PELAJARAN KE-II; 11 Oktober 2014
"MENYEMPURNAKAN IMAN KITA"
Sabat Petang, 4 Oktober
PENDAHULUAN
Bertumbuh supaya sempurna. Saya yakin, banyak di antara anda yang membaca ulasan Pelajaran Sekolah Sabat Dewasa (PSSD) ini melalui ponsel cerdas (smartphone) atau ponsel tablet (phablet), sebuah perangkat komunikasi digital dwifungsi yang dapat digunakan sebagai telpon nirkabel dan sekaligus sebagai komputer mini di tangan anda. Sementara orang-orang sekarang ini kian terbiasa mengoperasikan telpon seluler yang peningkatan kecanggihannya semakin mengagumkan ini, banyak yang tidak tahu dan tidak dapat membayangkan seberapa "kuno" perangkat ini ketika pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat sekitar dua puluh tahun silam.
HP pertama saya tahun 1995 adalah jenis GSM, singkatan dari Global System for Mobile (tapi karena waktu itu sinyalnya masih sangat lemah sehingga sering diplesetkan menjadi "Geser Sedikit Mati"). Karena tuntutan pekerjaan maka saya harus menggunakan HP kedua jenis CDMA (Code Division Multiple Access) yang sinyalnya lebih bagus tapi tingkat radiasinya sangat tinggi sehingga berbicara lebih dari satu menit kuping terasa panas. Meskipun begitu, ketika HP hanya bisa berfungsi untuk komunikasi verbal saja seperti telpon rumah, belum ada fitur-fitur tambahan semacam SMS (short message service) apalagi kamera maupun aplikasi-aplikasi, dan ukuran fisiknya pun masih tebal dan berat, HP menjadi salah satu lambang status pemakainya. Pada masa itu bila anda bertelpon pakai HP di tengah banyak orang, semua akan menoleh kepada anda dengan tatapan kagum.
Produk apapun kalau baru ditemukan kondisinya selalu masih jauh dari sempurna dan membutuhkan waktu serta usaha untuk memperbaiki dan menyempurnakannya. Iman adalah "produk" rohani yang ditanamkan kepada orang-orang yang mendengar dan percaya kepada "firman Kristus" (Rm. 10:17). Alkitab mengatakan, "Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan" (Ibr. 12:2). Itulah sebabnya murid-murid pernah memohon kepada-Nya, "Tambahkanlah iman kami!" (Luk. 17:5). Iman bukan sesuatu yang diberikan kepada manusia dalam keadaannya yang sudah sempurna, tetapi iman adalah seumpama bibit yang harus terus bertumbuh (2Kor. 10:15).
"Iman di dalam Kristus yang seperti itu memungkinkan Dia untuk mengerjakan dalam diri kita 'baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya' (Flp. 2:13) dan menyelesaikan pekerjaan baik yang Ia telah mulaikan (Flp. 1:6). Tanpa iman, adalah mungkin untuk merasa sudah kalah bahkan sebelum kita mulai sebab kita memusatkan perhatian pada diri kita sendiri gantinya kepada Dia...Seperti Yesus katakan, 'Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah' (Yoh. 6:29). Yakobus, seperti yang akan kita lihat, menolong kita untuk mengerti kebenaran rohani yang penting ini" [alinea kedua: dua kalimat terakhir; alinea ketiga].
Minggu, 5 Oktober
BAHAGIA DALAM PENDERITAAN (Iman yang Tangguh)
Ujian kemurnian. Perjalanan hidup setiap orang Kristen memang penuh dengan cobaan. Yesus mengatakan, "Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya" (Mat. 7:13-14). Ketika mengucapkan perkataan ini, Yesus bukan sedang "menakut-nakuti" para pengikut-Nya, tetapi Ia sedang menyampaikan kata-kata pengharapan di balik penderitaan. Orang Kristen sejati harus siap mental untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan jalan yang berbatu dan berduri yang harus kita lalui selagi mengikut Dia di dunia ini.
Dalam kamus orang Kristen, kesusahan dan penderitaan bukanlah "cobaan hidup" tetapi "ujian iman." Itulah sebabnya rasul Yakobus menulis, "Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan apabila kamu jatuh ke dalam ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan" (Yak. 1:2-3; huruf miring ditambahkan). Rasul Petrus mendorong kita untuk bergembira atas cobaan-cobaan yang dialami sebab hal itu berguna untuk "membuktikan kemurnian iman" yang akan dibalas dengan "pujian dan kehormatan" pada hari kedatangan Tuhan Yesus (1Ptr. 1:6-7). Bahkan dia ingatkan kita untuk tidak terkejut atau heran dengan ujian-ujian itu, yang disebutnya sebagai sesuatu yang "sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus" (4:12-13).
Berdasarkan nasihat dan peringatan kedua pemimpin Gereja yang mula-mula itu maka sebagai orang Kristen anda dan saya harus mengembangkan sikap yang positif--bukan negatif--terhadap penderitaan hidup. Sebab hasilnya adalah positif, yakni demi memurnikan iman kita. "Petrus menyamakan ujian atau cobaan iman kita ini dengan cara api memurnikan emas; meskipun ujian demikian mungkin tidak menyenangkan, Allah mengharapkan suatu hasil yang sukses. Ujian-ujian tidak boleh mengecewakan kita; sebab kalau kita tetap setia, kita akan 'timbul seperti emas' (Ay. 23:10, bandingkan dengan Ams. 17:3)" [alinea kedua: dua kalimat terakhir].
Ujian ketabahan. Sementara penderitaan hidup dimaksudkan untuk menghasilkan iman yang murni, seorang yang tetap mempertahankan imannya di tengah penderitaan hidup akan menjadikan dirinya seorang yang tabah. Jadi, penderitaan hidup bagi orang Kristen akan menghasilkan dua hal penting: kemurnian iman dan ketabahan diri. Versi BIMK menerjemahkan Yakobus 1:2-3 seperti ini: "Kalau kalian mengalami bermacam-macam cobaan, hendaklah kalian merasa beruntung. Sebab kalian tahu, bahwa kalau kalian tetap percaya kepada Tuhan pada waktu mengalami cobaan, akibatnya ialah: kalian menjadi tabah" (huruf miring ditambahkan).
"Merasa beruntung" ketika mengalami cobaan hidup itu menyangkut sikap kita terhadap cobaan-cobaan itu. Kalau anda menganggap penderitaan hidup adalah suatu kerugian, maka dalam sekejap saja iman anda akan menjadi luntur. Sebaliknya, jika anda menerima penderitaan hidup itu sebagai suatu keberuntungan mengingat hasil akhir yang akan anda peroleh, maka anda akan menjadi semakin kuat untuk bertahan. Sebab ada suatu motivasi yang mendorong anda untuk tetap memelihara iman anda di tengah penderitaan itu. Seperti seorang atlet yang bersedia mengikuti petunjuk dari pelatihnya untuk menjalani berbagai latihan fisik yang berat dan melelahkan, sebab dia tahu semua itu berguna untuk membuat dirinya siap berlaga dalam pertandingan dan menang. Seperti pengakuan teman saya seorang pebulutangkis nasional tentang latihan fisik yang dijalaninya setiap hari di Pelatnas sungguh melelahkan dan membosankan, tetapi hasil dari ketekunannya berlatih telah membawa namanya tenar di seluruh dunia pada dasawarsa 1970-an itu.
"Singkatnya, kita perlu memandang jauh ke depan dari setiap cobaan dan membayangkan hasil yang Allah maksudkan. Dari situlah iman itu datang. Kita harus percaya kepada seorang Bapa yang pengasih, bersandar pada hikmat-Nya, dan bertindak berdasarkan pada Firman-Nya. Kita bisa aman mempercayakan masa depan kita kepada-Nya (baca Rm. 8:28). Bahkan, hanya melalui iman, dengan mengetahui sendiri kasih Allah itu dan hidup oleh iman dalam terang kasih itu, memungkinkan kita untuk bersukacita di dalam cobaan-cobaan kita" [alinea ketiga].
Apa yang kita pelajari tentang hubungan iman dan cobaan hidup?
1. Iman dan cobaan hidup datang dalam satu paket dari Tuhan, yang jika diterima dan dijalani dengan gembira dapat menghasilkan kemurnian iman dan ketabahan hati. Ibarat sebuah tanaman, iman diberikan kepada manusia dalam bentuk benih, bukan berupa sebatang pohon yang sudah menghasilkan buah dan tinggal dinikmati.
2. Sikap kita terhadap penderitaan hidup akan menentukan apakah kita berhasil menjalaninya atau tidak. Kalau kita menyikapi cobaan hidup itu sebagai "metode ilahi" bagi kita untuk menghasilkan iman yang murni dan jiwa yang tabah dalam diri kita, niscaya kita akan mampu menghadapi setiap cobaan dengan gembira karena merasa beruntung.
3. Seringkali Tuhan membiarkan seorang yang sangat kecewa untuk mengeluh dan berusaha dengan kemampuan sendiri mengatasi persoalan hidup yang dihadapinya, sampai dia kehabisan akal dan dalam keadaan putus asa kembali berserah kepada Tuhan. Tetapi Allah itu sangat baik dan berpengasihan untuk selalu siap menerima anda dan saya datang ke pangkuan-Nya!
Senin, 6 Oktober
TUJUAN IMAN (Kesempurnaan)
Pertumbuhan iman. Sebagai orang Kristen, hampir semua aspek kehidupan kita dipengaruhi oleh iman. Mulai dari hal-hal lebih besar seperti saat hendak menempuh ujian sekolah, melamar pekerjaan, mencari pasangan hidup, memilih tempat tinggal dan sebagainya, sampai kepada soal-soal yang dianggap sepele bagi banyak orang seperti saat mau mengadakan perjalanan atau hendak beristirahat tidur kita selalu melakukannya dengan berdoa lebih dulu. Mengapa? Karena kita percaya bahwa Allah mengendalikan hidup kita dan bahwa hidup kita bergantung kepada-Nya sehingga kita harus senantiasa berserah pada kehendak-Nya.
Yakobus mengatakan bahwa iman bertumbuh melalui "berbagai-bagai pencobaan" (1:2) yang "menghasilkan ketekunan" (ay. 3), dan pada gilirannya ketekunan [=kesabaran; ketabahan] itu akan memperoleh "buah yang matang" sehingga dengan demikian kita "menjadi sempurna" (ay. 4). Cobaan-cobaan itu sendiri tidak menghasilkan iman, melainkan melatih kesabaran kalau cobaan-cobaan itu diterima dengan iman. Melalui proses itulah maka iman kita bertumbuh mencapai kesempurnaan. Sebaliknya, jika cobaan-cobaan itu dihadapi dengan sikap menggerutu dan mengeluh, gantinya menghasilkan ketabahan hal itu akan menimbulkan kepahitan dan kekecewaan. Itulah sebabnya sang rasul menasihati kita agar menganggap cobaan-cobaan itu "sebagai suatu kebahagiaan" (ay. 2).
"Tujuan Allah bagi kita ialah 'supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun' (Yak. 1:4). Tidak ada bahasa yang lebih luhur. Kata sempurna (teleios) berarti kedewasaan rohani, sedangkan utuh (holokleros) merujuk kepada keutuhan dalam segala hal. Sungguh, kita dapat menjadi jauh lebih utuh di dalam Tuhan jika kita mau mati untuk diri sendiri dan mengizinkan Dia bekerja dalam diri kita 'baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya' (Flp. 2:13)" [alinea pertama: empat kalimat terakhir].
Sasaran pertumbuhan iman. Setiap orang memiliki tujuan-tujuan pribadi dalam hidupnya, tetapi sebagai umat Tuhan kita mempunyai tujuan rohani untuk "mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus" (Ef. 4:13). Sesungguhnya, inilah perjuangan hidup setiap anak Tuhan selama di dunia ini. Untuk mencapai tujuan itu anda dan saya dapat mencontoh kepada rasul Paulus yang telah bertekad: "Saya melupakan apa yang ada di belakang saya dan berusaha keras mencapai apa yang ada di depan. Itu sebabnya saya berlari terus menuju tujuan akhir untuk mendapatkan kemenangan, yaitu hidup di surga; untuk itulah Allah memanggil kita melalui Kristus Yesus. Kita semua yang sudah dewasa secara rohani, haruslah bersikap begitu" (Flp. 3:13-15, BIMK).
Tatkala Yesus bersama murid-murid menyeberangi danau Galilea lalu perahu mereka tiba-tiba ditimpa badai di tengah perjalanan, murid-murid yang ketakutan itu berteriak kepada Yesus yang sedang tidur: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" (Mrk. 4:38). Yesus pun terbangun, menenangkan angin ribut itu, lalu berkata kepada mereka, "Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?" (ay. 40). Murid-murid itu memperlihatkan iman yang kerdil. Ketika Daud yang hanya bersenjatakan ali-ali menghadapi Goliat, dia menanggpi cemoohan raksasa Filistin itu dengan berkata: "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama Tuhan semesta alam" (1Sam. 17:45). Daud menunjukkan iman yang besar. Saat Abraham yang menaati perintah Allah hendak mempersembahkan Ishak di gunung Moria, tiba-tiba malaikat menghalanginya sambil berkata: "Sekarang Aku tahu bahwa engkau hormat dan taat kepada-Ku, karena engkau tidak menolak untuk menyerahkan anakmu yang tunggal itu kepada-Ku" (Kej. 22:12, BIMK). Abraham memperagakan iman yang sempurna.
"Tidak pernah ada suatu waktu dalam perjalanan Kristiani di mana kita dapat mengatakan, 'Saya sudah sampai,' setidaknya sejauh pertumbuhan tabiat itu. (Pernahkah anda perhatikan juga bahwa mereka yang berkata bahwa mereka sudah 'sampai' pada umumnya memuakkan dan membenarkan diri?) Kita ini seperti sebuah karya seni; selalu kita dapat diperbaiki, dan Allah berjanji melakukan seperti itu selama kita terus maju dalam iman, berusaha untuk berserah kepada-Nya setiap hari dalam percaya dan penurutan" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang kesempurnaan iman sebagai tujuan?
1. Iman bertumbuh melalui latihan-latihan rohani dengan cara tetap percaya dan bersandar kepada Tuhan dalam menghadapi cobaan-cobaan hidup. Dengan menjadikan cara ini sebagai kebiasaan akan melatih sikap kita terhadap setiap cobaan hidup yang datang. Setiap latihan rohani akan membuat iman kita bertumbuh menjadi semakin sempurna.
2. Kitabsuci menyatakan, "tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah" (Ibr. 11:6). Kalau kita ingin bertumbuh di dalam iman, kita harus tetap bersandar kepada-Nya dalam segala permasalahan hidup. Meski percaya kepada Tuhan tapi kita juga berusaha dengan cara sendiri, maka kita mengintervensi rencana dan maksud Allah.
3. Yesus berkata: "Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu" (Mat. 17:20). "Gunung" sering diibaratkan sebagai masalah atau tantangan hidup.
Selasa, 7 Oktober
PERCAYA TANPA BIMBANG (Meminta Dalam Iman)
Iman dan hikmat. Adalah hal yang menarik bahwa Yakobus mengaitkan iman dengan hikmat. "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah," katanya seraya menambahkan, "Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang..." (Yak. 1:5-6). Kata Grika yang diterjemahkan dengan hikmat di sini adalah sophia, sebuah kata benda feminin yang jika merujuk kepada Tuhan itu berarti "kecerdasan tertinggi" dan jika merujuk kepada manusia berarti "kearifan" (Strong; G4678). Sepintas lalu perkataan ini bisa diartikan bahwa kalau seseorang merasa kurang bijaksana boleh meminta kearifan itu dari Tuhan, namun itu harus diminta dengan iman atau percaya tanpa keraguan. Akan tetapi dalam konteks ini sang rasul tidak sedang berbicara mengenai kebijaksanaan ataupun kearifan manusia, tetapi tentang iman.
Pada waktu kita mengalami masalah kehidupan yang berat dan pelik, kita perlu menghadapinya dengan sikap bijaksana. Jangan-jangan masalah itu timbul sebagai akibat dari kesalahan kita sendiri, mungkin karena tindakan atau ucapan kita sebelumnya, atau dampak dari keputusan keliru yang kita buat terdahulu. Kalau persoalannya bersifat "sebab dan akibat" seperti itu tentu kita harus menerimanya sebagai suatu konsekuensi. Tetapi jika masalah itu tidak berkaitan dengan perbuatan atau keputusan kita sebelumnya, barangkali kita baru bisa menganggapnya sebagai cobaan hidup. Untuk dapat membedakan apakah suatu masalah terjadi sebagai akibat dari suatu sebab, atau apakah itu merupakan kejadian di luar dugaan dan tak disangka-sangka, maka anda dan saya membutuhkan hikmat untuk bisa menentukannya.
"Mungkin terlihat ganjil bahwa Yakobus berkata, 'Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat.' Siapa pula yang berpikir kalau dia memiliki hikmat yang cukup? Salomo, misalnya, mengakui kebutuhannya dan dengan rendah hati meminta 'hati yang faham...membedakan antara yang baik dan yang jahat' (1Raj. 3:9). Belakangan dia menulis: 'Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan' (Ams. 9:10)" [alinea pertama].
Allah sumber hikmat. Hikmat yang dimaksud dalam surat Yakobus di atas adalah kemampuan untuk menilai secara tepat berdasarkan pengetahuan dan ajaran Firman Tuhan, bukan menurut perasaan dan pandangan diri sendiri. Kita menyebutnya sebagai hikmat rohani (spiritual wisdom), dan hikmat seperti itu bersumber hanya pada Allah. Hikmat rohani ditunjukkan melalui sikap, termasuk "cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah" (Yak. 1:19). Bahkan, hikmat rohani juga dinyatakan dalam perbuatan yang lemah lembut. Yakobus berkata, "Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan...Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik" (3:13, 17).
"Tentu oleh sebab Allah adalah sumber dari segala hikmat yang benar maka kita memperoleh hikmat itu oleh mendengarkan Dia--membaca Firman-Nya dan menggunakan waktu dengan bijaksana merenungkan kehidupan Kristus 'yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita' (1Kor. 1:30). Dengan belajar memantulkan tabiat Kristus dalam kehidupan kita sendiri, kita menghidupkan kebenaran seperti di dalam Yesus. Itulah hikmat yang sejati" [alinea terakhir].
Dalam perspektif alkitabiah, hikmat berbeda dari pengetahuan. Bertutur tentang pengenalan akan rahasia Allah, rasul Paulus menulis: "Sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan" (Kol. 2:3). Pengetahuan (Grika: gnōsis) ialah kemampuan yang bersifat intuisi dan naluriah untuk memahami sesuatu yang kita dengar atau lihat; hikmat (sophia) adalah kemampuan untuk memastikan dan menghargai kebenaran secara bijak dan cerdas begitu suatu kebenaran dipahami. Menurut William Barclay [1907-1978], teolog dan komentator Alkitab asal Skotlandia, gnōsis adalah "apa yang seseorang pahami tentang kebenaran" sedangkan sophia ialah "dengan apa seseorang sanggup memberi suatu alasan atas pengharapan yang ada dalam dirinya."
Apa yang kita pelajari tentang hikmat yang harus diminta dari Allah dalam iman?
1. Setiap orang dewasa pernah menghadapi masalah hidup, ada yang terjadi akibat kesalahan sendiri dan ada yang terjadi karena maksud Tuhan yang tidak kita pahami. Tidak semua penderitaan hidup yang kita alami adalah cobaan untuk menguji iman kita, tetapi setiap penderitaan harus dihadapi dalam iman.
2. Iman adalah karunia Allah kepada manusia untuk menyanggupkan anda dan saya bertahan dalam cobaan hidup; hikmat adalah pemberian Allah kepada manusia untuk memahami kebenaran dari kehendak Allah. Karena iman kita dapat bersyukur untuk setiap cobaan, dan dengan hikmat kita dapat mengerti maksud setiap cobaan itu.
3. Hanya Allah sumber segala hikmat yang benar, dan hal itu diberikan-Nya "dengan murah hati dan dengan perasaan belas kasihan" (Yak. 1:5, BIMK). Setiap orang yang memintanya dengan percaya dan tidak bimbang pasti menerimanya (ay. 6). Iman dan hikmat adalah pemberian Allah yang secara bersama-sama menjadi dasar kekuatan rohani kita.
Rabu, 8 Oktober
ALASAN UNTUK PERCAYA (Sisi Lain Dari Iman)
Jauhi kebimbangan. Saya pernah dibuat tercengang oleh seorang ayah yang dengan rasa percaya diri yang cukup mengagumkan berani meminta bantuan beasiswa untuk anaknya yang kuliah di luar negeri kepada teman saya, seorang pengusaha sukses yang baru dikenalnya beberapa menit sebelumnya. Saya tahu cerita ini bukan dari sahabat saya tersebut, tapi justru dari bapak itu sendiri yang mengungkapkannya kepada saya. "Bagi kami yang penting sudah minta," ujarnya. "Soal dikasih atau tidak, itu urusan lain." Sebuah sikap optimistik yang jarang ditemukan. Tiada kebimbangan sama sekali. Optimisme berlebihan terkadang tampak seperti sesuatu yang tidak masuk akal bagi banyak orang, tetapi seringkali keajaiban bisa menjadi milik segelintir orang yang sangat yakin.
Namun demikian, Allah tentu berbeda dari manusia. Dia sendiri justru yang menawarkan kepada manusia untuk meminta dari pada-Nya. Ia berfirman, "Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu" (Mrk. 11:24). Yakobus mendorong kita agar "memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang" (Yak. 1:6). Orang yang bimbang, katanya, "janganlah mengira ia akan menerima sesuatu dari Tuhan" (ay. 7). Bahkan, sang rasul berkata bahwa orang yang bimbang itu sama dengan "mendua hati" dan hidupnya tidak akan tenang (ay. 8). Sebab meminta sesuatu kepada Tuhan tapi disertai kebimbangan berarti meragukan kuasa dan kasih Allah, dan hal itu sama dengan melecehkan Tuhan.
"Kata 'bimbang' merujuk kepada seseorang yang hatinya terbagi; ini membantu kita untuk memahami hubungannya dengan mendua hati. Kita melihat sebuah contoh yang jelas tentang hal ini di Kadesh-Barnea. Di sana Israel menghadapi sebuah pilihan: maju dalam iman atau memberontak melawan Tuhan. Hebatnya, mereka memilih untuk memberontak dan ingin kembali ke perbudakan di Mesir. Bilamana Allah campur tangan dan mengumumkan melalui Musa bahwa mereka akan mati di padang gurun, tiba-tiba orang banyak itu 'percaya'! Mereka berkata, 'Sekarang kita hendak maju ke negeri yang difirmankan Tuhan itu; memang kita telah berbuat dosa' (Bil. 14:40)" [alinea pertama].
Iman sebiji sawi. Menjawab permohonan murid-murid-Nya untuk beroleh lebih banyak iman, Yesus berkata: "Kalau kalian mempunyai iman sebesar biji sawi, kalian dapat berkata kepada pohon murbei ini, 'Tercabutlah engkau dan tertanamlah di laut,' pasti pohon ini akan menurut perintahmu" (Luk. 17:6, BIMK). Biji sawi [TB: sesawi] dalam ayat ini adalah terjemahan dari kata Grika sinapi, yaitu sejenis tumbuhan liar di Timur Tengah. Pohon yang bernama Latin Brassica nigra (moster hitam) ini bisa mencapai ketinggian sekitar tiga meter yang tumbuh dari biji sangat kecil bergaris tengah satu milimeter. Pada kesempatan lain Yesus juga menggunakan istilah iman sebiji sawi ini ketika berkata kepada murid-murid-Nya bahwa dengan iman sekecil itu mereka bisa "memindahkan gunung" (Mat. 17:20).
Tentu saja Yesus sedang berbicara dalam arti kiasan, bukan dalam pengertian harfiah. Untuk apa mendemonstrasikan iman dengan cara memindahkan pohon murbei atau gunung? Pelajarannya di sini ialah bahwa bukan ukuran iman yang penting tapi jenisnya; bukan kuantitasnya tapi kualitasnya. Iman yang kecil tapi berkualitas dapat melakukan perkara-perkara yang besar, sebab di dalam iman kecil yang sejati terpantul kuasa Allah yang dahsyat. Iman bertumbuh bukan dalam hal ukuran melainkan dalam pengharapan di hati kita.
"Ketika para murid meminta lebih banyak iman, Yesus berkata iman sebesar biji sesawi itu banyak. Yang penting ialah apakah iman kita itu hidup dan bertumbuh, dan hal ini bisa dan akan terjadi hanya apabila kita terus melatih iman itu oleh menjangkau dan percaya kepada Allah di dalam segala sesuatu" [alinea ketiga].
Apa yang kita pelajari tentang sisi lain dari iman?
1. Iman dan bimbang adalah dua hal yang tidak mungkin dipersandingkan karena sifat kedua hal itu sangat bertolak belakang, khususnya dalam mengatasi masalah hidup. Iman terfokus kepada Tuhan, bimbang terfokus kepada masalah; iman berorientasi pada kebulatan hati, bimbang berorientasi pada kemenduaan hati.
2. Definisi Alkitab mengenai iman ialah seperti ini: "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat" (Ibr. 11:1). Iman tidak berlawanan dengan akal sehat; iman melampaui akal sehat. Iman adalah semacam "indera rohani" yang mampu melihat suatu pengharapan yang tersembunyi.
3. Karena iman adalah kemampuan untuk melihat sesuatu yang tidak kelihatan, maka iman sejati tidak ditentukan oleh ukurannya tetapi efeknya. Seperti kata Blaise Pascal [1623-1662], cendekiawan dan filsuf Kristen asal Prancis: "Dalam iman ada cukup terang bagi mereka yang mau percaya dan cukup bayangan untuk membutakan mereka yang tidak percaya."
Kamis, 9 Oktober
AMARAN TENTANG KEKAYAAN DAN KEMISKINAN (Orang Kaya dan Orang Miskin)
Susah dan senang silih berganti. Kita mengenal sebuah pemeo lama yang mengatakan, "Hidup ini seperti roda yang berputar." Maksudnya, selama kehidupan ini terus berputar maka selamanya akan ada masa yang senang dan masa yang susah datang silih berganti. Jalan kehidupan bukanlah seperti ruas jalan tol yang lurus dan mulus sampai berkilo-kilo meter jauhnya, bebas hambatan dan tanpa mendaki atau tikungan tajam. Kata orang, kita tidak hidup dalam sebuah dunia yang sempurna. Meski sering kita merasa seolah-olah kehidupan kita terus saja susah, pasti ada masa-masa di mana kita merasa senang. Masalahnya, kita bisa terobsesi dengan kekayaan dan apriori terhadap kemiskinan.
Seringkali susah dan senang itu diidentikkan dengan keadaan yang miskin dan kaya, seakan-akan orang miskin hidupnya selalu susah dan orang kaya hidupnya selalu senang. Tetapi simaklah perkataan rasul Yakobus ini: "Orang Kristen yang miskin hendaklah merasa gembira kalau Allah meninggikannya. Dan orang Kristen yang kaya hendaklah merasa gembira juga, kalau Allah merendahkannya. Sebab orang kaya akan lenyap seperti bunga rumput. Pada waktu matahari terbit dengan panasnya yang terik, maka rumput itu akan menjadi layu sehingga gugurlah bunganya dan hilanglah pula keindahannya. Begitulah juga dengan orang yang kaya; ia akan hancur pada waktu ia sedang menjalankan usahanya" (Yak. 1:9-11, BIMK).
"Dalam surat yang pendek ini Yakobus menunjukkan kepedulian yang besar terhadap orang-orang miskin; sebagian bahkan menganggapnya sebagai temanya yang utama. Tapi bagi telinga moderen kecamannya terhadap orang kaya dan pembelaannya pada orang miskin kelihatannya ekstrem bahkan mengagetkan. Namun pada saat yang sama Yakobus tidak mengatakan sesuatu yang jauh berbeda dari apa yang Yesus sudah katakan" [alinea pertama].
Bahaya kekayaan dan kemiskinan. Kerajaan surga adalah untuk semua orang yang beriman dan bergantung kepada Tuhan, tidak peduli latar belakang status sosial dan ekonominya. Meskipun Yesus pernah berkata bahwa "lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah" (Mat. 19:24), bukan berarti bahwa orang kaya pasti tidak selamat dan orang miskin pasti masuk surga. Kekayaan maupun kemiskinan sama-sama berpotensi menghalangi kita untuk masuk surga, tergantung pada bagaimana anda dan saya "mengelola" dampak dari kekayaan ataupun kemiskinan itu pada sikap kita terhadap sesama manusia dan hubungan kita dengan Tuhan. Sebab banyak orang kaya yang rendah hati, dan banyak pula orang miskin yang sombong.
"Tentu saja Yakobus tidak menutup pintu kerajaan itu terhadap semua orang kaya. Akan tetapi, seperti Yesus, dia mengakui penggodaan-penggodaan berbahaya yang datang bersama kekayaan. Kaya atau miskin, kita perlu menjaga mata kita tetap pada upah yang nyata. Permasalahan dengan uang ialah bahwa hal itu cenderung menipu kita untuk memusatkan perhatian kepada hal-hal duniawi ketimbang hal-hal yang kekal (2Kor. 4:18)" [alinea kedua].
Pena inspirasi menulis: "Kristus telah menjadi sahabat orang miskin. Ia memilih kemiskinan dan menghormatinya dengan menjadikan kemiskinan sebagai nasib-Nya...Oleh mengabdikan Diri-Nya kepada kehidupan yang miskin Ia menebus kemiskinan itu dari kehinaannya. Ia mengambil posisi bersama orang miskin agar Ia boleh mengangkat dari kemiskinan itu aib yang dunia sematkan pada kemiskinan itu. Ia tahu bahaya dari cinta akan kekayaan. Ia tahu bahwa kecintaan seperti ini merusak banyak jiwa. Kekayaan itu menempatkan orang-orang yang kaya di mana mereka memanjakan setiap keinginan akan kemegahan. Kekayaan itu mengajar mereka untuk meremehkan orang-orang yang menderita tekanan kemiskinan. Kekayaan itu membangun kelemahan pikiran manusia dan menunjukkan bahwa meskipun bergelimang kekayaan orang kaya itu tidak kaya terhadap Tuhan" (Ellen G. White, Welfare Ministry, hlm. 172).
Apa yang kita pelajari tentang pendapat Yakobus terhadap kekayaan dan kemiskinan?
1. Kekayaan telah memaksa banyak orang berlomba untuk memburunya. Bahkan tak sedikit yang mempertaruhkan segalanya, termasuk kesehatan, demi kekayaan. Namun Alkitab berkata, "Percuma saja bekerja keras mencari nafkah, bangun pagi-pagi dan tidur larut malam; sebab Tuhan menyediakannya bagi mereka yang dikasihi-Nya sementara mereka sedang tidur" (Mzm. 127:2, BIMK).
2. Allah tidak memusuhi kekayaan atau membenci orang kaya, tapi Ia memusuhi dan membenci mereka yang menggunakan kekayaan untuk menindas orang miskin. Allah dapat mencabut kekayaan dari orang yang sombong dan memberikannya kepada orang yang rendah hati. "Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya" (Ams. 10:22).
3. Meskipun Tuhan adalah Sumber kekayaan dan berkuasa untuk menganugerahkan kekayaan kepada manusia, seringkali Ia memilih untuk tidak memberikan kekayaan itu kepada sebagian dari kita demi kebaikan kita sendiri. Yesus bertanya, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (Mat. 16:26).
Jumat, 10 Oktober
PENUTUP
Ujian kehidupan. Banyak orang yang mungkin merasakan bahwa menjalani kehidupan Kristiani ibarat mengikuti pendidikan di sebuah sekolah yang sistem pengajarannya padat dan sarat dengan ujian, tetapi tidak pernah menerbitkan ijazah ataupun diploma bagi peserta didik. Memang kehidupan Kristen adalah pendidikan sepanjang hayat dengan Firman Tuhan adalah textbook (buku pelajaran), alam menjadi alat peraga, dan cobaan hidup sebagai ujian. Yesus Kristus, Guru Agung kita itu, bersama Roh Kudus yang menjadi pengganti-Nya, tidak pernah berhenti mengajar serta mendidik kita supaya semua bisa lulus dan layak mengikuti "upacara wisuda" pada hari kedatangan-Nya yang kedua kali. "Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia" (Yak. 1:12).
"Ujian-ujian kehidupan adalah alat Tuhan untuk menghilangkan kekotoran, kelemahan, dan kekasaran dari tabiat kita, dan melayakkannya bagi perhimpunan malaikat-malaikat surgawi yang suci dalam kemuliaan. Lalu, sementara kita melewati ujian, sementara api penderitaan dinyalakan atas kita, tidakkah kita akan memelihara mata kita terpusat pada perkara-perkara yang tak kelihatan, pada warisan yang kekal, hidup kekal, kemuliaan yang jauh lebih berbobot dan abadi?" [kalimat ketiga dan keempat].
Kehidupan orang Kristen yang penuh dengan cobaan hanya bisa dijalani dengan berhasil oleh iman, dan pada waktu yang sama iman kita akan semakin teguh dan murni setelah diasah dengan ujian. Allah ingin agar anda dan saya mengerti bahwa hidup oleh iman itulah yang berkenan kepada-Nya, bukan kehidupan dengan emosi yang menggebu-gebu. Iman menolong kita untuk menghadapi cobaan hidup dalam keheningan dan kesenyapan.
"Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia" (Ibr. 11:6).
(Oleh Loddy Lintong/California, 8 Oktober 2014; unggahan kedua, 9 Oktober 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar