Sabat Petang, 15 November
PENDAHULUAN
Mentalitas sikut-menyikut. Dalam pendahuluan pelajaran SS pekan ini penyusunnya mengemukakan istilah "mentalitas manajer menengah" (middle-manager mentality), yaitu cara berpikir atau sikap mental yang umum di kalangan para pemimpin tingkat menengah dalam sebuah organisasi. Tujuannya ialah untuk mengingatkan kita akan bahaya dari persaingan dalam meraih jabatan dengan menggunakan cara-cara duniawi yang tidak selayaknya terjadi di dalam jemaat atau organisasi gereja secara keseluruhan. Dengan contoh tentang seorang penyiar berita (news anchor) sebuah stasiun TV yang mendapatkan promosi tanpa "mengorbankan" rekan-rekan sejawatnya, penyusun pelajaran ini hendak menyadarkan kita bahwa orang Kristen juga dapat meraih sukses dengan "hikmat surgawi" tanpa perilaku sikut-menyikut.
Sekitar akhir dekade 1980-an atau awal 1990-an saya mengenal seorang penyiar TVRI yang juga mendapat promosi jabatan yang merupakan sebuah "lompatan besar" karena mendadak diangkat menjadi salah satu Direktur Jenderal (dirjen) di Departemen Penerangan, sebuah jabatan eselon satu yang pengesahan pengangkatannya waktu itu harus dengan surat keputusan (SK) presiden. Seorang yang tidak seiman dengan kita, tetapi karamahtamahan dan kerendahan hatinya jauh lebih mengesankan dibandingkan kebanyakan dari kita. Sepanjang yang saya ketahui, dia beroleh kedudukan tinggi itu dengan dukungan dari para sejawatnya padahal dengan jabatan itu dia kini membawahi bukan saja rekan-rekannya tapi juga para atasannya di unit kerja yang sama. Istilah politisnya, "tidak ada korban."
Lalu, apa hubungannya dengan "mentalitas manajer menengah"? Sebelum membahas itu sebaiknya kita kenali dulu beberapa definisi dalam ilmu manajemen. Berdasarkan pengertian umum, manajemen adalah sebuah "proses" dengan mana pelaksanaan suatu tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi. Manajemen adalah manusia dan sistem. Jadi, manajemen yaitu sekelompok orang yang bekerjasama dalam suatu sistem untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari sebuah organisasi, bisnis maupun non-bisnis. Dalam ilmu manajemen dikenal tiga tingkatan penatalaksana atau manajer: (1) manajer tingkat pertama (first line manager), yang memimpin dan mengawasi tenaga-tenaga pelaksana operasional atau tenaga lapangan; (2) manajer madya (middle manager), yang mengarahkan manajer-manajer garis pertama di bawahnya; dan (3) manajer puncak (top manager), yang bertanggungjawab secara keseluruhan dari operasional sebuah organisasi atau bisnis.
Manajer madya, atau manajer tingkat menengah, memiliki peran strategis dalam sebuah organisasi atau bisnis oleh karena posisi mereka yang menentukan keberhasilan terlaksananya sebuah program atau tercapainya sasaran bisnis. Karena keahlian dan fungsi mereka itu maka seorang manajer madya sering disebut sebagai "kontributor individual" dalam suatu usaha, sebab mereka adalah para ahli utama (subject matter experts) yang mengetahui seluk-beluk dari jalannya usaha pada tingkat operasional. Jadi, mereka menguasai keahlian dan juga sumberdaya manusia yang menentukan jalannya roda organisasi atau bisnis. Karena kesadaran akan peran serta potensi itulah maka banyak di antara mereka yang memendam ambisi untuk meraih posisi puncak, apalagi jika merasa lebih tahu dan lebih mampu dari atasan. Tuntutan-tuntutan seperti itu sering memicu sikap mental persaingan, terkadang sampai merebut kedudukan dengan menghalalkan segala cara (the end justifies the mean).
"Adalah bagus untuk berpikir bahwa persaingan yang egois terbatas pada organisasi-organisasi sekuler dan bahwa gereja beroperasi dengan cara yang sedikit berbeda. Sayangnya, Kitabsuci mengindikasikan bahwa sangat sering 'hikmat' duniawi juga berlangsung di kalangan umat percaya...Pekan ini mari kita lihat apa yang Firman Allah hendak katakan tentang kenyataan yang tidak menguntungkan ini" [dua alinea terakhir].
Minggu, 16 November
HIKMAT ALLAH (Hikmat yang Lahir dari Kelemahlembutan)
Hikmat dan tingkah laku. Aspirasi untuk sukses adalah hal yang sangat positif, bahkan ambisi untuk maju tidak bertentangan dengan iman Kristiani. Namun dalam mencapai apa yang dicita-citakan itu setiap orang Kristen harus menggunakan akal budi dan mempertimbangkan cara-cara yang patut. Untuk itu Yakobus menasihatkan, "Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan. Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran!" (Yak. 3:13-14; huruf miring ditambahkan).
Sedangkan hidup di lingkungan masyarakat yang beradab saja setiap orang dituntut untuk memperlihatkan "cara hidup yang baik" (good conduct), apalagi di kalangan umat Tuhan. Menurut sang rasul, cara hidup yang baik itu merupakan buah dari "hikmat." Kata Grika yang diterjemahkan dengan hikmat pada ayat di atas adalah sophia, sebuah kata benda feminin yang bukan saja berarti "pengetahuan yang luas" tapi juga "pengetahuan tertinggi seperti yang dimiliki oleh Tuhan" (Strong; G4678). Hikmat seperti itulah yang diberikan oleh Tuhan kepada Salomo (Mat. 12:42).
"Hikmat yang Yakobus gambarkan di sini dan di seluruh suratnya terutama bukanlah beragam kecerdasan yang diagungkan oleh bangsa Yunani purba dan banyak masyarakat Barat dewasa ini. Sebenarnya itu adalah hikmat yang tampak dalam perilaku dan cara hidup seseorang sebagaimana dimaksudkan oleh kata Grika untuk itu, anastrophe, yang diterjemahkan "tingkah laku" (juga digunakan dalam 1Tim. 4:12, Ibr. 13:7, 1Ptr. 1:15; 2:12). Tindakan-tindakan dan tingkah laku kita menunjukkan seberapa bijaksananya kita. Yesus mengajarkan hal yang sama dengan mengatakan bahwa 'hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya' (Mat. 11:19)" [alinea pertama: empat kalimat terakhir].
Tingkah laku Setan. Kecerdasan dan hikmat yang Setan miliki sekarang barangkali masih tetap sama dengan kecerdasan dan hikmat yang dia punyai sebagai Lusifer ketika masih berada di surga (baca 2Kor. 11:14). Bedanya, sebelum kejatuhannya dia menggunakan kecerdasan dan hikmatnya itu untuk melayani Allah, tetapi sesudah berdosa dan dicampakkan ke bumi ini dia mengerahkan segala kemampuannya itu untuk menipu manusia. Kepiawaiannya dalam memperdayai manusia sudah teruji selama ribuan tahun dengan jumlah korban yang tidak terhitung, termasuk Adam dan Hawa di Taman Eden. Itulah sebabnya Yesus sendiri menjuluki Setan sebagai "pendusta dan bapa segala dusta" (Yoh. 8:44).
Setan bukan saja menggunakan sendiri hikmat dan kecerdasannya itu, tetapi dia juga mengajarkannya kepada manusia yang mau belajar dari padanya tentang cara-cara untuk menipu sesamanya. Hebatnya, tidak sedikit orang-orang yang terpengaruh untuk mengadopsi cara-cara Setan dan meniru gayanya dalam mengelabui sesama manusia. Terhadap orang-orang seperti itu Kitabsuci mengingatkan, "Janganlah seorang pun menipu dirinya sendiri. Kalau ada orang di antaramu merasa dirinya bijaksana menurut ukuran dunia ini, orang itu harus menjadi bodoh, supaya ia menjadi benar-benar bijaksana. Sebab yang dianggap bijaksana oleh dunia adalah bodoh pada pemandangan Allah. Dalam Alkitab tertulis, 'Allah menjebak orang-orang bijaksana dalam kecerdikan mereka sendiri'" (1Kor. 3:18-19, BIMK).
"Sebaliknya, sumber air pahit yang dimaksud dalam Yakobus 3:11 menghasilkan 'iri hati dan mementingkan diri sendiri' (ay. 14) di dalam jemaat...Itu adalah sebuah sikap yang kedengarannya lebih menyerupai Setan di surga ketimbang seperti apa yang orang-orang Kristen di bumi seharusnya tunjukkan. Kecuali kita membuat pilihan untuk menyangkal diri dan menyerahkan keinginan kita kepada Tuhan, kita semua bisa berada dalam bahaya mempertontonkan sikap-sikap persis seperti yang Yakobus amarkan di sini" [alinea ketiga: kalimat pertama dan dua kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang hikmat yang lahir dari kelemahlembutan?
1. Dulu kecerdasan berpikir (IQ=intelligence quotients) dianggap sebagai syarat utama bagi keberhasilan hidup, tetapi belakangan ini orang mulai memperhatikan juga kecerdasan emosional (EQ=emotional quotients) dan kecerdasan jiwa (SQ=spiritual quotients). Orang pintar tetapi tidak berbudi luhur dapat mendatangkan bencana bagi manusia.
2. Kecerdasan berpikir adalah kemampuan untuk menyerap serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan kecerdasan emosi dan jiwa ialah kemampuan untuk mengendalikan diri serta tingkah laku. Manusia adalah makhluk sosial yang dikodratkan untuk hidup saling membutuhkan, karena itu cara hidup adalah hal yang penting.
3. Dalam pekerjaan Tuhan seringkali orang yang kurang berpendidikan tapi banyak berserah lebih berhasil daripada orang yang berpendidikan tinggi tapi tidak berserah. Alkitab menyatakan, "Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat" (1Kor. 1:27).
Senin, 17 November
HIKMAT SURGAWI vs. HIKMAT DUNIAWI (Dua Jenis Hikmat)
Hikmat dari dunia. Seorang sejarahwan pernah berkata seperti ini, "Saya masuk ke dunia, dan saya melihat gereja di dalamnya. Saya masuk ke gereja, dan saya melihat dunia di dalamnya." Salah satu bahaya laten yang mengancam gereja adalah sekularisasi, yaitu ketika jemaat mempraktikkan cara-cara duniawi di dalam gereja. Di antara kita sudah banyak yang berpakaian dan berdandan secara duniawi, berbicara dan berperilaku secara duniawi, sekarang kita tambahkan lagi "hikmat dari dunia" dalam menjalankan urusan-urusan kegerejaan.
Rasul Yakobus dengan tegas berkata, "Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan. Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat" (Yak. 3:15-16). Perhatikan, sang rasul menyamakan sikap "iri hati" dan "mementingkan diri sendiri" serta "memegahkan diri" (ay. 14) sebagai "hikmat" yang berasal dari dunia bahkan dari setan-setan. Menyoroti hal serupa, rasul Yohanes berkata, "Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia" (1Yoh. 2:16; huruf miring ditambahkan). Hikmat duniawi hanya bertujuan untuk memenuhi hasrat rendah manusia, yakni egoisme.
"Hal ini tidak perlu terlalu mengejutkan. Dahulu kala, Salomo berbicara tentang 'jalan yang disangka lurus' menjadi 'jalan menuju maut' (Ams. 14:12; 16:25). Hikmat ini pada intinya bersifat merusak. Jika kecemburan dan ambisi yang egois dikembangkan dan dinyatakan, maka hasil alamiahnya tentu kekacauan dan perselisihan, sama dengan situasi di Korintus (baca 2Kor. 12:20 di mana beberapa kata yang sama digunakan)" [alinea pertama: empat kalimat terakhir].
Hikmat dari atas. Yakobus menyebut dengan jelas dan spesifik tentang buah-buah dari hikmat surgawi seperti berikut: "Tetapi orang yang mempunyai kebijaksanaan yang berasal dari atas, ia pertama-tama sekali murni, kemudian suka berdamai, peramah, dan penurut. Ia penuh dengan belas kasihan dan menghasilkan perbuatan-perbuatan yang baik. Ia tidak memihak dan tidak berpura-pura. Memang kebaikan adalah hasil dari benih damai yang ditabur oleh orang yang cinta damai!" (Yak. 3:17-18, BIMK; huruf miring ditambahkan).
Mendapatkan hikmat surgawi berkaitan dengan kelahiran kembali secara rohani, yaitu "dilahirkan dari air dan Roh" (Yoh. 3:5) yang dalam hal ini lebih bernilai daripada kelahiran secara alamiah dari orangtua, sebab "apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh." (ay. 6). Seseorang yang sudah mengalami kelahiran kembali melalui air (baptisan) dan Roh (pengudusan) akan selalu mencari dan memikirkan "perkara yang di atas, bukan yang di bumi" (Kol. 3:1-2).
"Hikmat surgawi itu 'penuh belas kasihan,' begitu juga 'buah-buah yang baik.' Sebagaimana telah kita lihat, sekalipun penekanan dalam kitab Yakobus pada penurutan dan perbuatan baik sebagai buah-buah iman, belas kasihan pun menang atas penghakiman (Yak. 2:13). Dengan kata lain, orang yang benar-benar bijaksana tidak saja akan lemah lembut dan rendah hati seperti Yesus, tapi juga pendamai, peramah, penyayang, dan pemaaf, rela mengabaikan kesalahan-kesalahan orang lain, tidak bersikap kritis atau menghakimi terhadap mereka" [alinea kedua: tiga kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang dua jenis hikmat (kebijaksanaan) menurut Yakobus?
1. Dua jenis hikmat, atau kebijkasanaan, yang Yakobus maksudkan adalah "hikmat duniawi" dan hikmat surgawi yang disebutnya "hikmat dari atas." Hikmat duniawi berpangkal dari iblis yang dikembangkan dan diterapkan oleh orang-orang yang dikuasai oleh keinginan daging yang bersifat mementingkan diri sendiri.
2. Hikmat surgawi, atau "hikmat dari atas," menurut Yakobus harus ditandai dengan ciri-ciri berupa perbuatan baik sebagai buahnya. Hikmat surgawi itu seperti sebuah tanaman, apabila hikmat itu sudah bertumbuh dengan baik di dalam pasti akan mengeluarkan buah-buah hikmat berupa kepribadian yang baik dan perilaku damai.
3. Benih hikmat surgawi hanya bisa ditanam dan bertumbuh dalam hati orang-orang yang sudah dilahirkan kembali dalam air dan Roh, sebab hanya mereka saja yang selalu memikirkan hal-hal surgawi. Jadi, mudah sekali untuk membedakan siapa saja yang memiliki "hikmat dari atas" itu, yakni mereka yang selalu memikirkan "perkara yang di atas."
Selasa, 18 November
DORONGAN HAWA NAFSU (Penyebab Sengketa dan Pertengkaran)
Pertikaian di jemaat. Tampaknya persengketaan di dalam jemaat bukan hal baru, setidaknya hal itu terungkap dari surat Yakobus: "Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?" (Yak. 4:1). Kata Grika yang diterjemahkan dengan "sengketa" dalam ayat ini adalah polemos, sebuah kata benda maskulin yang juga berarti "perang" atau "pertempuran" dengan senjata yang menggambarkan kekerasan fisik. Sedangkan kata "pertengkaran" berasal dari kata Grika machē, sebuah kata benda feminin yang merujuk kepada percekcokan mulut penuh amarah. Dengan demikian, pertikaian di jemaat yang disorot oleh Yakobus di sini adalah pertengkaran fisik dan non-fisik. Tragis.
Perhatikan bahwa sang rasul menyebut pertikaian itu sebagai akibat dari "hawa nafsu yang saling berjuang" di dalam diri manusia. Kata Grika untuk "hawa nafsu" dalam ayat ini adalah hēdonē, sebuah kata benda feminin yang berkonotasi kepelesiran (dari kata ini lahir istilah "hedonis" dan "hedonisme" yang merujuk kepada pemanjaan diri terhadap kenikmatan dan pemuasan). Jadi, para anggota jemaat di gereja yang mula-mula itu saling bertengkar dan baku hantam demi memenuhi hasrat kesenangan diri dan nafsu pribadi yang menggebu-gebu di dalam hati.
"Keinginan-keinginan jahat ini, yang diibaratkan oleh Paulus sebagai 'daging,' secara aktif berperang melawan dorongan-dorongan rohani kita yang lebih tinggi. Kehidupan Kristiani melibatkan suatu peperangan yang berkepanjangan, yang jika tidak dikuasai oleh 'hikmat yang dari atas' (Yak. 3:17) meluas ke gereja itu sendiri dan menyebabkan trauma rohani di kalangan umat percaya" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].
Keinginan hawa nafsu. Lebih jauh Yakobus menulis: "Kamu mengingini sesuatu tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa karena kamu tidak berdoa. Atau, kamu berdoa juga tetapi kamu tidak menerima apa-apa karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu" (Yak. 4:2-3). Dalam ayat-ayat ini sang rasul menyingkapkan secara gamblang apa yang menjadi latar belakang dari pertengkaran di antara para anggota jemaat pada zamannya, yaitu ketidakpuasan dan iri hati terhadap satu sama lain.
Perhatikan bagaimana Yakobus membeberkan penyebab ketidakpuasan dan iri hati mereka itu secara terstruktur: mereka menginginkan tapi tidak mendapat, karena tidak mendapatkan apa yang diingini lalu membunuh; mereka iri hati tapi tidak mencapai maksud hati, karena itu mereka bertengkar dan berkelahi; mereka tidak mendapatkan apa yang diinginkan, karena mereka tidak memintanya dengan doa; atau mereka berdoa juga tapi apa yang mereka doakan itu salah, sebab yang mereka minta dalam doa itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu. Intinya, banyak umat Kristen pada zaman Yakobus yang berlomba memenuhi keinginan daging dengan penuh hawa nafsu, tetapi karena tidak memperoleh apa yang mereka dambakan itu lalu jadi frustrasi sehingga saling bertengkar hebat.
"Adalah cinta diri yang menimbulkan kerusuhan. Biamana kita dilahirkan dari atas, pikiran yang sama yang ada pada Yesus akan ada pada kita, yaitu pikiran yang telah menuntun Dia untuk merendahkan Diri-Nya sendiri supaya kita bisa diselamatkan. Jadi kita tidak akan berusaha mengejar kedudukan yang tertinggi. Kita harus ingin untuk duduk di kaki Yesus dan belajar dari pada-Nya" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang penyebab persengketaan dan pertengkaran di jemaat?
1. Pertengkaran di jemaat-jemaat Kristen adalah sebuah tragedi, tetapi itu adalah kenyataan. Penuturan Yakobus mengenai persengketaan dan pertengkaran yang terjadi pada gereja mula-mula tidak dapat dijadikan alasan untuk pertikaian di jemaat masa kini, melainkan itu harus dijadikan peringatan bagi kita untuk mawas diri.
2. Menjadi orang Kristen sejati bukan sekadar percaya kepada Yesus Kristus, tapi menuntut juga kelahiran baru di dalam Dia. Tanpa dilahirkan kembali secara rohani oleh Roh Kudus, keinginan-keinginan jahat yang sudah tertanam dalam diri kita tidak terhapus dan akan terus mempengaruhi dan mendorong kita untuk mengejar kepuasan hawa nafsu.
3. Kehidupan Yesus Kristus ditandai dengan kerendahan hati dan penyangkalan diri, maka setiap pengikut-Nya juga harus mengadopsi ciri-ciri tabiat yang sama. Anda dan saya tidak mungkin dapat menjadi pengikut Kristus yang rendah hati dan suka menyangkal diri itu, sembari kita memanjakan sifat tinggi hati dan cinta diri.
Rabu, 19 November
PERZINAAN ROHANI (Persahabatan dengan Dunia)
Murtad artinya berzina. Amaran Yakobus selanjutnya adalah: "Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah" (Yak. 4:2). Dalam bahasa asli PB, anak kalimat "orang-orang yang tidak setia" dalam ayat ini atas dua kata benda, moichos (pelacur lelaki) serta moichalis (pelacur wanita), dengan kata penghubung kai (dan). Sebagian Alkitab versi Bahasa Inggris menerjemahkannya dengan "adulterers and adulteresses" (KJV, NKJV), "adulterous people" (NIV), atau "adulteresses" (NASB). Tetapi beberapa versi lainnya menerjemahkan bagian ini sama dengan versi Bahasa Indonesia, seperti "unfaithful people" (TEV) atau "people aren't faithful to God" (CEV). Versi Amplified Bible (AMP) menerjemahkannya lebih lengkap lagi: "You [are like] unfaithful wives [having illicit love with the world and breaking your marriage vow to God]!" (Kamu [seperti] istri-istri tidak setia [yang menjalin cinta gelap dengan dunia dan melanggar sumpah perkawinanmu dengan Allah]!--terjemahan bebas oleh penulis).
Sebutan "pelacur lelaki dan pelacur wanita" merupakan gaya bahasa Perjanjian Lama ketika Allah menyebut bangsa Israel yang tidak setia kepada-Nya sebagai "perempuan murtad" dan "perempuan tidak setia" yang berbuat "zina" dan "sundal" (Yer. 3:6-10), sebab Allah menyebut diri-Nya sebagai "suami" mereka (Yes. 54:5). Hubungan Allah dengan bangsa Israel purba digambarkan dengan kata-kata puitis sebagai "cinta pada masa muda" dengan Israel adalah "pengantin" (Yer. 2:2), tetapi karena kemurtadan mereka oleh menyembah berhala-berhala orang kafir maka Allah menyamakan Israel seperti "istri yang berzinah, yang memeluk orang-orang lain ganti suaminya sendiri" (Yeh. 16:32).
"Menyinggung konsep alkitabiah tentang Israel sebagai mempelai Allah, Yakobus menyamakan umat percaya yang mengikuti adat-istiadat duniawi dan dipengaruhi oleh sikap-sikap keduniawian itu sebagai perzinaan rohani. Pada kenyataannya, mereka sedang memilih majikan dan tuan yang berbeda" [alinea pertama].
Pencemburu tapi juga pemurah. Kesungguh-sungguhan Allah terhadap keselamatan umat-Nya ditekankan oleh Yakobus dalam kata-kata ini: "Janganlah kamu menyangka, bahwa Kitab Suci tanpa alasan berkata: 'Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!'" (Yak. 4:5). Dalam ayat ini seolah-olah Yakobus mengutip satu kalimat dari Kitabsuci (dalam hal ini adalah Perjanjian Lama), tapi sebenarnya tidak ada satu ayat tertentu dalam PL yang bunyinya persis atau mirip dengan kalimat dalam ayat ini. Sebagian komentator Alkitab menduga bahwa Yakobus bukan mengutip ayat tertentu, tetapi mengutip beberapa ayat dalam PL kemudian disimpulkannya dengan kalimat tersebut. Namun yang pasti bahwa beberapa ayat dalam PL memang menyebut Allah sebagai "Allah yang cemburu" (Ul. 4:24; 5:9; Yos. 24:19).
Meskipun Allah itu pencemburu dan siap meluapkan kecemburuan-Nya atas ketidaksetiaan manusia, Ia adalah juga Allah yang pemurah. Allah memang tidak mengenal kompromi dalam soal tuntutan kesetiaan dari umat-Nya, tetapi Dia juga memiliki belas kasihan yang sangat besar terhadap umat-Nya. Yakobus mengatakan, "Tetapi kasih karunia, yang dianugerahkan-Nya kepada kita, lebih besar dari pada itu. Karena itu Ia katakan: 'Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati'" (Yak. 4:6). Ketidaksetiaan manusia pasti menyakiti hati Allah, tetapi kasih karunia-Nya lebih besar dari ketidaksetiaan manusia. Namun, kasih karunia Allah itu hanya tersedia bagi orang-orang yang rendah hati, tidak untuk orang yang sombong.
"Kasih karunia adalah satu-satunya jalan keluar yang nyata bagi keadaan kita yang buruk. Namun, orang-orang sombong telah menempatkan diri mereka pada posisi di mana mereka tidak mudah menerima kasih karunia itu...Hanya orang yang rendah hati, lemah lembut, dan sadar akan kebutuhan serta ketergantungannya yang terbuka bagi kasih karunia, bagi kemurahan tanpa syarat yang dianugerahkan ke atas mereka yang dalam segala hal tidak layak" [alinea ketiga: kalimat kedua dan ketiga serta kelima].
Apa yang kita pelajari tentang persahabatan dengan dunia adalah perzinaan rohani?
1. Hubungan Allah dengan manusia digambarkan dalam berbagai dimensi, salah satunya adalah sebagai "suami" (Allah) dengan "istri" (umat-Nya). Makna dari hubungan antara suami dengan istri yang diikat dengan "perkawinan" menekankan pada segi kesetiaan. Maka, jika kita tidak setia kepada Tuhan kita disamakan dengan "istri" yang tidak setia.
2. Sebagaimana halnya hubungan sebagai suami-istri dalam suatu perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak dapat dikompromikan, demikian juga hubungan kita sebagai umat Allah dengan Allah adalah suatu hubungan kesetiaan tanpa kompromi. Sebab Allah mengasihi kita dengan perasaan "cemburu" (Kel. 20:5; 34:14; Ul. 6:15).
3. Dalam kecemburuan-Nya, Allah itu "adalah api yang menghanguskan" (Ul. 4:24), tetapi kasih karunia-Nya dapat memadamkan api itu. Allah sendiri berfirman: "Aku akan memberi kasih karunia kepada siapa yang Kuberi kasih karunia dan mengasihani siapa yang Kukasihani" (Kel. 33:19). Menurut Yakobus, kasih karunia Allah adalah untuk orang yang rendah hati.
Kamis, 20 November
MENYERAH DALAM KEPASRAHAN (Penyerahan Kepada Allah)
Berserah supaya menang. Berserah kepada Tuhan dapat menghasilkan kemenangan atas Setan. Yakobus menulis, "Karena itu tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu!" (Yak. 4:7; huruf miring ditambahkan). Tentu saja sang rasul menulis kata-kata ini dalam pemikiran bahwa Setan adalah musuh terbesar manusia yang harus dikalahkan, tetapi musuh itu terlampau kuat sehingga mustahil bagi kita manusia untuk menghadapinya dengan kekuatan sendiri. Maka, satu-satunya cara untuk melawan bahkan mengalahkan Setan ialah dengan tunduk kepada Allah. Kata Grika yang diterjemahkan dengan "tunduk" dalam ayat ini adalah hypotassō, sebuah kata kerja yang berarti "menaklukkan diri dengan berserah dan pasrah di bawah seseorang atau suatu kuasa." Jadi, tunduk kepada Allah artinya berserah dengan pasrah kepada-Nya.
"Dengan demikian, kita harus tunduk kepada Allah dan kehendak-Nya demi untuk melawan Setan...Sementara itu, kita tidak boleh mengira bahwa para pembaca surat Yakobus yang mula-mula itu tidak pernah menyerahkan diri mereka kepada Allah sebelumnya. Yakobus dengan jelas menulis kepada orang-orang yang mengaku percaya. Maka, barangkali kita perlu berpikir lebih mendalam dalam hal menyerahkan diri kita kepada Allah setiap hari dan menolak si jahat kapan pun godaan-godaannya itu menyatakan diri" [alinea pertama: kalimat terakhir dan alinea terakhir].
Adam dan Hawa merupakan contoh yang buruk dalam menghadapi perlawanan terhadap Setan. Hawa, yang mendatangi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, secara sukarela telah melibatkan diri untuk berdialog dengan Setan yang menumpang di tubuh ular itu dan kalah dalam adu argumentasi (Kej. 3:1-5). Adam lebih buruk lagi, menerima buah larangan itu dari istrinya lalu memakannya tanpa argumentasi sama sekali (ay. 6). Acapkali kita juga dikalahkan oleh Setan akibat merespon godaan-godaannya seperti Hawa, bahkan seringkali kita bersikap seperti Adam yang langsung "melahap" godaan-godaan yang disodorkan itu tanpa berusaha sedikit pun untuk menghindarinya!
Mendekat kepada Allah. Dalam hal mendapatkan pertolongan Tuhan untuk melawan Setan, dua nasihat Yakobus yang saling berhubungan satu dengan lainnya ialah: "Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu...Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu" (Yak. 4:8, 10). Panggilan untuk datang dekat kepada Allah membersitkan pesan bahwa Allah senantiasa menanti kita datang kepada-Nya, dan seruan agar merendahkan diri di hadapan Tuhan menyadarkan diri kita yang terlalu tinggi hati untuk mau berserah kepada Tuhan. Agar kita mau datang dekat kepada Tuhan dan merendahkan diri dihadapan-Nya, kita harus menyadari dan meratapi kemalangan diri kita (ay. 9).
"Ajakan untuk berubah dalam ayat-ayat ini adalah puncak dari semua yang Yakobus sudah katakan sejak pasal 3 ayat 13. Dalam pasal yang telah kita pelajari pekan ini ada perbedaan-perbedaan antara hikmat surgawi dengan hikmat yang jahat, dan antara kesombongan mereka yang meninggikan diri seperti Setan lakukan (baca Yes. 14:12-14) dengan mereka yang berserah kepada Allah dan merendahkan diri mereka...Karena itu, seruan untuk berserah kepada Allah lebih dari sekadar teguran moral; itu adalah panggilan kepada orang berdosa untuk bertobat seperti yang Yesus serukan (Luk. 5:32)" [alinea ketiga: dua kalimat pertama dan kalimat terakhir].
Pena inspirasi menulis: "Sekiranya tirai disingkapkan, engkau akan melihat segenap surga memandang dengan penuh perhatian terhadap seorang yang digoda. Kalau engkau tidak menyerah kepada musuh, ada sukacita di surga. Bilamana bisikan pertama yang salah itu terdengar, panjatkanlah doa ke surga lalu dengan tegas menolak godaan untuk mengutak-atik prinsip-prinsip dalam firman Allah. Begitu godaan-godaan datang, hadapilah dengan sikap yang tegas bahwa hal itu tidak akan pernah terulang" (Ellen G. White, The Review and Herald, 9 Mei 1899).
Apa yang kita pelajari tentang mengalahkan iblis dengan cara berserah kepada Allah?
1. Berserah atau pasrah merupakan pilihan manusia, bukan paksaan. Kalau Allah saja tidak ingin memaksa manusia untuk tunduk kepada-Nya, tentu Allah juga tidak akan membiarkan Setan memaksa manusia untuk tunduk pada keinginannya. Penyerahan yang terus-menerus kepada Tuhan menghasilkan perlawanan yang terus-menerus terhadap Setan.
2. Untuk menang atas godaan Iblis pertama-tama harus ada keinginan dan tekad untuk menang di pihak kita, selanjutnya adalah menyerahkan diri kepada Tuhan dan menuntut kuasa kemenangan yang dijanjikan-Nya. Bagi umat percaya, seringkali kemenangan atas godaan-godaan Setan lebih ditentukan oleh adanya kemauan daripada usaha.
3. Kalau Tuhan hanya sejauh doa, maka kemenangan atas godaan Setan juga hanya sejauh doa. Tidak ada orang yang bertekad untuk menang, dan berdoa demi kemenangan itu, harus menyerah pada godaan Iblis. Seringkali kita dikalahkan Setan bukan akibat kelemahan kita tapi karena "pilihan" kita untuk tidak ingin menang.
Jumat, 21 November
PENUTUP
Ambisi dan beban hidup. Setiap manusia yang hidup di planet ini pasti mempunyai beban hidup pribadi masing-masing, ada beban-beban yang bersifat alamiah dan ada beban-beban yang diciptakan sendiri. Sejujurnya, kebanyakan beban hidup yang kita pikul adalah akibat dari pilihan-pilihan yang salah, selain karena berbagai konsekuensi dari ambisi-ambisi keduniawian kita.
Harapan utama dari setiap orang yang mengalami tekanan dan kepahitan hidup--akibat beban hidup yang logis maupun karena menjadi korban ketidakadilan--ialah supaya beban-beban itu disingkirkan atau setidaknya diperingan. Sementara cara yang paling masuk akal adalah berikhtiar untuk mencari jalan keluar, cara yang paling cerdas ialah datang kepada Tuhan dan memohon kelepasan. Tentu saja untuk solusi yang terakhir ini membutuhkan iman, sebab hanya orang yang percaya kepada Tuhan dapat mengharapkan keajaiban (Mat. 17:20; 21:21-22).
"Untuk memuaskan ambisi dan keinginan-keinginan duniawi, mereka melukai hati nurani dan menaruh beban penyesalan tambahan ke atas diri mereka. Kecemasan yang terus-menerus melemahkan daya hidup mereka. Tuhan kita ingin agar mereka menyisihkan beban perbudakan ini...Ia mengundang mereka supaya terlebih dulu mencari kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, dan Ia berjanji bahwa segala sesuatu keperluan mereka untuk kehidupan sekarang akan ditambahkan" [empat kalimat pertama].
"Datanglah kepada-Ku kamu semua yang lelah, dan merasakan beratnya beban; Aku akan menyegarkan kamu. Ikutlah perintah-Ku dan belajarlah daripada-Ku. Sebab Aku ini lemah lembut dan rendah hati, maka kamu akan merasa segar. Karena perintah-perintah-Ku menyenangkan, dan beban yang Kutanggungkan atasmu ringan" (Mat. 11:28-30, BIMK).
(Oleh Loddy Lintong/California, 20 November 2014)
om banyak link lagu dan partitur yang sudah tidak aktif nih.
BalasHapustolong diupload ulang.
kami dari perDio VG UNAI banyak belajar dari paritur yang om upload.
Terima kasih banyak om.
GBU