa. "Gambarannya bersifat lawan asas. Proses yang seharusnya memberi kehidupan hanya berakibat pada kematian (bandingkan dengan Rm. 7:10-13). Dosa, seperti penyakit kanker, menguasai dan memusnahkan pemilik rumah. Kita semua tahu akan hal ini, karena kita semua sudah dirusak oleh dosa. Hati kita semua jahat, dan kita tidak dapat mengubahnya" [alinea kedua].
Dosa pertama. Berbicara mengenai dosa tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang asal-usul dosa. Kita tahu bahwa dosa masuk ke dunia ini melalui Adam dan Hawa sewaktu pasangan manusia pertama itu masih tinggal di Taman Eden, tetapi sebelumnya lagi dosa sudah muncul pertama kali di surga. Di surga, dosa bersemi di hati Lusifer tanpa godaan dari luar; di Taman Eden, dosa muncul setelah Hawa digoda oleh Lusifer yang sudah berubah menjadi Setan dan menyaru sebagai ular.
Perhatikan strategi pemutarbalikkan fakta yang digunakan Setan untuk memancing Hawa mengenai larangan memakan buah pohon-pohon di dalam taman itu yang sengaja dipelintir (Kej. 3:1-3), dan bagaimana dia menanggapi penjelasan Hawa dengan melontarkan pernyataan yang seolah-olah menyingkap "rahasia" di balik perintah Allah itu (ay. 4-5). Sebenarnya sampai di situ Hawa belum berbuat dosa, tetapi dengan merenung-renungkan perkataan si ular itu Hawa sedang membuka peluang bagi dosa untuk bersemi di hatinya. "Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya" (ay. 6; huruf miring ditambahkan).
"Pada akarnya, dosa bermula dari menyangsikan Allah...Dosa selalu mulai di dalam pikiran. Seperti Hawa, kita mungkin berpikir tentang 'keuntungan-keuntungan' yang diharapkan dari berbuat salah. Lalu imajinasi dan perasaan kita mulai mengambil alih. Segera kita menangkap umpan itu dan jatuh ke dalam dosa...Sering kita bertanya-tanya bagaimana itu bisa terjadi. Jawabnya mudah: kita yang membiarkan itu terjadi. Tidak ada yang memaksa kita untuk berdosa" [alinea ketiga: kalimat pertama; alinea keempat dan kelima].
Apa yang kita pelajari tentang cobaan yang melahirkan dosa dan membuahkan maut?
1. Kalau Allah menguji keteguhan iman supaya bertambah kuat, sebaliknya Setan menguji kelemahan sifat manusiawi untuk membuat kita berdosa. Kalau Tuhan senang melihat iman umat-Nya yang percaya itu bertumbuh makin teguh, Setan senang melihat umat Tuhan yang masih bersifat berdosa itu untuk jatuh dan binasa.
2. Motivasi Allah untuk "mencobai" manusia bertolak-belakang dengan motivasi Setan untuk "menggoda" manusia. Cobaan berorientasi kepada kesempurnaan iman, sedangkan godaan berorientasi kepada kejatuhan. Allah tidak mencobai manusia supaya berdosa, tetapi Ia sering mengizinkan godaan-godaan untuk "menguji hati kita" (1Tes. 2:4).
3. Dipergoki oleh godaan itu bukan dosa, bahkan belum tentu anda akan berbuat dosa. Namun, sama seperti Hawa, dia akhirnya jatuh ke dalam dosa karena tidak segera angkat kaki menghindar dari situasi itu. Setan tidak dapat memaksa kita untuk berbuat dosa, tapi dia bisa "menghipnotis" pikiran kita sehingga berdosa.
Selasa, 14 Oktober
PEMBERIAN ALLAH YANG TERBAIK (Setiap Pemberian yang Baik dan Sempurna)
Allah sumber kehidupan. Sesudah membuat pernyataan tentang Allah yang tidak mencobai manusia sehingga berbuat dosa, Yakobus kemudian mengeluarkan pernyataan lain yang lebih penting lagi: "Saudara-saudara yang kukasihi, janganlah sesat! Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran" (Yak. 1:16-17). Mengapa sang rasul harus mendahului pernyataannya ini dengan nasihat supaya sebagai umat Tuhan anda dan saya "jangan sesat"? Kata Grika untuk sesat dalam ayat ini adalah planaō, sebuah kata kerja yang artinya terkecoh atau tertipu. Mengapa "jangan tertipu"?
Maksudnya di sini ialah agar kita jangan sampai keliru mengenai "setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna," tersebut, apakah itu dan dari mana sumbernya. Allah "telah menjadikan kita oleh firman kebenaran" sebagai "anak sulung di antara semua ciptaan-Nya" (ay. 18). Tapi setelah jatuh ke dalam dosa dan kehilangan sifat kekekalan kita itu, Allah dalam kasih-Nya telah mengikhtiarkan penebusan melalui kematian Yesus Kristus, "Anak-Nya yang Tunggal" supaya dengan percaya kepada-Nya kita bisa "beroleh hidup yang kekal" itu kembali (Yoh. 3:16). Anda boleh saja mendapat hadiah uang dalam jumlah yang besar, harta warisan yang berlimpah, atau sebuah penghargaan yang sangat bergengsi, dan semuanya itu baik dalam pemandangan manusia. Tetapi tidak ada pemberian yang "baik dan sempurna" tanpa mengandung unsur kekekalan, dan pemberian seperti itu hanya datang dari Allah saja. Janganlah kita terkecoh!
"Meskipun dosa melahirkan maut, Allah adalah sumber kehidupan. Ia adalah 'Bapa segala terang' (Yak. 1:17), sebuah rujukan kepada Penciptaan (Kej. 1:14-18). Allah menjadikan kita sebuah kehidupan baru, yaitu pemberian terbesar yang dapat kita terima 'dari atas' (bandingkan Yak. 1:17 dengan Yoh. 3:3)...Yaitu, Allah ingin agar kita selamat. Itulah kehendak-Nya, bahkan sebelum kita ada, bahwa kita harus memiliki keselamatan dan hidup baru di dalam Dia sekarang dan sepanjang kekekalan" [alinea kedua: dua kalimat pertama; alinea ketiga: dua kalimat terakhir].
Kelahiran baru. Dosa itu identik dengan kematian (Rm. 6:23; Kej. 2:17; 3:19). Itu sebabnya rasul Paulus menyatakan, "Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu" (Ef. 2:1). Tetapi syukurlah bahwa Allah dalam rahmat-Nya yang tak terduga itu telah menyediakan solusi atas masalah dosa dalam kasih karunia melalui Yesus Kristus (Rm. 5:12, 17). "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya...Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka..." (2Kor. 5:17-19; huruf miring ditambahkan).
Sebagai umat percaya, kita adalah "ciptaan baru" (atau "kelahiran baru") yang seharusnya berbeda dari keadaan kita yang lama. Sebagai ciptaan baru, kita seharusnya adalah orang-orang yang hidup dengan ciri-ciri kehidupan yang baru. Sebab anda dan saya "telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal" (1Ptr. 1:23). Sekalipun kita masih bisa jatuh ke dalam dosa, namun sebagai orang-orang yang hidup berdasarkan kelahiran baru semestinya kita memiliki prioritas-prioritas baru demi mencapai tujuan hidup yang baru. Prioritas dan tujuan hidup yang baru itu bukan lagi terpusat pada diri sendiri, melainkan tertuju kepada Yesus dan menyenangkan hati Allah.
"Yesus, Paulus, Petrus, dan Yakobus semuanya menghubungkan keselamatan dengan kelahiran baru. Keseluruhan maksud Allah dalam rencana keselamatan ialah untuk menghubungkan kembali manusia yang sudah lumat dan hancur karena dosa dengan surga. Jurang pemisah itu begitu besar dan sangat lebar sehingga tidak ada yang manusia dapat lakukan untuk menjembataninya. Hanya Firman Allah dalam ujud manusia, yakni Yesus, dapat menghubungkan kembali surga dengan dunia. Firman yang diilhamkan itu (2Tim. 3:16) secara unik sanggup menghembuskan nafas kehidupan rohani kepada mereka yang hatinya terbuka untuk menerima pemberian itu" [alinea keempat].
Apa yang kita pelajari tentang pemberian yang baik dan sempurna dari Allah?
1. Anda dan saya mungkin telah sering tertipu oleh "kebaikan" seseorang karena sikap dan tindakannya yang mula-mula lalu kita menganggapnya sebagai "orang baik," tapi ternyata di kemudian hari kita terkejut setelah kedoknya terbuka dan kelihatan aslinya. Kebaikan sejati memang hanya datang dari Tuhan.
2. Tidak semua kebaikan membuktikan bahwa orang itu baik, tapi seorang yang baik pasti berbuat kebaikan. Definisi Alkitab tentang "kebaikan" jauh lebih luas dari sekadar melakukan kebajikan, tapi termasuk menaati hukum Allah (Kis. 15:29). "Orang yang berbuat baik adalah milik Allah, dan orang yang berbuat jahat belum mengenal Allah" (3Yoh. 11, BIMK).
3. Allah adalah sumber dari "setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna" bagi manusia, khususnya dalam hal Tuhan menjadikan kita sebagai "ciptaan baru" di dalam Yesus Kristus. Setiap orang percaya harus dilahirkan kembali, "bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani...melainkan dari Allah" (Yoh. 1:13).
Rabu, 15 Oktober
MENGENDALIKAN AMARAH (Lambat Untuk Berkata-kata)
Mengekang lidah. Kita tidak tahu mengapa Yakobus tiba-tiba beralih kepada soal mengendalikan lidah karena amarah, dengan menulis: "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah" (Yak. 1:19-20). Tetapi tampaknya sang rasul menaruh keprihatinan terhadap umat Tuhan yang terlampau cepat mengumbar amarah melalui kata-kata. Yakobus menyamakan lidah yang kecil itu dengan api yang kecil tapi "dapat membakar hutan yang besar" (3:5).
Perhatikan bahwa sang rasul mengatakan, "lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah." Jadi, ini bukan sekadar nasihat untuk menahan lidah, tapi menahan diri dari mengucapkan kata-kata yang mengandung amarah. Versi BIMK (Bahasa Indonesia Masa Kini) menerjemahkan anak kalimat terakhir seperti ini: "Orang yang marah tidak dapat melakukan yang baik, yang menyenangkan hati Allah" (ay. 20). Kalau dikaitkan dengan nasihat sang rasul sebelumnya, yaitu supaya kita tetap sabar dalam menghadapi cobaan hidup, amaran ini mungkin tepat bagi sebagian dari kita yang terlalu gampang menggerutu ketika menghadapi cobaan hidup sehingga tidak mau mendengar nasihat-nasihat dari Firman Tuhan yang menguatkan hati.
"Perkataan Allah itu dahsyat. Tapi demikian pula perkataan manusia. Seberapa sering kita sudah mengeluarkan kata-kata yang belakangan kita ingin menariknya kembali? Sayangnya, hanya menyadari betapa menyakitkannya kata-kata yang salah itu, dan bagaimana amarah itu begitu merusak, kecil artinya untuk dapat menolong kita mengendalikan diri. Mengandalkan kemampuan kita sendiri, kita tidak pernah bisa benar-benar berubah. Itulah sebabnya kita perlu untuk lebih banyak mendengar Tuhan dan membiarkan Dia bekerja dalam diri kita" [alinea pertama].
Menjaga kata-kata. Sebagai umat Tuhan kita diajar untuk tidak sembarangan mengumbar perkataan. Orang bijak itu berkata, "Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi. Lidah orang benar seperti perak pilihan, tetapi pikiran orang fasik sedikit nilainya. Bibir orang benar menggembalakan banyak orang, tetapi orang bodoh mati karena kurang akal budi" (Ams. 10:19-21). Tentu ini tidak berarti bahwa kita harus menjadi sangat pendiam sehingga orang lain enggan berada di dekat kita. Tetapi selain harus menjaga kata-kata kita, harus juga diperhatikan waktu dan suasana yang tepat ketika mengucapkan sesuatu. "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak" (Ams. 25:11).
"Selama kita mengandalkan pada apa yang muncul secara alamiah dari sifat kita yang berdosa, kuasa kreatif Firman Allah terhalang dan sebagai gantinya adalah kata-kata kita sendiri yang tidak berguna bahkan menyakitkan itulah yang muncul. Tidak heran bahwa segera setelah berbicara tentang semua yang 'Bapa segala terang' itu lakukan bagi kita melalui karunia hidup baru, Yakobus mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan apa yang kita ucapkan" [alinea keempat: dua kalimat terakhir].
Sebagai pengikut Tuhan, kata-kata kita harus meninggikan Tuhan dan bermanfaat bagi orang-orang lain yang mendengarnya, terutama mereka yang sedang dirundung kemalangan. Kita harus menjadi seperti nabi Yesaya yang memiliki lidah dan telinga seorang murid, sehingga dia bersaksi: "Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid. Tuhan Allah telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang" (Yes. 50:4-5).
Apa yang kita pelajari tentang lambat berkata-kata tapi cepat mendengar?
1. Pepatah kita mengatakan, "Mulutmu, harimaumu." Anda bisa menjadi korban dari perkataan anda sendiri. Manusia diciptakan dengan dua telinga tapi hanya satu lidah; dua telinga itu terletak di luar dan selalu terbuka, sedangkan lidah itu tersimpan dalam mulut dan dikelilingi sepasang deretan gigi yang seakan menjaganya.
2. Bilamana anda menghadapi masalah kehidupan yang berat, apakah anda cenderung menjadi stres dan marah-marah? Kepada siapa kita marah-marah, diri sendiri atau Tuhan? "Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam" (Mzm. 4:5).
3. Plato, filsuf Yunani purba, menulis: "Orang bijak bicara karena ada sesuatu yang harus dia ucapkan; orang bodoh bicara karena dia harus mengucapkan sesuatu." Anda tidak dapat menjadi seorang pembicara yang baik dan bijaksana kalau anda sendiri tidak belajar menjadi pendengar yang baik dan bijaksana.
Kamis, 16 Oktober
KEBENARAN MENGGANTIKAN KECEMARAN (Diselamatkan oleh Menerima)
Membuang kekotoran. Yakobus melanjutkan suratnya dengan wejangan tentang membersihkan diri dari kekotoran dan kejahatan oleh menerima firman Tuhan dengan rendah hati. Dia menulis, "Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu" (Yak. 1:21). Hanya oleh firman Tuhan kita dapat membersihkan pikiran dan jiwa yang berlumuran kekotoran dosa, dan firman Tuhan itu harus diterima dengan rendah hati supaya tertanam di dalam hati.
"Ayat ini menyimpulkan semua yang sejauh ini telah disampaikan tentang iman dan keselamatan. Itu adalah ajakan untuk membuang segala kenajisan dan memisahkan diri kita dari kejahatan. Perintah 'buanglah' digunakan tujuh dari sembilan kali dalam Perjanjian Baru untuk memisahkan seseorang dari kebiasaan-kebiasaan jahat yang tidak ada tempat dalam kehidupan yang diserahkan kepada Kristus (Rm. 13:12; Ef. 4:22, 25; Kol. 3:8; Ibr. 12:1; 1Ptr. 2:1)...Seperti Yesus, Yakobus mencela kecenderungan manusiawi untuk terlalu peduli dengan penampilan luar, karena di atas segalanya Allah lebih peduli dengan kondisi hati kita" [alinea pertama: tiga kalimat pertama dan kalimat terakhir].
Bahkan rasul Paulus menyinggung soal kebersihan lahir dan batin ketika dia menulis: "Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah" (2Kor. 7:11; huruf miring ditambahkan). Sedangkan rasul Petrus menyebut tentang baptisan sebagai kiasan dari pembersihan dosa: "Nah, kejadian itu merupakan kiasan dari baptisan yang sekarang ini menyelamatkan kalian. Baptisan ini bukanlah suatu upacara membersihkan badan dari semua yang kotor-kotor, melainkan merupakan janjimu kepada Allah dari hati nurani yang baik. Baptisan itu menyelamatkan kalian karena Yesus Kristus sudah hidup kembali dari kematian, dan sudah naik ke surga" (1Ptr. 3:21-22, BIMK; huruf miring ditambahkan).
Mengenakan jubah kebenaran. Imam besar Yoshua, yang berdiri di hadapan Malaikat Tuhan dengan "pakaian kotor" yang melambangkan kecemaran dosa, selain mewakili bangsa Israel juga dalam pengertian tertentu merepresentasikan umat Tuhan yang bergelimang dosa. Dalam keadaan tidak berdaya itu, Yoshua menerima pengasihan Tuhan dan pakaiannya yang kotor itu ditukar dengan pakaian yang bersih. "Lihat, dengan ini aku telah menjauhkan kesalahanmu dari padamu! Aku akan mengenakan kepadamu pakaian pesta," kata Malaikat itu (Za. 3:4). "Pakaian pesta" adalah "kebenaran Kristus" yang harus dikenakan oleh setiap orang yang akan menghadiri "perkawinan Andak Domba" (Why. 19:7), yaitu keselamatan yang diberikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang mau menerimanya. Tidak heran kalau sang nabi berseru, "Aku bersukaria di dalam Tuhan, jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku, sebab Ia mengenakan pakaian keselamatan kepadaku dan menyelubungi aku dengan jubah kebenaran..." (Yes. 61:10).
"Demikian juga dalam Zakharia, pakaian yang kotor ditanggalkan sebelum jubah bersih itu dipakaikan. Ini bukan berarti bahwa kita harus menjadi tanpa dosa sebelum kita dapat dipakaikan dalam kebenaran Kristus. Kalau itu benar, siapa yang dapat diselamatkan? Itu juga tidak berarti bahwa kita tidak bisa diselamatkan atau kembali kepada Yesus jika kita jatuh lagi ke dalam dosa. Gantinya, itu berarti bahwa kita harus sepenuhnya berserah kepada-Nya, memilih untuk mati setiap hari terhadap jalan lama kita yang berdosa dan mengizinkan Dia menciptakan kita ke dalam citra-Nya. Jubah kebenaran Kristus yang sempurna itu kemudian akan membungkus kita" [alinea ketiga: enam kalimat terakhir].
Pena inspirasi menulis: "Bilamana orang berdosa sudah bertobat dari dosa-dosanya dan bersatu dengan Kristus, seperti ranting yang tercangkok pada pokok anggur, tabiat orang itu diubahkan dan dia ikut ambil bagian dalam tabiat ilahi. Dia mengumpulkan perkataan Kristus dan firman-firman itu tinggal di dalam dirinya. Prinsip yang memberi kehidupan dari Juruselamat dipindahkan kepada orang Kristen itu. Dengan demikian ranting kecil itu, tak berdaun dan kelihatannya mati, dicangkokkan kepada pokok anggur yang hidup, dan serat demi serat, urat demi urat, mereguk kehidupan dan kekuatan dari padanya, hingga menjadi sebuah cabang dari induk tangkai yang bertumbuh subur" (Ellen G. White, Risalah "Penebusan atau Pengajaran Kristus," Dia yang Diurapi, hlm. 11-12).
Apa yang kita pelajari tentang keselamatan oleh menerima Firman Tuhan?
1. Kemurnian Firman Tuhan memiliki kuasa untuk memurnikan hidup kita yang kotor. Dengan menerima Firman itu ditanamkan dalam hati, kita akan memiliki kuasa dari dalam yang memurnikan seluruh jiwa kita. Selain itu, kuasa firman Tuhan juga berkuasa untuk menyempurnakan tabiat kita sehingga menjadi serupa dengan tabiat Kristus.
2. Baptisan melambangkan penyucian dan kematian dari dosa kepada hidup baru. "Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru" (Rm. 6:4).
3. Baptisan adalah langkah pertama untuk menjalani hidup baru di dalam Yesus dengan cara memantulkan tabiat-Nya. Namun demikian, baptisan dengan air tidak cukup mengubah sifat-sifat dosa yang masih melekat dalam diri kita. Anda dan saya memerlukan "jubah kebenaran Kristus" untuk menggantikan keseluruhan tabiat kita yang berdosa.
Jumat, 17 Oktober
PENUTUP
Berbuah dalam iman dan Roh. Alkitab tidak mengajarkan doktrin "sekali selamat, tetap selamat" seperti yang banyak orang Kristen percaya. Keselamatan, meskipun diberikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang mau menerimanya, itu harus dipertahankan dengan sungguh-sungguh agar kita tidak kehilangan keselamatan. Bukan karena keselamatan itu meninggalkan kita, tetapi kitalah yang meninggalkannya. Keselamatan dari Allah membebaskan kita dari dosa, tetapi tidak membebaskan kita untuk berbuat dosa.
"Rencana keselamatan bertujuan pemulihan kita sepenuhnya dari kuasa Setan. Kristus selalu memisahkan jiwa yang menyesal dari dosa. Ia telah datang untuk menghancurkan pekerjaan si jahat, dan Ia sudah menentukan agar Roh Kudus diberikan kepada setiap jiwa yang bertobat untuk menghalangi dia dari berbuat dosa" [alinea pertama].
Satu-satunya sumber kekuatan dan pertumbuhan rohani adalah Roh Kristus, yaitu Roh Kudus yang telah diutus untuk menemani anda dan saya dalam pergumulan iman. Sementara buah-buah iman ialah ketekunan, tahan uji dan keutuhan hati (Yak. 1:3-12), buah-buah Roh adalah "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri" (Gal. 5:22-23). Iman bertumbuh oleh Roh, tetapi Roh itu diterima dengan iman.
"Sementara anda menerima Roh Kristus--yaitu Roh kasih yang tidak egois dan bekerja bagi orang lain--anda akan bertumbuh dan menghasilkan buah. Rahmat dari Roh itu akan menjadi matang dalam tabiat anda. Iman anda akan bertambah, keyakinan anda kian mendalam, kasih anda menjadi sempurna. Semakin bertambah anda akan memantulkan keserupaan Kristus dalam segala hal yang suci, agung, dan elok" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].
"Tapi orang yang berharap kepada-Ku akan Kuberkati selalu. Ia bagaikan pohon di tepi sungai yang mengalir; akarnya merambat sampai ke air. Ia tak takut musim kemarau, daun-daunnya selalu hijau. Sekalipun negeri dilanda kekeringan, ia tak gelisah sebab ia selalu menghasilkan buah" (Yer. 17:7-8, BIMK).
(Oleh Loddy Lintong/California, 15 Oktober 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar