Syaloom

Selamat datang bagi pengunjung blog ini, terima kasih atas kunjungan anda pada blog ini anda dapat download lagu-lagu rohani khusus quartet (male or ladies) termasuk partitur yang kami telah sediakan.

Blog ini khusus saya buat untuk membantu teman-teman yang mempunyai hobi menyanyi lagu-lagu rohani tetapi pada saat tertentu tidak mempunyai cukup partiture. Dan sesuai dengan judulnya maka blog ini khusus dibuat untuk quartet grup vokal, apakah itu male quartet atau ladies quartet.

Banyak orang didunia ini dan hampir semua orang yang ada di jagad raya ini menyukai musik. Sebab itu saya ingin mengajak semua teman-teman yang ingin partisipasi dalam blog ini saya persilahkan untuk memberi saran dan bahan untuk memajukan grup-grup quartet. Sering kita menyanyikan sebuah lagu dengan baik dan pendengar cuma menyukai harmoninya saja tetapi pekabaran dalam lagu itu sendiri tidak didapat karena pendengar tersebut tidak mengerti bahasa yang dinyanyikan dalam lagu tersebut untuk itu melalui blog ini saya sekali lagi mengajak siapapun untuk urung rembuk agar blog ini disukai dan dapat bermafaat buat kita semua.

Untuk itu saya akan mencoba untuk mentransfer dari partiture aslinya kedalam bahasa Indonesia. Shalom regards,

GBU
E. Nanlohy



TRANSLATORS...

Jumat, 28 November 2014

Christmas-Music and Partiture The Kings Heralds Quartet

Carol of The Drum-Music and Partiture The King Heralds Quartet

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA KE IX 29 NOVEMBER 2014: "PENGHAKIMAN KASIH DAN KESELAMATAN"








Sabat Petang, 22 November
PENDAHULUAN

Sikap terhadap hukum. Dalam ilmu hukum dikenal apa yang disebut "hukum positif" (ius constitutum), yaitu hukum yang berlaku di suatu negara pada waktu tertentu. Hukum positif merupakan kumpulan peraturan-peraturan yang bersifat mengikat dan mengandung unsur pemaksaan untuk ditaati, serta sangsi-sangsi berupa hukuman bagi siapa saja yang tidak menaatinya atau yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap hukum. Tujuan dari pembuatan hukum itu sendiri ialah untuk memelihara ketertiban serta ketenteraman dalam masyarakat dan untuk memenuhi rasa keadilan di kalangan masyarakat. Maka dalam perspektif hukum positif, ketertiban hukum yang dikehendaki itu membutuhkan sikap positif dari masyarakat terhadap keberadaan hukum tersebut.

Menyangkut hukum positif ini, Theodore Roosevelt, presiden AS ke-26 [1901-1909], membuat sebuah pernyataan yang terkenal: "Tidak seorang pun berada di atas hukum dan tidak seorang pun berada di bawahnya; kita tidak meminta izin dari siapa pun ketika kita meminta dia untuk menaatinya." Pernyataan ini merupakan gagasan dasar dari Konstitusi (Undang-undang Dasar) Amerika Serikat sebagai sebuah negara berhaluan republik yang berbeda dengan paham pemerintahan monarki absolut seperti di negara-negara Eropa hingga abad ke-19 di mana raja adalah pemegang kekuasaan mutlak. Pada zaman di mana seorang raja berkuasa penuh, dialah pembuat hukum untuk dipatuhi oleh seluruh rakyat sehingga berlaku apa yang disebut rex lex, "raja adalah hukum." Karena seorang raja adalah pembuat undang-undang maka dia berhak pula untuk mengubah undang-undang itu kapan dia mau, dan dengan demikian dia sama sekali tidak tunduk pada hukum yang dibuatnya.

Bagaimana dengan "kedudukan" orang-orang kaya di hadapan hukum? Kita sering menaruh kecurigaan akan adanya perilaku istimewa yang dinikmati orang-orang kaya ketika berurusan dengan hukum, bahkan di negara-negara yang mengaku menjunjung tinggi hukum. Bulan Desember tahun lalu seorang hakim di Texas, AS dicaci karena hanya mengganjar hukuman percobaan kepada seorang remaja anak orang kaya yang mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk sehingga menabrak empat orang sampai tewas. Dalam amar putusannya sang hakim tampaknya terpengaruh dengan dalil pembela bahwa remaja itu mengalami apa yang disebut gejala “affluenza,” yaitu masalah psikologis yang konon dapat menimpa anak-anak orang kaya. Karena itu, tuntutan 20 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum tidak dipenuhi dan gantinya adalah hukuman percobaan 10 tahun ditambah perawatan kejiwaan. Hukuman percobaan berarti tidak mengharuskan anak remaja 16 tahun itu masuk penjara, kecuali jika melakukan pelanggaran hukum selama masa percobaan itu. (Baca di sini-->http://www.nytimes.com/2013/12/14/us/teenagers-sentence-in-fatal-drunken-driving-case-stirs-affluenza-debate.html).

Di negara-negara miskin dan sebagian negara berkembang yang korup, fenomena orang kaya kebal hukum kerap terlihat begitu jelas. Hukum seakan bisa "dibeli" atau "diatur" oleh kaum berduit untuk keuntungan mereka. Pemeo bahwa "orang kaya mempunyai aturannya sendiri" menjadi pemandangan sehari-hari, sementara orang miskin yang berbuat kesalahan kecil didera habis-habisan oleh hukum. Keadilan seringkali seakan hanya berpihak kepada orang kaya dan terkenal, tetapi sangat jauh dari jangkauan orang-orang miskin.

Lalu, bagaimana dengan Hukum Allah? Seperti halnya hukum positif, hukum itu diberikan demi menumbuhkan ketertiban di antara umat manusia dan untuk menciptakan hubungan yang harmonis di kalangan masyarakat secara horisontal dan juga antara manusia dengan Tuhan secara vertikal. Intisari dari hukum moral Allah, yaitu Sepuluh Perintah, adalah kasih secara vertikal dan horisontal. Yesus memerintahkan umat-Nya, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:37-39). Rasul Paulus menambahkan, "Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat" (Rm. 13:10).

"Pelajaran pekan ini diawali dengan sebuah tinjauan hukum tapi kemudian menuntun kepada beberapa kata penting tentang sebuah bentuk kesombongan dan percaya diri yang mungkin tidak kita sadari tetapi terhadap mana kita diamarkan mengenai jadi berdosa, suatu pelanggaran hukum Allah. Bahkan, dalam kitab Yakobus, di sini kepada kita diberikan cara lain untuk memandang dosa" [alinea terakhir].

Minggu, 23 November
JANGAN MENGHAKIMI (Penghakiman atau Kearifan?)

Memfitnah berarti menghakimi. Yakobus menulis: "Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah! Barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya, ia mencela hukum dan menghakiminya; dan jika engkau menghakimi hukum, maka engkau bukanlah penurut hukum, tetapi hakimnya" (Yak. 4:11; huruf miring ditambahkan). Kata Grika yang diterjemahkan dengan "saling memfitnah" dalam ayat ini adalah katalaleō, sebuah kata kerja yang berarti "berbicara jahat, mencela, mengumpat" (Strong; G2635). Versi lainnya menerjemahkan frase ini, "janganlah saling mencela atau saling menyalahkan" (BIMK=Bahasa Indonesia Masa Kini); dan "jangan seorang mencela orang" (TL=Terjemalan Lama). NKJV (New King James Version) menerjemahkannya, "do not speak evil of one another" (jangan berbicara jahat tentang satu sama lain); NIV (New International Version), "do not slander one another" (jangan saling memfitnah); dan TEV (Today's English Version), "do not criticize one another" (jangan saling mengkritik).

Dalam pengertian Bahasa Indonesia, "fitnah" sebagai kata benda adalah "perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang," sedangkan "memfitnah" sebagai bentuk kata kerja ialah "menjelekkan nama orang" (KBBI=Kamus Besar Bahasa Indonesia). Tetapi dari sejumlah versi terjemahan Alkitab di atas kita bisa menyimpulkan bahwa nasihat sang rasul kepada umat Kristen agar "tidak saling memfitnah" mengandung makna yang luas sekali. Tidak saja berkata bohong tentang orang lain untuk menjelekkan namanya, tetapi "mencela" dan "mempersalahkan" seseorang atas perbuatannya yang memang dia lakukan itu pun tidak sepatutnya terjadi di antara sesama umat percaya. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah mengata-katai seseorang di belakangnya, atau menyebarkan kesalahannya--benar maupun tidak benar--kepada orang-orang lain secara bisik-bisik.

"Di satu sisi, tampaknya Yakobus menggunakan bahasa yang lebih halus di sini daripada dalam pasal 3; namun, dampak dari 'saling memfitnah' kelihatannya lebih serius sehingga melakukan hal itu menimbulkan kesangsian pada hukum itu sendiri. Dengan menempatkan diri kita di kursi untuk menghakimi, kita mengabaikan kelemahan-kelemahan kita sendiri (baca Mat. 7:1-3) dan sebaliknya memusatkan perhatian pada kesalahan orang lain, seolah-olah kita berada di luar atau di atas hukum" [alinea pertama: kalimat kedua dan ketiga].

Kearifan rohani. Sebagai orang Kristen kita telah diajar oleh Yesus, "Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat" (Mat. 5:37). Jadi, pengikut Kristus harus menjunjung tinggi kebenaran dan tidak berkompromi dengan fakta. Dalam hal hubungan dengan sesama manusia pun kita harus berani berkata benar, "ya" kalau itu benar dan "tidak" kalau itu salah, sekalipun harus menelan akibat yang pahit.

Menyangkut apa yang disebut kebenaran--baik itu tentang ajaran firman Tuhan maupun cerita mengenai seseorang--kita harus lebih dulu menyelidik kebenarannya sebelum mengambil suatu kesimpulan (Kis. 17:11; 1Yoh. 4:1). Bahkan, terkait dengan kesalahan seorang anggota jemaat, kalaupun cerita itu benar kita tidak akan mempermalukan jemaat dengan mencari penyelesaian di luar jemaat melainkan menangani sendiri masalah itu (1Kor. 6:1-5), sementara kita juga melakukan introspeksi diri (2Kor. 13:5; Gal. 6:1). Dengan berbuat demikian, kita "makin mengasihi Allah dan sesama dan terus bertambah dalam pengetahuan yang benar dan pandangan yang bijaksana" (Flp. 1:9, BIMK). Ini merupakan karunia "kearifan rohani" yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Kristen.

"Kita harus membandingkan apa yang orang-orang ajarkan dan khotbahkan dengan Firman Allah. Kita juga sejauh mungkin harus mendorong anggota-anggota gereja untuk membereskan perbedaan-perbedaan di antara mereka sendiri gantinya dibawa ke pengadilan di mana hakim-hakimnya mungkin dituntun oleh Firman Allah dan mungkin juga tidak. Tetapi yang paling penting kita harus memeriksa diri kita sendiri menyangkut kesehatan hubungan iman kita dan apakah pendirian kita itu meninggikan serta sangat baik atau merugikan bagi pengalaman Kristiani kita" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang sikap menghakimi dan kearifan rohani?
1. Setiap orang bisa melakukan kesalahan atau berbuat dosa, tetapi ada yang diketahui orang dan ada yang tidak diketahui. Kalau kita kebetulan mengetahui kelemahan seseorang, Yesus mengajarkan agar kita menegurnya secara pribadi sebelum bertindak lebih jauh (baca Mat. 18:15-17). Jadi, semua itu tergantung pada itikad kita.
2. Kearifan rohani orang Kristen ditunjukkan melalui sikap kita sebagai orang-orang yang berpandangan luas yang tidak gampang terpengaruh dengan "cerita bisik-bisik" mengenai seseorang atau sesuatu. Mungkin semangat "check and recheck" (periksa dan periksa ulang) dalam arti kata yang sebenarnya perlu ditumbuhkan.
3. Khususnya dalam hal kebenaran pengajaran Firman Allah, "kita tidak menjadi anak-anak lagi yang terombang-ambing dan terbawa-bawa ke sana ke mari oleh arus bermacam-macam pengajaran dari orang-orang yang licik...Tidak! Sebaliknya kita harus menyatakan hal-hal yang benar dengan hati penuh kasih..." (Ef. 4:14-15, BIMK).

Senin, 24 November
MENGHAKIMI DAN MENYELAMATKAN (Pembuat Hukum adalah Hakim)

Yesus sebagai Pemberi Hukum. Yakobus menulis, "Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan..." (Yak. 4:12; huruf miring ditambahkan). Di sini sang rasul menggemakan kembali perkataan nabi Yesaya, "Sebab Tuhan ialah Hakim kita, Tuhan ialah yang memberi hukum bagi kita; Tuhan ialah Raja kita, Dia akan menyelamatkan kita" (Yes. 33:22; huruf miring ditambahkan). Kedua ayat ini sebenarnya merujuk kepada satu Pribadi yang sama, yaitu pembuat hukum dan sekaligus hakim. Dalam pernyataan Yakobus, Pribadi yang membuat hukum dan hakim itu adalah juga "berkuasa meyelamatkan"; sedangkan dalam pernyataan Yesaya, hakim dan pemberi hukum bagi kita itu adalah juga "Raja" yang "akan menyelamatkan kita." Informasi-informasi tambahan itu mengarahkan kita kepada Yesus Kristus, yaitu "Raja segala raja" (1Tim. 6:15; Why. 17:14; 19:16) yang akan menyelamatkan kita (2Tim. 1:9-10; Kis. 16:31).

Istilah "Pembuat hukum" dalam surat Yakobus di atas adalah terjemahan dari kata Grika nomothetēs, dan merupakan satu-satunya ayat di seluruh PB yang menggunakan kata ini. Tetapi dalam terjemahan bahasa Grika dari Perjanjian Lama--disebut "Septuagint" atau sering disingkat dengan "LXX" karena pekerjaan penerjemahan itu dikerjakan oleh 70 pakar bahasa, dilaksanakan antara tahun 300-200 SM--nomothetēs (kata benda) dan nomothetēo (kata kerja) digunakan sebanyak 9 kali di seluruh PL.

"Semua hukum dari Perjanjian Lama adalah dari Yesus. Hukum-hukum itu terkadang disebut hukum Musa karena hukum-hukum itu diberikan melalui dia (2Taw. 33:8; Neh. 10:29), tetapi adalah Yesus yang telah memimpin bangsa Israel melalui padang gurun dan mengucapkan Sepuluh Perintah itu kepada mereka di Bukit Sinai (baca 1Kor. 10:1-4). Dalam Khotbah di Atas Bukit, Yesus menjelaskan dan mempertegas hukum itu" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].

Yesus sebagai Hakim. Dari antara berbagai kitab dalam PL yang menubuatkan tentang Yesus Kristus atau berkaitan dengan Mesias, kitab Yesaya adalah yang paling penting dan lengkap. Setidaknya ada 20 nubuatan tentang Yesus tersebar di berbagai pasal dari kitab Yesaya yang semuanya telah digenapi, khususnya dalam pasal 53. Kitab-kitab PL lainnya yang juga mengandung nubuatan penting tentang Yesus Kristus di antaranya adalah Mikha, Zakharia, Mazmur, dan tentu saja Kejadian 3:15 yang berisi pernyataan Allah Bapa sendiri dan sering disebut sebagai "injil pertama" (protoevangelium).

Berkenaan dengan nubuatan mengenai Yesus sebagai Hakim, khususnya tercatat dalam Yesaya 11:1-5 di mana Yesus disebut sebagai "tunas" dari keturunan Isai (versi BIMK menyebutnya "tunas baru...dari keturunan Daud") yang akan menghakimi dengan adil. Sebagai hakim yang adil, "Ia tidak mengadili sekilas pandang atau berdasarkan kata orang. Orang miskin dihakiminya dengan adil, orang tak berdaya dibelanya dengan jujur; orang bersalah dihukum atas perintahnya, orang jahat ditumpasnya. Ia bertindak dengan adil dan setia dalam segala-galanya" (ay. 3-5, BIMK).

"Hanya seseorang yang mengenal hukum itu dengan baik layak untuk menghakimi apakah hukum itu sudah dilanggar atau tidak...Tetapi sebagai Pemberi hukum-hukum itu, Ia secara khusus layak untuk menjelaskan apa yang hukum-hukum itu maksudkan dan untuk menilai apakah hukum-hukum itu sudah dilanggar atau tidak. Maka pada waktu Ia datang kembali, upah yang dibawa-Nya untuk diberikan kepada semua orang menurut perbuatan mereka (Why. 22:12). Lebih jauh lagi, dengan mengambil rupa manusia, menghidupkan kehidupan tanpa dosa, mati menggantikan kita, dan bangkit mengalahkan dosa dan maut, Yesus sanggup untuk menyelamatkan kita dari dosa" [alinea kedua: kalimat pertama dan tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang Yesus sebagai Pembuat hukum dan juga Hakim?
1. Sebutan Yakobus bahwa Yesus adalah "pembuat hukum" dan sekaligus "hakim" hanya bisa dipahami dari sudut pandang rohani berdasarkan iman. Pendekatan dengan menggunakan sistem demokrasi duniawi--di mana pembuat hukum adalah legislatif dan eksekutif, dengan yudikatif sebagai pelaksana--tentu tidak relevan dengan Alkitab.
2. Alkitab mengajarkan bahwa Yesus Kristus kelak akan datang sebagai Hakim untuk menghakimi malaikat-malaikat jahat dan orang jahat (sekarang ini Dia berperan sebagai Pembela bagi umat-Nya dalam penghakiman surgawi), dan Yesus berhak serta layak untuk menghakimi manusia sebab Dia adalah Pemberi hukum moral (Sepuluh Perintah) itu.
3. Pada kedatangan-Nya yang pertama sebagai "Anak Manusia" Yesus telah mengamalkan kehidupan menurut hukum itu, dengan demikian Dia mendapat legitimasi dari Allah Bapa untuk menghakimi dunia ini (Yoh. 5:22, 27; Kis. 10:42; 2Kor. 5:10). Jadi, kualifikasi Kristus sebagai Hakim berdasarkan: (1) pengetahuan-Nya tentang hukum itu, (2) pengalaman-Nya hidup dalam hukum itu, dan (3) atas penunjukkan Allah Bapa.

Selasa, 25 November
BERSERAH PADA PEMELIHARAAN ALLAH (Perencanaan ke Depan)

"Rencana" masa depan. Kehidupan manusia penuh dengan rencana-rencana, bahkan manusia memang harus punya rencana hidup. Menyangkut rencana masa depan, Salomo berkata: "Rancangan orang rajin semata-mata mendatangkan kelimpahan, tetapi setiap orang yang tergesa-gesa hanya akan mengalami kekurangan" (Ams. 21:5). Tindakan yang tergesa-gesa dan tanpa perhitungan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam kesulitan hidup ketika dia tidak siap menghadapi risiko dari pilihan dan keputusannya. Yesus sendiri menyinggung soal perlunya berpikir masak-masak dan mempertimbangkan "kalkulasi untung-rugi" (risk/reward calculation) sebelum seseorang memutuskan untuk menjadi pengikut Dia (baca Luk. 14:27-33).

Yakobus mempunyai amaran penting bagi orang-orang Kristen yang berkata, "'Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung,' sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok" (Yak. 4:13-14). Sebagai manusia kita bisa saja membuat "investasi bisnis" dengan berbagai cara yang dianggap menguntungkan. Banyak orang Kristen yang pindah ke kota lain bahkan ke negara lain untuk memperluas usahanya, atau sekadar mencari kehidupan yang lebih baik, dan mereka berhasil sehingga menjadi penyumbang-penyumbang potensial bagi jemaat di tempat mana mereka tinggal. Sementara merencanakan kehidupan yang lebih baik adalah hal yang normal dan logis, kita harus menyadari bahwa hidup itu sendiri lebih penting daripada kekayaan. Yesus berkata: "Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kau sediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah" (Luk. 12:20-21).

"Mungkin tampaknya sangat masuk akal untuk merencanakan setahun sebelumnya atau bahkan lebih. Umumnya usaha bisnis mempunyai rencana-rencana jangka pendek, menengah, dan panjang. Secara perorangan maupun keluarga-keluarga perlu menabung bagi masa depan serta membuat persediaan untuk biaya-biaya tak terduga. Sebaliknya, kita juga harus percaya bahwa Yesus segera datang dan bahwa sekali kelak semua harta duniawi kita akan dihanguskan oleh api (baca 2Ptr. 3:10-12)" [alinea pertama].

"Insya Allah." Seseorang pernah berkata, "Dalam hidup ini satu-satunya hal yang pasti adalah ketidakpastian." Dalam perspektif ini setiap langkah yang kita rencanakan seharusnya bergantung pada Tuhan, sebab kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Karena itu rasul Yakobus menyarankan bilamana kita merencanakan sesuatu harus didahului dengan perkataan: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu" (Yak. 4:15; huruf miring ditambahkan). Konsep berpikir yang sama juga dimiliki oleh rasul Paulus ketika dia menulis kepada jemaat di Korintus, "Tetapi aku akan segera datang kepadamu, kalau Tuhan menghendakinya..." (1Kor. 4:19; huruf miring ditambahkan). Kata Grika yang diterjemahkan dengan "menghendakinya" dalam kedua ayat ini adalah thelō, sebuah kata kerja yang juga dapat berarti "bermaksud" atau "berkenan" (Strong; G2309).

Frase "jika/kalau Tuhan menghendakinya" dalam bahasa Latin adalah Deo Volente atau sering disingkat "d.v." yang pernah populer di kalangan orang Kristen abad ke-18 (menurut Kamus Merriam-Webster, frase ini diketahui telah digunakan pertama kali pada tahun 1763; menurut Dictionary.com tahun 1767). Sebagaimana kita ketahui, frase ini sangat populer di kalangan saudara-saudara kita kaum muslimin dan muslimah yang selalu melafalkannya dalam bahasa Arab, إن شاء الله, In sya' Allah (kata nun dan syin dipisahkan sesuai dengan aslinya, sehingga mendapatkan arti yang sesungguhnya "jika Allah mengizinkan"). Setelah istilah ini dipungut menjadi bagian dari kosakata Bahasa Indonesia yang resmi, dua kata pertama disatukan sehingga frase yang aslinya terdiri atas tiga kata itu berubah menjadi hanya dua kata, "Insya Allah."

"Itu artinya kita harus menyerahkan semua rencana kita kepada Allah. Kita bisa berdoa: 'Allah, aku mau mengetahui kehendak-Mu. Jika Engkau tidak berkenan dengan rencana-rencana ini, tunjukkanlah kiranya kepada saya.' Kemudian, kalau rencana-rencana kita itu tidak baik, maka Allah akan menunjukkan hal itu kepada kita--selama kita tetap menaruh perhatian dan rela memperbaiki rencana-rencana kita atau bahkan mengubahnya secara keseluruhan" [alinea terakhir: empat kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang membuat rencana masa depan?
1. Tuhan telah menganugerahkan kita manusia dengan kemampuan berpikir dan kesanggupan untuk menyusun rencana-rencana. Tetapi sementara perencanaan sebelum bertindak adalah bijaksana, kita harus membawa semua rencana itu kepada Tuhan. "Percayakanlah kepada Tuhan semua rencanamu, maka kau akan berhasil melaksanakannya" (Ams. 16:3, BIMK).
2. Hidup di dunia yang penuh ketidakpastian hanya bisa berhasil jika bersandar pada Allah yang pasti. Sebagai umat percaya kita harus melibatkan Tuhan dalam setiap rencana kita, baik secara peorangan, keluarga, terlebih sebagai gereja. Tanpa campur tangan Tuhan segala rencana dan usaha kita akan sia-sia (baca Mzm. 127:1).
3. Kalau Yakobus dan Paulus sebagai para pemimpin Gereja mula-mula menerapkan konsep "kalau Tuhan menghendakinya" dalam setiap perencanaan mereka, tidakkah umat Kristen zaman ini juga harus mempraktikkan konsep berpikir yang sama? Sering kita terlalu "PD" (=percaya diri) dengan iman kita sehingga mengira bahwa Tuhan pasti akan mengabulkan apa saja yang kita doakan.

Rabu, 26 November
MANUSIA YANG FANA (Asap)

Kefanaan hidup. Yakobus menekankan kefanaan manusia ketika dalam suratnya dia menulis, "Apa yang akan terjadi dengan kehidupanmu besok, kalian sendiri pun tidak mengetahuinya! Kalian hanya seperti asap yang sebentar saja kelihatan, kemudian lenyap" (Yak. 4:14, BIMK). Asap, uap, kabut, ulat, rumput, bunga rumput, bayangan dan lain-lain yang sifatnya rapuh serta tidak bertahan lama adalah gambaran Alkitab tentang kefanaan manusia. Maka, adalah suatu hal yang bodoh untuk merasa pasti akan hari esok kita. Salomo menasihati, "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu" (Ams. 27:1).

Kita semua telah menyaksikan, bahkan sebagian dari kita mengalaminya sendiri, betapa kematian itu bisa datang secara tiba-tiba dan tak disangka-sangka merenggut jiwa sahabat, anggota keluarga, dan orang-orang yang kita kasihi. Ada yang meninggal begitu mendadak sehingga kita tidak percaya bahwa kejadian itu benar, mungkin karena kita baru saja ketemu beberapa jam yang lalu atau baru berbicara dengan dia lewat telpon beberapa menit sebelumnya. Kematian adalah tamu yang tak diundang dan tak dapat ditolak dalam kehidupan manusia, tamu tak berperasaan yang bisa mampir menjenguk kita tanpa basa-basi.

"Dengan kata lain, selalu akan ada kematian seketika. Kita semua hanya sejauh satu detak jantung dari kematian. Siapa saja dari kita, pada saat mana saja, karena satu dari banyak alasan, dapat mati dalam sesaat. Alangkah tepatnya Yakobus berkata, 'Sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok' (Yak. 4:14, TB), termasuk kematian" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].

Ketidakadilan hidup. Bukan saja hidup ini fana, tapi kerapkali hidup ini juga tidak adil. Barangkali memang benar bahwa hidup ini hanya menyediakan kehidupan, tetapi tidak mempunyai kewajiban untuk memberi kehidupan yang adil. Sehingga pemazmur mengeluh, "Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir. Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik. Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh mereka; mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah seperti orang lain. Sebab itu mereka berkalungkan kecongkakan dan berpakaian kekerasan" (Mzm. 73:2-6).

Salomo, orang paling berhikmat yang pernah hidup di Bumi ini, seperti putus asa dengan nasib manusia ketika dia berkata: "Dan, ah, orang yang berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh! Oleh sebab itu aku membenci hidup, karena aku menganggap menyusahkan apa yang dilakukan di bawah matahari, sebab segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah aku. Dan siapakah yang mengetahui apakah orang itu berhikmat atau bodoh?" (Pkh. 2:16-19). Kematian hanyalah soal waktu, dan kemalangan hanyalah giliran. "Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba" (Pkh. 9:12).

"Kita melihat begitu banyak ketidakadilan, begitu banyak kecurangan, begitu banyak yang tidak masuk akal dalam hidup ini. Tidak heran kita semua merindukan janji hidup kekal yang diberikan kepada kita melalui Yesus. Tanpa itu, kita hanyalah sekadar asap yang akan berlalu dan terlupakan untuk selamanya" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang nasib manusia yang seperti asap?
1. Kefanaan adalah kodrat manusia sebagai akibat dosa (Rm. 6:23), dan bagi banyak orang kelahiran tidak lain daripada awal perjalanan menuju kematian. Sehingga raja Daud yang risau sampai berseru dalam angan-angannya, "Tuhan, beritahukanlah kapan ajalku supaya aku tahu betapa pendek hidupku" (Mzm. 39:5, BIMK).
2. Bagi orang yang tidak percaya kematian adalah akhir dari segalanya, bagi umat percaya kematian hanyalah akhir dari kefanaannya. Kematian orang percaya bukan terminasi [=kesudahan], tapi transisi [=peralihan]. Karena itu sebagai orang Kristen seyogianya kita tidak takut pada kematian, asalkan kita memelihara kepastian dalam Kristus (Rm. 8:11).
3. Selain kefanaan hidup kita juga menghadapi ketidakadilan hidup, apakah itu akibat perlakuan orang lain maupun karena nasib yang tidak beruntung. Tidak heran kalau Salomo sampai beranggapan "orang-orang mati...lebih bahagia dari pada orang-orang hidup" bahkan, "yang lebih bahagia daripada kedua-duanya itu kuanggap orang yang belum ada..." (Pkh. 4:2-3).

Kamis, 27 November
KEWAJIBAN "ANAK-ANAK TERANG" (Mengetahui dan Melakukan Apa yang Baik)

Dosa kelalaian. Berhubung dengan kefanaan manusia dan ketidakpastian hidup, rasul Yakobus menasihatkan umat percaya agar menyerahkan setiap rencana kita kepada Tuhan dan tidak bersikap pongah dengan rasa percaya diri yang berlebihan. "Sebenarnya kamu harus berkata: 'Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.' Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah" (Yak. 4:15-16). Perhatikan, sang rasul menyebut sikap kemandirian manusia, yang merasa dapat melakukan apa saja tanpa meminta pertimbangan Tuhan, sebagai kecongkakan dan hal itu salah. Menurut rasul Paulus, dengan mengutip Yeremia 9:23-24, "Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan" (1Kor. 1:31).

Kemudian Yakobus melanjutkan, "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa" (Yak. 4:17; huruf miring ditambahkan). Di sini sang rasul sedang berbicara kepada orang-orang Kristen pada zamannya, yang pada hematnya mereka itu sudah mengerti bahwa dalam merencanakan sesuatu harus lebih dulu meminta perkenan Tuhan. Yakobus menyebut sikap seperti itu sebagai perbuatan baik, dan tahu "berbuat baik" tetapi tidak melakukannya adalah dosa. Seperti pernah disebutkan dalam ulasan pelajaran SS terdahulu, dengan ayat ini sang rasul menyodorkan kepada kita wawasan yang lebih luas tentang dosa, bahwa selain "dosa karena perbuatan" (sin of commission) ada pula "dosa karena kelalaian" (sin of omission). Tentang dosa kelalaian ini Yesus menerangkan, "segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku," dan akibatnya adalah kebinasaan (baca Mat. 25:41-46).

"Alkitab merumuskan dosa dalam dua cara: (1) berbuat salah; (2) tidak berbuat benar. Definisi pertama diberikan oleh Yohanes: 'dosa adalah pelanggaran hukum Allah' (1Yoh. 3:4). Banyak versi moderen yang menerjemahkannya 'dosa adalah pelanggaran hukum,' tetapi kata Grika anomia merujuk kepada pelanggaran-pelanggaran hukum yang spesifik daripada sekadar kebiasaan berperilaku durhaka (baca penggunaannya dalam Rm. 4:7, Tit. 2:14, Ibr. 10:17). Definisi kedua diberikan dalam Yakobus 4:17: 'Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.' Karena itu kita harus lebih dari sekadar menolak godaan untuk berbuat salah" [alinea kedua: kalimat kedua hingga enam].

Berbuat baik. Secara umum, teologi tentang "berbuat baik" terbagi ke dalam dua pengertian: perbuatan yang menyenangkan hati sesama manusia (kebajikan), dan perbuatan yang menyenangkan hati Allah (penurutan hukum). Melalui Timotius, rasul Paulus menasihatkan: "Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan...Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi..." (1Tim. 6:17-18; huruf miring ditambahkan). Yakobus sendiri memberi penekanan pada penurutan hukum sebagai perbuatan baik ketika dia menulis, "Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: 'Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,' kamu berbuat baik" (Yak. 2:8; huruf miring ditambahkan).

"Tentunya seseorang bisa dengan mudah kecewa oleh sebab, bagaimana pun, siapa yang secara terus-menerus berbuat semua kebaikan yang mungkin dapat mereka lakukan tiap-tiap hari? Tapi bukan itu persoalannya. Bahkan kehidupan Yesus pun bukan sebuah putaran aktivitas tanpa henti...Sebagaimana ada batasnya untuk berapa banyak kita bisa makan sekali duduk, demikian juga ada batasnya berapa banyak dapat kita lakukan. Itulah sebabnya Yesus lebih jauh mengatakan bahwa sebagian orang menabur sedangkan yang lain menuai, tapi keduanya 'bersukacita bersama' (ay. 36-38). Sementara kita bekerja bagi Tuhan, kita akan dikuatkan untuk berbuat lebih banyak lagi dan akan berdoa bagi kerelaan yang lebih besar untuk digunakan dalam setiap cara yang mungkin" [alinea terakhir: dua kalimat pertama dan tiga kalimat terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Hukum Allah mempersalahkan bukan saja atas apa yang kita telah lakukan tapi juga apa yang kita tidak lakukan. Pada hari perhitungan terakhir, kita akan mendapat suatu daftar dari dosa-dosa kelalaian dan juga dosa-dosa perbuatan. Allah akan membawa setiap perbuatan ke dalam penghakiman, dengan setiap hal yang rahasia. Tidaklah cukup bahwa oleh ukuran tabiatmu sendiri anda membuktikan tidak melakukan kesalahan yang positif. Fakta bahwa seseorang tidak melakukan kebaikan yang positif sudah cukup untuk mempersalahkan dia sebagai seorang hamba yang jahat dan malas" (Ellen G. White, Manuscript Releases, jld. 6, hlm. 141).

Apa yang kita pelajari tentang akibat dari mengetahui apa yang baik tapi tidak melakukannya?
1. Sejak semula manusia tidak diciptakan sebagai makhluk yang independen (mandiri) dan terlepas dari pengendalian Tuhan. Sebagai umat Tuhan kebergantungan kita bahkan lebih besar lagi, sampai pada tahap di mana kita tidak dapat berbuat apa-apa sendirian. Kata Yesus: "Sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa" (Yoh. 15:5).
2. Penyerahan diri kepada Tuhan secara tuntas adalah kewajiban setiap "anak-anak terang" untuk menghasilkan "kebaikan dan keadilan dan kebenaran" (Ef. 5:8-9). Melalui perbuatan-perbuatan kebajikan itu anda membiarkan terang itu "bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga" (Mat. 5:16).
3. Yakobus membuka wawasan kita tentang dosa menjadi kian luas dengan menyingkapkan bahwa kita berdosa bukan karena perbuatan saja tapi juga karena kelalaian untuk berbuat hal yang baik. Kita berbuat baik kepada sesama manusia dengan melakukan kebajikan, dan kita berbuat baik kepada Tuhan dengan menaati hukum-hukum-Nya.

Jumat, 28 November
PENUTUP

Jangan membanggakan kebenaran. Manusia sangat rentan terhadap godaan untuk membanggakan diri, dan kita semua selalu mempunyai banyak hal untuk dibanggakan. Bahkan, ada sebagian orang yang suka membanggakan kerendahan hatinya. Kebanggaan apapun selalu menyenangkan sebab hal itu memancing kekaguman serta pujian dari orang lain, dan pujian memuaskan ego anda dan saya. Namun, batas antara kebanggaan dan kesombongan sangat tipis, sehingga kita sering tidak dapat membedakan lagi di antara keduanya.

Doktrin-doktrin gereja kita mengandung kebenaran-kebenaran alkitabiah, dan kita patut merasa bangga akan hal itu. Tetapi seringkali kita terlalu bangga dengan kebenaran-kebenaran itu sampai lupa mengamalkannya, bahkan yang lebih buruk lagi adalah merasa bahwa hanya kita yang memiliki kebenaran. Sikap seperti itu membuat kita acapkali merasa selalu benar dan orang lain selalu salah.

"Jangan lagi ada di antara kamu yang mengagungkan kebenaran oleh menyatakan bahwa roh ini (tentang memahami motif-motif jahat orang lain) adalah konsekuensi yang perlu untuk secara tepat berurusan dengan orang-orang yang berbuat salah dan untuk berdiri membela kebenaran. Kearifan seperti itu mempunyai banyak pengagum, tetapi hal itu sangat menipu dan membahayakan. Itu tidak datang dari atas, tapi adalah buah dari hati yang belum diperbarui. Pencetusnya adalah Setan sendiri" [alinea pertama: empat kalimat pertama].

Kebenaran sebuah doktrin tidak berarti apa-apa dan menjadi mubazir kalau hal itu tidak berkontribusi kepada penguatan iman kita tetapi hanya sekadar menjadi bahan pengetahuan saja. Lebih penting lagi, kebenaran sesuatu ajaran harus memperkokoh keteguhan hati kita untuk mempertahankan keselamatan yang telah dikaruniakan kepada kita semua.

"Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya" (Ef. 2:8-10).

(Oleh Loddy Lintong/California, 27 November 2014)

Jumat, 21 November 2014

PELAJARAN SEKOLAH SABAT DEWASA KE VIII 22 NOVEMBER 2014: "MENDAMBAKAN HIKMAT DARI ATAS"









Sabat Petang, 15 November
PENDAHULUAN

Mentalitas sikut-menyikut. Dalam pendahuluan pelajaran SS pekan ini penyusunnya mengemukakan istilah "mentalitas manajer menengah" (middle-manager mentality), yaitu cara berpikir atau sikap mental yang umum di kalangan para pemimpin tingkat menengah dalam sebuah organisasi. Tujuannya ialah untuk mengingatkan kita akan bahaya dari persaingan dalam meraih jabatan dengan menggunakan cara-cara duniawi yang tidak selayaknya terjadi di dalam jemaat atau organisasi gereja secara keseluruhan. Dengan contoh tentang seorang penyiar berita (news anchor) sebuah stasiun TV yang mendapatkan promosi tanpa "mengorbankan" rekan-rekan sejawatnya, penyusun pelajaran ini hendak menyadarkan kita bahwa orang Kristen juga dapat meraih sukses dengan "hikmat surgawi" tanpa perilaku sikut-menyikut.

Sekitar akhir dekade 1980-an atau awal 1990-an saya mengenal seorang penyiar TVRI yang juga mendapat promosi jabatan yang merupakan sebuah "lompatan besar" karena mendadak diangkat menjadi salah satu Direktur Jenderal (dirjen) di Departemen Penerangan, sebuah jabatan eselon satu yang pengesahan pengangkatannya waktu itu harus dengan surat keputusan (SK) presiden. Seorang yang tidak seiman dengan kita, tetapi karamahtamahan dan kerendahan hatinya jauh lebih mengesankan dibandingkan kebanyakan dari kita. Sepanjang yang saya ketahui, dia beroleh kedudukan tinggi itu dengan dukungan dari para sejawatnya padahal dengan jabatan itu dia kini membawahi bukan saja rekan-rekannya tapi juga para atasannya di unit kerja yang sama. Istilah politisnya, "tidak ada korban."

Lalu, apa hubungannya dengan "mentalitas manajer menengah"? Sebelum membahas itu sebaiknya kita kenali dulu beberapa definisi dalam ilmu manajemen. Berdasarkan pengertian umum, manajemen adalah sebuah "proses" dengan mana pelaksanaan suatu tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi. Manajemen adalah manusia dan sistem. Jadi, manajemen yaitu sekelompok orang yang bekerjasama dalam suatu sistem untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari sebuah organisasi, bisnis maupun non-bisnis. Dalam ilmu manajemen dikenal tiga tingkatan penatalaksana atau manajer: (1) manajer tingkat pertama (first line manager), yang memimpin dan mengawasi tenaga-tenaga pelaksana operasional atau tenaga lapangan; (2) manajer madya (middle manager), yang mengarahkan manajer-manajer garis pertama di bawahnya; dan (3) manajer puncak (top manager), yang bertanggungjawab secara keseluruhan dari operasional sebuah organisasi atau bisnis.

Manajer madya, atau manajer tingkat menengah, memiliki peran strategis dalam sebuah organisasi atau bisnis oleh karena posisi mereka yang menentukan keberhasilan terlaksananya sebuah program atau tercapainya sasaran bisnis. Karena keahlian dan fungsi mereka itu maka seorang manajer madya sering disebut sebagai "kontributor individual" dalam suatu usaha, sebab mereka adalah para ahli utama (subject matter experts) yang mengetahui seluk-beluk dari jalannya usaha pada tingkat operasional. Jadi, mereka menguasai keahlian dan juga sumberdaya manusia yang menentukan jalannya roda organisasi atau bisnis. Karena kesadaran akan peran serta potensi itulah maka banyak di antara mereka yang memendam ambisi untuk meraih posisi puncak, apalagi jika merasa lebih tahu dan lebih mampu dari atasan. Tuntutan-tuntutan seperti itu sering memicu sikap mental persaingan, terkadang sampai merebut kedudukan dengan menghalalkan segala cara (the end justifies the mean).

"Adalah bagus untuk berpikir bahwa persaingan yang egois terbatas pada organisasi-organisasi sekuler dan bahwa gereja beroperasi dengan cara yang sedikit berbeda. Sayangnya, Kitabsuci mengindikasikan bahwa sangat sering 'hikmat' duniawi juga berlangsung di kalangan umat percaya...Pekan ini mari kita lihat apa yang Firman Allah hendak katakan tentang kenyataan yang tidak menguntungkan ini" [dua alinea terakhir].

Minggu, 16 November
HIKMAT ALLAH (Hikmat yang Lahir dari Kelemahlembutan)

Hikmat dan tingkah laku. Aspirasi untuk sukses adalah hal yang sangat positif, bahkan ambisi untuk maju tidak bertentangan dengan iman Kristiani. Namun dalam mencapai apa yang dicita-citakan itu setiap orang Kristen harus menggunakan akal budi dan mempertimbangkan cara-cara yang patut. Untuk itu Yakobus menasihatkan, "Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan. Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran!" (Yak. 3:13-14; huruf miring ditambahkan).

Sedangkan hidup di lingkungan masyarakat yang beradab saja setiap orang dituntut untuk memperlihatkan "cara hidup yang baik" (good conduct), apalagi di kalangan umat Tuhan. Menurut sang rasul, cara hidup yang baik itu merupakan buah dari "hikmat." Kata Grika yang diterjemahkan dengan hikmat pada ayat di atas adalah sophia, sebuah kata benda feminin yang bukan saja berarti "pengetahuan yang luas" tapi juga "pengetahuan tertinggi seperti yang dimiliki oleh Tuhan" (Strong; G4678). Hikmat seperti itulah yang diberikan oleh Tuhan kepada Salomo (Mat. 12:42).

"Hikmat yang Yakobus gambarkan di sini dan di seluruh suratnya terutama bukanlah beragam kecerdasan yang diagungkan oleh bangsa Yunani purba dan banyak masyarakat Barat dewasa ini. Sebenarnya itu adalah hikmat yang tampak dalam perilaku dan cara hidup seseorang sebagaimana dimaksudkan oleh kata Grika untuk itu, anastrophe, yang diterjemahkan "tingkah laku" (juga digunakan dalam 1Tim. 4:12, Ibr. 13:7, 1Ptr. 1:15; 2:12). Tindakan-tindakan dan tingkah laku kita menunjukkan seberapa bijaksananya kita. Yesus mengajarkan hal yang sama dengan mengatakan bahwa 'hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya' (Mat. 11:19)" [alinea pertama: empat kalimat terakhir].

Tingkah laku Setan. Kecerdasan dan hikmat yang Setan miliki sekarang barangkali masih tetap sama dengan kecerdasan dan hikmat yang dia punyai sebagai Lusifer ketika masih berada di surga (baca 2Kor. 11:14). Bedanya, sebelum kejatuhannya dia menggunakan kecerdasan dan hikmatnya itu untuk melayani Allah, tetapi sesudah berdosa dan dicampakkan ke bumi ini dia mengerahkan segala kemampuannya itu untuk menipu manusia. Kepiawaiannya dalam memperdayai manusia sudah teruji selama ribuan tahun dengan jumlah korban yang tidak terhitung, termasuk Adam dan Hawa di Taman Eden. Itulah sebabnya Yesus sendiri menjuluki Setan sebagai "pendusta dan bapa segala dusta" (Yoh. 8:44).

Setan bukan saja menggunakan sendiri hikmat dan kecerdasannya itu, tetapi dia juga mengajarkannya kepada manusia yang mau belajar dari padanya tentang cara-cara untuk menipu sesamanya. Hebatnya, tidak sedikit orang-orang yang terpengaruh untuk mengadopsi cara-cara Setan dan meniru gayanya dalam mengelabui sesama manusia. Terhadap orang-orang seperti itu Kitabsuci mengingatkan, "Janganlah seorang pun menipu dirinya sendiri. Kalau ada orang di antaramu merasa dirinya bijaksana menurut ukuran dunia ini, orang itu harus menjadi bodoh, supaya ia menjadi benar-benar bijaksana. Sebab yang dianggap bijaksana oleh dunia adalah bodoh pada pemandangan Allah. Dalam Alkitab tertulis, 'Allah menjebak orang-orang bijaksana dalam kecerdikan mereka sendiri'" (1Kor. 3:18-19, BIMK).

"Sebaliknya, sumber air pahit yang dimaksud dalam Yakobus 3:11 menghasilkan 'iri hati dan mementingkan diri sendiri' (ay. 14) di dalam jemaat...Itu adalah sebuah sikap yang kedengarannya lebih menyerupai Setan di surga ketimbang seperti apa yang orang-orang Kristen di bumi seharusnya tunjukkan. Kecuali kita membuat pilihan untuk menyangkal diri dan menyerahkan keinginan kita kepada Tuhan, kita semua bisa berada dalam bahaya mempertontonkan sikap-sikap persis seperti yang Yakobus amarkan di sini" [alinea ketiga: kalimat pertama dan dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang hikmat yang lahir dari kelemahlembutan?
1. Dulu kecerdasan berpikir (IQ=intelligence quotients) dianggap sebagai syarat utama bagi keberhasilan hidup, tetapi belakangan ini orang mulai memperhatikan juga kecerdasan emosional (EQ=emotional quotients) dan kecerdasan jiwa (SQ=spiritual quotients). Orang pintar tetapi tidak berbudi luhur dapat mendatangkan bencana bagi manusia.
2. Kecerdasan berpikir adalah kemampuan untuk menyerap serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan kecerdasan emosi dan jiwa ialah kemampuan untuk mengendalikan diri serta tingkah laku. Manusia adalah makhluk sosial yang dikodratkan untuk hidup saling membutuhkan, karena itu cara hidup adalah hal yang penting.
3. Dalam pekerjaan Tuhan seringkali orang yang kurang berpendidikan tapi banyak berserah lebih berhasil daripada orang yang berpendidikan tinggi tapi tidak berserah. Alkitab menyatakan, "Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat" (1Kor. 1:27).

Senin, 17 November
HIKMAT SURGAWI vs. HIKMAT DUNIAWI (Dua Jenis Hikmat)

Hikmat dari dunia. Seorang sejarahwan pernah berkata seperti ini, "Saya masuk ke dunia, dan saya melihat gereja di dalamnya. Saya masuk ke gereja, dan saya melihat dunia di dalamnya." Salah satu bahaya laten yang mengancam gereja adalah sekularisasi, yaitu ketika jemaat mempraktikkan cara-cara duniawi di dalam gereja. Di antara kita sudah banyak yang berpakaian dan berdandan secara duniawi, berbicara dan berperilaku secara duniawi, sekarang kita tambahkan lagi "hikmat dari dunia" dalam menjalankan urusan-urusan kegerejaan.

Rasul Yakobus dengan tegas berkata, "Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan. Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat" (Yak. 3:15-16). Perhatikan, sang rasul menyamakan sikap "iri hati" dan "mementingkan diri sendiri" serta "memegahkan diri" (ay. 14) sebagai "hikmat" yang berasal dari dunia bahkan dari setan-setan. Menyoroti hal serupa, rasul Yohanes berkata, "Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia" (1Yoh. 2:16; huruf miring ditambahkan). Hikmat duniawi hanya bertujuan untuk memenuhi hasrat rendah manusia, yakni egoisme.

"Hal ini tidak perlu terlalu mengejutkan. Dahulu kala, Salomo berbicara tentang 'jalan yang disangka lurus' menjadi 'jalan menuju maut' (Ams. 14:12; 16:25). Hikmat ini pada intinya bersifat merusak. Jika kecemburan dan ambisi yang egois dikembangkan dan dinyatakan, maka hasil alamiahnya tentu kekacauan dan perselisihan, sama dengan situasi di Korintus (baca 2Kor. 12:20 di mana beberapa kata yang sama digunakan)" [alinea pertama: empat kalimat terakhir].

Hikmat dari atas. Yakobus menyebut dengan jelas dan spesifik tentang buah-buah dari hikmat surgawi seperti berikut: "Tetapi orang yang mempunyai kebijaksanaan yang berasal dari atas, ia pertama-tama sekali murni, kemudian suka berdamai, peramah, dan penurut. Ia penuh dengan belas kasihan dan menghasilkan perbuatan-perbuatan yang baik. Ia tidak memihak dan tidak berpura-pura. Memang kebaikan adalah hasil dari benih damai yang ditabur oleh orang yang cinta damai!" (Yak. 3:17-18, BIMK; huruf miring ditambahkan).

Mendapatkan hikmat surgawi berkaitan dengan kelahiran kembali secara rohani, yaitu "dilahirkan dari air dan Roh" (Yoh. 3:5) yang dalam hal ini lebih bernilai daripada kelahiran secara alamiah dari orangtua, sebab "apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh." (ay. 6). Seseorang yang sudah mengalami kelahiran kembali melalui air (baptisan) dan Roh (pengudusan) akan selalu mencari dan memikirkan "perkara yang di atas, bukan yang di bumi" (Kol. 3:1-2).

"Hikmat surgawi itu 'penuh belas kasihan,' begitu juga 'buah-buah yang baik.' Sebagaimana telah kita lihat, sekalipun penekanan dalam kitab Yakobus pada penurutan dan perbuatan baik sebagai buah-buah iman, belas kasihan pun menang atas penghakiman (Yak. 2:13). Dengan kata lain, orang yang benar-benar bijaksana tidak saja akan lemah lembut dan rendah hati seperti Yesus, tapi juga pendamai, peramah, penyayang, dan pemaaf, rela mengabaikan kesalahan-kesalahan orang lain, tidak bersikap kritis atau menghakimi terhadap mereka" [alinea kedua: tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang dua jenis hikmat (kebijaksanaan) menurut Yakobus?
1. Dua jenis hikmat, atau kebijkasanaan, yang Yakobus maksudkan adalah "hikmat duniawi" dan hikmat surgawi yang disebutnya "hikmat dari atas." Hikmat duniawi berpangkal dari iblis yang dikembangkan dan diterapkan oleh orang-orang yang dikuasai oleh keinginan daging yang bersifat mementingkan diri sendiri.
2. Hikmat surgawi, atau "hikmat dari atas," menurut Yakobus harus ditandai dengan ciri-ciri berupa perbuatan baik sebagai buahnya. Hikmat surgawi itu seperti sebuah tanaman, apabila hikmat itu sudah bertumbuh dengan baik di dalam pasti akan mengeluarkan buah-buah hikmat berupa kepribadian yang baik dan perilaku damai.
3. Benih hikmat surgawi hanya bisa ditanam dan bertumbuh dalam hati orang-orang yang sudah dilahirkan kembali dalam air dan Roh, sebab hanya mereka saja yang selalu memikirkan hal-hal surgawi. Jadi, mudah sekali untuk membedakan siapa saja yang memiliki "hikmat dari atas" itu, yakni mereka yang selalu memikirkan "perkara yang di atas."

Selasa, 18 November
DORONGAN HAWA NAFSU (Penyebab Sengketa dan Pertengkaran)

Pertikaian di jemaat. Tampaknya persengketaan di dalam jemaat bukan hal baru, setidaknya hal itu terungkap dari surat Yakobus: "Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?" (Yak. 4:1). Kata Grika yang diterjemahkan dengan "sengketa" dalam ayat ini adalah polemos, sebuah kata benda maskulin yang juga berarti "perang" atau "pertempuran" dengan senjata yang menggambarkan kekerasan fisik. Sedangkan kata "pertengkaran" berasal dari kata Grika machē, sebuah kata benda feminin yang merujuk kepada percekcokan mulut penuh amarah. Dengan demikian, pertikaian di jemaat yang disorot oleh Yakobus di sini adalah pertengkaran fisik dan non-fisik. Tragis.

Perhatikan bahwa sang rasul menyebut pertikaian itu sebagai akibat dari "hawa nafsu yang saling berjuang" di dalam diri manusia. Kata Grika untuk "hawa nafsu" dalam ayat ini adalah hēdonē, sebuah kata benda feminin yang berkonotasi kepelesiran (dari kata ini lahir istilah "hedonis" dan "hedonisme" yang merujuk kepada pemanjaan diri terhadap kenikmatan dan pemuasan). Jadi, para anggota jemaat di gereja yang mula-mula itu saling bertengkar dan baku hantam demi memenuhi hasrat kesenangan diri dan nafsu pribadi yang menggebu-gebu di dalam hati.

"Keinginan-keinginan jahat ini, yang diibaratkan oleh Paulus sebagai 'daging,' secara aktif berperang melawan dorongan-dorongan rohani kita yang lebih tinggi. Kehidupan Kristiani melibatkan suatu peperangan yang berkepanjangan, yang jika tidak dikuasai oleh 'hikmat yang dari atas' (Yak. 3:17) meluas ke gereja itu sendiri dan menyebabkan trauma rohani di kalangan umat percaya" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].

Keinginan hawa nafsu. Lebih jauh Yakobus menulis: "Kamu mengingini sesuatu tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa karena kamu tidak berdoa. Atau, kamu berdoa juga tetapi kamu tidak menerima apa-apa karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu" (Yak. 4:2-3). Dalam ayat-ayat ini sang rasul menyingkapkan secara gamblang apa yang menjadi latar belakang dari pertengkaran di antara para anggota jemaat pada zamannya, yaitu ketidakpuasan dan iri hati terhadap satu sama lain.

Perhatikan bagaimana Yakobus membeberkan penyebab ketidakpuasan dan iri hati mereka itu secara terstruktur: mereka menginginkan tapi tidak mendapat, karena tidak mendapatkan apa yang diingini lalu membunuh; mereka iri hati tapi tidak mencapai maksud hati, karena itu mereka bertengkar dan berkelahi; mereka tidak mendapatkan apa yang diinginkan, karena mereka tidak memintanya dengan doa; atau mereka berdoa juga tapi apa yang mereka doakan itu salah, sebab yang mereka minta dalam doa itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu. Intinya, banyak umat Kristen pada zaman Yakobus yang berlomba memenuhi keinginan daging dengan penuh hawa nafsu, tetapi karena tidak memperoleh apa yang mereka dambakan itu lalu jadi frustrasi sehingga saling bertengkar hebat.

"Adalah cinta diri yang menimbulkan kerusuhan. Biamana kita dilahirkan dari atas, pikiran yang sama yang ada pada Yesus akan ada pada kita, yaitu pikiran yang telah menuntun Dia untuk merendahkan Diri-Nya sendiri supaya kita bisa diselamatkan. Jadi kita tidak akan berusaha mengejar kedudukan yang tertinggi. Kita harus ingin untuk duduk di kaki Yesus dan belajar dari pada-Nya" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang penyebab persengketaan dan pertengkaran di jemaat?
1. Pertengkaran di jemaat-jemaat Kristen adalah sebuah tragedi, tetapi itu adalah kenyataan. Penuturan Yakobus mengenai persengketaan dan pertengkaran yang terjadi pada gereja mula-mula tidak dapat dijadikan alasan untuk pertikaian di jemaat masa kini, melainkan itu harus dijadikan peringatan bagi kita untuk mawas diri.
2. Menjadi orang Kristen sejati bukan sekadar percaya kepada Yesus Kristus, tapi menuntut juga kelahiran baru di dalam Dia. Tanpa dilahirkan kembali secara rohani oleh Roh Kudus, keinginan-keinginan jahat yang sudah tertanam dalam diri kita tidak terhapus dan akan terus mempengaruhi dan mendorong kita untuk mengejar kepuasan hawa nafsu.
3. Kehidupan Yesus Kristus ditandai dengan kerendahan hati dan penyangkalan diri, maka setiap pengikut-Nya juga harus mengadopsi ciri-ciri tabiat yang sama. Anda dan saya tidak mungkin dapat menjadi pengikut Kristus yang rendah hati dan suka menyangkal diri itu, sembari kita memanjakan sifat tinggi hati dan cinta diri.

Rabu, 19 November
PERZINAAN ROHANI (Persahabatan dengan Dunia)

Murtad artinya berzina. Amaran Yakobus selanjutnya adalah: "Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah" (Yak. 4:2). Dalam bahasa asli PB, anak kalimat "orang-orang yang tidak setia" dalam ayat ini atas dua kata benda, moichos (pelacur lelaki) serta moichalis (pelacur wanita), dengan kata penghubung kai (dan). Sebagian Alkitab versi Bahasa Inggris menerjemahkannya dengan "adulterers and adulteresses" (KJV, NKJV), "adulterous people" (NIV), atau "adulteresses" (NASB). Tetapi beberapa versi lainnya menerjemahkan bagian ini sama dengan versi Bahasa Indonesia, seperti "unfaithful people" (TEV) atau "people aren't faithful to God" (CEV). Versi Amplified Bible (AMP) menerjemahkannya lebih lengkap lagi: "You [are like] unfaithful wives [having illicit love with the world and breaking your marriage vow to God]!" (Kamu [seperti] istri-istri tidak setia [yang menjalin cinta gelap dengan dunia dan melanggar sumpah perkawinanmu dengan Allah]!--terjemahan bebas oleh penulis).

Sebutan "pelacur lelaki dan pelacur wanita" merupakan gaya bahasa Perjanjian Lama ketika Allah menyebut bangsa Israel yang tidak setia kepada-Nya sebagai "perempuan murtad" dan "perempuan tidak setia" yang berbuat "zina" dan "sundal" (Yer. 3:6-10), sebab Allah menyebut diri-Nya sebagai "suami" mereka (Yes. 54:5). Hubungan Allah dengan bangsa Israel purba digambarkan dengan kata-kata puitis sebagai "cinta pada masa muda" dengan Israel adalah "pengantin" (Yer. 2:2), tetapi karena kemurtadan mereka oleh menyembah berhala-berhala orang kafir maka Allah menyamakan Israel seperti "istri yang berzinah, yang memeluk orang-orang lain ganti suaminya sendiri" (Yeh. 16:32).

"Menyinggung konsep alkitabiah tentang Israel sebagai mempelai Allah, Yakobus menyamakan umat percaya yang mengikuti adat-istiadat duniawi dan dipengaruhi oleh sikap-sikap keduniawian itu sebagai perzinaan rohani. Pada kenyataannya, mereka sedang memilih majikan dan tuan yang berbeda" [alinea pertama].

Pencemburu tapi juga pemurah. Kesungguh-sungguhan Allah terhadap keselamatan umat-Nya ditekankan oleh Yakobus dalam kata-kata ini: "Janganlah kamu menyangka, bahwa Kitab Suci tanpa alasan berkata: 'Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!'" (Yak. 4:5). Dalam ayat ini seolah-olah Yakobus mengutip satu kalimat dari Kitabsuci (dalam hal ini adalah Perjanjian Lama), tapi sebenarnya tidak ada satu ayat tertentu dalam PL yang bunyinya persis atau mirip dengan kalimat dalam ayat ini. Sebagian komentator Alkitab menduga bahwa Yakobus bukan mengutip ayat tertentu, tetapi mengutip beberapa ayat dalam PL kemudian disimpulkannya dengan kalimat tersebut. Namun yang pasti bahwa beberapa ayat dalam PL memang menyebut Allah sebagai "Allah yang cemburu" (Ul. 4:24; 5:9; Yos. 24:19).

Meskipun Allah itu pencemburu dan siap meluapkan kecemburuan-Nya atas ketidaksetiaan manusia, Ia adalah juga Allah yang pemurah. Allah memang tidak mengenal kompromi dalam soal tuntutan kesetiaan dari umat-Nya, tetapi Dia juga memiliki belas kasihan yang sangat besar terhadap umat-Nya. Yakobus mengatakan, "Tetapi kasih karunia, yang dianugerahkan-Nya kepada kita, lebih besar dari pada itu. Karena itu Ia katakan: 'Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati'" (Yak. 4:6). Ketidaksetiaan manusia pasti menyakiti hati Allah, tetapi kasih karunia-Nya lebih besar dari ketidaksetiaan manusia. Namun, kasih karunia Allah itu hanya tersedia bagi orang-orang yang rendah hati, tidak untuk orang yang sombong.

"Kasih karunia adalah satu-satunya jalan keluar yang nyata bagi keadaan kita yang buruk. Namun, orang-orang sombong telah menempatkan diri mereka pada posisi di mana mereka tidak mudah menerima kasih karunia itu...Hanya orang yang rendah hati, lemah lembut, dan sadar akan kebutuhan serta ketergantungannya yang terbuka bagi kasih karunia, bagi kemurahan tanpa syarat yang dianugerahkan ke atas mereka yang dalam segala hal tidak layak" [alinea ketiga: kalimat kedua dan ketiga serta kelima].

Apa yang kita pelajari tentang persahabatan dengan dunia adalah perzinaan rohani?
1. Hubungan Allah dengan manusia digambarkan dalam berbagai dimensi, salah satunya adalah sebagai "suami" (Allah) dengan "istri" (umat-Nya). Makna dari hubungan antara suami dengan istri yang diikat dengan "perkawinan" menekankan pada segi kesetiaan. Maka, jika kita tidak setia kepada Tuhan kita disamakan dengan "istri" yang tidak setia.
2. Sebagaimana halnya hubungan sebagai suami-istri dalam suatu perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak dapat dikompromikan, demikian juga hubungan kita sebagai umat Allah dengan Allah adalah suatu hubungan kesetiaan tanpa kompromi. Sebab Allah mengasihi kita dengan perasaan "cemburu" (Kel. 20:5; 34:14; Ul. 6:15).
3. Dalam kecemburuan-Nya, Allah itu "adalah api yang menghanguskan" (Ul. 4:24), tetapi kasih karunia-Nya dapat memadamkan api itu. Allah sendiri berfirman: "Aku akan memberi kasih karunia kepada siapa yang Kuberi kasih karunia dan mengasihani siapa yang Kukasihani" (Kel. 33:19). Menurut Yakobus, kasih karunia Allah adalah untuk orang yang rendah hati.

Kamis, 20 November
MENYERAH DALAM KEPASRAHAN (Penyerahan Kepada Allah)

Berserah supaya menang. Berserah kepada Tuhan dapat menghasilkan kemenangan atas Setan. Yakobus menulis, "Karena itu tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu!" (Yak. 4:7; huruf miring ditambahkan). Tentu saja sang rasul menulis kata-kata ini dalam pemikiran bahwa Setan adalah musuh terbesar manusia yang harus dikalahkan, tetapi musuh itu terlampau kuat sehingga mustahil bagi kita manusia untuk menghadapinya dengan kekuatan sendiri. Maka, satu-satunya cara untuk melawan bahkan mengalahkan Setan ialah dengan tunduk kepada Allah. Kata Grika yang diterjemahkan dengan "tunduk" dalam ayat ini adalah hypotassō, sebuah kata kerja yang berarti "menaklukkan diri dengan berserah dan pasrah di bawah seseorang atau suatu kuasa." Jadi, tunduk kepada Allah artinya berserah dengan pasrah kepada-Nya.

"Dengan demikian, kita harus tunduk kepada Allah dan kehendak-Nya demi untuk melawan Setan...Sementara itu, kita tidak boleh mengira bahwa para pembaca surat Yakobus yang mula-mula itu tidak pernah menyerahkan diri mereka kepada Allah sebelumnya. Yakobus dengan jelas menulis kepada orang-orang yang mengaku percaya. Maka, barangkali kita perlu berpikir lebih mendalam dalam hal menyerahkan diri kita kepada Allah setiap hari dan menolak si jahat kapan pun godaan-godaannya itu menyatakan diri" [alinea pertama: kalimat terakhir dan alinea terakhir].

Adam dan Hawa merupakan contoh yang buruk dalam menghadapi perlawanan terhadap Setan. Hawa, yang mendatangi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, secara sukarela telah melibatkan diri untuk berdialog dengan Setan yang menumpang di tubuh ular itu dan kalah dalam adu argumentasi (Kej. 3:1-5). Adam lebih buruk lagi, menerima buah larangan itu dari istrinya lalu memakannya tanpa argumentasi sama sekali (ay. 6). Acapkali kita juga dikalahkan oleh Setan akibat merespon godaan-godaannya seperti Hawa, bahkan seringkali kita bersikap seperti Adam yang langsung "melahap" godaan-godaan yang disodorkan itu tanpa berusaha sedikit pun untuk menghindarinya!

Mendekat kepada Allah. Dalam hal mendapatkan pertolongan Tuhan untuk melawan Setan, dua nasihat Yakobus yang saling berhubungan satu dengan lainnya ialah: "Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu...Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu" (Yak. 4:8, 10). Panggilan untuk datang dekat kepada Allah membersitkan pesan bahwa Allah senantiasa menanti kita datang kepada-Nya, dan seruan agar merendahkan diri di hadapan Tuhan menyadarkan diri kita yang terlalu tinggi hati untuk mau berserah kepada Tuhan. Agar kita mau datang dekat kepada Tuhan dan merendahkan diri dihadapan-Nya, kita harus menyadari dan meratapi kemalangan diri kita (ay. 9).

"Ajakan untuk berubah dalam ayat-ayat ini adalah puncak dari semua yang Yakobus sudah katakan sejak pasal 3 ayat 13. Dalam pasal yang telah kita pelajari pekan ini ada perbedaan-perbedaan antara hikmat surgawi dengan hikmat yang jahat, dan antara kesombongan mereka yang meninggikan diri seperti Setan lakukan (baca Yes. 14:12-14) dengan mereka yang berserah kepada Allah dan merendahkan diri mereka...Karena itu, seruan untuk berserah kepada Allah lebih dari sekadar teguran moral; itu adalah panggilan kepada orang berdosa untuk bertobat seperti yang Yesus serukan (Luk. 5:32)" [alinea ketiga: dua kalimat pertama dan kalimat terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Sekiranya tirai disingkapkan, engkau akan melihat segenap surga memandang dengan penuh perhatian terhadap seorang yang digoda. Kalau engkau tidak menyerah kepada musuh, ada sukacita di surga. Bilamana bisikan pertama yang salah itu terdengar, panjatkanlah doa ke surga lalu dengan tegas menolak godaan untuk mengutak-atik prinsip-prinsip dalam firman Allah. Begitu godaan-godaan datang, hadapilah dengan sikap yang tegas bahwa hal itu tidak akan pernah terulang" (Ellen G. White, The Review and Herald, 9 Mei 1899).

Apa yang kita pelajari tentang mengalahkan iblis dengan cara berserah kepada Allah?
1. Berserah atau pasrah merupakan pilihan manusia, bukan paksaan. Kalau Allah saja tidak ingin memaksa manusia untuk tunduk kepada-Nya, tentu Allah juga tidak akan membiarkan Setan memaksa manusia untuk tunduk pada keinginannya. Penyerahan yang terus-menerus kepada Tuhan menghasilkan perlawanan yang terus-menerus terhadap Setan.
2. Untuk menang atas godaan Iblis pertama-tama harus ada keinginan dan tekad untuk menang di pihak kita, selanjutnya adalah menyerahkan diri kepada Tuhan dan menuntut kuasa kemenangan yang dijanjikan-Nya. Bagi umat percaya, seringkali kemenangan atas godaan-godaan Setan lebih ditentukan oleh adanya kemauan daripada usaha.
3. Kalau Tuhan hanya sejauh doa, maka kemenangan atas godaan Setan juga hanya sejauh doa. Tidak ada orang yang bertekad untuk menang, dan berdoa demi kemenangan itu, harus menyerah pada godaan Iblis. Seringkali kita dikalahkan Setan bukan akibat kelemahan kita tapi karena "pilihan" kita untuk tidak ingin menang.

Jumat, 21 November
PENUTUP

Ambisi dan beban hidup. Setiap manusia yang hidup di planet ini pasti mempunyai beban hidup pribadi masing-masing, ada beban-beban yang bersifat alamiah dan ada beban-beban yang diciptakan sendiri. Sejujurnya, kebanyakan beban hidup yang kita pikul adalah akibat dari pilihan-pilihan yang salah, selain karena berbagai konsekuensi dari ambisi-ambisi keduniawian kita.

Harapan utama dari setiap orang yang mengalami tekanan dan kepahitan hidup--akibat beban hidup yang logis maupun karena menjadi korban ketidakadilan--ialah supaya beban-beban itu disingkirkan atau setidaknya diperingan. Sementara cara yang paling masuk akal adalah berikhtiar untuk mencari jalan keluar, cara yang paling cerdas ialah datang kepada Tuhan dan memohon kelepasan. Tentu saja untuk solusi yang terakhir ini membutuhkan iman, sebab hanya orang yang percaya kepada Tuhan dapat mengharapkan keajaiban (Mat. 17:20; 21:21-22).

"Untuk memuaskan ambisi dan keinginan-keinginan duniawi, mereka melukai hati nurani dan menaruh beban penyesalan tambahan ke atas diri mereka. Kecemasan yang terus-menerus melemahkan daya hidup mereka. Tuhan kita ingin agar mereka menyisihkan beban perbudakan ini...Ia mengundang mereka supaya terlebih dulu mencari kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, dan Ia berjanji bahwa segala sesuatu keperluan mereka untuk kehidupan sekarang akan ditambahkan" [empat kalimat pertama].

"Datanglah kepada-Ku kamu semua yang lelah, dan merasakan beratnya beban; Aku akan menyegarkan kamu. Ikutlah perintah-Ku dan belajarlah daripada-Ku. Sebab Aku ini lemah lembut dan rendah hati, maka kamu akan merasa segar. Karena perintah-perintah-Ku menyenangkan, dan beban yang Kutanggungkan atasmu ringan" (Mat. 11:28-30, BIMK).

(Oleh Loddy Lintong/California, 20 November 2014)

Jumat, 14 November 2014

Partiture Del Deker

PELAJARAN SEKOLAH SABAT KE VII 15 NOVEMBER 2014: "MENGENDALIKAN LIDAH YANG TAK BERTULANG"



Sabat Petang, 8 November
PENDAHULUAN

Lidah mengungkap hati. Sebuah pepatah mengatakan, "Perkataan yang manis tidak selalu jujur, dan perkataan yang jujur tidak selalu manis." Semua orang menyukai kata-kata yang manis, tetapi saya lebih suka kata-kata jujur yang diucapkan dengan manis. Masalahnya, tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk berbicara manis, dan hanya segelintir orang yang mempunyai keberanian untuk berkata jujur. Kebanyakan dari kita fasih berbicara manis tapi tidak jujur, atau bicara jujur tapi kasar.

Kita berkomunikasi secara verbal dengan menggunakan kata-kata (lisan maupun tulisan), dan kita juga berkomunikasi secara non-verbal tanpa kata dengan menggunakan bahasa tubuh. Manusia dapat berbicara melalui kebisuannya. Namun dengan cara apapun yang anda dan saya gunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain, apa yang kita utarakan adalah isi hati ataupun buah pikiran. Banyak orang yang tangkas ketika mengungkapkan pandangannya pada suatu saat, tapi gagap tatkala hendak menyuarakan isi hatinya di saat yang lain. Bagi mereka yang petah lidah, kata-kata sering dapat "mengaburkan" isi hati yang sebenarnya.

Secara fisik, lidah merupakan organ tubuh yang serba guna. Lidah bermanfaat untuk membantu mengunyah serta mencicipi makanan, dan lidah juga berfaedah untuk menolong sewaktu berkata-kata. Bahkan, dari segi medis lidah mengandung informasi yang menyingkap kondisi kesehatan fisik maupun emosi seseorang. Secara anatomis, lidah adalah organ berotot yang dilapisi dengan jaringan-jaringan mukosa yang pada permukaannya ditutupi dengan tonjolan-tonjolan halus yang disebut papila. Pada bagian ini terdapat beberapa ribu pucuk pengecap (taste buds) sehingga dapat membedakan antara rasa manis, asin, pahit, dan asam, bahkan dapat mendeteksi rasa kelima yang disebut umami, sejenis glutamat yang terdapat misalnya dalam teh hijau.

Lebih menarik lagi, riset belum lama ini mengungkapkan bahwa lidah yang merepresentasikan sejumlah besar jaringan tubuh dapat "berkomunikasi" dengan jaringan-jaringan sejenis yang berada di bagian-bagian tubuh lainnya. Pendeknya, lidah adalah organ yang berguna dalam membantu tubuh mendapatkan zat-zat gizi yang dibutuhkan, bermanfaat untuk menyingkap kebugaran tubuh, dan berfaedah dalam mengekspresikan diri kita melalui perkataan. Tetapi khusus untuk yang terakhir ini, Tuhan Yesus mengingatkan: "Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum" (Mat. 12:36-37).

"Kata-kata dapat menenangkan dan menenteramkan, atau meracuni dan mencemari. Berapa seringkah anda mengucakan sesuatu kemudian ingin hendak menariknya kembali?...Pekan ini, seperti yang akan kita lihat, Yakobus mempunyai pesan-pesan penting tentang kata-kata" [dua alinea terakhir].

Minggu, 9 November
TAGGUNGJAWAB GURU DAN ORANGTUA (Pertanggungjawaban)

Integritas pengajar. Kita tidak tahu secara pasti apa yang melatarbelakangi Yakobus untuk menulis pesan ini: "Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat" (Yak. 3:1). Mungkin dalam pengamatan sang rasul, atau dari laporan-laporan yang diterimanya, banyak orang di jemaat-jemaat yang berminat ataupun berlagak sebagai guru, dalam hal ini adalah guru agama. Sementara menjadi pengajar firman Tuhan adalah niat yang baik dan tugas yang mulia, sang rasul prihatin dengan integritas dari kebanyakan orang-orang itu dalam hal menyelaraskan perkataan dengan perilaku mereka.

Pada zaman Yesus, golongan Farisi menguasai posisi sebagai guru agama bagi masyarakat Yahudi, dan mereka sangat bangga dengan sebutan sebagai "rabi." Tetapi Yesus sering mengecam mereka, selain karena perilaku mereka yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ajarkan (Mat. 23:3), juga karena mereka menyombongkan predikat sebagai guru agama dengan cara menuntut penghormatan di rumah ibadah maupun di pasar (ay. 6-7). Sehingga Yesus menasihati murid-murid-Nya, "Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara...Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias" (ay. 8, 10).

"Guru-guru dalam jemaat dan di sekolah-sekolah Kristen mempunyai tanggung jawab khusus yang berat karena mereka membentuk pikiran dan hati dalam cara yang akan bertahan lama. Efeknya termasuk dampak sampingan yang mereka miliki terhadap banyak orang lain di luar lingkungan pengaruhnya secara langsung. Semakin kita tahu, semakin kita bertanggungjawab untuk memanfaatkan dan menanamkan pengetahuan itu" [alinea pertama].

Pentingnya hikmat. Pada zaman Perjanjian Lama, pendidikan agama terpusat pada pengetahuan Hukum Musa (Torah) sebagai aspek primer dan pada penerapan hukum-hukum itu dalam kehidupan sehari-hari sebagai aspek sekunder. Dalam prosesnya, pendidikan agama--pendidikan moral dan etika--pada masyarakat Israel purba itu dilakukan dalam setiap keluarga di mana orangtua, khususnya ayah, adalah sebagai guru (Ul.6:6-7). Pendidikan moral agama ini dikenal dengan istilah "Pirkei Avot" ("Etika Para Bapa") atau Wisdom of the Fathers (Hikmat Para Bapa). Ini sesuai dengan perkataan Salomo, "Hai anakku, perhatikanlah hikmatku, arahkanlah telingamu kepada kepandaian yang kuajarkan, supaya engkau berpegang pada kebijaksanaan dan bibirmu memelihara pengetahuan...Hai anakku, peliharalah perintah ayahmu, dan janganlah menyia-nyiakan ajaran ibumu" (Ams. 5:1-2; 6:20).

"Orangtua mengemban tanggung jawab yang berat dalam mengajar anak-anak mereka yang pada gilirannya akan mempengaruhi orang-orang lain. Bahkan kita semua, oleh teladan yang kita tunjukkan, dapat memberi pengaruh yang besar pada orang-orang di sekeliling kita. Jadi alangkah pentingnya agar kita mencari hikmat Allah yang telah Ia janjikan pada kita (Yak. 1:5), supaya kita bisa meneladani jalan-jalan-Nya dan menerapkan pengaruh yang saleh. Karena kita semua memberi pengaruh atas orang lain, yang baik atau buruk" [alinea terakhir].

Selain para orangtua, penatua-penatua jemaat juga memikul tanggung jawab yang tidak kecil terhadap apa yang mereka ajarkan kepada jemaat, baik melalui pembicaraan maupun perilaku mereka. Rasul Paulus menyebut mereka yang menjadi pemimpin-pemimpin rohani di dalam jemaat adalah orang-orang yang "menginginkan pekerjaan yang indah" (1Tim. 3:1). Tetapi sang rasul juga menegaskan, bahwa "penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu istri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya" (ay. 2-4; bandingkan dengan Tit. 1:7-9).

Apa yang kita pelajari tentang tanggung jawab sebagai guru, pemimpin rohani, dan orangtua?
1. Dalam organisasi gereja kita ada guru-guru profesional di lembaga-lembaga pendidikan dan ada pula guru-guru rohani di dalam jemaat, termasuk "guru-guru" (pemimpin diskusi) di UKSS atau kelas SS. Amaran Yakobus bukan hendak meredupkan semangat untuk menjadi guru, tapi mendorong integritas dan kredibilitas para guru.
2. Adagium ini berlaku bagi semua guru: "A teacher who stops learning should stop teaching" (Guru yang berhenti belajar harus berhenti mengajar). Tidak ada seorang guru pun yang menguasai segala pengetahuan sehingga tidak perlu belajar lagi, termasuk guru-guru agama. Semboyan "pendidikan sepanjang hayat" juga berlaku untuk para guru.
3. Pendidikan rohani (moral dan keagamaan) bukan hanya tanggung jawab guru agama atau pemimpin rohani, tapi terutama itu adalah tanggung jawab para orangtua terhadap anak-anak mereka khususnya pada usia dini. Jadi, orangtua adalah guru pertama bagi anak-anak mereka. Guru yang baik mengajar anak didiknya dengan pengajaran dan keteladanan.

Senin, 10 November
BERHATI-HATI KETIKA BERBICARA (Kuasa Perkataan)

Berpikir sebelum berkata. Plato, filsuf Yunani abad ke-5 SM, mengatakan begini: "Orang bijak berbicara karena dia mempunyai sesuatu untuk dikatakan, orang bodoh berbicara karena dia harus mengatakan sesuatu." Sekitar 500 tahun sebelumnya Salomo sudah menulis, "Orang yang bodoh banyak biaranya..." (Pkh. 10:14). Kita juga mengenal peribahasa, "Tong kosong nyaring bunyinya."

Rasul Yakobus menyampaikan nasihat yang sama ketika dia menulis, "Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya" (Yak. 3:2). Di sini sang rasul hendak mengatakan bahwa tidak ada orang yang begitu sempurna hidupnya sehingga dia berhak untuk banyak bicara. Nasihat ini satu paket dengan apa yang disebutkan sebelumnya perihal niat menjadi guru, sebab guru itu "akan dihakimi dengan ukuran yang lebih berat" (ay. 1). Guru agama itu bekerja dengan berkata-kata (mengajar), maka perkataannya harus selaras dengan tabiatnya. Salah bicara, atau berbicara tidak sesuai dengan apa yang dipraktikkannya, besar risikonya.

"Pentingnya perkataan itu tidak mungkin berlebihan. Pemikiran menuntun kepada perkataan yang pada gilirannya membawa kepada tindakan. Perkataan juga menguatkan apa yang kita pikirkan. Jadi, perkataan itu mempengaruhi tidak saja apa yang kita lakukan tapi juga apa yang orang laib lakukan. Kita saling dihubungkan melalui bahasa" [alinea kedua: lima kalimat terakhir].

Pengaruh kata-kata. Sebuah studi yang diadakan beberapa tahun lalu oleh Universitas Arizona, AS menemukan bahwa ternyata kaum pria maupun kaum wanita sama-sama banyak bicara, yaitu sekitar 16.000 kata per hari. Dengan menggunakan alat perekam digital yang dipasangkan pada tubuh para relawan, didapati bahwa rata-rata kaum pria mengucapkan 15.669 kata dan kaum wanita 16.215 kata dalam satu hari. Tentu saja penelitian ini dilakukan di kalangan masyarakat Amerika yang menggunakan bahasa Inggris. Temuan yang ditayangkan oleh stasiun televisi ABC News ini "menggugat" pendapat sebelumnya bahwa perempuan lebih banyak berbicara daripada laki-laki, yaitu 7000 kata berbanding 20.000 kata per hari. (Baca di sini--> http://abcnews.go.com/Technology/story?id=3348076).

Percakapan tidak terlepas dari pemilihan kata, dan setiap kata yang terucap dari bibir kita akan ditangkap oleh orang lain yang mendengarnya menurut makna yang dia pahami. Itulah sebabnya kita perlu belajar untuk menggunakan kata yang tepat sesuai dengan apa yang kita maksudkan. Sebagai informasi, jumlah kosakata dalam Bahasa Indonesia adalah sekitar 90.000 kata (berdasarkan banyaknya lema atau "entri" dalam KBBI edisi keempat, 2008), tetapi yang kita sering gunakan dalam percakapan sehari-hari mungkin tidak sampai 5%. Menurut Compton's Encyclopedia, jumlah kosakata dalam bahasa Inggris ada sekitar 750.000, tapi banyaknya kata yang digunakan sehari-hari oleh penuturnya hanya berkisar antara 500-2000 kata, kurang dari 1%. Jadi, kita masih mempunyai banyak pilihan kata untuk dapat mengutarakan pemikiran maupun perasaan kita dengan lebih tepat.

Karena kita semua suka berbicara, bahkan terkadang berbicara lebih banyak daripada yang diperlukan atau berbicara pada waktu di mana seharusnya berdiam diri, maka nasihat untuk memperhatikan perkataan kita menjadi sangat penting. Dalam hal berbicara pilihan kata juga berpengaruh besar terhadap orang kepada siapa kita tujukan perkataan kita. "Kata-kata begitu kuat kemampuannya sehingga hanya dengan beberapa kalimat saja anda dapat menghancurkan seseorang, mungkin untuk sepanjang sisa hidupnya. Sebaliknya, kata-kata yang positif dapat mengangkat seseorang, mungkin juga untuk sepanjang sisa hidupnya" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang "kuasa perkataan" sehingga kita harus berhati-hati dalam berbicara?
1. Normalnya, kita lebih banyak menggunakan kata-kata untuk berkomunikasi dengan orang-orang lain ketimbang menggunakan cara yang lain. Masalahnya lidah ini seringkali "lebih tangkas" daripada pikiran dan hati, sehingga bisa saja kita terlanjur bicara sebelum berpikir dan menimbang, dengan segala akibatnya.
2. Mengingat perkataan sangat besar pengaruhnya serta akibat yang dapat ditimbulkannya, baik terhadap diri si pembicara maupun si pendengar, maka nasihat rasul Yakobus supaya berhati-hati dalam berbicara menjadi sangat relevan. Lebih banyak perkataan positif yang anda ucapkan, lebih banyak pula berkatnya bagi diri anda maupun orang lain.
3. Kata-kata adalah sarana paling efektif dan praktis untuk mengutarakan pendapat dan isi hati, bahkan bagi orang Kristen bahasa serta kata-kata adalah alat untuk pengajaran dan penginjilan. Karena itu kita perlu meningkatkan pengetahuan dalam pemakaian kata yang tepat untuk mengubah situasi menjadi lebih baik (disebut "transformational vocabulary").

Selasa, 11 November
AMARAH BUKAN HAL SEPELE (Perkara "Kecil" adalah Perkara Besar)

Lidah sebagai kemudi. Yakobus mengibaratkan lidah sebagai organ tubuh yang kecil itu sama fungsinya dengan kekang untuk mengendalikan seekor kuda yang perkasa dan kemudi untuk menyetir kapal yang besar. Tentu dalam hal ini sang rasul melihat pada ukuran fisik dari ketiga benda itu (lidah, kekang, dan kemudi) dibandingkan dengan fungsi yang dijalankannya. Tetapi lidah, seperti halnya kekang pada kuda dan kemudi pada kapal, tidak dapat bekerja sendiri tanpa dikendalikan oleh pikiran manusia. Bahkan, kecuali fenomena alam, pikiran manusia yang mengatur dan mengendalikan hampir semua hal yang berlangsung di planet ini.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mengubah kehidupan manusia, termasuk dalam cara kita berkomunikasi. Berkat perkembangan iptek, orang bisu yang tidak mampu memanfaatkan lidahnya tetap dapat "berbicara" melalui perangkat teknologi maupun dengan menggunakan gerakan-gerakan tangan sebagai bahasa isyarat. Bahkan manusia sudah dapat membuat alat yang dapat menyuarakan pemikiran melalui komputer khusus yang mengkonversikannya menjadi tulisan di layar monitor atau suara yang dapat didengar melalui perangkat audio. Tentu rasul Yakobus tidak pernah membayangkan hal seperti ini ketika dia menulis suratnya 21 abad silam. Tetapi idenya tentang peran lidah yang begitu besar dan sangat menentukan itu tidak dapat dibantah kebenarannya, sebab yang mengendalikan lidah tetap saja adalah otak atau pikiran manusia.

"Bayangkanlah seekor kuda yang sedang berlari pada kecepatan penuh dan sebuah kapal yang meluncur di atas air dengan daya jelajah maksimum tetapi keduanya menuju pada arah yang salah. Makin cepat jalannya, makin jauh pula dia dari tujuannya. Maka cara terbaik ialah berhenti dan berbalik arah sesegera mungkin. Sama halnya dengan perkataan kita. Kalau sebuah percakapan beralih dari keadaan yang buruk menjadi lebih buruk, lebih cepat kita berhenti itu lebih baik" [alinea pertama: lima kalimat terakhir].

Menukar suasana. Yakobus ternyata seorang yang berdarah panas, setidaknya waktu dia belum lama menjadi pengikut Yesus. Tatkala Guru mereka hendak menuju ke Yerusalem dan dalam perjalanan itu ingin mampir di sebuah desa orang Samaria, penolakan penduduk desa itu yang tidak mau menerima Yesus menyulut amarahnya. Lalu, bersama Yohanes, dia menyampaikan usulan ini: "Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?" (Luk. 9:54). Tentu saja kedua murid itu tahu cerita tentang nabi Elia yang menurunkan api dari langit menghanguskan 102 tentara suruhan Ahazia, raja kerajaan Israel di utara, yang terjatuh dari jendela istananya di Samaria dan hendak meminta petunjuk dari sang nabi (2Raj. 1:10, 12). Tetapi Yesus menegur kedua murid-Nya itu lalu memilih desa yang lain sebagai tempat persinggahan.

Banyak orang yang dapat menahan diri ketika harga dirinya dilecehkan, tetapi sebagian orang tidak mampu menahan emosi untuk segera bertindak. Tatkala seseorang tersulut amarahnya kadar hormon energi dan adrenalin dalam darah meningkat sehingga jantungnya berdegup lebih kencang dan cepat, pada saat itu tubuh siap menghadapi apa yang oleh otak ditafsirkan sebagai ancaman. Orang-orang yang cepat naik darah ini tergolong kelompok yang toleransinya rendah terhadap hal-hal yang menimbulkan frustrasi dan kejengkelan, sedangkan di pihak lain ada orang-orang yang toleransinya tinggi terhadap hal-hal yang memicu percekcokan. Bagi kelompok pertama ada baiknya untuk mempelajari teknik-teknik "tata kelola amarah." (Baca di sini--> http://www.mayoclinic.org/healthy-living/adult-health/in-depth/anger-management/art-20045434).

"Yesus mengubah penolakan terhadap diri-Nya oleh sebuah desa di Samaria menjadi sebuah pengalaman belajar bagi para pengikut-Nya. Di tengah suasana yang panas, ketika emosi meningkat dan gejolak perasaan untuk membela diri menuntut, kita bisa mengingat keteladanan Yesus, dan dalam arti kiasan berjalan terus 'ke desa yang lain'" [alinea kedua: dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang perkara "kecil" yang dapat menjadi besar?
1. Lidah adalah organ tubuh yang terbilang kecil tapi lincah dan lentur, dapat digerakkan ke segala jurusan dan bisa menjulur keluar atau bersembunyi di balik rongga mulut. Tapi meskipun kecil dan lentur lidah dapat "mengendalikan" suasana yang keruh dan bergejolak menjadi jernih dan tenang, atau sebaliknya.
2. Binatang buas ada pawangnya yang bisa menjinakkan, tetapi lidah tak ada pawangnya. Kata rasul Yakobus: "Semua jenis binatang liar...dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorang pun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan (Yak. 3:7-8).
3. Ketika sedang marah biasanya lidah yang lebih dulu bekerja sebelum tangan dan kaki bergerak meninju atau menendang. Seringkali kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan melalui lidah bahkan lebih parah akibatnya. Lidah tak dapat dikendalikan kecuali oleh pikiran yang juga dikendalikan oleh Roh Kudus.

Rabu, 12 November
AKIBAT SALAH UCAP (Mengendalikan Kerusakan)

Sumber kerusakan. Suatu kali seorang wanita datang kepada John Wesley, pendiri Gereja Metodis. "Sekarang saya sudah tahu talenta apa yang Tuhan berikan kepada saya," celoteh wanita itu. "Talenta saya ialah mengutarakan segala sesuatu yang saya pikirkan." Mendengar pengakuan tersebut Wesley langsung menanggapi sembari menatap wanita itu, "Saya kira Tuhan tidak keberatan kalau anda menguburkan talenta itu!" Mengucapkan apa saja yang muncul dalam pikiran, tanpa sensor, sangatlah berbahaya. Yakobus menulis: "Lidah sama dengan api. Di tubuh kita, ia merupakan sumber kejahatan yang menyebarkan kejahatan ke seluruh diri kita. Dengan api yang berasal dari neraka, ia menghanguskan seluruh hidup kita" (Yak. 3:6, BIMK). Bayangkan, gara-gara lidah yang tak dikendalikan seseorang bisa masuk neraka!

Apa yang kita katakan kepada orang lain dan apa yang orang lain katakan kepada kita, baik maupun buruk, dapat berkesan sampai seumur hidup. Kalau kita mengucapkan sesuatu yang positif kepada atau mengenai seseorang, ucapan itu dapat mengilhami orang itu dan orang lain yang mendengarnya. Sebaliknya, jika kita mengatakan sesuatu yang negatif maka hal itu bisa merusak orang itu. Perihal orang yang suka bicara sembarangan tanpa berpikir panjang, Salomo berkata, "Seperti orang gila menembakkan panah api, panah dan maut, demikianlah orang yang memperdaya sesamanya dan berkata: 'Aku hanya bersenda gurau'" (Ams. 26:18-19).

"Bukan saja api yang besar dapat dimulai dari sebuah percikan, tapi api itu juga dapat membinasakan dan menghancurkan dengan kecepatan yang mencengangkan. Dengan cara yang sama pula kata-kata dapat merusak persahabatan, perkawinan, dan nama baik. Perkataan dapat merasuk sampai ke dalam jiwa seorang anak dan merusak harga diri serta perkembangan masa depannya" [alinea ketiga].

Memperbaiki kesalahan. Orang yang sadar telah berbuat satu kesalahan tetapi tidak berusaha memperbaikinya berarti dia telah melakukan dua kesalahan sekaligus. Pertama adalah kesalahan yang sudah dilakukan, dan kedua adalah kealpaan untuk memperbaiki kesalahan itu. Begitu pula, ketika anda sadar telah mengucapkan perkataan yang salah dan tidak berusaha untuk memperbaikinya, itu berarti anda sudah melakukan dua kesalahan. Mengingat pengaruh perkataan yang dapat merusak masa depan seseorang, maka kita tidak boleh berharap bahwa ucapan kita yang salah nanti juga akan berlalu dan dilupakan. Lebih penting lagi, perkataan yang salah itu telah terekam dalam buku catatan pribadi kita di surga terhadap apa kita harus mempertanggungjawabkannya.

Tatkala orang Farisi dan ahli Taurat mengkritik Yesus karena murid-murid-Nya makan tanpa membasuh tangan lebih dulu, Yesus berkata kepada mereka, "Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang" (Mat. 15:11). Kemudian Ia menegaskan kembali pernyataan itu kepada murid-murid-Nya sendiri, "Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun ke dalam perut lalu dibuang di jamban? Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang" (ay. 17-18; huruf miring ditambahkan). Makan tanpa cuci tangan mungkin dapat membuat seseorang sakit perut akibat kuman-kuman, tetapi perkataan yang jahat dapat menajiskan orang lain dan merusak seluruh kehidupannya. Sebab itu, meralat perkataan yang salah adalah penting.

"Meskipun benar bahwa sekali perkataan terucapkan itu akan berlalu untuk selamanya dan kita tidak dapat sepenuhnya menghapus apa yang telah kita ucapkan, kita harus berusaha sedapat mungkin untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkannya dan memperbaiki apa yang bisa diperbaiki. Mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki keadaan juga akan menolong kita agar tidak mengulangi kesalahan yang sama" [alinea kelima: dua kalimat pertama].

Apa yang kita pelajari tentang memperbaiki kesalahan akibat perkataan kita?
1. Kita mungkin sering mendengar pepatah mengatakan, "Mulutmu, harimaumu." Perkataan kita adalah pemangsa yang dapat "membunuh" diri kita sendiri atau orang lain. Tidak kurang orang-orang yang menjadi korban perkataannya sendiri, atau korban dari perkataan orang lain yang sangat menyakiti hati.
2. Hampir selalu ada kesempatan untuk meralat perkataan kita yang salah, atau meluruskan kesalahpahaman akibat kata-kata yang terlanjur kita ucapkan. Namun sering kita tidak peka untuk menyadari akibat buruk dari salah ucap sehingga kita membiarkannya saja, sampai keadaan sudah terlambat dan kita menyesal.
3. Pernyataan Yesus bahwa akibat dari apa yang keluar dari mulut (kata-kata jahat) lebih berbahaya daripada apa yang masuk ke dalam mulut (makanan dan minuman yang tercemar) merupakan amaran serius terhadap bagaimana kita mesti menjaga lidah kita. Makanan bisa mencemari tubuh, tapi perkataan dapat menajiskan jiwa.

Kamis, 13 November
MULUT YANG SAMA (Berkat dan Kutuk)

Kontras. Mulut adalah organ penting dari sistem pencernaan yang menerima asupan gizi bagi kebutuhan seluruh tubuh, tetapi mulut adalah juga organ penting dari sistem komunikasi yang menyuarakan aspirasi dan ide dalam hubungan antar manusia. Jadi, mulut adalah organ tubuh untuk menerima dan juga untuk memberi. Untuk kedua fungsi tersebut mulut dibantu oleh organ lain, yaitu lidah. Jadi, mulut dan lidah merupakan satu tim yang utuh dan saling melengkapi dalam menjalankan fungsi-fungsi jasmaniah maupun rohaniah. Anda mungkin pernah mengalami betapa sengsara dan repotnya waktu mulut atau lidah tidak bisa berfungsi sepenuhnya, katakanlah akibat adanya sariawan di beberapa tempat dalam rongga mulut atau pada lidah.

Tetapi manakala lidah dan mulut dalam keadaan normal, saat kita bisa makan dengan lahap dan berceloteh dengan riuh, kita cenderung membiarkan lidah dan mulut menikmati kebebasan mereka nyaris tanpa kendali. Kita bisa makan apa saja dan berbicara apa saja, tidak terpikir soal pantangan. Dalam keadaan seperti itulah rasul Yakobus menyatakan apa yang mungkin kita lakukan dengan lidah dan mulut, "Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk" (Yak. 3:9-10).

"Gambaran tentang berkat dan kutuk yang keluar dari mulut seorang Kristen itu mencemaskan, sedikit-dikitnya begitu...Bagaimana dengan seseorang yang membicarakan perkataan kebenaran dan keajaiban tentang Yesus, tapi kemudian terdengar menceritakan sebuah lelucon yang tidak senonoh? Gambaran-gambaran seperti ini pasti secara rohani mengganggu sebab hal tersebut bertentangan dengan apa yang kita tahu benar. Mulut yang sama yang memuji Tuhan belakangan menceritakan sebuah lelucon yang kotor? Ada apa dengan perbedaan yang kontras ini?" [alinea pertama: kalimat pertama dan empat kalimat terakhir].

Dosa dan pengampunan. Diceritakan tentang seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun yang menginginkan sebuah sepeda tapi tidak punya uang untuk membelinya. Menghadapi keinginan hati yang menggebu-gebu untuk memiliki sebuah sepeda, remaja itu mempertimbangkan untuk mencuri sepeda temannya tetapi takut berdosa. Tiba-tiba dia teringat khotbah pendeta di gereja bahwa Tuhan itu sangat pemurah dan akan selalu mengampuni dosa orang yang mengakui dosanya. Hari itu juga dia langsung melakukan niatnya, pergi ke rumah temannya untuk mencuri sepeda lalu bergegas pulang ke rumah untuk mengakui dosa dan memohon pengampunan. Beres.

Terkadang kita memiliki pemikiran seperti anak pra-remaja itu, berbuat dulu baru minta ampun. Dalam banyak kasus, ada orang-orang yang asal bicara tanpa berpikir panjang, setelah timbul masalah baru minta maaf. Bahkan saya pernah terlibat untuk membereskan sebuah pertikaian gara-gara ada orang ketiga yang gemar "membawa mulut" telah menimbulkan pertengkaran sengit, tetapi setelah pihak ketiga itu dipanggil dan dikonfrontir langsung berkata dengan nada tak berdosa: "Memang saya yang bilang, tapi itu hanya main-main, koq. Maaflah kalau begitu." Duh!

"Memang, dosa kita bisa diampuni sesudah kita melakukannya; tetapi masalahnya ialah bahwa sangat sering konsekuensi dari dosa-dosa itu tetap ada, sering dengan akibat-akibat yang bukan saja atas diri kita sendiri tapi pada orang lain juga. Alangkah jauh lebih baik bertelut memohon kuasa kemenangan daripada harus meminta pengampunan sesudahnya dan kemudian mendesak agar kerusakannya dikendalikan" [alinea terakhir: dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang berkat dan kutuk terucap dari bibir kita?
1. Mungkin anda pernah dengar sebutan "mulut WC" yang diberikan kepada seseorang yang suka berkata jorok atau gemar membicarakan kebusukan-kebusukan orang. Umat Kristen sejati mesti menjaga mulutnya agar selalu "higienis" dan tidak tercemar. Berdoalah seperti Daud: "Awasilah mulutku, ya Tuhan, berjagalah pada pintu bibirku!" (Mzm. 141:3).
2. Banyak orang yang sadar kesehatan dengan menjaga makan, bahkan dengan diit ketat. Kalau untuk memelihara tubuh yang akan binasa ini saja kita rela melakukan hal itu, apalagi demi keselamatan jiwa? Mungkin anda dan saya juga perlu "diit bicara." Salomo berkata: "Siapa menjaga mulutnya memelihara nyawanya, siapa yang lebar bibir akan ditimpa kebinasaan" (Ams. 13:3).
3. Allah itu pemurah dan akan mengampuni dosa kita (Yoh. 1:9). Tetapi pengampunan dosa tidak membatalkan akibat-akibat dosa yang harus kita tanggung dalam kehidupan sekarang. "Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya..." (Gal. 6:7-8).

Jumat, 14 November
PENUTUP

Percakapan bodoh. Ada etnis-etnis tertentu yang senang bercakap-cakap apalagi secara berkelompok, dan kerap kegemaran seperti itu terbawa sampai ke lingkungan gereja. Di mana ada dua-tiga orang berkumpul dan bercengkerama, orang-orang lain akan tertarik untuk ikut nimbrung. Obrolan bebas adalah semacam rekreasi sosial yang menggairahkan, dan kita sangat mudah untuk terlibat dan hanyut dalam eforia itu. Kita terbiasa dengan "diskusi warung kopi" atau "obrolan pinggir jalan" untuk membahas tentang tema apa saja. Ada obrolan yang bermanfaat, ada pula obrolan yang sekadar ngalor-ngidul (dari selatan ke utara, dan dari utara ke selatan) tanpa tujuan.

Sementara obrolan bebas bisa bersifat rekreatif dan mempererat hubungan sosial, suasana seperti itu juga dapat menjadi ajang untuk membicarakan hal-hal yang negatif tentang sesuatu atau mengenai seseorang. Bahkan, suasana seperti itu terbuka untuk bertukar canda dengan lelucon-lelucon murahan yang berkonotasi seksual. Bukankah lelucon tentang seks selalu memancing tawa riang? Tidak terkecuali di lingkungan gereja!

"Bila berada dalam kelompok orang-orang yang memanjakan percakapan bodoh, adalah kewajiban kita untuk mengubah pokok pembicaraan sekiranya mungkin. Dengan pertolongan anugerah Allah kita harus dengan tenang mengeluarkan kata-kata atau mengemukakan pokok pembicaraan yang akan mengalihkan percakapan kepada alur yang bermanfaat..." [alinea pertama].

Orang Kristen terutama juga dikenal dari tutur katanya dan tema pembicaraan yang disukainya, bukan hanya dari cara berpakaian dan dandanan yang digemarinya. Ketika kita membicarakan tentang pemeliharaan dan kasih Allah, atau hal-hal kerohanian lainnya, orang-orang lain yang mendengarkannya turut terberkati dan dikuatkan.

"Percakapan kita haruslah kata-kata pujian dan syukur. Kalau pikiran dan hati penuh dengan kasih Allah, hal ini akan dinyatakan dalam percakapan. Bukan hal yang sulit untuk memberitahukan apa yang masuk ke dalam kehidupan rohani kita...Apabila Kristus dinyatakan sedemikian rupa dalam percakapan kita, hal itu akan memilikikuasa dalam memenangkan jiwa-jiwa kepada-Nya" [alinea kedua: kalimat ketiga sampai kelima dan kalimat terakhir].

"Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya beroleh kasih karunia" (Ef. 4:29).

(Oleh Loddy Lintong/California, 13 November 2014)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...