Sabat Petang, 19 Juli
PENDAHULUAN
Kematian dan keselamatan. Marcus Aurelius, filsuf sekaligus kaisar Romawi yang berkuasa tahun 161-180, dalam bukunya Meditation (Grika: Ta eis heauton), menulis: "Kematian tersenyum kepada kita semua, dan apa yang dapat dilakukan oleh semua orang hanyalah balas tersenyum." Kematian memang tidak diskriminatif, siapa saja didatanginya tanpa pandang buluh. Karena kenyataan inilah maka sebagian orang telah menerima kematian itu sebagai bagian dari kehidupan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kematian itu diperlukan dalam kehidupan manusia untuk memberi jalan bagi regenerasi dan pembaruan. Suka atau tidak, siap maupun tidak, kematian adalah peristiwa keseharian kita.
Tetapi "kematian" dalam perspektif iman Kristiani terbagi ke dalam dua pengertian, yaitu kematian sementara dan kematian abadi. Akibat dosa maka semua manusia harus mati, namun bukan mati satu kali saja tetapi ada kematian kedua bahkan ketiga bagi orang-orang yang tidak beroleh keselamatan. Orang-orang jahat yang tidak bertobat dan sudah mati sekarang ini akan dibangkitkan pada kedatangan Yesus Kristus kedua kali untuk kemudian mati lagi tertimpa cahaya kemuliaan-Nya, dan akan bangkit kembali sesudah masa seribu tahun untuk dibinasakan selamanya dalam api neraka. Orang-orang jahat yang masih hidup pada kedatangan Kristus kedua kali akan mengalami kematian dua kali, yaitu akibat tertimpa cahaya kemuliaan Kristus saat itu dan hangus dalam api neraka seribu tahun kemudian.
Orang-orang benar, yaitu orang berdosa yang sudah bertobat dan menerima keselamatan oleh kasih karunia Allah, yang sekarang ini sudah mati akan dibangkitkan pada hari kedatangan Yesus Kristus kedua kali untuk menerima tubuh yang baka. Sedangkan orang-orang benar yang masih hidup pada hari kedatangan Kristus kedua kali tidak akan pernah mengalami kematian, tetapi langsung diubahkan dan menerima tubuh yang baka lalu diangkat ke surga bersama Kristus. "Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah, dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah" (1Kor. 15:51-52).
"Alkitab begitu jelas. Kita hanya mempunyai dua pilihan sehubungan dengan dosa-dosa kita: apakah kita membayar dosa-dosa kita di lautan api, atau kita menerima pembayaran dari Kristus bagi mereka di kayu salib. Sementara kita mengulas anugerah kasih karunia Allah melalui Kristus, marilah kita sekali lagi dengan rendah hati memperbarui iman kita kepada Yesus sebagai Juruselamat pribadi kita" [alinea terakhir].
Minggu, 20 Juli
KASIH ALLAH YANG MENYELAMATKAN (Keselamatan adalah Anugerah dari Allah)
Keunggulan pemberian Allah. Kalau ada satu ayat Alkitab yang paling populer serta paling dihafal oleh orang Kristen maka ayat itu adalah Yohanes 3:16, sebuah ayat yang sering disebut sebagai intisari dari seluruh isi Kitabsuci: "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Pada ayat ini terkandung hal-hal yang bersifat superlatif ("yang paling" atau "yang ter-"): 1. Allah (kuasa terbesar); 2. kasih Allah (sifat teragung); 3. Anak Allah yang tunggal (karunia terbesar); 4. kepada setiap orang (sasaran terluas); 5. percaya kepada Yesus (keyakinan terbesar); 6. tidak binasa (kelepasan terbesar); dan 7. hidup kekal (pemberian terbesar). Tidak ada yang dapat menandingi keunggulan dari setiap hal yang disebutkan dalam ayat ini: tidak ada yang lebih besar dari Allah; tidak ada yang lebih agung dari kasih Allah; tidak ada karunia yang lebih berharga dari Anak Allah; tidak ada distribusi kasih yang lebih luas dari yang ditujukan kepada setiap manusia; tidak ada keyakinan yang lebih besar dari percaya kepada Kristus; tidak ada kelepasan yang lebih berarti dibanding luput dari kebinasaan; dan tidak ada hadiah yang lebih besar dari hidup kekal.
"Kata kerja bahasa Inggris mencintai, khususnya cara sederhana yang sering digunakan sekarang ini, sama sekali tidak memadai untuk mengungkapkan kedalaman hasrat yang dinyatakan dalam kata kerja bahasa Grika agapaō, yakni 'mengasihi.' Dalam Perjanjian Baru istilah ini dan kata kerja yang berkaitan dengan itu, agape, menyingkapkan kasih Allah yang dalam dan tetap terhadap ciptaan-Nya, yang sama sekali tidak layak akan kasih ini. Kasih merupakan ciri yang unggul dari sifat Allah. Ia bukan saja mengasihi kita, tapi Dia adalah kasih (1Yoh. 4:8)" [alinea kesatu].
Dalam PB terdapat beberapa kata Grika berbeda yang berkaitan dengan "pemberian." Misalnya dōron, kata benda yang diterjemahkan dengan hadiah sebagai ungkapan rasa hormat yang ditujukan kepada Tuhan, misalnya yang terdapat dalam Mat. 2:11; 5:23-24; Luk. 21:1, 4. Dari kata ini muncul kata bentukan dōrea yang mengandung arti pemberian cuma-cuma yang berasal dari Allah, seperti digunakan dalam Yoh. 4:10; Kis. 2:38; 8:20; 2Kor. 9:15; Ef. 4:7; Ibr. 6:4. Kata lainnya adalah charisma, yaitu kata benda yang berhubungan dengan karunia ilahi untuk menolong manusia menunaikan pekerjaan Tuhan, seperti yang digunakan dalam Rm. 1:11; 12:6; 1Kor. 12:4, 9; 1Ptr. 4:10. Tetapi pada Rm. 5:15-17 dan Rm. 6:23 yang bertutur tentang kasih karunia Allah dalam konteks hidup kekal atau keselamatan bagi manusia, kata dōrea dan charisma digunakan secara bersama-sama.
Menyambut kasih karunia Allah. Perumpamaan Yesus tentang dua orang yang berdoa di Bait Allah, yaitu orang Farisi dan pemungut cukai, merupakan sindiran tajam terhadap orang-orang yang merasa dirinya paling benar di hadapan Tuhan. Bahkan kesan tentang hal ini sudah tercetus di awal penuturan oleh Lukas yang menulis, "Yesus menceritakan juga perumpamaan ini yang ditujukan-Nya kepada orang yang memandang rendah orang lain, tetapi yakin bahwa dirinya sendiri baik" (Luk. 18:9, BIMK; huruf miring ditambahkan).
Sebenarnya, apa salahnya bersyukur kepada Tuhan sekiranya kita bisa mengamalkan suatu kehidupan yang saleh dan taat hukum seperti orang Farisi itu (ay. 11-12)? Bukankah kita harus bersyukur atas segala sesuatu (Ef. 5:20; 1Tes. 5:18), dan khususnya sebagai orang Kristen kita juga harus hidup sempurna dan kudus (Mat. 5:48; 1Ptr. 1:15)? Orang Farisi itu berkata benar tentang kehidupan rohani dirinya sendiri dan tidak mengada-ada tentang kelakuan si pemungut cukai. Masalahnya, dengan merasa dirinya sudah suci dan sempurna maka orang Farisi tersebut sudah puas dengan kehidupan kerohaniannya oleh usahanya sendiri dan dengan demikian tidak membutuhkan karunia Tuhan. Sebaliknya, pemungut cukai itu menyadari dosa-dosanya sambil memohon karunia pengampunan dari Allah, sehingga "orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak" (ay. 14).
"Ya, hal itu sama sekali tidak sepantasnya. Begitulah jalan keselamatan. Itulah karunia dari Allah. Karunia-karunia itu tidak diusahakan; itu hanya sekadar diterima. Kita tidak dapat membeli keselamatan; kita cuma menerima saja. Meskipun Yesus tidak pernah menggunakan istilah kasih karunia, Ia dengan jelas mengajarkan bahwa keselamatan adalah oleh kasih karunia, dan kasih karunia itu sedang diberikan meski anda tidak pantas menerimanya" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang keselamatan sebagai karunia dari Allah?
1. Keselamatan abadi adalah karunia Allah terbesar yang pernah diberikan kepada manusia, bahkan karunia itu menjadi lebih besar lagi oleh karena hal itu diberikan secara cuma-cuma kepada manusia yang sebenarnya tidak layak menerimanya. Keselamatan abadi jauh lebih berharga daripada keselamatan dalam kehidupan sementara di dunia ini.
2. Karunia keselamatan adalah efek dari tabiat Allah yang maha kasih, bukan upah dari amal ibadah kita. Karena itu, sementara kita harus terus berusaha untuk menyempurnakan hidup kita selaras dengan kehendak Allah, jangan sekali-kali kita melecehkan atau menganggap enteng orang lain yang kita anggap kurang dari kita.
3. Keselamatan merupakan pemberian Allah yang ajaib, bukan saja karena keselamatan itu diberikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang percaya tetapi karena itu dianugerahkan kepada orang berdosa yang sebenarnya tidak pantas untuk menerimanya. Iman sajalah yang membuat kita layak memperoleh keselamatan abadi yang tak ternilai itu.
Senin, 21 Juli
MENYELAMATKAN MANUSIA YANG MEMBERONTAK (Keselamatan: Prakarsa Allah)
Diutus oleh Bapa. Alkitab mengajarkan kepada kita melalui tulisan rasul Paulus: "Allah mengasihi kalian, itu sebabnya Ia menyelamatkan kalian karena kalian percaya kepada Yesus. Keselamatan kalian itu bukanlah hasil usahamu sendiri. Itu adalah anugerah Allah. Jadi, tidak ada seorang pun yang dapat menyombongkan dirinya mengenai hal itu" (Ef. 2:8-9, BIMK). Kalimat pertama dari ayat ini merupakan konfirmasi atas apa yang ditulis oleh rasul Yohanes seperti yang kita pelajari kemarin (Yoh. 3:16). Namun pada kalimat berikutnya Paulus lebih menandaskan lagi tentang keselamatan sebagai "anugerah Allah" dan sama sekali kita manusia tidak mempunyai kredit apapun dalam hal ini. Keselamatan adalah murni pemberian Allah secara gratis.
Oleh karena keselamatan itu memang dirancang sebagai suatu pemberian yang semata-mata berasal dari Allah, tanpa partisipasi dalam bentuk apapun dari manusia, maka tentu saja keselamatan merupakan hasil dari prakarsa Allah sendiri. Keselamatan itu sudah dicanangkan-Nya di Taman Eden tak lama setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, ketika Allah berfirman, "Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya" (Kej. 3:15). Berdasarkan pengumuman ini, yang di kalangan Kristen disebut sebagai "Injil Pertama" (proto evangelium), maka pada waktu yang telah ditentukan Allah telah "mengutus Yesus, yang dari semula diuntukkan bagimu sebagai Kristus...supaya Ia memberkati kamu dengan memimpin kamu masing-masing kembali dari segala kejahatanmu" (Kis. 3:20, 26).
"Yesus tidak datang ke dunia ini karena kita mengundang-Nya, tetapi oleh sebab Bapa, karena kasih kepada kita, sudah mengutus Dia. Prakarsa Bapa itu ditegaskan oleh kalimat yang sering digunakan Kristus 'Dia yang mengutus Aku' dan 'Bapa yang mengutus aku' (Baca Yoh. 7:28; 8:29; 12;49)...Bukan hanya Bapa yang terlibat, tapi Anak juga memiliki peran sangat aktif dalam keselamatan kita. Ia sudah datang dengan suatu missi yang pasti" [alinea pertama: dua kalimat terakhir; alinea ketiga: dua kalimat pertama].
Tindakan Allah yang aktif. Seperti pada pelajaran Sabat pertama triwulan ini yang telah kita pelajari beberapa pekan lalu, bahwa tiga perumpamaan Yesus yang tercatat dalam Lukas pasal 15 melambangkan tiga jenis manusia yang bertobat kepada Tuhan. "Mereka yang digambarkan sebagai 'domba yang hilang' (ay. 4-7) adalah orang-orang berdosa yang menyadari dirinya tersesat tapi tidak dapat pulang sendiri karena belenggu dosa yang menjerat; mereka yang digambarkan sebagai 'dirham yang hilang' (ay. 8-10) adalah orang-orang berdosa yang tidak menyadari keadaan mereka; sedangkan mereka yang digambarkan sebagai 'anak bungsu yang hilang' (ay. 11-24) adalah orang-orang berdosa yang sadar serta menyesal akan keadaan mereka dan memutuskan untuk pulang." (Lihat ulasan saya untuk Pelajaran hari Selasa, 1 Juli; "MENGENAL TABIAT BAPA--Kasih Bapa Surgawi Kita").
Adalah sesuatu yang tidak lazim pada zaman dulu bagi seorang ayah yang masih hidup untuk memberi warisan seperti yang diminta oleh anaknya yang bungsu, maka perumpamaan Yesus ini menegaskan tentang kebaikan Bapa itu di satu pihak dan sikap keras kepala manusia di pihak lain. Menuntut hak warisan dari ayah yang masih hidup adalah suatu tindakan memberontak terhadap orangtua, tapi dalam hal ini Allah digambarkan sebagai Bapa surgawi yang baik dan "mengizinkan" manusia menggunakan hak kebebasan memilih mereka sekalipun itu berarti membiarkan pemberontakan dengan segala akibatnya. Seperti ayah yang baik hati itu, Allah pun tahu bahwa pilihan manusia akan mencelakakan diri mereka sendiri dan juga membuat-Nya bersedih. Bahkan, Allah juga sudah tahu bahwa membiarkan manusia memberontak itu bakal menuntut harga penebusan yang sangat mahal sekiranya Ia mau menyelamatkan mereka dari kebinasaan. Namun, Allah tetap melakukannya!
"Perumpamaan-perumpamaan kembaran ini menunjukkan bahwa Allah tidak menunggu secara pasif agar kita datang kepada-Nya, tetapi secara aktif mencari kita. Kita memiliki Allah yang berusaha mencari. Tidak menjadi soal bahwa kita tersesat jauh di tempat yang berbahaya atau bahkan hilang di rumah; Tuhan akan mencari kita tanpa kenal lelah sampai Ia menemukan kita" [alinea keempat].
Apa yang kita pelajari tentang keselamatan manusia sebagai inisiatif Allah?
1. Kedatangan Yesus Kristus ke dunia ini yang pertama kali, yaitu Anak Allah dalam sosok manusia, adalah untuk melakukan tindakan penyelamatan manusia. Kristus adalah ujud dari kegenapan janji Allah kepada nenek moyang pertama manusia di Taman Eden, dan Ia datang sebagai "utusan" Bapa surgawi.
2. Allah kita bukan saja Allah yang maha pengasih tapi juga sangat konsekuen. Ia tahu ketidakmampuan manusia untuk menyelamatkan diri sendiri dari akibat dosa, dan kasih-Nya mendorong Dia untuk bertindak mengambil inisiatif demi keselamatan manusia. Allah bukan saja memanggil kita pulang, tapi juga menjemput kita pulang kepada-Nya.
3. Manusia berdosa bahkan tidak menyadari keadaan mereka yang akan binasa kalau bukan karena tindakan Allah yang didorong oleh kasih. "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita" (1Yoh. 4:10).
Selasa, 22 Juli
MATI GANTI KITA (Kematian yang Diwajibkan)
Anak Domba Allah. Istilah "anak domba" (Grika: amnos) digunakan sebanyak empat kali dalam empat ayat di PB, seluruhnya dikaitkan dengan Allah (Grika: theos) dan merujuk kepada Yesus Kristus sebagai Mesias. Adalah Yohanes Pembaptis yang pertama kali menggunakan istilah "Anak Domba Allah" yang ditujukannya kepada Kristus (Yoh. 1:29, 39). Bagi masyarakat Yahudi yang hingga zaman Yesus Kristus tetap menyelenggarakan ritual kurban bakaran di kaabah sebagai lambang penghapusan dosa berdasarkan hukum Musa, anak domba (Ibrani: seh) adalah hewan kurban sehari-hari dan karena itu mereka sangat paham tentang artinya. Namun mereka tidak mengerti bahwa anak domba yang melambangkan kurban penebusan dosa itu sudah datang dan hidup di antara mereka dalam sosok Yesus Kristus sebagai Anak Domba Allah.
Ketika menteri keuangan Etiopia berkunjung ke Yerusalem dia telah membeli sebuah salinan kitab Yesaya yang dibacanya sepanjang perjalanan pulang meskipun dia tidak mengerti apa yang dibacanya, sampai Roh Tuhan membawa Filipus kepadanya untuk memberi penjelasan (Kis. 8:27-31). Pada saat itu pembantu terdekat Kandake--sebutan untuk ratu negeri Etiopia, mungkin dalam hal ini Amanikhatashan yang berkuasa tahun 62-85 TM--tersebut sedang membaca bagian yang berbunyi: "Seperti seekor domba Ia dibawa ke pembantaian; dan seperti anak domba yang kelu di depan orang yang menggunting bulunya, demikianlah Ia tidak membuka mulut-Nya" (ay. 32; bandingkan dengan Yes. 53:7).
"Oleh karena itu, dengan memperkenalkan Yesus sebagai 'Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia' (Yoh. 1:29), Yohanes Pembaptis sedang mengungkapkan sifat pengganti dari kematian penebusan Kristus...Selama pelayanan-Nya, Yesus berulang kali mengumumkan kematian-Nya meskipun bagi murid-murid itu sulit untuk mengerti mengapa Ia harus mati (Mat. 16:22). Secara bertahap Yesus menjelaskan tujuan agung dari kematian-Nya" [alinea pertama: kalimat terakhir; alinea kedua].
Gembala yang baik. Kalau Yohanes Pembaptis menyebut Yesus Kristus sebagai Anak Domba Allah, Yesus sendiri sering menyebut diri-Nya sebagai Gembala. "Akulah Gembala yang baik," kata-Nya. "Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya" (Yoh. 10:11). Penyebutan yang berbeda bahkan berlawanan ini bukan berarti suatu kontroversi, melainkan menunjukkan perbedaan perspektif (=sudut pandang). Yohanes Pembaptis melihat Yesus Kristus dari sudut missi penebusan, sedangkan Yesus memandang dari sudut maksud penebusan. Kristus sudah datang ke dunia ini untuk menjalankan missi mati sebagai Penebus, dan melalui kematian-Nya itu maksud dari penebusan demi menyediakan jalan keselamatan bagi manusia dapat tercapai.
Untuk menjalankan missi-Nya maka Yesus harus menjadi Anak Domba sebagai kurban penebusan; untuk menyelamatkan manusia Yesus rela menjadi Gembala yang Baik dengan menyerahkan nyawa-Nya. Kesediaan menyerahkan diri-Nya menjadi sebagai Anak Domba Allah berkorelasi dengan kerelaan untuk menjadikan diri-Nya sebagai Gembala yang Baik. Kematian pengganti yang dijalani Yesus itu adalah tuntutan hukum sebab "upah dosa adalah maut" (Rm. 6:23), dan kesediaan-Nya "untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mat. 20:28) membuktikan bahwa Yesus pantas menyebut diri-Nya sebagai Gembala yang Baik, yaitu gembala yang mengenal dan dikenal oleh "domba-domba" untuk siapa Dia sudah mati (Yoh. 10:14).
"Penting untuk diperhatikan bahwa Yesus mati secara sukarela. Seperti Bapa sudah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, demikianlah Anak itu telah memberikan nyawa-Nya sendiri untuk menebus umat manusia. Tidak ada yang memaksa Dia untuk melakukannya. 'Tidak ada seorang pun mengambilnya (nyawa-Ku) dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri,' Yesus menyatakan (Yoh. 10:18)...Bahkan Kayafas, yang secara terbuka menolak Yesus dan memimpin komplotan untuk membunuh Dia, tanpa sadar mengakui kematian pengganti Yesus (Yoh. 11:49-51)" [dua alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang kematian Yesus Kristus?
1. Kematian Yesus Kristus sebagai Anak Domba Allah adalah bukti kepatuhan-Nya terhadap kehendak Allah dan tuntutan hukum Allah; kerelaan-Nya untuk menyerahkan nyawa-Nya adalah bukti kelayakan-Nya sebagai Gembala yang Baik. Pada kematian penebusan Kristus bertumpu seluruh pembuktian tentang kasih Allah kepada manusia.
2. Kematian Yesus Kristus adalah konsekuensi dari sebuah pilihan dan kesepakatan, ketika Allah Bapa memilih untuk menyelamatkan manusia yang berdosa dan Allah Anak sepakat untuk melaksanakannya. Banyak pelajar Alkitab percaya bahwa ketetapan itu telah dibuat di surga sebelum Allah menjenguk Adam dan Hawa di Taman Eden sesudah mereka berdosa.
3. Pergumulan sangat luar biasa yang dialami Yesus Kristus di Taman Getsemane sebelum penyaliban-Nya menandakan bahwa meskipun kematian penebusan itu sudah ditetapkan oleh Bapa, keterlaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada Yesus yang akan menjalaninya (Mrk. 14:36). Yesus harus meminum isi "cawan" yang semestinya untuk kita.
Rabu, 23 Juli
KRISTUS SEBAGAI PEMBEBAS (Bebas dari Dosa)
Hamba dosa. Dalam Perjanjian Baru, kata Grika (bahasa asli PB) yang digunakan untuk "hamba" adalah doulos, yang secara harfiah berarti "orang yang melayani." Kata ini sekarang menjadi populer dengan adanya sebuah profesi khusus kaum hawa yang disebut "doula" (diartikan sebagai "seorang wanita yang melayani"), yaitu perempuan dewasa yang sudah dilatih dengan ketrampilan khusus untuk menyediakan bantuan fisik dan emosional maupun informasi-informasi kepada ibu-ibu muda yang sedang hamil tua, khususnya pada kehamilan pertama, agar siap menjalani persalinan dengan lancar dan nyaman. Jadi, pada prinsipnya kata yang diambil dari bahasa Yunani ini berkaitan dengan pelayanan atau melayani. Kata lainnya yang berkaitan dengan itu adalah pais, yang secara harfiah berarti "budak" dan dalam PB digunakan untuk anak kecil (misalnya: Mat. 17:18; Luk. 9:42) maupun pelayan atau hamba (Mat. 10:24; Mrk. 13:4).
Kepada orang Kristen di kota Roma rasul Paulus menulis, "Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran...Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal" (Rm. 6:20, 22). Di sini kata asli yang digunakan untuk hamba adalah doulos, jadi "hamba dosa" artinya "seorang yang melayani dosa" atau orang yang tertawan oleh dosa dan tunduk kepada kemauan dari dosa itu. Sesuai dengan nubuatan nabi Yesaya, Kristus telah datang ke dunia ini "untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan...untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang" (Luk. 4:19).
"Tanpa Kristus, kita adalah hamba dosa, hamba terhadap dorongan-dorongan jahat dari sifat alamiah manusia yang telah jatuh. Kita hidup dalam cara yang mementingkan diri, menyenangkan diri kita sendiri gantinya hidup bagi kemuliaan Allah. Akibat yang tak terelakkan dari perhambaan rohani ini adalah kematian, karena upah dosa ialah maut" [alinea pertama].
Merdeka dari dosa. Berbicara kepada orang Yahudi di halaman Bait Allah, Yesus berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa. Dan hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah. Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka" (Yoh. 8:34-36; huruf miring ditambahkan). Kata Grika yang diterjemahkan dengan "benar-benar" di sini adalah ontōs, satu-satunya di seluruh injil Yohanes, sebuah kata keterangan yang juga berarti sesungguhnya atau faktanya sebagai lawan kata dari pura-pura atau palsu. Jadi, kemerdekaan dari dosa yang Kristus sediakan adalah kebebasan sejati dari pengaruh dosa.
"Para pendengar Yesus percaya pada faktor keturunan mereka dari Abraham sebagai pengharapan mereka bagi kemerdekaan. Kita pun menghadapi risiko yang sama. Musuh itu ingin agar kita mengandalkan pada apa saja--contohnya: pengetahuan doktrin kita, kesalehan diri kita, atau catatan pelayanan kita bagi Allah--apa saja selain Kristus untuk kesalamatan kita. Tetapi tak satupun dari semua ini, betapapun itu kelihatan penting, memiliki kuasa untuk membebaskan kita dari dosa dan hukumannya. Satu-satunya Pembebas sejati adalah Anak itu yang tidak pernah diperbudak oleh dosa" [alinea ketiga: lima kalimat terakhir].
Seseorang yang dosa-dosanya diampuni adalah orang yang sangat berbahagia, terutama jika dia menyadari bahwa kepahitan hidupnya berkaitan langsung dengan dosa-dosanya di masa lampau. Dalam keyakinan seperti itulah maka seorang wanita tak dikenal yang tampaknya sudah lama ingin bertemu dengan Yesus itu telah datang sambil membawa satu buli-buli pualam berisi minyak wangi untuk mengurapi Yesus yang sedang berada di rumah Simon orang Farisi itu (Luk. 7:36-38). Yesus yang membaca pikiran Simon lalu menegur dan menyadarkan dia tentang arti pengampunan dosa, dengan berkata: "Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih" (ay. 47). Kemudian Yesus berpaling kepada perempuan itu, "Dosamu telah diampuni" (ay. 48).
Apa yang kita pelajari tentang dibebaskan dari dosa?
1. Menjadi "hamba dosa" adalah situasi di mana kita telah kehilangan kemampuan untuk mengamalkan kehidupan yang selaras dengan kehendak Tuhan, sebuah situasi di mana manusia tertawan oleh dosa dan di dalam dosa. Seperti Paulus kita pun akan berkata, "bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat" (Rm. 7:15).
2. Kedatangan Anak Allah yang pertama bukan saja untuk menyediakan jalan keselamatan bagi manusia, tetapi terutama untuk membebaskan kita dari belenggu dosa yang tak mampu dilawan oleh kekuatan kita. Kematian adalah akibat yang sah dari dosa; keselamatan adalah konsekuensi logis dari pengampunan dosa.
3. Dibebaskan dari dosa lebih luas dan dalam dari sekadar diampuni dari dosa, namun dibebaskan dari dosa selalu diawali dengan pengampunan dari dosa. Keadaan "diampuni dari dosa" membersihkan masa lalu seseorang, sedangkan "dibebaskan dari dosa" menyanggupkan dia mengalahkan dosa di masa depan.
Kamis, 24 Juli
BERKAT PENGAMPUNAN DOSA (Kristus Memberikan Hidup Kekal kepada Kita)
Janji hidup kekal. Bagi orang-orang yang hidup dalam perjuangan untuk bisa bertahan hidup, khususnya mereka yang terus-menerus bergumul dengan masalah ekonomi dan penyakit, mungkin janji hidup kekal tidak terlalu menarik kedengarannya ketimbang bagi mereka yang hidup bergelimang kekayaan dan sehat tanpa penyakit. Logikanya, hidup senang membuat seseorang lebih menghargai kehidupan dan menimbulkan keinginan untuk umur panjang, tetapi hidup susah cenderung mematikan hasrat terhadap kehidupan dan untuk hidup lama. Bagaimana supaya janji hidup kekal ini bisa menjadi tawaran yang menarik bagi semua orang, dan dengan demikian memicu keinginan mereka untuk percaya kepada Yesus Kristus, "supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal" (Yoh. 3:15)?
Secara aktual hidup kekal memang baru bisa dinikmati setelah kedatangan Yesus Kristus kedua kali ketika orang saleh diubahkan kepada kesempurnaan dan tubuh mereka mengenakan keadaan yang tidak akan binasa (1Kor. 15:52), tetapi secara faktual hidup kekal itu sudah dimiliki oleh setiap orang sejak mereka berada di bawah kasih karunia dan tidak dikuasai lagi oleh dosa selagi hidup di dunia sekarang ini (Rm. 6:14-15). Jadi, hidup kekal yang Yesus tawarkan bukan janji yang baru akan dipenuhi nanti tetapi itu adalah janji yang sudah bisa dinikmati sekarang juga.
"Bilamana Yesus menjadi Juruselamat kita, hidup kita memperoleh suatu makna yang sepenuhnya baru dan kita dapat menikmati kehidupan yang lebih kaya dan lebih lengkap. 'Aku datang,' Yesus berkata, 'supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan' (Yoh. 10:10). Gantinya kesenangan dunia yang fana, yang memenuhi kita tanpa benar-benar memuaskan kita, Ia menawarkan kepada kita suatu kehidupan yang diamalkan dalam cara yang sama sekali berbeda, penuh dengan kepuasan yang tiada habis-habisnya di dalam Dia. Hidup baru yang berkelimpahan ini mencakup seluruh keberadaan kita" [alinea ketiga: empat kalimat pertama].
Roti hidup. Yesus berkata, "Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi...Inilah roti yang turun dari surga: Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati. Akulah roti hidup yang telah turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia" (Yoh. 6:35, 50-51). Yesus mengucapkan kata-kata ini kepada orang banyak yang kemarin baru dikenyangkan oleh memakan roti jelai dan ikan dengan cara yang sangat ajaib sehingga mereka berniat hendak menobatkan-Nya sebagai raja (ay. 15).
Roti adalah makanan pokok masyarakat pada zaman itu, dan dengan menyebut diri-Nya sebagai "roti hidup" Yesus sedang meyakinkan orang banyak itu bahwa mereka sangat memerlukan Dia setiap hari. Roti yang mereka makan sehari sebelumnya itu hanya bisa memuaskan rasa lapar secara fisik yang bersifat sementara, tetapi roti hidup yang Yesus tawarkan kepada mereka akan memuaskan kebutuhan rohani yang berujung pada hidup kekal. Tawaran itu adalah pilihan yang dihadapkan kepada manusia, bukan paksaan. "Semua orang yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku. Aku tidak akan menolak siapa pun yang datang kepada-Ku," Yesus menjamin. Namun Ia juga menegaskan, "Tak seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa yang mengutus Aku tidak membawa dia kepada-Ku; dan siapa yang datang, akan Kubangkitkan pada Hari Kiamat" (ay. 37, 44, BIMK).
Pena inspirasi menulis: "Allah mengasihi mereka yang ditebus melalui Kristus, bahkan seperti Ia mengasihi Putra-Nya. Betapa sebuah pemikiran yang luar biasa! Dapatkah Allah mengasihi orang berdosa sebagaimana Ia mengasihi Putra-Nya sendiri? Ya; Kristus sudah mengatakannya, dan Ia mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Ia akan menghargai semua tuntutan kita kalau kita mau menggenggam janji-Nya oleh iman yang hidup dan menaruh percaya kita pada-Nya. Pandanglah kepada-Nya, dan hidup...Kebenaran yang ajaib, terlalu sukar bagi manusia untuk memahaminya!" (Ellen G. White, Selected Messages, Bk. I, hlm. 300).
Apa yang kita pelajari tentang janji hidup kekal yang akan diberikan oleh Kristus?
1. Hidup kekal yang Yesus tawarkan kepada anda dan saya tidak ada kaitannya dan tak sebanding dengan kehidupan sementara yang kita jalani sekarang ini. "Sebab aku yakin," kata Paulus, "bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita" (Rm. 8:18).
2. Secara jasmaniah hidup kekal yang dijanjikan Kristus itu akan dialami oleh semua orang saleh yang setia pada hari kedatangan-Nya yang kedua kali nanti, tetapi secara rohaniah setiap orang percaya yang menerima Dia sekarang sudah dapat menikmatinya. Kehidupan rohani yang kita amalkan sekarang akan bermuara kepada kehidupan jasmani yang akan datang.
3. Kristus adalah "roti hidup" yang akan mengenyangkan kebutuhan rohani apabila kita "memakan" roti hidup itu seperti memakan roti sehari-hari.
Seperti kata Yesus, "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah" (Mat. 4:4; bandingkan dengan Ul. 8:3).
Jumat, 25 Juli
PENUTUP
Salib Kristus dan keangkuhan manusia. Tidak seperti Lusifer yang "hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi" (Yes. 14:14), Kristus sebaliknya telah "mengambil rupa seorang hamba, dan dalam keadaan sebagai manusia Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib" (Flp. 2:7-8). Akibat dosa maka kita manusia mewarisi sifat kesombongan Lusifer, tetapi berkat pengaruh dari salib maka kita bisa mengembangkan tabiat Yesus Kristus yang rendah hati.
"Rencana keselamatan diagungkan di hadapan kita, dan pemikiran tentang Golgota menggugah perasaan-perasaan yang hidup dan suci di hati kita. Puji-pujian kepada Allah dan Anak Domba akan terdapat dalam hati kita dan bibir kita; karena kesombongan dan pemujaan diri sendiri tidak dapat tumbuh subur dalam jiwa yang senantiasa mengenang peristiwa Golgota" [alinea kesatu: dua kalimat terakhir].
Barangkali, dosa utama yang paling sulit ditaklukkan oleh manusia adalah kesombongan. Sejak kecil kepada kita sudah diajarkan dan ditanamkan rasa percaya diri yang memang diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan hidup, tetapi di mata awam antara rasa percaya diri dan kesombongan batasnya sangat tipis bahkan seringkali saling bertumpang-tindih. Sementara untuk menjadi pengikut Kristus sejati kepada kita dituntut untuk rendah hati yang memang dibutuhkan dalam kehidupan rohani, padahal dalam pemandangan awam antara rendah hati dan rendah diri pun batasnya tipis sekali bahkan nyaris sulit dibedakan. Tetapi kunci kemenangan atas keangkuhan adalah pada salib Kristus yang sanggup menyerap dan meniadakan kesombongan manusia.
"Semakin kita merenungkan salib Kristus, kian sempurna kita akan meniru gaya bahasa sang rasul ketika dia mengatakan, 'tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.' Gal. 6:14" [alinea kedua: kalimat terakhir].
"Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku'" (Mat. 16:24).
(Oleh Loddy Lintong/California, 23 Juli 2014)