Sabat Petang, 3 Januari
PENDAHULUAN
Mendengar hikmat. Telinga adalah sepasang organ pendengaran yang termasuk bagian dari pancaindra. Secara anatomis, telinga terbagi ke dalam tiga bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga luar yang terdiri atas daun telinga, lubang telinga (saluran auditori) dan selaput gendang atau sering disebut "tambur telinga" (membran timpani), berfungsi untuk menangkap getaran-getaran suara atau bunyi. Telinga tengah yang berupa rongga di mana terdapat tulang pendengaran (osikula) yang terdiri atas tiga susunan tulang yang menyatu (tulang maleus, inkus, dan stapes), berfungsi untuk meneruskan getaran-getaran suara itu ke telinga bagian dalam melalui jendela oval dan bundar. Telinga dalam yang merupakan bagian paling rumit di mana terdapat "rumah siput" (koklea) ini memiliki labirin tulang dan labirin membran dengan saraf-saraf halus sebagai reseptor, berfungsi untuk mengirim impuls ke bagian otak yang akan mengolah suara-suara itu. Telinga manusia dapat menangkap getaran suara pada rentang frekuensi antara 20-20.000 Hertz ("Hertz" atau disingkat "Hz" adalah satuan penghitung getaran suara per detik, disebut menurut nama fisikawan Heinrich Rudolf Hertz dari Jerman karena kontribusinya di bidang elektromagnetik).
Telinga bukan saja sangat penting bagi manusia tapi juga dapat memengaruhi kehidupan kita. Gangguan pendengaran--baik secara parsial maupun total, pada salah satu telinga ataupun keduanya--dapat menjadi salah satu penghalang dalam pergaulan sosial dan dapat menimbulkan perasaan rendah diri. Dalam pergaulan sehari-hari hambatan komunikasi akibat gangguan pendengaran bisa menyebabkan masalah mulai dari yang paling sederhana seperti seringnya meminta lawan bicara untuk mengulangi kata-katanya, sampai kepada persoalan lebih serius seperti percekcokan gara-gara salah dengar. Tetapi masalah paling berat bagi penderita gangguan pendengaran ialah merintangi dia menangkap dengan sempurna suatu pernyataan atau pun penjelasan sehingga menghalanginya untuk membuat kesimpulan secara tepat. Dalam proses belajar-mengajar di sekolah gangguan pendengaran bisa berdampak negatif pada prestasi belajar siswa.
Pada zaman Salomo, pendidikan moral dan pengetahuan pada umumnya diajarkan secara lisan dari orangtua ataupun guru sebagai penutur kepada anak-anak atau murid sebagai pendengar, sehingga gangguan pendengaran dapat berarti gangguan belajar yang serius. Namun, adakalanya proses pengajaran itu terhambat bukan semata-mata akibat masalah pendengaran tetapi karena sikap keras kepala dan perilaku tidak mau diajar. Dalam kondisi ini seringkali pengajaran hanya bisa berhasil kalau disertai pemaksaan bersifat fisik, yang pada zaman dulu ialah dengan mencambuk punggung supaya mau mendengarkan.
"Tidaklah cukup hanya tahu tentang benar dan salah; kita perlu tahu bagaimana memilih yang benar dan bukan yang salah. Pelatihan hikmat terdiri atas mendengarkan pengajaran yang tepat dan mengikuti serta menuruti apa yang kita telah pelajari sehingga kita tidak berakhir dengan berjalan pada arah yang salah" [alinea terakhir].
Minggu, 4 Januari
MENDENGAR DENGAN OTAK ("Dengarkanlah!")
Dengarkan dan perhatikan. Amsal pasal 4 diawali dengan imbauan Salomo kepada generasi muda, "Dengarkanlah, hai anak-anak, didikan seorang ayah, dan perhatikanlahsupaya engkau beroleh pengertian" (ay. 1; huruf miring ditambahkan). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan "dengarkanlah" dalam ayat ini adalah shama` (dilafalkan: syɘ-mæh), dan sebagai kata kerja terkadang digunakan dalam bentuk lampau (Kej. 3:8, 10), yang artinya "mendengar dengan pengertian" (Strong, H8085); sedangkan kata "perhatikanlah" adalah qashab (dilafalkan: kä-syæv), sebuah kata kerja yang berarti "memperhatikan dengan pengertian" (Strong, H7181). Di PL, dua kata dalam bentuk perintah ini sering digunakan secara bersama-sama pada satu ayat (misalnya dalam 1Sam. 15:22; Ay. 13:6; 33:31; Mzm. 61:2; Yes. 28:23, dan lain-lain).
Tentu saja di dalam mendengarkan dan memperhatikan dengan pengertian itu kita melibatkan pikiran. Ketika mendengarkan pengajaran orangtua maka seorang anak harus mendengarkannya bukan saja dengan telinga terbuka tapi juga dengan pikiran yang terbuka, serta memperhatikan pengajaran itu dengan kondisi pikiran yang aktif bekerja. Jadi, pengajaran-pengajaran itu tidak boleh hanya masuk dari kuping kiri dan keluar dari kuping kanan, melainkan mendengarkannya dengan penuh perhatian dan pengertian. Demikian juga, pengajaran-pengajaran itu harus diperhatikan dengan serius supaya dapat mencamkannya dalam hati.
"Tindakan 'mendengar' menandai langkah pertama dalam pendidikan. Dalam pemikiran orang Ibrani, kedudukan hikmat atau kecerdasan itu bukan terletak di otak, tetapi di telinga. Ini menyiratkan bahwa sebelum kita berusaha merumuskan atau memecahkan sebuah persoalan, terlebih dulu kita harus mendengarkannya. Ini berarti kita perlu mendengar dengan saksama. Ketika Salomo meminta hikmat, secara khusus dia meminta 'hati yang mendengar' (1Raj. 3:9, terjemahan harfiah)" [alinea pertama]. (Sebagaimana dapat anda periksa pada Alkitab anda, dalam ayat ini frasa aslinya berbunyi "hati yang faham" di mana kata "faham" merupakan terjemahan dari kata Ibrani shama`).
Hikmat dari luar diri kita. Pekan lalu kita sudah pelajari bahwa hikmat ilahi yang berasal dari Tuhan itu berbeda dari "hikmat duniawi" yang bertumpu pada kecerdasan dan pengetahuan. Selain itu, perbedaan yang lebih penting lagi ialah bahwa sementara hikmat duniawi merupakan hasil dari kemampuan berpikir seseorang, hikmat ilahi tidak diperoleh berdasarkan kecakapan manusia melainkan sebagai pemberian dari Tuhan. Hikmat sejati bukan hasil dari pemikiran kita, itu adalah karunia surgawi yang dapat kita peroleh dengan memintanya dari Tuhan.
Seperti telah dibahas sebelumnya, kecerdasan berpikir dan kecerdasan emosi ditambah dengan pengalaman dapat membuat seseorang menjadi arif-bijaksana dalam bertindak atau untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang pelik. Pengetahuan dan kepintaran adalah sumberdaya yang penting bagi kehidupan sepanjang menyangkut hidup sementara di atas dunia ini, dan dalam banyak hal itu berguna untuk diri kita sendiri maupun masyarakat. Tetapi hikmat duniawi seperti itu tidak dapat kita banggakan di hadapan Tuhan, sebab "bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan?" (1Kor. 1:20). Itu sebabnya kita harus mencari hikmat ilahi "seumpama harta yang terpendam" (Mat. 13:44), dan ada jaminan bahwa kita akan mendapatkannya, sebab Allah sendiri berkata "apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku" (Yer. 29:13).
"Kita tidak dapat menemukan hikmat oleh diri kita sendiri. Pribadi yang berusaha sendiri adalah sebuah konsep yang mustahil dalam bidang hikmat alikitabiah. Hikmat pada dasarnya adalah sesuatu yang kita terima, bukan sesuatu yang kita bentuk dengan kecakapan kita sendiri atau yang kita gali melalui kecemerlangan berpikir dan penalaran kita sendiri" [alinea kedua: kalimat kedua hingga keempat].
Apa yang kita pelajari tentang nasihat untuk mendengarkan dan menemukan hikmat dari Tuhan?
1. Indra pendengaran mencakup telinga dan bagian-bagiannya yang terhubung ke otak auditori pada korteks serebral. Telinga adalah bagian yang berfungsi sebagai sarana untuk "menangkap suara" kemudian mengirimnya dalam bentuk impuls saraf ke otak yang akan "menerjemahkan suara" itu. Jadi, telinga hanya alat pendengar tapi otak yang mengartikannya.
2. Banyak manusia di dunia ini yang hanya mendengar dengan telinga saja tetapi tidak pakai otak. Akibatnya, mereka mudah terpengaruh dan percaya kepada ajaran-ajaran maupun info-info yang mereka dengar tanpa mengolahnya lagi dalam pikiran. Orang yang berhikmat ialah mereka yang "mendengar dengan otak" dan "memperhatikan dengan pikiran."
3. Hikmat Allah hanya bersumber dari Tuhan, bukan dari pikiran dan hati manusia. Karena itu kita disarankan untuk meminta dari pada-Nya, "satu-satunya Allah yang penuh hikmat" (Rm.16:27). Hikmat manusia bisa saja terdengar mempesona, tetapi "hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia...telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita" (1Kor. 2:7).
Senin, 5 Januari
MEWASPADAI BAHAYA PERZINAAN ("Lindungi Keluargamu")
Ancaman terhadap keluarga. Kitabsuci menempatkan perzinaan sebagai salah satu dosa paling keji seperti halnya pembunuhan. Dalam PL, hukuman atas perzinaan--yaitu hubungan seks antara seorang pria beristri dengan seorang wanita bersuami--adalah nyawa si pelaku. Dalam Amsal pasal 5, Salomo secara khusus menyorot hubungan seks antara orang muda dengan seorang "perempuan jalang" yang rayuan bibirnya semanis madu tetapi akibatnya "pahit seperti empedu" (ay. 3-4). Tampaknya keberadaan "PSK" (pekerja seks komersial) sudah dikenal masyarakat pada masa itu dan konsumennya terutama para pemuda yang masih hijau, suatu keadaan yang cukup mengagetkan karena terjadi di tengah bangsa Israel yang sangat religius. "Jauhilah wanita yang demikian! Bahkan jangan mendekati rumahnya. Kalau engkau bergaul dengan wanita itu, engkau akan kehilangan kehormatanmu dan nyawamu akan direnggut di masa mudamu oleh orang yang tidak kenal belas kasihan," Salomo berwanti-wanti (ay. 8-9, BIMK).
Meskipun secara eksplisit nasihat tersebut ditujukan kepada generasi muda yang belum berpengalaman dan pengajarannya di sini berkaitan dengan hikmat yang harus dipelajari oleh orang-orang muda, penyusun pelajaran SS ini membawa kita kepada pokok persoalan yang lebih luas: perzinaan. Di zaman yang begitu mengagungkan kebebasan dalam segala hal, dengan hak-hak pribadi yang semakin diakui, hubungan seks di luar ikatan pernikahan telah menjadi bagian dari pergaulan antar manusia pada skala yang lebih besar dan rentang usia yang kian lebar. Sekarang ini bukan rahasia lagi bahwa anak-anak remaja semakin banyak yang melakukan hubungan seks pra-nikah, dan kian banyak orang-orang tua yang termasuk golongan kakek atau nenek terlibat perselingkuhan sampai mengorbankan keluarganya.
"Begitu kita berketetapan untuk berjalan di jalan hikmat, kita masih harus sangat berhati-hati karena kita akan menemukan rintangan-rintangan di sepanjang jalan (baca 1Ptr. 5:8). Salah satu bahaya terbesar yang kita hadapi berkaitan dengan keluarga kita, yakni bidang kehidupan yang paling berharga dan paling intim, tetapi paling peka" [alinea pertama].
Hikmat lawan godaan. Kita tidak tahu persis bagaimana para PSK zaman dulu itu berpraktik untuk memikat pelanggan mereka, tetapi dari tulisan Salomo ini kita memperoleh kesan bahwa itu dilakukan dengan cara menggoda lewat kata-kata rayuan yang "lebih licin daripada minyak" (ay. 3). Tujuan para wanita penghibur itu jelas untuk mengeruk duit pelanggan mereka, sehingga orang bijak itu mengingatkan "supaya orang lain jangan mengenyangkan diri dengan kekayaanmu, dan hasil susah payahmu jangan masuk ke rumah orang yang tidak dikenal" (ay. 10). Dalam kondisi zaman sekarang, kebiasaan bercengkerama dengan PSK demi kenikmatan sesaat mungkin tidak sampai membuat seorang laki-laki jatuh miskin tetapi lebih kepada menggerogoti mereka secara fisik "apabila badanmu habis dimakan penyakit" (ay. 11, BIMK). Namun, kalau perzinaan itu terjadi dalam bentuk perselingkuhan jangka panjang untuk kepuasan batin sehingga melibatkan rasa cinta, tidak jarang terjadi pihak laki-laki digerogoti juga dari segi keuangan.
Jadi, tentang bagaimana menjaga kata-kata, tentu nasihat itu tidak relevan bagi perempuan ataupun laki-laki penggoda yang gemar bersina. Sebab memang kata-kata rayuan adalah "senjata" mereka, di samping memamerkan kemolekan tubuh (untuk wanita) atau kekayaan (untuk pria). Maka, nasihat paling relevan dalam hal ini ialah bagi pihak yang merasa hendak dijadikan "sasaran godaan" agar lebih banyak mendengarkan nasihat hikmat dan memelihara hikmat itu supaya dapat menangkal setiap serangan godaan.
"Menurut ayat tersebut, cara terbaik untuk melawan godaan-godaan ini, yang sering dimulai dengan kata-kata menggoda, adalah mendengarkan kata-kata hikmat. Oleh mengindahkan dan menuruti pengajaran yang diilhamkan, kita lebih mungkin untuk tetap terfokus pada hal-hal penting dan terlindungi dari perzinaan atau apapun godaan-godaan lain yang menghadang kita" [alinea keempat].
Apa yang kita pelajari tentang pentingnya hikmat dalam melindungi keluarga kita?
1. Perzinaan dapat merusak diri kita pribadi (secara fisik, moral, dan ekonomi), selain itu juga merusak hubungan kita dengan keluarga dan terutama dengan Tuhan. Perzinaan dalam bentuk apapun, sekadar "jajan" atau mempunyai "WIL" (wanita idaman lain) maupun "PIL" (pria idaman lain), adalah "kebodohan" yang berlawanan dengan hikmat.
2. Berselingkuh adalah berzina, tapi berzina belum tentu berselingkuh. Dalam berzina, seseorang dapat berhubungan seks dengan banyak pasangan (promiskuitas) untuk kenikmatan sesaat yang mungkin tanpa diimbangi oleh pasangannya. Dalam berselingkuh, hubungan seks terjadi dengan pasangan tetap untuk suatu jangka waktu karena perasaan suka sama suka.
3. Berzina diawali dalam pikiran yang kemudian dilanjutkan dalam tindakan ketika seseorang takluk pada pencobaan. Dalam banyak kasus itu terjadi karena ada unsur kemauan dan kesempatan, sebab tanpa salah satu hal itu tidak akan terjadi. Menghadapi pencobaan bisa dilakukan seperti menghadapi stres: "fight or flight" (lawan atau lari)!
Selasa, 6 Januari
HIKMAT DALAM HAL KEUANGAN ("Lindungi Persahabatanmu")
Masalah yang peka. Seseorang yang tengah menghadapi masalah keuangan mencoba meminjam uang dari temannya yang ditanggapi dengan ucapan kurang-lebih seperti ini: "Maaf, tetapi lebih baik saya tidak meminjami anda uang daripada hubungan persahabatan kita nanti rusak." Meski merasa kecewa, tapi dia bisa menenangkan hatinya dengan berpikir positif dan melihatnya dari sisi yang baik: tentu kawan itu khawatir kalau tidak bisa mengembalikan uang pinjaman itu pada waktu yang dijanjikan maka hubungan persahabatan mereka bisa rusak, dan dia memilih untuk lebih baik mengecewakan temannya daripada merusak pertemanan mereka. Bukankah ada pemeo berbunyi, "Uang tidak mengenal saudara," apalagi cuma teman? Masalah uang memang masalah yang peka.
Salomo memberi nasihat yang bijaksana tentang urusan soal uang ketika dia menulis, "Anakku, barangkali kau pernah berjanji kepada seseorang untuk menanggung utangnya. Dan boleh jadi kau telah terjerat oleh kata-katamu dan terjebak oleh janjimu sendiri. Kalau benar begitu, anakku, engkau sudah berada dalam kekuasaan orang itu. Tetapi inilah caranya kau dapat lolos: cepatlah pergi kepada orang itu; mintalah dengan sangat supaya ia mau membebaskan engkau. Janganlah pergi tidur dahulu, dan jangan beristirahat. Lepaskanlah dirimu dari perangkap itu seperti burung atau kijang melepaskan diri dari pemburu" (Ams. 6:1-5, BIMK). Dalam sistem perbankan moderen penjaminan hutang disebut kolateral, tetapi karena ini berasal dari pihak ketiga secara perorangan maka disebut personal guarantee (jaminan perorangan) yang biasanya berupa surat pernyataan sebagai "penanggung" sebagaimana diatur oleh hukum, sebab debitur yang bersangkutan tetap diminta oleh bank untuk menyediakan asetnya sebagai agunan. Pada zaman Salomo di mana pinjam-meminjam merupakan praktik antar-pribadi karena belum ada sistem perbankan, menjadi penanggung hutang orang lain adalah suatu kebodohan.
"Sementara Torah mendorong orang-orang untuk menolong yang miskin dan meminjamkan uang kepada mereka tanpa membebankan bunga (Kel. 22:25), hikmat mengamarkan kita terhadap dukungan keuangan yang tidak patut bagi seorang teman yang berhutang. Kewajiban kedermawanan tidak meniadakan kewajiban keadilan (Kel. 23:2-3). Meskipun kita harus bermurah hati ketika kita bisa, kita perlu bijaksana untuk memastikan bahwa kedermawanan kita tidak akan berubah menjadi kegagalan (bandingkan dengan Ams. 22:27)" [alinea kedua].
Pikir dulu sebelum bicara. Hikmat yang diajarkan oleh Salomo di sini menyangkut prinsip kehati-hatian, dalam hal ini soal berbicara dan berjanji. Dalam pergaulan sehari-hari kita bisa menemukan orang-orang yang sangat mudah berjanji, tapi kenyataannya sangat sulit untuk menepati janjinya. Ada pula orang-orang yang berbicara tanpa berpikir masak-masak sehingga terkesan "asbun" (asal bunyi). Kedua sifat ini, mudah berjanji tapi sulit menepati dan asal bicara tanpa berpikir, selalu menimbulkan kejengkelan dan seringkali menimbulkan rasa jijik dalam pergaulan. Orang yang berhikmat adalah seorang yang memiliki akuntabilitas (keadaan bisa dipertanggungjawabkan) yang perkataan-perkataannya dapat dipercaya dan diandalkan.
Alkitab memuat contoh menarik dan sekaligus menyedihkan tentang seorang yang terburu-buru bicara ketika berjanji kepada Tuhan. Dalam kitab Hakim-hakim pasal 11 kita membaca mengenai Yefta, seorang komandan pasukan Israel gagah berani yang dalam semangat patriotisme yang membara telah berjanji, "Kalau Tuhan mengizinkan saya mengalahkan orang Amon, dan saya kembali dengan selamat, maka siapa pun yang pertama-tama keluar dari rumah saya untuk menyambut saya, akan saya persembahkan sebagai kurban bakaran kepada Tuhan" (ay. 30-31, BIMK). Sebenarnya Tuhan memang akan memberi kemenangan kepadanya ketika Roh Allah "menghinggapi" dirinya (ay. 29), tanpa dia harus mengucapkan nazar yang tolol itu. Ketika dia dan pasukannya berhasil mengalahkan bala tentara Amon dan pulang ke rumahnya di Mizpa, putri tunggal yang dikasihinya adalah yang pertama keluar dari rumah untuk menyongsongnya sambil menari-nari. Dara cantik yang tak berdosa itu menjadi "korban" kecerobohan kata-kata ayahnya sendiri, kesedihan yang menjadi duka seluruh bangsa di kemudian hari (ay. 39-40).
"Oleh karena itu, nasihat bijaksana diberikan kepada kita dalam Amsal. Peringatan yang pertama berlaku pada perkataan kita. Alangkah pentingnya agar kita mengevaluasi keadaan dan memastikan bahwa kita mampu membantu teman kita. Jika demikian, barulah kemudian bicara dan berjanji. Memang, kehangatan persahabatan kita atau atau keadaan emosi bisa memicu komitmen kita yang mungkin kita sesali sesudah itu" [alinea ketiga].
Apa yang kita pelajari tentang bagaimana hikmat melindungi persahabatan kita?
1. Uang bukan saja "akar segala kejahatan" (1Tim. 6:10), tapi uang juga bisa menjadi akar percekcokan. Uang bisa menjadi pokok masalah dalam hubungan antar teman, dalam keluarga, dalam gereja, bahkan dalam hubungan kita dengan Tuhan. Kehati-hatian dalam hal yang berkaitan dengan uang merupakan salah satu hikmat yang diajarkan oleh Salomo.
2. Cermat dan ketat dalam soal keuangan tidak harus membuat kita jadi orang pelit, sebab kedermawanan tidak sama dengan pemborosan. Mungkin dalam mempelajari kitab Amsal ini kita telah melewatkan hikmat penting lainnya, "Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya" (Ams. 3:27).
3. Tatkala kita berdiam diri mungkin ada orang-orang yang menganggap kita bodoh, tetapi lebih baik tidak berkata apa-apa daripada membuka mulut lalu membuktikan bahwa kita memang bodoh. "Seorang bodoh pun akan disangka cerdas dan bijaksana kalau ia berdiam diri dan menutup mulutnya" (Ams. 17:28, BIMK).
Rabu, 7 Januari
RAJIN PANGKAL MAKMUR ("Lindungi Pekerjaanmu")
Belajar dari semut. Salah satu serangga paling kecil di planet ini adalah semut, dengan berbagai spesis dan ciri khas temasuk warna. Semut ada di mana-mana dengan karakter yang berbeda-beda, tetapi dalam beberapa hal memiliki kesamaan. Fakta-fakta fisiologis menarik tentang semut antara lain: memiliki sekitar 250.000 sel otak, dapat mengangkut beban 20 kali lebih berat dari bobot badannya, masa hidup 45-60 hari (kecuali semut ratu yang dapat hidup hingga 20 tahun!), mempunyai rahang yang kuat untuk mengunyah dalam gerakan menyamping seperti gunting, perutnya memiliki dua lambung (satu untuk makanannya sendiri, lainnya untuk menyimpan makanan yang akan disimpan bagi kepentingan bersama), dan hidup dalam satu koloni bahkan super-koloni seperti terdapat di California selatan yang panjangnya lebih dari 900 Km dengan kedalaman 5-6 meter. Selain itu, semut yang selalu hidup dan bekerja secara bergerombol memiliki sistem koordinasi yang baik dan fokus pada sasaran. Kita boleh menghalangi jalan semut, tapi mereka segera akan menemukan jalan lain untuk sampai ke tujuan semula dan menyelesaikan tugas.
Itu sebabnya Salomo memberi nasihat, "Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen" (Ams. 6:6-8). Semut mengumpulkan makanan dan menyimpannya dalam lumbung mereka bersama selama musim kemarau untuk persiapan pada musim dingin ketika mereka tinggal di dalam sarangnya. Di negeri-negeri dengan empat musim semut akan bekerja terus sepanjang tiga musim berturut-turut, mulai dari musim semi, musim kemarau, hingga musim gugur dan baru berhenti bekerja menjelang tibanya musim dingin atau musim salju.
"Bukan saja semut itu bekerja keras (bahkan lebih keras dari manusia, jika kita membandingkan beban yang sanggup mereka angkut dengan beban yang manusia dapat bawa berdasarkan proporsi bobot badan masing-masing), tetapi semut bekerja secara mandiri dan tidak perlu diawasi. Alasan utama dari kerja keras mereka itu ialah masa mendatang. Mereka 'mengantisipasi' masa-masa kesukaran (musim dingin) dan menyiapkan diri untuk itu. Jadi, semut mengajarkan kita hikmat untuk memikirkan masa depan ketika membuat rencana-rencana atau terlibat dalam suatu kegiatan" [alinea pertama: empat kalimat pertama].
"Belajar" dari pemalas? Kalau dari semut kita bisa belajar tentang kerajinan dan kearifan mereka menyediakan makanan untuk musim paceklik, dari pemalas kita bisa belajar tentang kemelaratan yang mereka hadapi akibat kemalasan mereka. Pelajaran dari semut adalah positif, sedangkan dari pemalas adalah negatif. Metode belajar dengan menggunakan contoh-contoh positif dan negatif lebih mengesankan dan bagi banyak orang itu lebih efektif. Misalnya, anda tidak perlu mencoba sendiri dengan menyentuhkan tangan pada knalpot sepeda motor yang mesinnya sedang hidup atau baru dimatikan untuk mengetahui bahwa knalpot itu panas dan bisa membuat tangan anda terbakar. Anda juga tidak perlu harus menunggu sampai mengalami kelaparan dulu baru mau bekerja, bukan? Orang biasa belajar dari pengalamannya sendiri, tetapi orang bijak belajar dari pengalaman orang lain!
Salomo menulis: "Sampai kapan si pemalas itu mau tidur? Kapankah ia mau bangun? Ia duduk berpangku tangan untuk beristirahat, dan ia berkata, 'Ah, aku tidur sejenak, aku mengantuk.' Tetapi sementara ia tidur, ia ditimpa kekurangan dan kemiskinan yang datang seperti perampok bersenjata," (ay. 9-11, BIMK). Tentu saja kemiskinan tidak selalu akibat dari kemalasan bekerja, sebab di zaman perekonomian sulit ini banyak orang yang menganggur bukan karena malas bekerja tapi karena tidak ada lowongan pekerjaan. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang sedang bekerja tapi kehilangan pekerjaan karena malas di tempat kerja atau tidak bekerja dengan sungguh-sungguh dan kurang berprestasi.
"Sementara semut-semut itu produktif pada musim panen, pemalas terus melipat kedua tangan mereka tanda kemalasan. Semut-semut itu melampaui diri mereka oleh membawa beban yang lebih berat daripada diri mereka sendiri dan dengan mempersiapkan untuk masa mendatang; para pemalas hidup dalam masa sekarang dan hanya sibuk dengan diri mereka sendiri" [alinea terakhir: dua kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang semut dan orang malas dengan segala akibatnya?
1. Bekerja, dan berhemat, bukan saja untuk kehidupan kita sekarang tapi juga masa depan. Seperti semut, kita pun harus bekerja bukan untuk kepentingan diri sendiri tapi untuk kepentingan bersama. Bekerja mencari nafkah adalah kodrat manusia setelah berdosa (Kel. 3:19). Sebab itu rasul Paulus menulis, "Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan" (2Tes. 3:10).
2. Nasihat untuk bekerja selagi kesempatan masih terbuka bukan saja berlaku dalam pekerjaan duniawi, tapi juga untuk pekerjaan Tuhan. Yesus berkata, "Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja" (Yoh. 9:4).
3. Pekerjaan apapun selalu terkait dengan produktivitas, yaitu hasil dan kemampuan untuk menghasilkan. Setiap semut memiliki tugas masing-masing yang secara sadar dan bertanggungjawab mereka kerjakan, dan semut bekerja dengan berorientasi kepada hasil. Tidak ada semut yang malas, karena itu tidak ada semut yang miskin dan kelaparan!
Kamis, 8 Januari
NASIHAT AGAR MENJAGA PIKIRAN ("Lindungi Dirimu Sendiri")
Pikiran jahat. Amaran Salomo berikutnya adalah supaya waspada terhadap orang-orang jahat, pemfitnah, pembohong, dan provokator. Tulisnya, "Tak bergunalah dan jahatlah orang yang hidup dengan mulut serong, yang mengedipkan matanya, yang bermain kaki dan menunjuk-nunjuk dengan jari, yang hatinya mengandung tipu muslihat, yang senantiasa merencanakan kejahatan, dan yang menimbulkan pertengkaran. Itulah sebabnya ia ditimpa kebinasaan dengan tiba-tiba, sesaat saja ia diremukkan tanpa dapat dipulihkan lagi" (Ams. 6:12-15). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan "tak berguna" pada ayat 12 ialah bĕliya`al (dilafalkan: bĕliyah-él), sebuah kata benda maskulin yang bisa berarti "jahat" atau "jahanam" dan dalam banyak ayat PL versi TB diterjemahkan sebagai "orang-orang dursila" (misalnya: Ul. 13:13; Hak.19:22; 1Sam. 2:12; 1Raj. 21:10). Dalam kitab Amsal kata ini masih digunakan dua kali lagi (16:27; 19:28), dan di PB kata ini digunakan hanya satu kali dengan sebutan menurut aslinya, "Belial" (2Kor. 6:15).
Sebuah peribahasa mengatakan, "Perhatikanlah pemikiranmu, itu bisa menjadi perkataan; perhatikan kata-katamu, itu bisa menjadi tindakan; perhatikan tindakanmu, itu bisa menjadi kebiasaan; perhatikan kebiasaanmu, itu bisa menjadi tabiat; perhatikan tabiatmu, karena itu bisa menjadi nasibmu." Kata-kata bijak ini telah dikaitkan dengan Frank Outlaw, seorang pengusaha Amerika yang mendirikan toserba berantai "Bi-Lo" di South Carolina sebagai penciptanya, ada pula yang mengaitkannya dengan Mahatma Gandhi, atau filsuf Cina purba Lao Tzu, Budha Gautama, dan bahkan ayah dari Margaret Thatcher (mantan PM Inggris) karena pernah mengaku bahwa kata-kata tersebut sering dia dengar dari ayahnya, dan banyak lagi. Tetapi siapapun yang pertama kali mencetuskan perkataan ini, tidak disangsikan lagi bahwa itu merupakan kata-kata bijak yang layak dicamkan.
Pena inspirasi menulis: "Anda harus mengendalikan pikiran-pikiran anda. Hal ini tidak akan menjadi tugas yang mudah; anda tidak dapat mencapai itu tanpa usaha yang ketat bahkan keras. Namun Allah menuntut hal ini dari anda; itu adalah suatu kewajiban yang dibebankan pada setiap orang yang bertanggungjawab. Anda bertanggungjawab kepada Tuhan atas pemikiran-pemikiranmu. Jika anda memuaskan angan-angan yang sia-sia, mengizinkan pikiran anda merenungkan perkara-perkara yang najis, dalam ukuran tertentu anda bersalah di hadapan Allah seolah-olah pikiran-pikiran anda itu sudah dilaksanakan menjadi perbuatan" (Ellen G. White, Testimonies for the Church, jld. 2, hlm. 561).
Akibat dosa itu luas. Selanjutnya Salomo menulis, "Enam perkara ini yang dibenci Tuhan, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara" (Ams. 6:16-19). Meski dalam ayat-ayat ini kita tidak melihat adanya hubungan antara "kemalasan" dengan hal-hal yang disebut sebagai "tujuh perkara yang menjadi kekejian" bagi Tuhan, kita menerima ini sebagai nasihat penting selain tentang kemalasan. Mungkinkah Salomo melihat kemalasan sebagai "kejahatan" yang setara dengan enam bahkan tujuh perkara yang dibenci Tuhan itu?
"Setelah mengamarkan kita terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang mengancam tiga bidang kehidupan--keluarga kita, hubungan sosial kita, dan pekerjaan kita--Amsal memberikan kepada kita sebuah gambaran tentang orang jahat. Ini adalah sindiran penuh ejekan dan observasi psikologis yang tajam...Batin orang jahat itu digambarkan sebagai terkait dengan apa yang dipikirkan di dalam hati; pada saat yang sama itu semua terwujud dalam apa yang dilakukan secara lahiriah" [alinea pertama: dua kalimat pertama dan kalimat terakhir].
Perbuatan dosa apapun pasti menyakiti pihak yang menjadi korban, dan pada gilirannya akan merugikan pelaku dosa itu sendiri. Bahkan, dalam banyak kasus, perbuatan dosa seseorang mau tak mau harus ditanggung oleh orang-orang terdekatnya, khususnya keluarga dan kelompok masyarakat di mana dia tergabung. Dalam sejarah bangsa Israel purba, dosa satu orang sering berakibat merugikan seluruh bangsa (Yosua 7). Dalam hal kebohongan dan fitnah, akibatnya bisa meluas dengan cepat seperti api yang menghanguskan. Kalau saja setiap anggota keluarga, anggota jemaat, dan anggota masyarakat dapat mengendalikan diri untuk tidak berbuat sesuatu dosa atau kejahatan, niscaya seluruh keluarga, jemaat, dan masyarakat bersangkutan dapat terhindar dari akibat-akibat merugikan yang bisa timbul dari dosa atau kejahatan itu.
Apa yang kita pelajari tentang melindungi diri sendiri dari kejahatan?
1. Pikiran manusia adalah tempat di mana dosa pertama kali tumbuh dan bersemai. Tindakan atau perbuatan hanyalah "output" dari apa yang sebelumnya telah berkembang dalam benak, sebab setiap tindakan dikendalikan oleh otak. Salomo menyebut mereka yang berkeliaran menyebar kebohongan dan fitnah sebagai orang-orang yang "tidak berguna."
2. Seseorang pernah berkata: "Anda dapat membohongi sebagian orang sepanjang waktu atau membohongi semua orang untuk sementara waktu, tetapi anda tidak dapat membohongi semua orang sepanjang waktu." Bagaimana pun kebohongan itu sekali kelak akan tertangkap, tetapi seringkali akibat yang terlanjur ditimbulkannya tak dapat lagi dihapus.
3. Hampir tidak ada perbuatan dosa atau tindakan kejahatan yang akibatnya hanya ditanggung oleh si pelaku seorang diri, bahkan yang sering terjadi orang-orang yang ikut menanggung akibatnya adalah mereka yang tidak ada hubungannya dengan pelaku atau tidak tahu apa-apa. Istilahnya, orang lain yang makan buah nangka kita yang terkena getahnya.
Jumat, 9 Januari
PENUTUP
Belajar dengan tekun. Kehidupan tidak pernah lepas dari belajar. Itu sebabnya kita menganut apa yang disebut "lifelong learning" (belajar seumur hidup) atau "lifetime education" (pendidikan sepanjang hayat). Manusia belajar sejak hari pertama hingga hari terakhir dia berada di dunia ini. Tentu yang dimaksud dengan "pendidikan" di sini ialah dalam arti luas, tidak terbatas pada pendidikan formal di sekolah. Konsep belajar atau pendidikan sepanjang hayat merupakan pengembangan dari life-long learners (orang-orang yang sepanjang umurnya terus belajar) yang digagas oleh Leslie Watkins dan diperkenalkan pertama kali di Denmark (1971), sebuah konsep yang kemudian diadopsi oleh UNESCO, badan PBB yang salah satu urusannya adalah pendidikan. Definisi dari pendidikan sepanjang hayat ialah "mengejar pengetahuan secara terus-menerus dengan sukarela dan atas kemauan sendiri, baik karena alasan-alasan pribadi maupun profesional."
Tentu saja keberhasilan dari pendidikan sepanjang hayat terutama ditentukan oleh ketekunan individu yang bersangkutan. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang terus bertumbuh-kembang dari waktu ke waktu menuntut setiap orang untuk terus belajar demi meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya, kalau tidak dia akan tertinggal. Karena itu dalam dunia pendidikan dikenal apa yang dinamai "sabbatical leave" ketika dosen yang sudah meraih gelar pendidikan doktoral atau S-3 dan telah mengajar selama tujuh tahun diberi kesempatan untuk penyegaran dan menambah pengetahuan selama setahun. Bahkan, dalam dunia pendidikan berlaku adagium: A teacher who stops learning should stop teaching (Seorang guru yang berhenti belajar harus berhenti mengajar).
Dalam kehidupan rohani, belajar sepanjang hayat juga merupakan suatu kewajiban. Kita bisa belajar dari Kitabsuci, dan kita juga belajar dari pengalaman hidup. Yesus sendiri juga belajar dari Kitabsuci (Luk. 2:40, 52) dan dari pengalaman (Ibr. 5:8). "Salomo menunjuk kepada ketekunan semut sebagai teguran kepada mereka yang menyia-nyiakan waktu mereka dalam kemalasan atau dalam praktik yang merusak jiwa dan tubuh. Semut bersiap untuk musim mendatang; tetapi banyak orang yang dikaruniai dengan daya nalar gagal bersiap untuk hidup kekal di masa mendatang" [alinea terakhir].
"Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau" (1Tim. 4:16).
(Oleh Loddy Lintong/California, 8 Januari 2015)