Sabat Petang, 18 Oktober
PENDAHULUAN
Percaya dan lakukan. Jean François Gravelet (1824-1897) adalah seorang funambulist tersohor asal Prancis yang beberapa kali sukses melakukan pertunjukan akrobatik berjalan pada seutas tali kawat yang membentang di atas air terjun raksasa Niagara Falls yang terletak di perbatasan Amerika Serikat dan Kanada. [Tampaknya terjadi kesalahan penulisan nama dalam PSSD edisi bahasa Indonesia, sebab William Niblo sebenarnya adalah nama promotornya.] Sejak pindah ke AS pada tahun 1851, akrobatikawan asal Prancis ini kemudian menggunamakan nama panggung Charles Blondin yang karena setumpuk prestasinya itu kemudian dijuluki sebagai "Si Blondin yang Hebat" (nama itu cocok dengan rambutnya yang berwarna pirang). Pertunjukan spektakulernya termasuk melintasi Niagara Falls pada ketinggian sekitar 50 meter dengan mata tertutup sejauh lebih dari 350 meter, mengangkut kompor gas dan memasak telor mata sapi, juga memanggul manajernya sambil berjalan pada seutas tali di hadapan lebih dari 25.000 penonton dari berbagai tempat. Sepanjang karirnya dia telah melakukan 17 kali penyeberangan serupa di atas air terjun yang sama tapi pada titik-titik yang berbeda.
Dalam pertunjukkannya pada bulan September 1860, setelah berhasil berjalan melintasi tali kawat sambil memanggul seorang asistennya, si "penantang maut" mengambil sebuah kereta dorong pengangkut barang kemudian menghampiri tempat duduk Pangeran Wales dari Inggris yang berada di antara ribuan penonton. "Yang Mulia, apakah anda percaya kalau saya dapat membawa seseorang duduk di atas kereta dorong ini dan melintasi air terjun itu dengan selamat?" tanya Blondin kepada sang pangeran yang langsung menjawab, "Ya." Lalu, dengan nada suara dan gerakan tubuh penuh hormat, dia pun berkata lagi: "Kalau begitu, apakah Yang Mulia bersedia saya seberangkan sambil duduk di atas kereta dorong ini?" Bukan saja menampik tawaran gila itu, sang pangeran juga meminta agar dia berhenti melakukan pertunjukkan seperti itu lagi, sebuah permintaan yang balik ditampik oleh Blondin.
Percaya dan berbuat, atau mengakui dan menerima, adalah dua hal yang berbeda. Contohnya, anda mungkin percaya apa kata dokter, tapi belum tentu anda berbuat seperti apa yang diadviskannya. Atau, anda boleh saja mengakui kebenaran firman Tuhan, tapi belum tentu anda mau menerima kebenaran yang anda akui itu. Manusia acapkali menggunakan "standar ganda" terhadap banyak hal, dan biasanya hal itu karena berbagai "pertimbangan" sehingga tidak bisa bersikap konsekuen. Seringkali kita tidak bisa mengelak untuk percaya dan mengakui suatu kebenaran oleh karena ada bukti yang tak terbantahkan, tetapi kita tidak merasa wajib untuk menerima kebenaran itu. Sang pangeran tidak bisa sangkal bukti yang disaksikannya sendiri tentang kemampuan Blondin berjalan di atas tali itu sambil mengangkut barang atau orang, tapi untuk menerima ajakan itu dengan mempertaruhkan nyawa adalah hal yang terlalu mengerikan. Tidak selamanya mudah untuk menerima sesuatu yang kita percayai.
"Tentu saja, persoalannya ialah bahwa mendengar dan melihat tidaklah cukup apabila berbicara mengenai hubungan dengan Allah. Bisa saja kita secara akal yakin tentang adanya Allah, kebenaran injil, dan Kedatangan Yesus kedua kali. Bahkan kita mungkin sudah melihat sendiri kenyataan dari kasih dan pemeliharaan Allah. Namun, meski dengan itu semua kita bisa saja tidak sungguh-sungguh siap untuk menyerahkan diri sepenuhnya ke dalam tangan-Nya, sebuah tindakan yang akan terbukti melalui perbuatan-perbuatan kita. Inilah tepatnya mengapa Yakobus menekankan pentingnya menjadi pelaku Firman itu, bukan sekadar pendengar" [alinea kedua].
Minggu, 19 Oktober
MENJADI PELAKU FIRMAN (Mengenal Musuhmu)
Musuh terbesar. Dalam sebuah acara pemuda di gereja kami, pada suatu Sabat sore menjelang tutup tahun setengah abad silam, pemimpin PA mengadakan sebuah kejutan di penghujung acara. Bersamaan dengan terbukanya pintu di bagian depan ruang perbaktian masuklah empat pemuda yang mengangkut sebuah peti jenazah di atas pundak mereka. Di depan mimbar peti jenazah itu diturunkan perlahan-lahan lalu diletakkan pada dudukan yang sudah tersedia kemudian tutupnya dibuka dan disandarkan ke tembok. Di tengah kebingungan seluruh hadirin, pemimpin meminta semuanya berjalan ke depan melewati sisi peti jenazah itu. "Saudara-saudara, hari ini kita akan melihat musuh kita semua yang seharusnya sudah lama mati," katanya. Setiap orang diberi waktu tiga detik untuk melihat ke dalam peti jenazah tanpa boleh mengeluarkan sepatah katapun. Dengan diliputi rasa ingin tahu masing-masing maju dengan tertib, hanya untuk melihat wajah sendiri di cermin besar dalam peti itu.
Kekristenan dianggap oleh banyak orang sebagai agama yang "aneh" karena mengajarkan tentang mati bagi diri sendiri. Sementara dunia mengajarkan keagungan pribadi, orang Kristen diajar untuk menyangkal diri dan mengalahkan diri sendiri. Kita mempelajari Firman Tuhan, khususnya Hukum Allah, dan menjadikannya sebagai cermin dengan apa kita memeriksa keadaan diri kita yang sebenarnya secara rohani. Tetapi mempelajari maupun mendengarkan Firman Tuhan tidak ada artinya kalau kita tidak melakukan apa yang Firman itu ajarkan. "Orang yang mendengar perkataan Allah tetapi tidak melakukannya adalah seperti orang yang sedang melihat mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Sesudah ia memperhatikannya baik-baik, ia pun pergi dan langsung melupakan bagaimana rupa mukanya itu. Hukum Allah sempurna dan mempunyai kekuatan untuk memerdekakan manusia. Dan orang yang menyelidiki dan memperhatikan baik-baik serta melakukan hukum-hukum itu, dan bukannya mendengar saja lalu melupakannya, orang itu akan diberkati Allah dalam setiap hal yang dilakukannya" (Yak. 1:23-25, BIMK).
Dengan menulis nasihat ini sebenarnya Yakobus menggemakan kembali apa yang Yesus ajarkan dalam Khotbah di Atas Bukit sekitar dua dasawarsa sebelumnya: "Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu...Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir" (Mat. 7:24, 26). Sebagai cermin, Firman dan Hukum Allah berguna untuk menyempurnakan penampilan rohani kita di hadapan Tuhan. "Sementara tidak ada salahnya dengan berusaha menjadi yang terbaik, banyak orang menghabiskan waktu dan uang yang besar jumlahnya untuk memperbaiki penampilan mereka. Tetapi kita perlu memastikan bahwa kita tidak menipu diri sendiri. Yakobus mengatakan kita perlu mendapatkan pandangan yang lebih baik mengenai diri kita sendiri, tidak peduli seberapa besar kita mungkin tidak menyukai apa yang kita lihat itu" [alinea kedua].
Bahaya percaya diri. Pemuda kaya yang datang kepada Yesus untuk bertanya soal keselamatan (Mat. 19:16-22) dan Petrus yang berani bersumpah tidak akan meninggalkan Yesus (Mat. 26:33-35) mempunyai persamaan, yaitu sama-sama memperlihatkan kesungguhan. Serius. Menurut Lukas, pemuda kaya itu adalah juga seorang pemimpin (Luk. 18:18), dan dia datang sambil berlari-lari dan bertelut di hadapan Yesus (Mrk. 10:17). Berbeda dengan Nikodemus, juga seorang pemimpin muda dan kaya yang datang menemui Yesus pada tengah malam buta untuk menghindari perhatian orang banyak, pemuda yang tidak disebutkan namanya ini menemui Yesus pada siang hari dengan cara yang sangat demonstratif dan tanpa menghiraukan suasana sekitar. Petrus juga demonstratif ketika dia sesumbar berkata kepada Yesus, "Biarpun mereka semua terguncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak...Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau" (Mat. 26:33, 35). Tetapi kita lihat, lebih gampang membuat pernyataan daripada merealisasikan pernyataan itu.
"Petrus, seperti juga orang muda itu, mempunyai gambaran yang menyimpang tentang dirinya. Dengan rasa percaya diri dia meramalkan bahwa sekalipun semua orang yang lain tersandung dan jatuh, dia akan tetap setia--bahkan sekalipun itu berarti kehilangan nyawa. Tetapi tidak ada dari keduanya yang menyadari betapa kuatnya dosa memegang dia dalam cengkeraman. Keduanya menipu diri sendiri tentang keadaan rohani mereka yang sebenarnya. Namun, Petrus akhirnya bertobat. Sejauh yang kita ketahui, pemimpin muda yang kaya itu tidak" [alinea terakhir].
Kembali ke soal cermin, hampir semua orang menggunakannya setiap hari terutama mereka yang hidup di kota. Cermin dapat digunakan ketika berdandan di rumah, tapi cermin sebagai kaca spion juga berguna untuk "memata-matai" keadaan di sekitar kita bila sedang mengemudikan kendaraan di jalan raya. Dalam hal Firman Tuhan sebagai cermin itu bisa kita gunakan untuk menyelidiki keadaan rohani pribadi, ataupun digunakan dalam "memata-matai" keadaan rohani orang lain untuk mencari kesalahan. Terpulang kepada kita masing-masing, apakah hendak menjadikan Firman Tuhan itu sebagai "cermin rohani" bagi diri sendiri atau sebagai "kaca spion" untuk menghakimi orang lain.
Apa yang kita pelajari tentang Firman Tuhan sebagai cermin?
1. Tidak menjadi patokan seberapa rajin anda membaca Alkitab dan mempelajari pelajaran Sekolah Sabat, atau setekun apa anda mendengarkan khotbah setiap hari Sabat, kalau tidak mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari maka semua Firman Tuhan itu hanya akan terdengar seperti lantunan musik yang indah untuk dinikmati, dan kemudian berlalu begitu saja.
2. Banyak orang Kristen yang tertipu dengan pandangannya sendiri mengenai keadaan kerohaniannya, seolah-olah sudah sempurna seperti perasaan pemimpin muda yang kaya itu atau seperti Petrus yang merasa dirinya kuat dan imannya teguh. "Sebab itu siapa yang menyangka bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (1Kor. 10:12).
3. Musuh yang paling sulit untuk dikalahkan adalah diri sendiri, sebab musuh itu mengenali dengan baik kekuatan maupun kelemahan kita. Satu-satunya cara untuk menang atas diri sendiri adalah dengan cara membiarkan ego kita kelaparan dan mati lemas. Sebab tiap kali anda membanggakan diri, anda memberi makan ego anda sendiri yang akan membuatnya bertambah kuat.
Senin, 20 Oktober
MENGHAYATI FIRMAN TUHAN (Menjadi Pelaku)
Menjadi dan melakukan. Ada beberapa cara untuk mempelajari Firman Tuhan, termasuk membaca langsung dari Kitabsuci atau mendengar Firman itu diajarkan atau dikhotbahkan. Saya teringat pada tahun 1960-an ketika radio transistor bertenaga batere (DC) buatan dalam negeri baru dipasarkan dan menjadi "gadget" kebanggaan karena dapat dibawa ke mana-mana, banyak orang di kampung saya yang pada hari Minggu pagi pergi ke kebun sambil mengikuti acara kebaktian dari gereja GMIM yang disiarkan melalui radio. Mereka berdalih bahwa tanpa harus ke gereja pun tetap bisa mendengar firman Tuhan dikhotbahkan oleh pendeta yang dapat ditangkap melalui radio transistor portable itu. Sekarang kita bisa melakukan hal serupa dengan teknologi yang jauh lebih canggih, mengikuti kebaktian lewat siaran langsung (live streaming) yang dipancarkan melalui internet sambil bersantai di rumah atau berekreasi di tepi pantai. Bahkan ada aplikasi pada ponsel cerdas atau komputer tablet yang dapat membacakan Alkitab untuk anda kalau sedang sibuk atau malas membacanya sendiri.
Sementara untuk mendengar Firman Tuhan dapat dilakukan dengan banyak cara yang mudah, rasul Yakobus menulis, "Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri" (Yak. 1:22; huruf miring ditambahkan). Jadi, masalahnya bukan dengan cara apa kita mendengarkan Firman itu, tetapi apakah kita melakukannya atau tidak. Kata Grika yang diterjemahkan dengan "pelaku" pada ayat ini adalah poiētēs, sebuah kata benda maskulin yang juga berarti "seorang yang menaati atau menggenapi hukum" (Strong; G4163). Sedangkan "menipu" di sini berasal dari kata Grika paralogizomai, kata kerja yang artinya "menipu dengan penalaran yang palsu" (Strong; G3884). Menjadi pelaku firman berarti menaati serta melaksanakan apa yang dikatakan oleh Tuhan melalui firman-Nya, sebab kalau tidak berbuat seperti itu maka kita sedang menipu diri sendiri dengan pengertian yang palsu tentang apa yang dimaksudkan oleh Firman itu.
"Yakobus menggabungkan kata menjadi dan melakukan. Dia tidak memisahkan kedua kata itu, juga tidak membuat yang satu lebih penting dari yang lain. Keduanya bagaikan dua sisi dari mata uang yang sama, tidak terpisahkan. Kita harus menjadi para pelaku. Lebih jauh lagi, bentuk waktu dari kata Grika untuk menjadi di sini merujuk kepada suatu pola hidup penurutan yang sedang berlangsung, sesuatu yang diharapkan dari kita sekarang ini bukannya pada waktu yang tidak terbatas di masa depan" [alinea pertama].
Bagaimana melakukan Firman itu. Menjadi pelaku Firman artinya bertindak sesuai dengan pengetahuan kita yang sepenuhnya tentang bunyi Firman itu, bukan setengah-setengah atau secara parsial. Anda tidak dapat memilah-milah apa saja dari Firman itu yang ingin anda lakukan dan mana yang tidak, sebagaimana juga anda tidak dapat memilih hukum mana saja dari Sepuluh Perintah itu yang anda mau taati dan mana yang tidak. Rasul Yakobus berkata bahwa orang yang mengabaikan salah satu bagian dari hukum-hukum itu sama dengan bersalah atas keseluruhannya (Yak. 2:10). Begitu pula, ketika kita hendak menerapkan Firman Tuhan dengan melakukan kebajikan bagi orang lain, kita harus berbuat itu kepada semua orang tanpa pandang buluh. "Tetapi kalau kalian membeda-bedakan orang berdasarkan hal-hal lahir, kalian berbuat dosa, dan hukum Allah menyatakan bahwa kalian adalah pelanggar hukum," tulisnya (ay. 9, BIMK).
Salah satu hal utama yang membedakan Kekristenan dengan ajaran-ajaran agama lain ialah adanya perintah Yesus, "Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu" (Luk. 6:27). Sebagaimana Yesus telah mengasihi dan mati bagi semua manusia, untuk orang baik maupun orang jahat, demikianlah kita sebagai para pengikut-Nya harus bisa mengasihi semua orang. Dalam khotbah-Nya di atas bukit itu Yesus juga berkata, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar" (Mat. 5:44-45). Kalau Yesus dan Bapa semawi telah menunjukkan kebaikan kepada semua orang tanpa pilih kasih, mengapa anda dan saya harus berbuat kebaikan dengan membeda-bedakan orang?
"Kedengarannya mustahil, bukan? Memang begitu, berdasarkan kemampuan kita sendiri. Kasih seperti ini tidak datang secara alamiah kepada makhluk manusia yang berdosa. Itulah sebabnya mengapa Yesus melanjutkan dengan berbicara perihal dua jenis pohon berbeda dan buah yang dihasilkan oleh masih-masing pohon itu (Luk. 6:43-45)" [alinea ketiga: empat kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang menjadi pelaku Firman dan bukan sekadar pendengar?
1. Mendengar khotbah dan mengikuti diskusi pelajaran Sekolah Sabat di UKSS setiap Sabat adalah penting untuk mengisi pikiran kita dengan pengetahuan yang benar mengenai Firman Tuhan, tapi itu saja tidak cukup. Yesus berkata: "Lebih berbahagia lagi orang yang mendengar perkataan Allah dan menjalankannya!" (Luk. 11:28, BIMK).
2. Kekristenan adalah agama yang mengajarkan kepada para penganutnya untuk melakukan apa yang mustahil menurut pemikiran manusia, sebab Yesus sendiri sudah melaksanakan apa yang mustahil dalam pandangan dunia. Menjadi orang Kristen berarti siap untuk mengasihi musuh dan mendoakan mereka yang menganiaya kita.
3. Kekristenan adalah agama yang praktis, bukan sekadar teoretis. Menjadi orang Kristen berarti mempraktikkan ajaran-ajaran Alkitab dalam kehidupan sehari-hari, dan kunci keberhasilan orang Kristen dalam melakukan Firman Tuhan adalah percaya. Yesus berkata, "Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!" (Mrk. 9:23).
Selasa, 21 Oktober
DIBENARKAN OLEH PENURUTAN (Hukum yang Memerdekakan)
Sasaran yang tercapai. Hukum dibuat untuk ditaati supaya tujuan dari hukum itu tercapai, maka setiap produk hukum harus mengandung sangsi untuk memberi efek memaksa agar peraturan perundang-undangan itu ditaati. Untuk menghindari sangsi hukum dari suatu peraturan maka kita harus mengetahui dan mematuhinya, sebab kita tidak bisa luput dari sangsi itu hanya karena alasan tidak tahu. Itu sebabnya untuk membantu masyarakat mengetahui tentang sebuah peraturan hukum maka pemerintah biasanya mengadakan sosialisasi, bahkan pada kasus-kasus tertentu diadakan uji coba, sebelum peraturan itu mulai berlaku efektif. Dalam hal ketentuan peraturan di tempat-tempat umum biasanya aturan-aturan itu dipajang di tempat yang mudah dilihat oleh masyarakat dengan menyebutkan hal-hal yang dilarang lengkap dengan sangsi-sangsinya. Di Amerika aturan lalu lintas tentang penggunaan lajur cepat di jalan bebas hambatan (carpool lane), dan aturan parkir khusus untuk pengendara mobil dengan hambatan fisik (disabled parking), terpampang jelas lengkap dengan besarnya denda kalau melanggar.
Menyangkut hukum Tuhan sang rasul menulis, "Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya" (Yak.1:25; huruf miring ditambahkan). Kata Grika untuk "meneliti" dalam ayat ini adalah parakyptō, kata kerja yang secara harfiah berarti "melihat dengan badan membungkuk ke depan" untuk dapat memandang dengan jelas. Sedangkan kata "memerdekakan" berasal dari istilah Grika eleutheria, kata benda feminin yang artinya "kebebasan yang disukai." Jadi, hukum Tuhan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Hanya dengan penyelidikan yang cermat dan mendalam kita bisa memahami mengapa Hukum Allah--yang jika dibaca sepintas lalu terkesan sangat membatasi itu--oleh sang rasul disebut "sempurna" dan "memerdekakan."
"Yakobus menggemakan Mazmur dalam menyebut hukum Allah itu 'sempurna' (Mzm. 19:7) dan jalan kelegaan (Mzm. 119:45). Tetapi perhatikan bahwa hukum dalam kitab Yakobus itu tidak dapat menyelamatkan kita dan tentu saja tidak dapat menyucikan kita. Hukum itu menunjukkan kepada kita tujuan Allah, tetapi itu tidak dapat membuat kita mengikuti tujuan tersebut, sama halnya dengan menyaksikan seorang atlet kelas dunia memperagakan kemahiran-kemahiran yang mengagumkan lalu dapat menyanggupkan kita untuk melakukan hal yang sama. Untuk mengikuti tujuan itu kita memerlukan kuasa Kristus dalam hidup kita" [alinea pertama].
Menurut oleh Roh. Ketika Yesus menyatakan bahwa pada Sepuluh Perintah Allah itulah "tergantung seluruh kitab Taurat dan kitab para nabi" (Mat. 22:40), Ia sedang berbicara tentang Sepuluh Hukum sebagai intisari dari seluruh isi Perjanjian Lama yang terdiri atas lima kitab Musa yang bagi bangsa Israel diperlakukan sebagai "hukum" (Grika: nomos) dan tulisan-tulisan para nabi lainnya. Ketika Yakobus menyebut tentang "hukum yang memerdekakan" (Yak. 1:25), dia sedang bertutur tentang Sepuluh Perintah secara spesifik. Sang rasul mengulangi sebutan "hukum yang memerdekakan" ini pada bagian lain suratnya waktu dia berbicara mengenai perlunya penurutan pada Sepuluh Perintah itu secara keseluruhan (Yak. 2:10-12).
Sebenarnya, tidak terlalu sulit untuk menaati Sepuluh Perintah itu secara harfiah sesuai dengan apa yang tersurat. Orang-orang tua kita dari generasi terdahulu banyak yang sepanjang hidup mereka tidak pernah membuat dan menyembah patung, membunuh orang, berzina, berdusta, mencuri, menginginkan milik orang lain, melanggar kekudusan hari Sabat, dan sebagainya. Namun, Yesus sudah memperluas pengertian tentang pelanggaran terhadap hukum-hukum itu berdasarkan apa yang tersirat (baca Mat. 5:21-37). Oleh sebab tidak seorang pun di antara kita yang luput dari pelanggaran terhadap hukum-hukum itu, maka kita semua membutuhkan kuasa ilahi untuk memungkinkan penurutan secara tersurat maupun tersirat dari seluruh perintah-perintah itu. Karena kita "tak berdaya oleh daging" untuk menaatinya, maka kita "tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh" (Rm. 8:2-4). Sebab "di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan," dan dengan kuasa penurutan dari Roh Allah itu "kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar" (2Kor. 3:17-18).
"Melalui Kristus, kita mengalami kemerdekaan sebagai putra-putri Allah yang diselamatkan oleh kasih karunia dan yang tidak akan terjerumus kembali ke dalam kutukan dan perbudakan yang kita alami sebagai orang-orang yang melanggar. Di dalam Kristus, kita bukan saja diampuni dari dosa-dosa kita, tapi kita sekarang memiliki hidup baru yang menyanggupkan kita menjalankan penurutan terhadap hukum itu. Namun, kita melakukan hal itu bukan untuk diselamatkan melainkan karena kemerdekaan yang datang dari mengetahui bahwa kita sudah diselamatkan dan karena itu tidak lagi dipersalahkan oleh hukum itu" [alinea ketiga: tiga kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang hukum yang memerdekakan?
1. Hukum Allah itu "memerdekakan" kita bukan karena isinya, tapi karena penurutan kita. Untuk penurutan yang sempurna kita harus menyelidiki hukum itu dan menyukainya, bukan memandangnya sebagai aturan-aturan yang mengekang, tetapi melihatnya sebagai alat (instrumen) melalui mana sasaran kesempurnaan yang Allah inginkan bagi kita dapat dicapai.
2. Allah tahu bahwa manusia tidak sanggup menaati hukum-hukum itu berdasarkan kemampuan mereka dalam daging, karena itu Allah ingin manusia menurutinya di dalam kuasa Roh-Nya. "Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging" (Gal. 5:16).
3. Kita menaati Hukum Allah bukan karena hukum itu bisa menyelamatkan tetapi karena kita sudah diselamatkan. Hukum Allah akan terasa sebagai beban jika kita menaatinya dengan motivasi yang salah, tapi jadi menyenangkan bila menaatinya dengan perasaan merdeka. Hukum Allah itu memerdekakan jika kita menaatinya dengan kemerdekaan, bukan dengan paksaan.
Rabu, 22 Oktober
IBADAH YANG MURNI (Berguna Atau Tidak Berguna)
Orang Kristen yang berguna. Agama tak dapat dipisahkan dari ibadah; beragama artinya mengamalkan kehidupan yang beribadah. Kita beribadah kepada Allah dengan menaati perintah-perintah-Nya, termasuk perintah untuk berbuat kebaikan kepada sesama manusia (Yoh. 13:34; Mat. 22:39; Yak 4:17). Jadi, sebagai orang Kristen, anda dan saya harus menjadi orang-orang yang dapat mendatangkan kebaikan dan menjadi berkat bagi kehidupan orang lain secara khusus dan masyarakat luas pada umumnya. Kalau kita gagal menjadi orang Kristen yang berguna bagi sesama manusia, keberagamaan kita adalah suatu kegagalan. Kekristenan terbentuk untuk meneruskan misi Kristus, dan misi itu ialah menjangkau semua manusia.
Yakobus memberi contoh tentang berbuat kebaikan terhadap sesama manusia, meskipun peribadatan tidak terbatas hanya itu saja. Sang rasul menulis: "Kalau ada seseorang yang merasa dirinya seorang yang patuh beragama, tetapi ia tidak menjaga lidahnya, maka ia menipu dirinya sendiri; ibadatnya tidak ada gunanya. Ketaatan beragama yang murni dan sejati menurut pandangan Allah Bapa ialah: menolong anak-anak yatim piatu dan janda-janda yang menderita, dan menjaga diri sendiri supaya jangan dirusakkan oleh dunia ini" (Yak. 1:26-27, BIMK). Di sini Yakobus menekankan pada dua hal tentang kebajikan: menjaga kata-kata dan menolong orang yang mengalami kesusahan. Pada zaman dulu, di mana pencari nafkah satu-satunya dalam keluarga adalah suami atau ayah, maka perempuan yang kehilangan suami dan anak-anak yang kehilangan ayah--karena kematian atau perceraian--pada umumnya mereka adalah orang-orang miskin.
"Kalau ada satu hal yang Yesus, Yakobus, dan Paulus paling tekankan, maka hal itu adalah pentingnya menjadi seorang Kristen yang berguna. Dengan mengasihi 'salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini' (Mat. 25:40), dengan mengambil waktu melawat orang-orang yang paling gampang terabaikan, dengan menunjukkan keramahtamahan--dalam segala cara yang praktis dan sebagainya--kita menyatakan kasih Yesus dan menjadi saluran oleh mana Yesus mengasihi mereka melalui kita" [alinea pertama].
Kesalehan dalam perkataan. Mungkin tidak banyak di antara kita yang menyadari bahwa salah satu indikator dari kesalehan beragama ialah cara kita berkata-kata. Ada orang yang nada bicara dan perkataannya terdengar sejuk, tapi ada pula yang sering membuat telinga seakan terbakar. Seseorang pernah mengibaratkan lidah itu seperti anjing yang terbagi ke dalam tiga kelompok: anjing liar, anjing penjaga, dan anjing jinak. Jenis "anjing liar" adalah lidah yang tidak diajar dan tidak bisa dikekang sehingga bebas menggonggong; jenis "anjing penjaga" adalah lidah yang selalu siap menyerang bila merasa terganggu dan biasanya itu anjing galak; jenis "anjing jinak" adalah lidah yang dibiarkan bebas berbicara tapi tidak menyakiti karena ramah dan menghibur.
Rasul Yakobus menaruh perhatian khusus terhadap bagaimana orang Kristen menggunakan lidah mereka untuk berbicara, terbukti dari penggunaan kata "lidah" sebanyak enam kali dalam lima ayat di seluruh suratnya. Selain ayat yang kita bahas dalam pelajaran hari ini, sang rasul juga menyebut lidah itu seperti api yang kecil tapi dapat membakar hutan (3:5), lidah sebagai dunia kejahatan yang dapat menodai seluruh tubuh (3:6), lidah yang buas adalah seperti racun yang mematikan (3:8), dan lidah yang sama untuk memuji Tuhan tapi juga untuk mengutuki manusia (3:9). Kita tidak tahu apakah kekasaran berbicara mungkin sudah menggejala di antara umat Tuhan yang mula-mula, tetapi yang pasti nasihatnya tentang menjaga lidah sangat relevan dengan keadaan umat Tuhan pada zaman akhir ini.
"Yakobus menggambarkan 'agama' atau 'keberagamaan' dalam ayat 26-27 dengan satu kata yang memberi kesan kesalehan luar biasa. Sikap seperti ini mengandung akibat langsung yang kasat mata, dan orang-orang akan mengenali perbedaannya...Salah satu perubahan nyata ialah pilihan kata-kata kita. Gantinya mengeluarkan ucapan-ucapan serampangan dengan nada suara dan isyarat tubuh yang kasar, kita akan menjadi lebih peka terhadap dampak dari cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Kita akan 'mengekang' lidah kita sehingga tidak terburu-buru dengan segala keganasan dan kekuatan seperti seekor kuda liar" [alinea ketiga dan keempat].
Apa yang kita pelajari tentang menjadi orang Kristen yang berguna?
1. Umat Kristen terkenal sebagai orang-orang yang suka beribadah secara berkelompok, dan itu merupakan ciri yang baik. Tetapi rasul Yakobus menyebut bahwa ibadah yang murni harus ditandai dengan menjaga perkataan dan gaya berbicara, serta sikap prihatin yang aktif terhadap orang-orang miskin dan menderita.
2. Setiap orang Kristen seyogianya adalah seorang komunikator dan sekaligus komunikan yang baik, mampu memikat orang lain dalam cara kita berbicara dan mendengarkan. Saat kita berkata-kata orang lain bisa mengenali kelemahlembutan kita, dan saat kita mendengar orang lain berbicara mereka melihat kerendahan hati kita.
3. Kekristenan bukan kelompok yang eksklusif dengan perasaan berbeda dari orang lain. Kita dipanggil dari dunia untuk menyembah Allah yang benar, kemudian diutus kembali ke dunia untuk membagikan kebenaran itu. Kekristenan adalah ibadah dan misi; ketika beribadah kita melekat satu dengan yang lain, ketika menjalankan misi kita berpencar dan berbaur.
Kamis, 23 Oktober
MEWASPADAI PENCEMARAN ROHANI (Berbeda dari Dunia)
Peperangan batin. Ada pandangan yang keliru tentang usaha menjauhi dosa, seolah-olah orang Kristen harus hidup dan beraktivitas jauh dari lingkungan yang berdosa. Masalahnya, tidak ada setapak pun bagian di dunia ini yang steril dari dosa, sebab dosa ada di mana-mana. Dosa bisa terdapat di dalam gereja, di atas mimbar, di ruang majelis, bahkan (maaf!) dosa bisa timbul dalam hati pendeta dan penatua yang tidak waspada dan berserah. Menjauhi lingkungan dan pergaulan yang jahat tentu banyak manfaatnya demi menghindari agar tidak mudah terpapar oleh dosa, tetapi sesungguhnya peperangan terhadap dosa berlangsung dalam batin kita. Karena itu, dalam kesendirian pun dosa bisa saja bersemi--di dalam hati (=pikiran). Jadi, amaran Yakobus agar kita "tidak dicemarkan oleh dunia" (Yak. 1:27) harus dipahami sebagai anjuran untuk berusaha memenangkan peperangan mikro dalam batin kita, bukan peperangan makro melawan seluruh dunia.
Alkitab menggunakan kata "dunia" dalam tiga pengertian berbeda: [1] dunia secara fisik yang terdiri atas tanah, air, tanaman, atmosfir, dan sebagainya (2Sam. 22:16, Nah. 1:5-6); [2] dunia dalam arti penduduk bumi (Yoh. 3:16, 7:7); dan [3] dunia dalam pengertian moral, termasuk segala hal yang menarik hati sehingga dapat membuat kita terbujuk untuk melupakan Tuhan (Tit. 2:12, Rm. 12:2). Ketika Yakobus mengamarkan kita untuk waspada agar tidak dicemari oleh dunia, sang rasul sedang berbicara tentang dunia yang dapat merusak moral Kristiani. Tercemar oleh dunia berarti terpengaruh oleh penarikan dunia yang akhirnya berdampak pada kerohanian kita.
"Masalah dosa tidak terlalu banyak ditentukan pada apa yang ada di luar sana, meskipun hal itu tentu memainkan perannya, dibandingkan dengan apa yang ada di dalam diri kita, dan di dalam hati kita. Di situlah terdapat peperangan yang sesungguhnya, dan kita harus bertempur melawannya tidak peduli di mana pun kita hidup" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].
Terang dunia. Salah satu ayat emas yang disukai umat Kristen adalah 1Petrus 2:9 yang berisi pernyataan bahwa kita adalah "bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri." Tapi seringkali kita hanya berhenti sampai di situ, padahal bagian selanjutnya mengatakan "supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib." Ada hubungan yang tak terpisahkan antara "umat kepunyaan Allah" dengan "memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia." Identitas sebagai "bangsa yang terpilih" dan "bangsa yang kudus" tidak lantas membuat kita harus berdiam di atas menara gading yang jauh dari dunia sekitar, sebaliknya kita harus turun untuk memberitakan tentang perbuatan Kristus yang ajaib itu.
Yesus berkata, "Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi" (Mat. 5:14). Sebutan sebagai "terang dunia" bagi kita adalah sebuah kehormatan dan sekaligus tanggungjawab, sebab julukan itu sebenarnya adalah milik Yesus (Yoh. 8:12; 12:46). Yesus menegaskan, "Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia" (Yoh. 9:5). Setelah Yesus kembali ke surga, Ia mempercayakan predikat itu kepada anda dan saya untuk menerangi dunia yang telah digelapkan oleh dosa ini, khususnya di sekitar tempat kita berada. Karena itu tidak selayaknya orang Kristen mengidap gejala phobia (fobia=rasa ketakutan yang berlebihan) terhadap tempat-tempat yang "gelap" di dunia ini. Sambil tetap waspada dan membentengi diri dengan "seluruh perlengkapan senjata Allah" (Ef. 6:13), kita harus berani maju untuk menerangi kegelapan dunia.
"Agama sejati menuntun seseorang kepada 'lapar dan haus' akan pengalaman yang lebih mendalam (Mat. 5:6). Yesus menghabiskan waktu yang cukup untuk menyendiri bersama Bapa semawi-Nya dalam rangka mengetahui kehendak-Nya. Namun, Ia tidak pernah menutup diri dari orang banyak. Ia pergi ke tempat-tempat di mana orang banyak berada. 'Makanan'-Nya ialah menjangkau orang yang membutuhkan pertolongan, merobohkan penghalang-penghalang prasangka buruk, dan membagikan kabar baik tentang hidup kekal (Yoh. 4:28-35)" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang berada di dunia tapi harus berbeda dari dunia?
1. Menjadi orang Kristen sama dengan mendeklarasikan perang melawan Setan; ketika anda mulai melaksanakan misi Kristus berarti anda "menabuh genderang perang" di telinga Setan. Jadi, apa yang anda harapkan, kalau bukan serangan dari musuh terbesar itu? Tapi Setan tidak selalu datang bawa bom, lebih sering dengan membawa hembusan angin keduniawian yang sepoi-sepoi basah.
2. Peperangan Besar antara Setan melawan Kristus adalah peperangan kosmik di mana Bumi ini menjadi garis depan pertempuran. Yesus Kristus sudah menang secara telak, di surga maupun di dunia ini, tetapi kita yang "menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus" (Why. 12:17) memiliki pertempuran-pertempuran mikro yang harus dihadapi tiap hari.
3. Sebagai "terang dunia" setiap orang Kristen harus hidup sebagai "anak-anak terang" (Ef. 5:8) yang dibuktikan dengan perbuatan-perbuatan "kebaikan dan keadilan dan kebenaran" (ay. 9). "Kita bukan orang yang hidup dalam kegelapan...Sebab itu kita tidak boleh tidur-tidur saja seperti orang lain. Kita harus waspada dan pikiran kita harus terang" (1Tes. 5:5-6, BIMK).
Jumat, 24 Oktober
PENUTUP
Tujuan moral. Hidup di tengah dunia yang sarat dengan ciri-ciri kemerosotan moral, orang Kristen harus berani tampil berbeda dengan mencontoh pada kehidupan Yesus Kristus. Tujuan moral tertinggi bagi seorang Kristen ialah mencapai keserupaan tabiat dengan Kristus oleh bercermin selalu pada Hukum dan Firman Allah. "Hukum adalah cermin moral Allah yang agung. Manusia harus menyelaraskan perkataannya, semangatnya, tindakan-tindakannya dengan Firman Allah" [alinea pertama].
Kekristenan tidak hanya menawarkan mahkota abadi, hidup kekal, surga, dan Dunia Baru. Kekristenan juga mendorong setiap orang percaya untuk mencapai suatu kehidupan moral yang luhur selagi berada di dunia yang fana dan berdosa ini. Setiap orang Kristen sedang berlomba dalam hidupnya untuk "menguasai diri dalam segala hal" (1Kor. 9:25).
"Sebagaimana Yesus dalam sifat kemanusiaan-Nya, demikianlah Allah mengharapkan para pengikut-Nya menjadi seperti itu. Dalam kekuatan-Nya kita harus mengamalkan kehidupan yang murni dan mulia yang Juruselamat hidupkan" [alinea terakhir].
"Orang yang pikirannya dikuasai oleh tabiat manusia, orang itu bermusuhan dengan Allah; karena orang itu tidak tunduk kepada hukum Allah; dan memang ia tidak dapat tunduk kepada hukum Allah. Orang-orang yang hidup menurut tabiat manusia, tidak dapat menyenangkan Allah. Tetapi kalian tidak hidup menurut tabiat manusia. Kalian hidup menurut Roh Allah--kalau, tentunya, Roh Allah sungguh-sungguh memegang peranan di dalam dirimu. Orang yang tidak mempunyai Roh Kristus, orang itu bukanlah kepunyaan Kristus" (Rm. 8:7-9, BIMK).
(Oleh Loddy Lintong/California, 22 Oktober 2014; unggahan kedua, 23 Oktober 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar