PELAJARAN KE-V; 1 November 2014
"KASIH DAN HUKUM"
Sabat Petang, 25 Oktober
PENDAHULUAN
Siapakah "sesama manusia?" Perumpamaan Yesus mengenai orang Samaria yang baik hati--lebih tepatnya: orang Samaria yang "berani" berbaik hati--merupakan jawaban atas pertanyaan ahli Taurat yang hendak mencobai-Nya dengan pertanyaan, "Siapakah sesamaku manusia?" (Luk. 10:29). Mula-mula dia bertanya tentang bagaimana caranya beroleh hidup yang kekal (ay. 25), yang ditanggapi Yesus dengan balik bertanya apa kata Hukum Taurat (ay. 26), dan dijawabnya dengan mengutip Ulangan 6:5 dan Imamat 19:18 (ay. 27).
Ahli hukum Yahudi itu tentu bukan orang bodoh sehingga harus meminta penjelasan tentang siapakah yang dimaksud dengan "sesama manusia" dalam hal ini, tetapi dia tiba-tiba menemukan ide baru. Kalau semula dia hendak menjebak Yesus dengan pertanyaan pertama soal syarat masuk surga, sekarang dia ingin Yesus membuat pernyataan perihal makna "sesama manusia" yang tercantum dalam Hukum Musa. Sebab, kata Ibrani rea` [dilafalkan: "ra-ah" = sesama manusia] dalam Torah adalah sebuah pengertian eksklusif (terbatas) sebagai "sesama bangsa Israel" saja. Sedangkan kata Grika plēsion yang diterjemahkan dengan "sesama manusia" dalam ayat di atas secara harfiah berarti "orang yang ada di dekat" dan bermakna inklusif (luas) tanpa memandang latar belakang etnis maupun agama orang itu.
Perlu diketahui bahwa Yesus hidup pada masa dan di lingkungan masyarakat multi-kultur dan multi-bahasa, terutama akibat penjajahan bangsa Romawi dan pengaruh kebudayaan Yunani purba. Bangsa Yahudi secara umum menguasai dua bahasa ibu, yaitu Ibrani dan Aram, yang tentu saja merupakan bahasa masa kanak-kanak Yesus. Tetapi Yesus juga fasih menggunakan bahasa Grika Koine sebagai bahasa pergaulan. Ketika berdialog dengan kepala pasukan Romawi (Mat. 8:5-9, 13) dan dengan Pilatus (Yoh. 18:33-38), yang keduanya tidak dapat berbicara dalam bahasa Ibrani maupun Aram, tentu Yesus menggunakan bahasa Grika Koine bahkan tidak tertutup kemungkinan juga dalam bahasa Latin. Entahlah.
Tanggapan Yesus atas pertanyaan kedua, yang terkesan dadakan, dari ahli Taurat itu dengan cara menceritakan sebuah perumpamaan sungguh adalah cara yang jitu. Yesus gemar menggunakan perumpamaan untuk membuat orang lain berpikir dan mengambil kesimpulan sendiri, sebagaimana Ia juga gemar menjawab pertanyaan dengan pertanyaan (gaya yang dikenal sebagai "metode Sokrates"). Maka, dengan menyampaikan perumpamaan tentang orang Samaria yang "berani" mengambil risiko menolong orang Yahudi yang menjadi korban perampokan walaupun secara tradisi mereka adalah dua bangsa yang bermusuhan, sementara orang-orang yang sebangsa dengan korban itu justru menghindar, Yesus sedang mengajarkan makna "sesama manusia" itu dalam pengertiannya yang paling luhur.
"Yaitu, kita harus mengasihi sekalipun dalam keadaan sama sekali berbahaya atau tidak nyaman, dan kita harus mengasihi bahkan mereka yang tidak menyukai kita...Meskipun itu tidak mudah, dan sering melawan sifat alamiah kita, kasih sejati itu melibatkan suatu risiko yang besar dan menuntut kita untuk meruntuhkan rintangan-rintangan yang memisahkan kita sebagai sesama manusia, baik di luar dan (terutama) di dalam gereja. Pekan ini kita akan melihat apa yang Yakobus hendak katakan mengenai kebenaran penting ini" [alinea kedua: kalimat terakhir; alinea ketiga].
Minggu, 26 Oktober
NILAI AGAMA DAN STATUS SOSIAL (Orang yang Mengenakan Emas)
Membedakan orang di jemaat. Rasul Yakobus memberi nasihat yang tegas perihal kewajiban orang Kristen untuk menerapkan sikap tidak pilih kasih dalam hal memperlakukan orang lain. "Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka," tulisnya (Yak. 2:1). Perhatikan bagaimana sang rasul mengaitkan iman dengan sikap memandang muka. Selanjutnya dia memberi contoh tentang sikap memandang muka itu yang diperlihatkan dalam cara menyambut orang yang datang ke perkumpulan jemaat, bahwa kita tidak boleh menilai orang lain berdasarkan penampilan lahiriah, sebab dengan berlaku demikian "kalian membuat perbedaan di antara sesamamu dan menilai orang berdasarkan pikiran yang jahat" (ay. 4, BIMK).
Selain karena ilham Roh Kudus, saya berani mengatakan bahwa Yakobus sebagai pemimpin Gereja menulis nasihatnya itu juga berdasarkan laporan atau pengamatan langsung. Sebab dia tidak menulis suratnya untuk umat Tuhan di zaman akhir, tetapi utamanya bagi orang-orang Kristen pada zamannya. Rupanya, sikap memperlakukan orang lain berdasarkan status sosial yang dipamerkan lewat dandanan yang indah dan mahal itu bukan sudah ada sejak dulu. Sikap seperti ini tentu saja menyuburkan mentalitas suka pamer di kalangan masyarakat umum yang terbawa ke dalam gereja, sehingga sekarang pun orang tidak puas hanya sekadar mengenakan pakaian, sepatu, tas dan sebagainya, tetapi mereka maunya "memakai merek." Apalagi kalau orang-orang dari kalangan atas itu juga adalah penyumbang untuk gereja, atau "berjasa" bagi gereja.
"Gambaran ini bukan sebuah gambaran yang sangat bagus, khususnya karena hal itu dilukiskan (setidaknya berpotensi) sebagai kejadian dalam sebuah acara ibadah!...Segelintir orang-orang kalangan atas yang menghadiri perkumpulan-perkumpulan Kristen mengharapkan perlakuan yang istimewa. Mengabaikan harapan-harapan ini akan menimbulkan aib pada jemaat. Gagal bersikap 'tepat secara politis' atau menolak nilai-nilai masyarakat adalah resep bagi pelanggaran dan penyebab perpecahan" [alinea pertama: kalimat pertama; alinea kedua: tiga kalimat terakhir].
Nilai sekuler atau Kristiani? Gereja adalah jemaatnya (orang-orang), dan jemaat adalah juga anggota masyarakat. Tidak dapat disangkal bahwa dalam keseharian kita lebih banyak dan lebih sering berinteraksi dengan orang-orang dari luar gereja dibandingkan dengan orang-orang di dalam jemaat, sehingga besar kemungkinannya sebagian dari kita secara tak sengaja mengadopsi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan terbawa ke dalam gereja. Karena itu, sekularisasi di dalam jemaat adalah sebuah keniscayaan. Kalau anda perhatikan, salah satu "nilai" masyarakat umum yang terbawa ke dalam gereja ialah membedakan individu berdasarkan status sosial-ekonomi.
Alkitab menasihati kita untuk menghargai dan menghormati pemerintah dan mereka yang memegang jabatan publik untuk melayani masyarakat. "Hargailah mereka yang harus dihargai, dan hormatilah mereka yang harus dihormati," tulis rasul Paulus (Rm. 13:7, BIMK). Itulah sebabnya kita menghormati para pejabat, baik di luar gereja maupun ketika mereka bertamu ke gereja kita. Tetapi bukan terhadap mereka saja, sang rasul juga menasihatkan untuk menghormati para pendeta dan pejabat di lingkungan gereja yang juga melayani jemaat. "Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar" (1Tim. 5:17). Ini adalah nilai-nilai Kristiani yang kita junjung dalam hal memberi penghargaan berdasarkan pelayanan mereka, bukan berdasarkan kekayaan ataupun sumbangan finansial mereka kepada gereja.
"Bukanlah dosa menjadi miskin atau kaya, tetapi sebuah ukuran pengalaman Kristiani kita ialah bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang berbeda dari kita dalam hal usia, kekayaan, pendidikan, dan bahkan keyakinan agama. Kita cenderung memberi penghargaam lebih kepada mereka yang kita anggap 'di atas' kita dalam hierarki sosial dan kurang menghargai mereka yang 'di bawah.' Kita harus ingat bahwa adalah mudah untuk terbawa ke dalam kebiasaan meskipun Allah menyerukan kita untuk berbeda (baca Rm. 12:2)" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang nasihat untuk tidak memandang muka?
1. Terkadang tanda sadar kita bisa membuat suasana gereja lebih buruk dari bioskop atau arena pertunjukan berbayar yang memperlakukan penonton berdasarkan karcis, bukan pakaian yang dikenakannya. Sebab di tempat-tempat itu siapa yang bayar lebih mahal berhak duduk di kursi dan tempat yang lebih nyaman, tapi di gereja sama-sama tidak bayar saja dibeda-bedakan.
2. Seseorang pernah berkata: "Saya masuk ke dalam dunia, saya melihat gereja di dalamnya. Lalu saya masuk ke dalam gereja, saya melihat dunia di dalamnya." Gereja memang tak dapat dipisahkan dari masyarakat, dan seringkali nilai-nilai dari masyarakat luas menyusup sampai ke dalam gereja sehingga terjadilah apa yang disebut "sekularisasi."
3. Salah satu gejala sekularisasi yang semakin merebak di dalam gereja belakangan ini (mudah-mudahan saya salah!), ialah yang menyangkut keuangan. Ada kesan bahwa kebiasaan "memperkaya diri" bukan hanya terjadi di luar sana, tapi juga sudah menjadi "nilai-nilai masyarakat" yang teradopsi ke dalam.
Senin, 27 Oktober
FENOMENA KAYA-MISKIN (Pertentangan Golongan)
Siapa menindas siapa. Warren Buffet, investor Amerika yang pernah dinobatkan sebagai orang terkaya di dunia, pernah berkata: "Memang ada perang golongan sosial, tapi itu golongan saya, kelas orang kaya yang menciptakan peperangan itu, dan kami menang." Walaupun mahakaya, dia juga seorang dermawan (filantropis) yang telah berikrar untuk menggunakan 99 persen dari keuntungan bisnisnya untuk program kemanusiaan melalui Gates Foundation, sebuah yayasan amal yang didirikan dan dikelola oleh pasangan suami-istri kaya raya lainnya, Bill dan Melinda Gates. Tetapi konglomerat dunia yang dijuluki "Orang Bijak dari Omaha" ini (perusahaannya, Berkshire Hathaway Inc., berpusat di kota Omaha, Nebraska), ternyata seorang taipan yang sangat pelit pada diri sendiri dan terhadap keluarganya.
Sementara banyak di antara orang-orang yang sangat kaya menaruh kepedulian pada kaum miskin, penindasan terhadap orang miskin lebih sering datang dari kalangan orang-orang yang "setengah kaya" (golongan menengah). Tampaknya rasul Yakobus punya masalah dengan kelompok ini yang banyak terdapat di antara jemaat pada zamannya. "Dengarkanlah, hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia? Tetapi kamu telah menghinakan orang-orang miskin. Bukankah justru orang-orang kaya yang menindas kamu dan yang menyeret kamu ke pengadilan?" (Yak. 2:5-6; huruf miring ditambahkan). Perhatikan, Yakobus tidak sedang menasihati golongan kaya raya yang berada di luar gereja, dan juga tidak menasihati golongan miskin yang ada di dalam gereja. Dia sedang menasihati "kamu-kamu" yang suka menghina orang-orang miskin, padahal "kamu-kamu" itu sendiri tertindas oleh orang-orang kaya raya yang jauh lebih berkuasa.
"Menilai dari ayat-ayat ini, kelihatannya bahwa ada masalah-masalah utama di dalam gereja antara orang kaya dan orang miskin. Allah memilih orang miskin yang meskipun ditolak dunia tapi 'kaya dalam iman,' sementara orang kaya menggunakan kekayaan mereka untuk 'menindas' orang miskin. Masalah ini, yakni tentang orang kaya yang memeras orang miskin, merupakan kenyataan yang selalu terjadi pada masa itu. Lebih buruk lagi, undang-undang Romawi mengatur diskriminasi terhadap orang miskin dan membela orang kaya" [alinea kedua].
Menghujat nama Tuhan. Sebenarnya, tidak ada masalah dengan kekayaan. Sebagai alat, kekayaan itu bersifat netral, tergantung pada bagaimana seseorang menggunakannya. Seperti halnya sebilah pisau dapur, di tangan seorang koki pisau itu adalah alat yang berguna untuk membantunya menghasilkan santapan yang lezat dan menyehatkan, tetapi di tangan seorang pembunuh pisau dapur itu adalah alat yang dapat mencelakakan orang lain dan diri sendiri. Kekayaan bisa menjadi masalah apabila itu dijadikan sebagai tujuan, apalagi jika terobsesi dengan kekayaan itu, sehingga seseorang akan menggunakan segala cara untuk mendapatkannya. Kekayaan sangat berguna bagi kehidupan manusia, atau sebaliknya menjadi bencana, itu ditentukan oleh konsep dan pandangan kita mengenai kekayaan itu.
Kitabsuci mempunyai pandangan tersendiri mengenai kekayaan, dalam hal ini termasuk uang. "Berkata Tuhanlah yang menjadikan kaya," kata Salomo, "susah payah tidak menambahinya" (Ams. 10:22). Pada kesempatan lain dia juga berkata, "Percuma saja bekerja keras mencari nafkah, bangun pagi-pagi dan tidur larut malam; sebab Tuhan menyediakannya bagi mereka yang dikasihi-Nya, sementara mereka sedang tidur" (Mzm. 127:2, BIMK). Umat Tuhan tidak perlu mengejar uang atau ambisius terhadap kekayaan, "Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka" (1Tim. 6:10). Sementara menjadi kaya itu tidak salah, bagaimana seorang Kristen memburu kekayaan itulah yang berdampak pada nama baiknya sendiri dan terutama nama baik gereja dan Kristus.
"Perilaku buruk mereka benar-benar sebuah hujatan terhadap 'nama baik' Yesus. Tindakan-tindakan yang buruk itu memang sudah cukup buruk, tetapi menjadi lebih buruk lagi ketika orang-orang yang mengakui nama Yesus yang melakukannya. Bahkan semakin jahat lagi mereka yang di dalam nama Yesus menggunakan kekayaan atau kekuasaan mereka untuk mendapatkan keuntungan atas orang-orang lain di dalam gereja yang seringkali membawa kepada perpecahan dan pertengkaran. Karena itu, betapa kita harus berhati-hati supaya perkataan dan tindakan kita selaras dengan 'nama baik' terhadap mana kita terkait" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang hubungan Kristiani antara orang kaya dan orang miskin menurut Yakobus?
1. Nasihat rasul Yakobus ditujukan khususnya ditujukan kepada "orang-orang kaya" di dalam gereja, bukan kepada para konglomerat di luar sana. Tidak ada tindakan penindasan yang lebih jahat di atas bumi ini daripada "penindasan" yang dilakukan oleh sesama umat percaya di dalam persekutuan jemaat atau dalam pekerjaan Tuhan.
2. Konsep alkitabiah tentang kekayaan ialah bahwa itu semata-mata pemberian Allah kepada orang-orang tertentu yang dikasihi-Nya, jadi kekayaan adalah berkat surgawi untuk kehidupan duniawi. Meskipun begitu orang Kristen tidak percaya bahwa keberuntungan seseorang adalah karena takdir, apalagi karena suratan "garis tangan."
3. Salah satu perilaku buruk yang merusak nama baik gereja dan Kristus adalah perbuatan korupsi dalam segala bentuk dan manifestasinya. Korupsi itu sendiri adalah perbuatan kejahatan sehingga dikutuki dunia, korupsi yang dilakukan oleh orang Kristen adalah kejahatan yang dikutuki Tuhan, baik di luar maupun di dalam gereja.
Selasa, 28 Oktober
KEPEDULIAN PADA ORANG MISKIN DAN MALANG (Kasihilah Sesamamu)
Hukum Kerajaan. Rasul Yakobus melanjutkan suratnya, "Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: 'Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,' kamu berbuat baik" (Yak. 2:8; huruf miring ditambahkan). Perhatikan, sang rasul menyebut "Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri" itu sebagai "hukum utama." Kata Grika yang diterjemahkan dengan "utama" dalam ayat ini adalah basilikos, sebuah kata sifat yang berhubungan dengan raja atau kerajaan. (Strong; G937). Alkitab versi Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK) menerjemahkan frase basilikos nomos ini dengan "hukum Kerajaan" seperti yang juga digunakan dalam versi King James, royal law.
Dalam hal ini Yakobus tidak menciptakan hukum baru, melainkan mempertegas hukum yang sudah tercantum dalam Hukum Musa atau Torah (Im. 19:18), dan yang telah dikutip oleh Yesus Kristus dalam pengajaran-Nya (Mat. 22:39). Sang rasul menyatakan bahwa mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri--dalam konteks ini: mengasihi orang miskin--sama dengan menjalankan "hukum Kerajaan" atau hukum utama, dan hal itu adalah perbuatan yang "baik" (Grika: kalōs, juga berarti mulia). Jadi, mengasihi orang-orang miskin seperti mencintai diri sendiri adalah pengamalan nyata dari hukum Kerajaan, dan itu adalah perbuatan mulia.
"Yakobus menyebut hukum Allah sebagai 'hukum Kerajaan' (Yak. 2:8, BIMK) oleh karena itu adalah hukum 'RAJA SEGALA RAJA' (Why. 19:16). Hukum kerajaan-Nya diberikan secara rinci dalam Khotbah di Atas Bukit (Matius 5-7) yang mencakup hal pertama dari sembilan rujukan dalam Perjanjian Baru tentang mengasihi sesama kita manusia" [alinea pertama].
Dosa pilih kasih. Setelah mendorong pembacanya untuk mengamalkan hukum Kerajaan itu, dan memuji mereka yang menjalankannya adalah melakukan perbuatan yang mulia, sang rasul kemudian mengingatkan mereka: "Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran" (Yak. 2:9; huruf miring ditambahkan). Kata Grika untuk "memandang muka" dalam ayat ini adalah prosōpolēmpteō, sebuah kata kerja yang artinya "menghormati orang-orang" yang dalam konteks ini sifatnya "berdasarkan penampilan luar" (Strong; G4380). Jadi, kalau kita mengasihi orang lain dengan cara "memandang muka" (=diskriminatif atau parsial) maka pada hakikatnya hal itu adalah "berbuat dosa" karena merupakan "pelanggaran" terhadap hukum Kerajaan itu.
Kita melihat dalam kedua ayat ini konsep "dosa perbuatan" (sin of commission) diterapkan secara bersamaan dengan "dosa kelalaian" (sin of omission). Pada ayat 8, Yakobus menegaskan bahwa sebagai umat percaya orang Kristen harus mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri sebagai pengejawantahan dari hukum Kerajaan Allah, tidak melakukan hal itu berarti dosa. Sebaliknya pada ayat 9, sang rasul mengingatkan bahwa mengasihi sesama manusia secara diskriminatif, khususnya dengan cara mengabaikan orang-orang miskin, itu juga berarti berbuat dosa.
Ayat-ayat permulaan dari pasal dua ini, khusus ayat 2 dan 3, orang "miskin" (Grika: ptōchos), dapat juga diartikan sebagai orang yang "malang" bukan hanya karena kemiskinan tapi juga akibat kekurangan-kekurangan mereka sehingga tergolong ke dalam kelompok yang terpinggirkan di dalam jemaat, khususnya oleh sebab dosa mereka. "Dosa adalah yang terbesar dari segala kejahatan, dan kitalah yang harus mengasihani dan menolong orang berdosa. Banyak orang yang berbuat salah, dan yang merasa malu serta bodoh. Mereka itu lapar akan kata-kata dorongan semangat. Mereka memandang pada kesalahan dan kekhilafan mereka, sampai mereka hampir putus asa. Janganlah kiranya kita mengabaikan jiwa-jiwa ini" [alinea keempat: lima kalimat pertama].
Apa yang kita pelajari tentang perintah untuk mengasihi sesama manusia sebagai hukum Kerajaan?
1. Rasul Yohanes menulis, "Orang yang tidak mengasihi, tidak mengenal Allah; sebab Allah adalah kasih" (1Yoh. 4:8). Kasih itu bukan sekadar ciri dari Kekristenan, tetapi kasih adalah "keadaan" dari Allah itu sendiri. Jadi, kalau kita tidak mengasihi sesama manusia maka kita tidak saja dicap bukan orang Kristen tapi bahkan tidak mengenal Allah.
2. Karena sifat dan keadaan Allah adalah kasih, maka kasih itu menjadi "hukum utama" di dalam Kerajaan-Nya. Kasih Allah itu adalah asas ilahi yang sifatnya aktif dan praktis, bahkan kasih itulah tenaga pendorong yang membuat Allah bertindak secara proaktif. Itulah sebabnya, "Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa" (Rm. 5:8).
3. Mengasihi sesama manusia harus diwujudkan dalam tindakan yang adil dan tidak diskriminatif terhadap setiap orang, siapapun dia. Sebab kalau anda tidak mengasihi sesama itu berarti anda berdosa, dan jika anda mengasihi dengan cara memandang muka maka anda pun berdosa. Jadi, kita hanya punya satu pilihan: mengasihi sesama tanpa pandang buluh.
Rabu, 29 Oktober
KETAATAN BERDASARKAN KOMITMEN (Seluruh Hukum Itu)
Hukum terpenting. Bukan saja hukum Allah memerintahkan agar kita mengasihi sesama manusia tanpa diskriminasi, tetapi dalam hal penurutan terhadap hukum-hukum Allah itupun tidak boleh ada diskriminasi atau penurutan secara parsial. Rasul Yakobus menulis, "Orang yang melanggar salah satu dari hukum-hukum Allah, berarti melanggar seluruhnya" (Yak. 2:10, BIMK). Alasan yang dikemukakannya ialah karena Sumber dari hukum-hukum itu adalah Satu, yaitu Allah sendiri. "Sebab yang berkata, 'Jangan berzinah,' dialah juga yang berkata, 'Jangan membunuh.' Jadi, kalau kalian tidak berzinah, tetapi membunuh, maka kalian adalah pelanggar hukum juga," lanjutnya (ay. 11, BIMK). Dengan kata lain, melanggar satu hukum itu sama dengan melanggar semuanya. Mengapa? Karena Hukum Allah itu merupakan satu kesatuan yang utuh.
Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi juga mempraktikkan penurutan hukum Allah secara parsial sehingga Yesus menyebut mereka sebagai "orang-orang munafik." Setidaknya, para pemuka agama itu hanya mengamalkan hukum secara periferal (kulitnya saja) dan tidak bersifat esensial (intinya). "Sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan" (Mat. 23:23; huruf miring ditambahkan).
"Pertanyaan yang diajukan kepada Yesus tentang manakah hukum paling penting (mat. 22:36) mungkin dimaksudkan untuk menjebak Dia. Tetapi meskipun Yesus tampaknya telah menegaskan bahwa setiap 'iota' (huruf terkecil dalam aksara Ibrani; Mat. 5:18) adalah penting, Ia juga mengajarkan bahwa kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia merupakan perintah-perintah yang paling penting karena pada kedua hukum inilah terangkum semua hukum yang lain" [alinea kedua].
Hukum kasih. Esensi dari hukum Allah adalah kasih, dan kasih itu menyangkut hubungan emosional. Anda tidak dapat mengasihi Allah "dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu" sambil mengasihi "sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:37, 39) kalau anda tidak memiliki hubungan emosional dengan Tuhan dan dengan orang lain. Hubungan emosional ini tidak tercipta secara sekilas seperti halnya cinta pada pandangan pertama di antara dua insan, melainkan suatu hubungan emosional yang didasarkan pada kasih ilahi yang bertumbuh-kembang dalam suatu masa tertentu. Kasih kita terhadap Allah terbentuk dari kesadaran bahwa Allah telah mengasihi kita, dan kasih kita kepada sesama manusia terbangun atas kesadaran bahwa semua manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang saling membutuhkan antara satu sama lain.
Dalam kaitannya dengan penurutan hukum Allah, secara individual dan keseluruhan dari hukum moral itu, kita hanya dapat melakukannya kalau hubungan emosional kita dengan Tuhan tercipta dan terpelihara dengan baik. Anda tidak ingin menuruti hukum Allah kalau anda tidak mengasihi-Nya, bukan? Dengan demikian, anda juga tidak akan mau melayani Tuhan dengan segenap jiwa dan raga, apalagi mencintai sesama manusia dengan pengorbanan diri. Hukum Allah disebut "hukum kasih" karena hukum itu dibuat berdasarkan kasih Allah kepada manusia di satu pihak, dan hukum kasih itu akan berfungsi serta memenuhi sasarannya kalau dilaksanakan dengan kasih juga di pihak lain. Penurutan hukum Allah tidak terjadi dalam kehampaan, tapi dalam hati dan pikiran yang dipenuhi dengan rasa kasih.
"Jadi, ini bukan soal berbuat cukup banyak kebaikan supaya melebihi perbuatan-perbuatan buruk kita. Itu adalah penurutan dalam kehampaan, berbuat seolah-olah semua itu berkisar di sekeliling kita. Gantinya, oleh pengenalan akan Yesus, kita mulai mengarahkan perhatian kita jauh dari diri kita sendiri lalu mengarahkannya kepada pengabdian pada Allah dan pelayanan kepada orang-orang lain" [alinea keempat: tiga kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang kewajiban penurutan hukum secara utuh?
1. Keutuhan hukum Allah dapat diumpamakan seperti sebuah gelang rantai yang jika salah satu mata rantai putus maka untaian rantai itupun bukan lagi sebuah gelang. Tidak ada satu hukum yang lebih besar dari hukum yang lain, dan kesempurnaan hukum itu menuntut kita untuk menaatinya juga secara sempurna dalam keutuhannya.
2. Penurutan pada hukum Allah menuntut ketaatan yang radikal. Radikalisme ketaatan pada hukum Allah itu meliputi penurutan kualitatif maupun kuantitatif. Artinya, masing-masing dari keseluruhan hukum itu harus ditaati menurut standar ilahi yang tinggi dan luas, bukan penurutan berdasarkan kemampuan manusiawi yang rendah dan sempit.
3. Keberhasilan dalam penurutan terhadap hukum Allah secara utuh dan bermutu menuntut suatu komitmen pribadi, dan didorong oleh motivasi untuk mengasihi Allah dengan segenap hati serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Komitmen yang tinggi dan motivasi yang besar niscaya akan memudahkan kita untuk menaati setiap hukum itu.
Kamis, 30 Oktober
HUKUM YANG MEMERDEKAKAN (Dihakimi oleh Hukum)
Dihakimi untuk dibebaskan. Dalam prinsip hukum sekuler seorang terdakwa diperiksa untuk membuktikan apakah dia bersalah atau tidak; kalau bersalah dihukum dan kalau tidak bersalah dibebaskan demi hukum. Semuanya bergantung pada hasil pemeriksaan yang diperkuat dengan bukti-bukti, dan kesimpulan dari hakim atau majelis hakim. Berbeda dengan itu, dalam prinsip hukum ilahi seorang berdosa--yaitu terdakwa yang sudah pasti bersalah--diperiksa untuk membuktikan apakah dosa-dosanya sudah mendapat pengampunan melalui darah Yesus atau tidak; kalau sudah diampuni berarti dia selamat tetapi kalau belum berarti dia binasa.
Karena itu Yakobus mengingatkan pembacanya: "Berkatalah dan berlakulah seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh hukum yang memerdekakan orang. Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman" (Yak. 2:12-13; huruf miring ditambahkan). Sepertinya pernyataan ini mengandung paradoks (=lawan asas), sebab bagaimana hukum yang dibuat untuk ditaati tetapi pada akhirnya hukum itu pula yang "memerdekakan" manusia? Tapi inilah keajaiban dari hukum Allah, sementara hukum itu tidak bisa menyelamatkan (Gal. 2:16) tetapi hukum itu dapat memerdekakan manusia.
"Tidak ada yang lebih jelas daripada pengajaran bahwa kita akan dihakimi oleh hukum berdasarkan pada apa yang telah kita lakukan, apakah itu baik atau jahat. Pada waktu yang sama juga Alkitab pun jelas bahwa melalui iman kepada Yesus kita dibungkus oleh kebenaran-Nya...Ini meliputi dua aspek yang perlu: pengampunan (pembenaran) dan penurutan (penyucian)" [alinea pertama; alinea kedua: kalimat pertama].
Belas kasihan. Kita menemukan keterangan tambahan tentang prosedur pengampunan itu dari tulisan rasul Paulus ini: "Sekarang tidak ada lagi penghukuman terhadap mereka yang hidup bersatu dengan Kristus Yesus. Sebab hukum Roh Allah yang membuat kita hidup bersatu dengan Kristus Yesus sudah membebaskan kita dari hukum yang menyebabkan dosa dan kematian" (Rm. 8:1-2, BIMK; huruf miring ditambahkan). Rasul Yakobus menyebut tindakan Kristus membebaskan manusia dari tuntutan hukum itu sebagai belas kasihan. "Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman" (Yak. 2:13; huruf miring ditambahkan).
"Kalau kita memikirkannya terlalu jauh, kita bisa menjadi begitu ketakutan mengenai penghakiman itu sehingga kita akan menyerah dalam keputusasaan. Tetapi bukan itu yang dimaksudkan dengan 'takut akan Allah...karena telah tiba saat penghakiman-Nya' (Why. 14:7). Sebaliknya, kita harus selalu percaya pada kebenaran Yesus yang jasa-jasa-Nya saja menjadi satu-satunya pengharapan kita pada penghakiman itu. Adalah kasih kita kepada Allah, yang sudah menyelamatkan kita oleh kebenaran-Nya, yang harus memacu kita untuk melakukan segala sesuatu yang Ia minta untuk kita lakukan" [alinea keempat].
Pena inspirasi menulis: "Hukum Allah, menurut sifat dasarnya, itu tidak berubah. Itu adalah manifestasi dari kehendak dan tabiat Penciptanya. Allah itu kasih, dan hukum-Nya itu kasih. Dua prinsip agung dari hukum itu adalah kasih kepada Allah dan kepada manusia. 'Kasih adalah kegenapan hukum' (Rm. 13:10). Tabiat Allah ialah keadilan dan kebenaran, dan itulah sifat dari hukum-Nya...Dan hukum ini merupakan standar oleh mana kehidupan dan tabiat manusia akan diuji pada penghakiman" (Ellen G. White, The Watchman, 10 Oktober 1905).
Apa yang kita pelajari tentang dihakimi oleh hukum yang memerdekakan?
1. Hukum apa saja diciptakan untuk ditaati sesuai dengan maksud serta sasarannya, dan setiap hukum mengandung juga sangsi hukum untuk memberi daya paksa. Tetapi dalam hukum Allah sangsi bukanlah sebagai daya paksa supaya hukum itu ditaati, melainkan kasih. Allah ingin agar hukum-hukum-Nya ditaati berdasarkan kasih.
2. Keadilan dari hukum Allah yang memerdekakan manusia terletak pada belas kasihan Allah. Tetapi belas kasihan itu diberikan secara bersyarat, yaitu hanya kepada mereka yang juga mempraktikkan belas kasihan terhadap sesamanya. Seperti kata Yesus, "Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi..." (Mat. 7:2).
3. Belas kasihan yang murni hanya berasal dari Allah, diberikan kepada manusia melalui Yesus Kristus dan kemudian ditularkan kepada para pengikut-Nya untuk dipraktikkan terhadap sesamanya. Jadi, hakikat dari Kekristenan adalah belas kasihan. Orang Kristen tanpa rasa belas kasihan adalah seperti garam yang kehilangan rasa asinnya (Mat. 5:13).
Jumat, 31 Oktober
PENUTUP
Meninggikan nama Allah. Banyak orang berusaha mencari tahu siapa "nama" Allah yang sebenarnya. Musa juga mempertanyakanya ketika nabi besar itu diperintahkan kembali ke Mesir menemui bangsa Israel yang tengah menderita di negeri perbudakan itu (Kel. 3:13). "Beginilah kau katakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu" (ay. 14). Tentu saja Allah tidak memerlukan sebuah nama spesifik seperti anda dan saya sebagai identitas, sebab tidak ada Allah lain di seantero alam semesta ini. Melalui nabi Yesaya, Allah menegaskan: "Aku ini Tuhan, itulah nama-Ku" (Yes. 42:8). Dalam aksara Ibrani nama "Allah" tertulis dalam empat huruf mati atau konsonan sehingga tak bisa diucapkan, יהוה (dalam huruf Latin: YHWH), sebuah rangkaian empat huruf yang disebut Tetragrammaton. Kata itu kemudian ditransliterasikan menjadi Yahweh dan diterjemahkan menjadi Yehovah.
Sesungguhnya, nama Allah menunjukkan tabiat dan kuasa-Nya. Jadi, ketika rasul Yakobus berbicara mengenai orang-orang kaya raya di luar sana itu menghujat "Nama yang mulia, yang oleh-Nya kamu menjadi milik Allah" (Yak. 2:7), dia sedang bertutur tentang "tabiat Allah" yang melekat pada orang-orang Kristen sebagai jatidiri mereka. Adalah ironis sekali kalau justeru orang Kristen sendiri yang mencemarkan "nama Allah" yang tersandang di pundak mereka itu akibat tindakan-tindakan yang tidak terpuji, gantinya menjunjung tinggi nama Tuhan melalui perbuatan kebajikan dan beasl kasihan yang dituntut dari mereka.
"Allah telah mengakui anda di hadapan manusia dan malaikat-malaikat sebagai anak-Nya; berdoalah agar anda tidak mencemarkan 'Nama yang mulia, yang oleh-Nya kamu menjadi milik Allah' Yak. 2:7. Allah mengutus anda ke dunia sebagai wakil-Nya. Dalam setiap tindakan hidup anda harus menyatakan nama Allah itu" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].
"Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian" (Kol. 3:12-13).
(Oleh Loddy Lintong/California, 30 Oktober 2014)