Syaloom

Selamat datang bagi pengunjung blog ini, terima kasih atas kunjungan anda pada blog ini anda dapat download lagu-lagu rohani khusus quartet (male or ladies) termasuk partitur yang kami telah sediakan.

Blog ini khusus saya buat untuk membantu teman-teman yang mempunyai hobi menyanyi lagu-lagu rohani tetapi pada saat tertentu tidak mempunyai cukup partiture. Dan sesuai dengan judulnya maka blog ini khusus dibuat untuk quartet grup vokal, apakah itu male quartet atau ladies quartet.

Banyak orang didunia ini dan hampir semua orang yang ada di jagad raya ini menyukai musik. Sebab itu saya ingin mengajak semua teman-teman yang ingin partisipasi dalam blog ini saya persilahkan untuk memberi saran dan bahan untuk memajukan grup-grup quartet. Sering kita menyanyikan sebuah lagu dengan baik dan pendengar cuma menyukai harmoninya saja tetapi pekabaran dalam lagu itu sendiri tidak didapat karena pendengar tersebut tidak mengerti bahasa yang dinyanyikan dalam lagu tersebut untuk itu melalui blog ini saya sekali lagi mengajak siapapun untuk urung rembuk agar blog ini disukai dan dapat bermafaat buat kita semua.

Untuk itu saya akan mencoba untuk mentransfer dari partiture aslinya kedalam bahasa Indonesia. Shalom regards,

GBU
E. Nanlohy



TRANSLATORS...

Jumat, 29 Agustus 2014

PELAJARAN SEKOLAH SABAT KE IX, 30 AGUSTUS 2014: "GEREJA DAN PERINTAH AGUNG"



Sabat Petang, 23 Agustus
PENDAHULUAN

Mendelegasikan misi. Yesus Kristus telah datang ke dunia ini membawa missi dari Bapa surgawi, dan setelah tiba waktunya Ia pun merekrut murid-murid pertama untuk menindaklanjuti misi tersebut. "Sama seperti Bapa mengutus Aku," kata-Nya kepada mereka, "demikian juga sekarang Aku mengutus kamu" (Yoh. 20:21). Ini bukan berarti bahwa misi yang diemban-Nya terlalu berat dan besar untuk bisa dilaksanakan sendiri, melainkan karena Yesus percaya pada konsep pendelegasian.

Jauh sebelum para ahli manajemen menemukan konsep dan prinsip pendelegasian tugas, Alkitab telah mencatat pentingnya hal tersebut demi efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan tugas (Kel. 18:13-26). Akan tetapi, berbeda dari sifat rutinitas yang dipercayakan Musa kepada jajaran pemimpin umat Israel semasa berada di padang gurun, pendelegasian tugas yang Kristus percayakan kepada murid-murid pertama itu berkaitan dengan misi. Dalam suatu pendelegasian tugas selalu melibatkan hak dan wewenang, maka ketika Yesus memanggil kedua belas murid itu Ia juga "memberi kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan" (Mat. 10:1).

Seringkali bila berbicara tentang tugas sebagai murid Yesus kita akan langsung merujuk kepada perintah Yesus, "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu..." (Mat. 28:18-20). Sementara "perintah agung" ini menjadi dasar bagi penginjilan dan misi lintas budaya dalam teologi Kristen, dengan baptisan sering dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan, Alkitab juga mencatat beberapa perintah identik yang Yesus sampaikan kepada murid-murid-Nya yang pertama.

"Berulang-ulang Ia mempercayakan kepada mereka tugas pemberitaan injil. Meskipun tidak ada dari para penulis Injil yang mencatat setiap perkataan yang Yesus ucapkan, masing-masing mengandung beberapa kalimat dari perintah Yesus, namun setiap catatan menekankan aspek yang berbeda dari tugas pemberitaan injil dan dengan demikian memberikan kepada kita wawasan berharga terhadap tujuan, metodologi, dan ruang lingkupnya"  [alinea pertama: dua kalimat terakhir].

Minggu, 24 Agustus
MEMANTULKAN KARAKTER ALLAH (Menjadi Terang Dunia)

Yesus dan terang. Dalam fisika, terang atau cahaya adalah radiasi elektromagnetik dalam bentuk gelombang yang memiliki kemampuan merambat di ruang hampa dengan kecepatan 300 Km per detik. Sebagai materi, terang atau cahaya itu adalah energi yang memiliki panjang gelombang tertentu dan membantu mata manusia untuk mengenali rupa-rupa warna, misalnya dalam fenomena pelangi pada waktu hujan di siang hari. Dalam Alkitab, terang adalah sebuah metafora (=kiasan) yang digunakan untuk melambangkan kebenaran Allah yang membantu manusia berdosa untuk mengenali sifat-sifat Allah.

Dalam kesaksiannya Yohanes menulis, "Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan" (1Yoh. 1:5). Perhatikan bahwa sang rasul tidak mengatakan bahwa Allah itu terang, tetapi bahwa Dia adalah terang. Jadi, terang merupakan bagian dari tabiat Allah--seperti juga kasih adalah bagian dari tabiat-Nya--tetapi bukan berarti bahwa ujud atau sosok pribadi Allah itu terang. Selanjutnya rasul itu berkata, "Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya" (Yoh. 1:5). Berdasarkan inilah maka Yesus pun berkata mengenai Diri-Nya, "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup" (Yoh. 8:12; huruf miring ditambahkan).

"Yesus Kristus, Anak Allah yang kekal, adalah 'terang manusia,...terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia' (Yoh. 1:4, 9). Dia sajalah terang yang dapat menerangi kegelapan dari suatu dunia yang diliputi dalam dosa. Melalui Dia kita boleh memiliki 'terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah' (2Kor. 4:6), yaitu karakter-Nya" [alinea ketiga].

Anak-anak terang. Dalam "Khotbah di Atas Bukit" itu Yesus berkata kepada para pengikut-Nya, "Kamu adalah terang dunia...Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga" (Mat. 5:14, 16; huruf miring ditambahkan). Ini merupakan sebuah pernyataan yang bersifat pujian dan sekaligus tanggungjawab. Sebagai pujian, karena selaku orang Kristen kita dianggap turut memiliki terang sebagai karakter Allah dan Yesus Kristus; sebagai tanggungjawab, sebab kita dituntut untuk menunjukkan perbuatan yang baik dengan mana dunia akan memuliakan Bapa di surga.

Secara tradisional kita sering mengaitkan status sebagai "terang dunia" dengan penginjilan, tetapi secara kontekstual sebenarnya ayat ini berbicara tentang perilaku orang Kristen yang harus mengikuti keteladanan hidup Yesus Kristus. Rasul Yohanes juga mengatakan, "Sebab barangsiapa berbuat jahat membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah" (Yoh. 3:20-21). Dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi "hari Tuhan" rasul Paulus mengingatkan, "Tetapi kamu, saudara-saudara, kamu tidak hidup di dalam kegelapan, sehingga hari itu tiba-tiba mendatangi kamu seperti pencuri, karena kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan" (1Tes. 5:4-5).

"Bukankah tidak masuk akal menyalakan lampu hanya untuk meletakkannya 'di bawah gantang atau di bawah tempat tidur' (Mrk. 4:21)? Lalu mengapa kita terkadang melakukan hal serupa dengan terang Kristus? Seorang murid yang bersembunyi tidak lebih berguna dari sebuah lampu di bawah gantang pada malam yang gelap. Karena itu, 'bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu' (Yes. 60:1)" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang menjadi terang dunia?
1. Menjadi "terang dunia" adalah sebuah kesempatan istimewa bagi setiap orang Kristen. Secara berjenjang terang itu adalah dari Allah kepada Kristus, lalu diwariskan kepada para pengikut-Nya. Sebagaimana Yesus selama berada di dunia ini telah menjadi terang dunia (Yoh. 9:5), demikianlah kita pun adalah terang dunia selama kita hidup.
2. Dalam pengertian alkitabiah, "terang dunia" mengandung makna ganda: memantulkan karakter Allah serta Kristus, dan menjalankan misi penginjilan. Kedua makna ini harus dipraktikkan dalam kehidupan orang Kristen secara simultan, yaitu menginjil sambil memelihara tabiat dan perilaku yang suci sebagai "anak-anak terang."
3. Sebagai gereja, kita semua mengemban misi dari Kristus untuk menerangi dunia yang digelapkan oleh dosa ini dengan terang kebenaran Allah. Sebagai pribadi, kita masing-masing memikul tanggungjawab untuk memantulkan karakter Allah dan karakter Kristus. Inilah makna gereja sebagai "koinonia" dan "ekklesia."

Senin, 25 Agustus
BERBAGI PENGALAMAN ROHANI (Menjadi Saksi)

Kedudukan sebagai saksi. Dalam dunia hukum "saksi" merupakan bagian penting dari pembuktian perkara. Di Indonesia, keberadaan dan kedudukan seorang saksi diatur dalam udang-undang hukum acara pidana yang definisinya sebagai berikut: "Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri" (UU No. 8 Tahun 1981, Bab I, Pasal 1, Nomor 26 tentang KUHAP; huruf miring ditambahkan). Berkaitan dengan itu, dalam perkara pidana diatur bahwa "keterangan saksi adalah salah satu alat bukti" (KUHAP, Pasal 1, Nomor 27). Jadi, secara hukum maka keterangan seorang saksi sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim atau majelis hakim atas suatu perkara pidana, dan dengan demikian menentukan nasib seorang terdakwa.

Alkitab menggunakan kata "saksi" dalam pengertian hukum, etika, dan historis. Dalam PL, kata yang diterjemahkan dengan saksi berasal dari kata Ibrani ed, sebuah kata benda maskulin yang berkaitan dengan seseorang, atau kesaksian jika berkaitan dengan suatu benda (Strong; H5707). Sebagai kesaksian kalau itu berupa sebuah benda yang memiliki nilai historis, seperti dalam perjanjian antara Yakub dengan mertuanya, Laban (Kej. 31:44-45); sebagai saksi kalau itu adalah seorang manusia yang berkaitan dengan pengertian etika, misalnya dalam hubungan antar-manusia sebagaimana diatur dalam Taurat (Kel. 23:1-2; Im. 5:1; Bil. 35:30). Kata yang sama juga digunakan pada hukum kesembilan dari Sepuluh Perintah (Kel. 20:16) sebagai hukum moral Allah. Dalam PB, kata saksi berasal dari bahasa Grika martys dari mana kemudian muncul kata martyr, yaitu orang yang mati syahid karena mempertahankan kebenaran (Why. 17:6).

"Seorang saksi ialah seorang yang melihat suatu peristiwa yang terjadi. Siapa saja bisa menjadi saksi, asalkan secara pribadi dia telah menyaksikan sesuatu. Tidak ada yang nama saksi tidak langsung. Kita dapat bersaksi hanya berdasarkan pada pengalaman kita sendiri, bukan pengalaman orang lain. Sebagai orang-orang berdosa yang diselamatkan, kita memiliki hak istimewa untuk menceritakan kepada orang-orang lain apa yang Yesus telah lakukan bagi kita" [alinea ketiga].

Kewajiban sebagai saksi. Sementara menjadi saksi adalah suatu kedudukan yang penting dengan hak istimewa, seorang saksi juga memiliki kewajiban dan tanggungjawab penting sekali. Kalau pada konteks hukum sekuler keterangan seorang saksi dapat berpengaruh dalam menentukan nasib seseorang, maka dalam konteks alkitabiah kesaksian seorang saksi bisa berpengaruh terhadap nasib banyak orang.

Kepada murid-murid yang pertama itu Yesus berkata, "Kamu adalah saksi dari semuanya ini" (Luk. 24:48). Dalam hal ini Yesus sedang bertutur tentang peristiwa penyaliban yang meliputi kematian dan kebangkitan-Nya, di mana murid-murid itu menjadi saksi-saksi mata yang masih hidup. Dalam rangka pemberdayaan kesaksian mereka itu maka Yesus berjanji bahwa mereka akan "diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi" yaitu kuasa Allah (ay. 49). Sebab menjadi saksi bagi Kristus mesti dilengkapi dengan kemampuan untuk bersaksi secara benar dan bertenaga, kerelaan hati saja tidaklah cukup untuk menghasilkan dampak yang berarti dalam suatu misi penginjilan.

"Kitab Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa kesaksian umat percaya bisa memiliki kuasa yang meyakinkan hanya melalui kehadiran Roh Kudus yang tinggal di dalam hati mereka...Artinya, mereka mampu untuk berkata-kata secara terbuka dan dengan kuasa yang besar tentang apa yang mereka sendiri sudah saksikan dan alami. Dalam arti yang sangat nyata, kesaksian kita mengenai Kristus harus selalu termasuk pengalaman kita sendiri dengan Dia" [alinea terakhir: kalimat pertama dan dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang arti menjadi saksi bagi Kristus?
1. Dalam "drama politik" pada persidangan sengketa Pilpres di MK belum lama ini kita telah melihat bagaimana kesaksian banyak saksi dari pihak tertentu yang ditolak hakim karena para saksi itu tidak mengalami sendiri apa yang mereka saksikan. Bukan soal substansi kesaksian saja yang penting, tapi terutama adalah keabsahan dari kesaksian itu.
2. Karena untuk menjadi saksi yang sah harus memenuhi unsur "mengalami sendiri" padahal kita hidup dua ribu tahun sesudah seluruh rangkaian peristiwa itu terjadi--penyaliban, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Kristus--maka inti dari kesaksian kita bukan pada peristiwa tersebut lagi, melainkan pada pengalaman rohani yang kita alami bersama Yesus.
3. Bersaksi bagi Yesus tidak cukup hanya dengan bermodalkan semangat menginjil dan ketersediaan dana untuk maksud itu, tetapi harus disertai dengan kesiapan dan sumberdaya rohani. Penginjilan yang berdayaguna dan berhasilguna tidak dilakukan hanya karena ada kesempatan atau sekadar dorongan avonturir, tapi karena tuntunan kuasa Roh Kudus.

Selasa, 26 Agustus
MENJALANKAN MISI GEREJA (Demikian Juga Aku Mengutus Kamu)

Konsep penginjilan. Dalam doa syafaat yang terkenal itu, ketika Yesus mendoakan murid-murid-Nya yang pertama maupun umat percaya dari segala zaman, Kristus telah membuat suatu pernyataan penting yang ditujukan kepada Bapa di surga: "Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia" (Yoh. 17:18). Setelah kebangkitan-Nya, Yesus mengulangi pernyataan serupa, kali ini ditujukan kepada murid-murid: "Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu" (Yoh. 20:21). Kata Grika untuk mengutus dalam ayat ini adalah apostellō, sebuah kata kerja yang artinya "menyuruh pergi ke suatu tempat yang ditentukan" (Strong; G649), dan dari kata ini kemudian muncul istilah apostle (Inggris) atau rasul (Arab) yaitu utusan. Inilah konsep dasar dari misi penginjilan, yaitu kegiatan utus-mengutus secara berjenjang dan berkesinambungan.

Injil Yohanes mencatat bahwa sehabis Yesus mengucapkan pernyataan itu kepada murid-murid, Ia pun menambahkan perkataan ini: "Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada" (ay. 22-23). Dalam kata-kata ini termaktub dua hal, penganugerahan Roh Kudus dan pemberian kuasa untuk mengampuni dosa. Banyak komentator Alkitab sebagai semacam upacara penahbisan atas murid-murid untuk menjadi para penginjil, yang didahului dengan tindakan Yesus "mengembusi mereka" (ay. 22). Banyak pula yang percaya bahwa tatkala Yesus "meniupkan nafas-Nya" (BIMK) kepada mereka, Ia sedang memperagakan tindakan yang sama ketika Allah "menghembuskan nafas hidup" ke hidung Adam sehingga dia menjadi manusia yang hidup (Kej. 2:7). Roh Kudus, yaitu Roh Allah, berkuasa untuk memberi "kehidupan baru" kepada seseorang sebelum orang itu digunakan oleh Tuhan.

"Mengutus seseorang menyiratkan bahwa orang yang mengutus itu memiliki kewenangan atas orang yang diutus. Itu juga melibatkan suatu tujuan, karena orang itu diutus dengan satu missi untuk dilaksanakan. Yesus diutus oleh Bapa untuk menyelamatkan dunia ini (Yoh. 3:17), dan kita diutus oleh Yesus untuk memberitakan keselamatan melalui Dia. Jelaslah, tugas kita adalah lanjutan dari pekerjaan Kristus yang terdiri atas pelayanan selengkapnya kepada semua orang (Mat. 9:35). Ia mengharapkan dari kita bukan saja untuk melanjutkan apa yang Ia sudah mulaikan tetapi lebih jauh lagi" [alinea kedua: kalimat kedua hingga kelima].

Kuasa yang mengubahkan. Sewaktu Yesus menemui murid-murid pada hari Minggu malam itu mereka semua sedang berkumpul dalam sebuah rumah dengan "pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi" (Yoh. 20:19). Mungkin kita juga bisa membayangkan bahwa pada saat itu penerangan di dalam rumah tersebut sangat minim agar tidak menarik perhatian orang dari luar, suatu tindakan yang normal bila kita sedang bersembunyi ketakutan di dalam rumah. Tetapi hal itu agak mencengangkan, sebab beberapa jam yang lalu pada hari yang sama murid-murid itu baru saja dikejutkan dengan kenyataan bahwa Yesus sudah bangkit dari kubur, berdasarkan kesaksian Maria Magdalena yang kemudian juga disaksikan oleh Petrus yang datang ke kubur bersama seorang murid yang lain (ay. 1-8).

Yesus datang pada saat yang tepat, menemui murid-murid yang sedang dilanda oleh kecemasan dan kebimbangan. Dan Ia datang bukan dengan tangan hampa, tetapi dengan kuasa Roh-Nya yang menguatkan hati. "Sebagaimana nafas hidup mengubah debu tanah yang mati menjadi makhluk hidup, demikianlah Roh Kudus mengubah murid-murid yang cemas dan putus asa itu menjadi saksi-saksi hidup yang ampuh untuk meneruskan pekerjaan Yesus. Pengurapan yang sama sangat diperlukan sekarang ini demi memenuhi tugas yang dipercayakan kepada kita" [alinea terakhir: dua kalimat terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Kristus telah berikan kepada gereja suatu tugas yang suci. Tiap anggota harus menjadi saluran melalui mana Allah dapat menyampaikan kepada dunia ini kekayaan kasih karunia-Nya, kekayaan Kristus yang tak terduga. Tidak ada yang Juruselamat begitu inginkan seperti perantara-perantara yang akan menunjukkan kepada dunia Roh-Nya dan karakter-Nya. Tidak ada yang dunia ini begitu perlukan seperti perwujudan kasih Juruselamat melalui umat manusia. Segenap surga sedang menanti pria dan wanita melalui siapa Allah dapat menyatakan kuasa Kekristenan" (Ellen G. White, Maranatha, hlm. 128).

Apa yang kita pelajari tentang Yesus yang mengutus anda dan saya?
1. Penginjilan merupakan bagian dari skenario besar Allah sehubungan dengan rencana keselamatan bagi manusia. Mula-mula Allah mengutus Putra tunggal-Nya, Yesus Kristus, untuk mati sebagai Juruselamat dan mendirikan Gereja di bumi ini melalui murid-murid yang pertama. Selanjutnya, Yesus mengutus murid-murid itu ke seluruh dunia (Kis. 1:8).
2. Setiap orang Kristen adalah bagian dari penginjilan global sebagai utusan-utusan Kristus dari zaman ke zaman hingga Ia datang kedua kali. Sebagaimana kepada murid-murid pertama itu Yesus telah "mengembuskan" kuasa Roh-Nya, demikian pula kepada kita semua sekarang ini Yesus menganugerahkan kuasa Roh yang sama.
3. Roh Allah adalah kuasa ilahi yang bukan saja menyanggupkan umat percaya untuk melaksanakan tugas penginjilan, tetapi juga untuk memberi penghiburan serta kekuatan kepada kita semua sebagai para penginjil apabila kita putus asa dan kehilangan semangat.

Rabu, 27 Agustus
PENGINJILAN DAN PEMURIDAN (Menjadikan Murid)

Otoritas Kristus. Sesudah kebangkitan, Yesus beberapa kali bertemu dengan murid-murid-Nya, dan salah satunya adalah di "bukit yang telah ditunjukkan Yesus kepada mereka" (Mat. 28:16). Tidak ada yang tahu pasti lokasi maupun nama bukit itu, tapi yang pasti tempat itu cukup dikenal oleh murid-murid dan sangat mungkin di situ mereka sering bersama-sama dengan Yesus sebelum penyaliban-Nya. Tampaknya kali ini bukan murid-murid yang pertama itu saja yang hadir tapi juga ratusan orang lain yang belum pernah melihat Yesus sesudah kebangkitan-Nya, dan begitu melihat Yesus muncul sebagian dari mereka sempat ragu-ragu (ay. 17).

Kejadian terpenting di bukit itu ialah dekrit Kristus perihal otoritas-Nya. "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi," kata Yesus (ay. 18). Sesudah menyatakan itu Ia pun melanjutkan, "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu" (ay. 19-20; huruf miring ditambahkan). Frase "karena itu" di sini merupakan bagian penting yang menghubungkan pernyataan Yesus pada kalimat sebelumnya dengan perintah-Nya pada kalimat berikutnya, sehingga kata-kata Yesus itu bisa dipahami sebagai berikut: "Karena segala kuasa di surga dan di bumi sudah berada di tangan-Ku, maka sekarang pergilah kalian untuk menginjil ke seluruh dunia." Bagian kalimat sesudah perintah itu, "Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (ay. 20, bag. akhir), adalah janji jaminan yang menyertai perintah itu.

"Menurut catatan Matius, dalam memberikan Perintah Agung itu Yesus menggunakan empat kata kerja: pergi, jadikan murid, baptiskan dan ajar. Sayangnya, banyak versi Alkitab tidak mencerminkan fakta bahwa dalam bahasa Grika satu-satunya kata kerja yang berbentuk perintah ialah jadikan murid, sedangkan tiga kata kerja lainnya itu adalah bersifat partisipatif. Ini berarti bahwa penekanan dari kalimat itu adalah pada jadikan murid, ketiga aktivitas lainnya bergantung pada hal itu" [alinea kedua].

Pergi, baptiskan, dan ajar. Perintah "jadikanlah semua bangsa murid-Ku" yang Yesus berikan kepada murid-murid waktu itu, dan juga kepada para pengikut-Nya sepanjang zaman, mengandung arti yang mendalam dan tidak sekadar mencari pengikut atau pendukung Kristus. Menjadi murid Yesus melibatkan komitmen untuk meneladani serta mengamalkan kehidupan Yesus dalam kehidupan pribadi kita, sehingga kita dapat berkata seperti Paulus, "Sekarang bukan lagi saya yang hidup, tetapi Kristus yang hidup dalam diri saya" (Gal. 2:20, BIMK). Jadi, ketika kita pergi, membaptiskan, dan mengajar orang-orang lain maka tujuan kita yang terutama adalah bahwa pada akhirnya mereka akan menjadi orang-orang yang diubahkan kepada keserupaan dengan Kristus.

Kalau begitu, penginjilan hanyalah "alat" dengan mana kita menjangkau orang lain dan mengubahnya menjadi murid Kristus. Logikanya, kita tidak dapat menjadikan seseorang murid Kristus kalau kita tidak pergi, baptiskan, dan mengajar orang itu. Namun demikian, penginjilan belum sukses kalau kita hanya bisa pergi, membaptiskan (atau membuat orang lain dibaptis), dan mengajar orang-orang; penginjilan baru dikatakan berhasil bilamana orang-orang yang kita ajar dan baptiskan itu akhirnya menjadi murid Yesus yang setia dan tekun mengamalkan hidup Kristus.

"Kita bersuka ketika seseorang dibaptis, tetapi baptisan bukanlah akhir dari cerita. Itu hanyalah bagian dari proses menjadikan seseorang murid. tugas kita ialah mengajak orang banyak untuk mengikut Yesus, yang berarti percaya kepada-Nya, menuruti pengajaran-Nya, mengadopsi cara hidup-Nya, dan mengajak orang-orang lain untuk juga menjadi murid-murid-Nya" [alinea keempat].

Apa yang kita pelajari tentang perintah Yesus untuk menjadikan orang lain murid-Nya?
1. Yesus bukan sekadar memerintahkan murid-murid dan para pengikut-Nya supaya pergi menginjil, tetapi Ia juga melengkapi mereka dan kita semua dengan kuasa yang berada di tangan-Nya. Perintah Agung Yesus didasarkan pada otoritas-Nya. Bahkan, Yesus juga berjanji untuk menyertai kita dalam melaksanakan perintah-Nya itu.
2. "Penginjilan" dan "menjadikan murid Kristus" adalah dua hal yang berbeda tetapi merupakan bagian integral dari Perintah Agung Yesus itu. Penginjilan adalah cara--bukan tujuan--untuk menjadikan orang lain murid Kristus; menjadi murid Kristus adalah proses yang bertujuan untuk menyanggupkan orang hidup seperti Yesus.
3. Kegiatan menginjil adalah implementasi dari perintah Yesus, tapi kita tidak bisa menjadikan jumlah baptisan sebagai tujuan dari usaha penginjilan. Jangan jadikan program penginjilan sekadar "eforia rohani" belaka. Tujuan penginjilan adalah mengubah orang lain menjadi seperti Kristus, tapi bagaimana itu akan tercapai kalau penginjil itu sendiri belum berubah?

Kamis, 28 Agustus
MISI GEREJA DAN PRIBADI (Mengkhotbahkan Injil)

Ke seluruh dunia. Injil Markus mencatat perintah Yesus, bagian yang paralel dengan injil Matius, dalam gaya bahasa yang lebih lugas: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum" (Mrk. 16:15-16; huruf miring ditambahkan). Kata makhluk dalam ayat ini berasal dari kata Grika, ktisis, yang merupakan sebuah bentukan dari kata dasar ktizō, yaitu kata kerja yang berarti "menjadikan habitat manusia" atau "menciptakan" (Strong; G2937, G2936). Kata yang sama digunakan juga pada dua ayat lain dalam Injil Markus, yang dalam versi TB diterjemahkan dengan "menjadikan" (10:6) dan "diciptakan" (13:19). Jadi, sebenarnya yang dimaksudkan adalah "kepada seluruh umat manusia" (Mrk. 16:15, BIMK).

Anak kalimat "ke seluruh dunia" (Grika: poreuomai eis hapas kosmos) dalam ayat di atas itu sebenarnya berdasarkan keadaan dunia pada abad pertama ketika tingkat demografis dan populasi manusia belum seluas dan sepadat sekarang ini. Namun, berdasarkan keyakinan kita bahwa setiap penulis Alkitab diilhami oleh Roh Allah, kita percaya bahwa perintah Yesus itu bersifat futuristik dan menjangkau sampai ke zaman kita sekarang. Murid-murid angkatan pertama itu sudah mati jauh sebelum perintah itu terlaksana secara harfiah, tetapi faktanya murid-murid Yesus dari angkatan terakhir zaman ini sedang giat menunaikan perintah itu, baik sebagai Gereja maupun sebagai pribadi.

"Kesebelas orang itu saja tidak pernah dapat memberitakan injil ke seluruh dunia, apalagi kepada setiap makhluk yang hidup di dalamnya. Sebuah tugas yang berdimensi seluruh dunia seperti itu menuntut partisipasi dari gereja secara keseluruhan. Hal itu telah dipercayakan kepada semua umat percaya di dalam Yesus pada segala zaman. Ini termasuk anda dan saya" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].

Mereka yang percaya. Kendati kepada murid-murid Yesus yang melaksanakan perintah pemberitaan injil itu diberi jaminan kuasa dan penyertaan Tuhan sampai akhir zaman (Mat. 28:18-20), tidak ada jaminan bahwa setiap orang yang mendengar pemberitaan injil itu akan percaya dan menerimanya. Yesus menambahkan, "Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum" (Mrk. 16:16). Entah mengapa, kalimat penting ini luput dari catatan Matius yang juga menulis perintah identik tersebut.

Berdasarkan perkataan Yesus pada ayat di atas, sebagian orang telah secara langsung menghubungkan baptisan dengan keselamatan. Namun, jika kita meneliti lebih cermat, ayat itu sebenarnya mengaitkan percaya dengan keselamatan dan ketidakpercayaan dengan hukuman. Dalam banyak kasus ada orang yang sudah percaya tetapi karena keadaannya dia tidak sempat dibaptis, sebaliknya banyak orang dibaptis tetapi tidak sesungguhnya percaya. Di sini Yesus tidak mengatakan bahwa siapa yang tidak dibaptis akan dihukum, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.

"Akan tetapi, mengkhotbahkan injil kepada setiap makhluk tidak serta merta berarti bahwa setiap orang akan menerimanya. Hanya 'siapa yang percaya dan dibaptiskan akan diselamatkan' (Mrk. 16:16). ita harus khotbahkan dengan semangat, berharap bahwa setiap pendengar akan menyerah kepada undangan injil. Namun demikian, kita harus menyadari bahwa banyak yang tidak akan menerima Firman itu, sebagaimana gambaran tentang pintu yang sempit dengan jelas tunjukkan (Mat. 7:13-14)" [alinea ketiga].

Apa yang kita pelajari tentang perintah untuk mengkhotbahkan injil?
1. Perintah Yesus untuk memberitakan injil "ke seluruh dunia" dan "kepada segala makhluk" memberi indikasi bahwa perintah itu harus dilaksanakan seluas mungkin dan tanpa pilih buluh. Hambatan geografis (faktor jarak) maupun demografis (faktor sosial) tidak boleh menjadi alasan untuk tidak menunaikan perintah itu.
2. Pertumbuhan gereja Kristus dari zaman ke zaman tidak terlepas dari aktivitas penginjilan yang tak mengenal lelah dari orang-orang Kristen yang berkomitmen serta patuh pada perintah Yesus untuk mengkhotbahkan injil keselamatan, dan bukti dari kegenapan janji Yesus kepada murid-murid pertama itu perihal kuasa Roh Kudus-Nya.
3. Pemberitaan injil adalah kewajiban dari setiap pengikut Kristus, tetapi keselamatan jiwa adalah tanggungjawab pribadi dari orang yang mendengar pemberitaan itu. Keselamatan itu "mula-mula diberitakan oleh Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya" (Ibr. 2:3). Pemberitaan injil adalah konsep dan rancangan ilahi bagi umat Tuhan.

Jumat, 29 Agustus
PENUTUP

Orang Kristen dan pemberitaan injil. Gereja Kristus (Kekristenan) telah bertumbuh dengan pesat, dari hanya beberapa ratus orang saat Yesus tinggalkan sudah bertambah hingga bermilyar-milyar menjelang kedatangan-Nya kedua kali. Menurut data terakhir, dari sekitar 7 milyar penduduk Bumi sekarang ini terdapat kurang-lebih 2,2 milyar orang Kristen, belum termasuk mereka yang kini sedang beristirahat dalam kubur selama dua ribu tahun berselang. Meskipun menjadi orang Kristen belum menjamin keselamatan, setidaknya sebagai umat percaya kita sudah berada di jalan yang benar menuju keselamatan.

Gereja didirikan untuk dua maksud, yakni menjadi tempat berhimpun umat percaya dan menjadi sarana utama dari penginjilan semesta. Berbakti kepada Tuhan dan memberitakan injil keselamatan merupakan dua sisi dari mata uang, dan keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan terhadap satu sama lain. Gereja adalah wahana peribadatan dan sekaligus menjadi "pusdiklat" bagi jemaat untuk melaksanakan jangkauan keluar dalam program pemuridan. "Tiap murid sejati dilahirkan bagi kerajaan Allah sebagai seorang pemberita injil. Orang yang minum dari air hidup itu menjadi mata air kehidupan. Penerima itu menjadi seorang pemberi" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].

Ada konsekuensi rohani dalam menjadi orang Kristen; sebagai pengikut Kristus harus mengamalkan cara hidup Yesus, dan sebagai murid Yesus harus melaksanakan kewajiban penginjilan. Sebab sebagai orang Kristen, kita diselamatkan untuk menyelamatkan orang lain. Kekristenan, tak bisa tidak, harus identik dengan penginjilan. Gereja Kristen yang benar harus selalu beraroma evangelisasi, atau sama sekali itu bukan gereja Tuhan.

"Perintah Juruselamat kepada murid-murid meliputi semua orang percaya. Perintah itu mencakup semua umat percaya di dalam Kristus hingga akhir zaman. Adalah suatu kekeliruan yang fatal untuk menganggap bahwa pekerjaan menyelamatkan jiwa-jiwa hanya bergantung pada pendeta yang diurapi...Semua orang yang menerima hidup Kristus diurapi untuk bekerja demi keselamatan sesama manusia. Untuk pekerjaan inilah gereja ditahbiskan, dan semua orang yang mengadakan janji suci itu dengan demikian berjanji untuk menjadi teman sekerja bersama Kristus" [alinea kedua].

"Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus?" (Rm. 10:13-15).

(Oleh Loddy Lintong/California, 28 Agustus 2014)

Jumat, 22 Agustus 2014

PELAJARAN SEKOLAH SABAT KE VIII: "GEREJA DAN FONDASI PERSATUAN JEMAAT"








Sabat Petang, 16 Agustus
PENDAHULUAN

Fondasi dan persatuan. Dalam konsep alkitabiah, gereja adalah perhimpunan suatu umat dan bukan bangunannya. Dalam suratnya kepada "gereja" di Roma rasul Paulus menulis, "Salam juga kepada jemaat di rumah mereka..." (Rm. 16:5). Terlepas dari bagaimana jemaat itu berkumpul dan berbakti, dalam sebuah bangunan khusus untuk ibadah ataupun di rumah tinggal biasa yang hanya sesekali berfungsi sebagai tempat ibadah, selama ada sekelompok umat percaya yang berbakti secara teratur maka perhimpunan itu disebut "gereja." Jadi, gereja bisa eksis selama ada jemaatnya meski tanpa sebuah bangunan, tetapi sebuah bangunan tanpa jemaat bukanlah sebuah gereja. Sementara kekuatan dari sebuah bangunan gereja terletak pada fondasinya, keampuhan dari sebuah jemaat terletak pada persatuan para anggotanya.

Sebagai sebuah bangunan, gereja terdiri atas campuran dari berbagai unsur material yang membuatnya tampak indah dan kokoh; sebagai sebuah jemaat, gereja terdiri atas campuran dari berbagai lapisan masyarakat yang membuatnya terlihat serasi dan kompak. Menariknya lagi, sebagaimana bahan-bahan bangunan gereja itu berasal dari unsur-unsur yang terdapat di alam sekitar, sebuah jemaat juga berasal dari unsur-unsur yang terdapat di tengah masyarakat.

"Menurut keempat Injil, istilah gereja dari bibir Yesus hanya muncul tiga kali (Mat. 16:18; 18:17). Namun demikian, ini bukan berarti bahwa Ia tidak berurusan dengan subyek tersebut. Malahan Ia mengajarkan konsep-konsep sangat penting yang berkaitan dengan gereja. Pelajaran kita pekan ini akan terpusat pada dua gagasan utama: fondasi dari gereja dan persatuan gereja" [alinea terakhir].

Dalam PB ada dua konsep tentang gereja, yakni Gereja secara universil yang disebut sebagai "tubuh Kristus" (1Kor. 12:13-14, 27), dan Gereja setempat atau yang lazim disebut "jemaat-jemaat" (Gal. 1:2). Jadi, "gereja" secara universil berarti umat percaya atau orang Kristen dari zaman ke zaman tanpa mengenal sekte, aliran, atau denominasi. Bahkan, dalam pengertian yang luas gereja termasuk "jemaah di padang gurun" pada zaman Musa (Kis. 7:38) maupun "rumah untuk Allah" (ay. 47) pada zaman Salomo.

Dalam PB, kata Grika yang diterjemahkan dengan "gereja" atau "jemaat" ada dua, yaitu koinōnia (="persekutuan"; Strong, G2842), dan ekklēsia (= "dipanggil keluar"; Strong, G1577). Jadi sebenarnya Gereja mengandung dua makna sekaligus dan keduanya merupakan dua sisi dari satu mata uang, integral dan tak terpisahkan antara satu sama lain: "dipanggil dari dunia sebagai sebuah persekutuan" kemudian "diutus ke dunia sebagai suatu kelompok pemberita injil." Gereja sejatinya adalah wadah di mana umat percaya dipersatukan dalam sebuah persekutuan, bukan untuk membentuk suatu perhimpunan yang eksklusif melainkan untuk diutus keluar sebagai pembawa terang Tuhan.

Minggu, 17 Agustus
BERDIRI DI ATAS BATU KARANG (Fondasi Gereja)

Yesus sebagai "Batu Karang." Semuanya bermula dari pengakuan Petrus, salah seorang murid terdekat. Setelah meminta informasi dari murid-murid-Nya tentang apa pendapat masyarakat mengenai diri-Nya, Yesus kemudian bertanya kepada mereka apa pendapat mereka sendiri tentang diri-Nya. Terhadap pertanyaan itu Petrus langsung menyatakan secara spontan: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Mat. 16:16). Yesus menghargai ketegasan Petrus tersebut dengan sebuah pernyataan penting, "Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya" (ay. 18).

Murid kesayangan Yesus itu memiliki nama asli Simon, dan "petrus" adalah nama julukannya yang dalam bahasa Yunani purba ialah "petros" yang artinya "batu," sedangkan "petra" adalah kata Yunani purba lainnya yang berarti "batu karang" dan dalam hal ini merujuk kepada Yesus Kristus. Sebuah teori mengatakan bahwa tatkala Yesus mengucapkan perkataan dalam Matius 16:18 tersebut di atas, jari Yesus mengunjuk kepada Petrus saat menyebutkan namanya itu, dan pada waktu menyebut "batu karang" Yesus menunjuk diri-Nya sendiri. Belakangan Petrus sendiri mengakui, dengan mengutip Yesaya 28:16, berkata: "'Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal, dan siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan.' Karena itu bagi kamu, yang percaya, ia mahal, tetapi bagi mereka yang tidak percaya: 'Batu yang telah dibuang oleh tukang-tukang bangunan, telah menjadi batu penjuru, juga telah menjadi batu sentuhan dan suatu batu sandungan'" (1Ptr. 2:6-7).

"Ada alasan-alasan kuat untuk menegaskan bahwa petra merujuk kepada Kristus. Konteks langsung dari pernyataan Yesus (Mat. 16:13-20) berpusat pada identitas dan missi Kristus, bukan identitas dan missi Petrus. Selain itu, sebelumnya Yesus sudah menggunakan gambaran tentang bangunan di atas batu karang yang secara jelas mengidentifikasikan batu karang itu sebagai Diri-Nya dan pengajaran-Nya (Mat. 7:24-25)" [alinea kedua].

Allah sebagai "Gunung Batu." Dalam Perjanjian Lama, Allah sering disebut sebagai "gunung batu" (versi TB) untuk melambangkan keperkasaan dan kekuatan benteng perlindungan. Ketika Daud bersyukur memuji Tuhan atas kelepasannya dari raja Saul yang hendak membunuhnya, pemazmur itu bersenandung: "Ya, Tuhan, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku, tempat pelarianku, juruselamatku; Engkau menyelamatkan aku dari kekerasan" (2Sam. 22:2-3). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan "bukit batu" dan "gunung batu" dalam ayat ini adalah tsuwr, sebuah kata benda maskulin yang merujuk kepada Tuhan (Strong; H6697). Di seluruh PL kata ini digunakan sebanyak 78 kali dalam 74 ayat, termasuk ayat-ayat PL yang tertera pada pelajaran hari ini, 26 di antaranya dalam kitab Mazmur.

Meskipun Daud yang paling banyak menggunakan metafora "gunung batu" untuk menerangkan tentang keperkasaan Allah, tetapi Musa adalah orang pertama dalam Alkitab yang menggunakan kata kiasan ini ketika dia menyebut Allah sebagai "Gunung Batu Israel" (Kej. 49:24). Pemimpin besar Israel itu juga menggunakan kata kiasan yang sama ketika mengumandangkan sebuah lagu yang disebut Nyanyian Musa: "Berilah hormat kepada Allah kita, Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia" (Ul. 32:3-4).

Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus disebut "batu karang" (petra) untuk melambangkan diri-Nya sebagai "batu penjuru" atau "batu yang terutama" (BIMK) dalam arti selaku fondasi utama bagi Gereja yang dibangun-Nya (Kis. 4:11). Rasul Petrus menyebut-Nya sebagai "batu yang hidup" (1Ptr. 2:4) dan "batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal" (ay. 6). "Oleh karena itu kita menyimpulkan bahwa gereja di zaman rasul-rasul secara bulat memahami bahwa Yesus Kristus sendiri adalah petra utama di atas mana gereja itu dibangun, dan semua nabi serta rasul, termasuk Petrus, merupakan lapis pertama dari batu-batu yang hidup dalam bangunan besar kerohanian gereja (Ef. 2:20)" [alinea terakhir: kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang Kristus sebagai "fondasi gereja"?
1. Pada zaman purba batu karang atau gunung batu adalah tempat yang ideal sebagai benteng pertahanan. Berdasarkan tradisi ini maka para penulis Alkitab sering menggunakan "batu" sebagai lambang kekuatan dan keperkasaan, khususnya yang merujuk kepada Tuhan. Banyak masyarakat purba yang menyembah batu raksasa atau bukit batu sebagai personifikasi ilahi.
2. Dalam Perjanjian Lama, Allah sering dilambangkan dengan "gunung batu" untuk menunjukkan kehebatan kuasa-Nya sebagai tempat perlindungan yang aman bagi manusia. Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus dilambangkan dengan "batu karang" untuk menerangkan keteguhan yang menjamin keamanan dan kelestarian Gereja.
3. Sebagaimana Allah adalah "gunung batu" yang melindungi manusia, dan sebagaimana Kristus adalah "batu karang" yang menopang umat percaya, maka Gereja pada zaman ini juga dapat berperan sebagai "benteng pertahanan" dan "fondasi" yang kokoh di mana iman kita terlindung dan keselamatan kita terpelihara di dalamnya.

Bahan diskusi ekstra kurikuler:
--> Selain Kristus, apa lagi yang diandalkan sebagai "fondasi" di jemaat anda? Reputasi gereja, jumlah keanggotaan, sumberdaya finansial, tingkat intelektualitas dari mayoritas anggota, nama besar seorang tokoh jemaat, atau kepiawaian pendeta jemaat?


Senin, 18 Agustus
KEPEDULIAN KRISTUS (Doa Kristus Bagi Persatuan)

Keprihatinan Yesus. Injil Yohanes pasal 17 memuat doa pengantaraan Yesus yang sering disebut sebagai Doa Agung Yesus. Meskipun dimulai dengan permohonan agar Allah memuliakan Dia, inti dari doa ini menyangkut kepentingan semua umat percaya sebagai milik Tuhan (ay. 9). Dalam doa itu Yesus dengan tegas mengatakan bahwa Dia bukan saja berdoa untuk murid-murid pada waktu itu "tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu..." (ay. 20-21; huruf miring ditambahkan). Jadi, pada dasarnya Yesus berdoa untuk semua orang Kristen, yang ada pada masa itu dan sepanjang zaman.

Tetapi intinya Yesus berdoa bagi persatuan mereka, bahkan "supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka..." (ay. 23; huruf miring ditambahkan). Persatuan para pengikut Kristus berdampak pada persepsi dunia mengenai Gereja, yaitu bahwa persatuan jemaat memberi kesan yang kuat kepada dunia bahwa Allah memang mengutus Yesus untuk mengukuhkan sebuah Gereja di dunia ini, dan Allah juga mengasihi Gereja itu. Dengan kata lain, tidak adanya persatuan di dalam jemaat akan mengurangi legitimasi dari gereja itu, bahkan akan menimbulkan keraguan terhadap Yesus Kristus sendiri sebagai Pendiri gereja itu.

"Persatuan itu sangat penting bagi kehidupan gereja. Kita bisa mengukur pentingnya persatuan dengan fakta bahwa empat kali Kristus mengulangi kerinduan-Nya yang sangat agar para pengikut-Nya bisa menjadi satu (Yoh. 17:11, 21-23). Pada saat-saat terakhir yang istimewa itu, Tuhan dapat saja berdoa untuk banyak hal lain yang sangat berarti dan penting. Gantinya, Ia memusatkan doa-Nya pada kesatuan umat percaya. Ia tahu bahwa bahaya terbesar bagi gereja adalah roh persaingan dan perpecahan" [alinea kedua].

Bersaksi melalui persatuan. Tidak seorangpun menyangsikan pentingnya persatuan dan kekompakan dalam suatu perkumpulan maupun masyarakat. Kita semua mengenal pepatah yang mengatakan, "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh." Tetapi ketika berbicara tentang gereja atau jemaat, arti dari persatuan itu bahkan jauh lebih penting lagi. Seperti disebutkan dalam ayat di atas, persatuan dalam gereja pada dasarnya merupakan kesaksian kepada dunia dan menopang klaim Yesus Kristus sebagai fondasi dari gereja.

Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, rasul Paulus menulis: "Hiduplah sehati dengan kasih yang sama, dengan pikiran yang sama dan tujuan yang sama. Janganlah melakukan sesuatu karena didorong kepentingan diri sendiri, atau untuk menyombongkan diri. Sebaliknya hendaklah kalian masing-masing dengan rendah hati menganggap orang lain lebih baik dari diri sendiri. Perhatikanlah kepentingan orang lain; jangan hanya kepentingan diri sendiri" (2:2-4, BIMK). Sang rasul mengetahui bahwa penyebab utama dari gagalnya persatuan dan kerukunan jemaat adalah egoisme, kesombongan, serta persaingan--dan gereja dari zaman ke zaman pun akan bergumul dengan sikap-sikap yang sama di kalangan anggota jemaat. Maka pada kesempatan lain dia menulis, "Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua" (Ef. 4:3-6).

"Persatuan ini bukanlah tujuan. Itu adalah suatu kesaksian untuk mengilhami dunia agar percaya kepada Kristus sebagai Juruselamat yang diutus oleh Bapa. Kerukunan dan persatuan di antara orang-orang yang berbeda-beda wataknya adalah kesaksian paling kuat bahwa Allah sudah mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan orang berdosa. Hal itu merupakan bukti yang tak dapat dibantah tentang kuasa Kristus yang menyelamatkan dan mengubahkan. Dan kita memiliki kesempatan istimewa untuk membawa kesaksian ini" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang doa Yesus yang menunjukkan pentingnya persatuan di jemaat?
1. Persatuan gereja/jemaat sudah menjadi keprihatinan Yesus terutama dan juga rasul Paulus. Itulah sebabnya Yesus perlu mendoakan secara khusus agar gereja bersatu, dan Paulus mendorong supaya jemaat-jemaat mengedepankan semangat persatuan karena orang-orang Kristen merupakan satu tubuh di bawah Kristus, serta memiliki satu Roh dan satu Allah.
2. Kerukunan dan persatuan gereja/jemaat bukan sekadar demi kekuatan gereja atau jemaat itu sendiri, tetapi yang lebih penting lagi ialah kerukunan dan persatuan itu merupakan kesaksian bagi nama Kristus. Sebaliknya, pertikaian di dalam gereja/jemaat dapat menimbulkan delegitimasi (=merusak pengakuan) atas gereja/jemaat itu sendiri.
3. Setiap anggota jemaat memikul tanggungjawab yang sama bagi persatuan di jemaatnya, sebab tiadanya persatuan berarti mengingkari doa Yesus yang telah memohon kepada Bapa untuk persatuan gereja. Persatuan di dalam gereja/jemaat melambangkan persatuan Kristus dengan Allah, dan gereja dengan Kristus sendiri.

Bahan diskusi ekstra kurikuler:
--> Apa saja faktor-faktor penyebab rusaknya persatuan di jemaat anda? Adakan identifikasi dan inventarisasi, lalu bahas pemecahannya.


Selasa, 19 Agustus
PERSATUAN DAN KEBENARAN (Pembekalan Kristus Demi Persatuan)

Yesus sebagai faktor pemersatu. Dalam Yohanes 17:23 Yesus menekankan ikatan persatuan segitiga, antara Yesus dengan jemaat-Nya dan dengan Allah, serta antara jemaat dengan Kristus dan dengan Allah. "Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku" (huruf miring ditambahkan). Kata-kata dalam doa Yesus ini juga menggarisbawahi dasar dari hubungan itu, yakni kasih. Persatuan Yesus dengan Bapa didasarkan pada kasih, dan persatuan Yesus dengan jemaat-Nya juga atas dasar kasih. Demikian pula, Yesus memproklamirkan bahwa persatuan jemaat dengan Diri-Nya itu membawa jemaat bersatu dengan Bapa-Nya, dan hubungan persatuan itupun berdasar pada kasih.

Seperti dalam pelajaran dua pekan lalu, eratnya persatuan antara jemaat dengan Kristus digambarkan dengan hubungan antara pokok anggur dengan cabang-cabang dan ranting-rantingnya. "Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa" (Yoh. 15:5). Inti dari persatuan antara pokok dan ranting pohon anggur adalah hubungan yang menghidupkan dan menghasilkan buah. Cabang dan ranting bisa tampak berdiri sendiri, tetapi semuanya tumbuh dan hidup karena terhubung kepada pokok. Jadi dalam hal ini Yesus Kristus merupakan faktor pemersatu bagi persatuan di antara para anggota gereja dan jemaat.

"Jika kita memiliki Yesus maka kita juga akan memiliki firman-Nya yang sesungguhnya adalah firman dari Bapa (Yoh. 14:24; 17:8, 14). Yesus adalah 'kebenaran' (Yoh. 14:6), dan Firman Bapa itu juga 'adalah kebenaran' (Yoh. 17:17). Persatuan di dalam Yesus berarti persatuan di dalam Firman Allah. Supaya mempunyai persatuan, kita perlu untuk sepakat atas isi kebenaran sebagaimana disajikan dalam Firman Allah. Usaha apapun untuk mencapai persatuan tanpa ketaatan pada batang tubuh dari keyakinan alkitabiah dipastikan akan gagal" [alinea kedua].

Kebenaran sebagai faktor pemersatu. Sebagaimana diutarakan pada bagian pendahuluan ulasan ini, konsep alkitabiah tentang Gereja mengandung dua makna: koinōnia (persekutuan) dan ekklēsia (dipanggil ke luar). Orang Kristen adalah mereka "yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari antara orang Yahudi, tetapi juga dari antara bangsa-bangsa lain" (Rm. 9:24), yaitu orang-orang "yang dibenarkan-Nya, ...juga dimuliakan-Nya" (Rm. 8:30) dan "yang dipanggil menjadi orang-orang kudus" (1Kor. 1:2). Jadi, orang Kristen ialah semua mereka yang telah dipanggil dari dunia ini untuk "menjadi milik Kristus...yang dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus" (Rm. 1:6-7).

Dari bunyi ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang Kristen dipanggil dari dunia ini untuk dipersatukan di dalam "kebenaran Kristus" seperti yang dibela dan dipertahankan oleh Paulus (2Kor. 11:10). Gereja adalah perhimpunan orang-orang Kristen yang bersekutu dengan Kristus atas dasar kebenaran-Nya. Maka, selain dasar persatuan orang Kristen adalah Yesus selaku "fondasi gereja" dan "pokok anggur" di mana kita melekat bersama, dasar persatuan gereja juga adalah kebenaran Kristus. Dalam perkataan lain, kebenaran Kristus adalah faktor pemersatu gereja. Namun terkadang mempertahankan pendapat tentang "kebenaran" sebuah doktrin justru menjadi dasar dari sebuah perpecahan di dalam gereja.

"Ada masanya ketika doktrin saja dianggap sebagai unsur paling penting bagi persatuan. Untungnya, ketidakseimbangan ini secara bertahap telah diperbaiki. Akan tetapi sekarang ini kita menghadapi risiko menuju kepada ujung yang lain: berpikir bahwa untuk persatuan kasih itu lebih penting daripada kebenaran. Kita harus ingat bahwa kasih tanpa kebenaran adalah buta, dan kebenaran tanpa kasih adalah sia-sia. Pikiran dan hati harus bekerja bersama-sama" [alinea terakhir: lima kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang faktor-faktor pemersatu dalam jemaat?
1. Persatuan di dalam gereja harus diilhami oleh persatuan antara Yesus Kristus dengan Bapa, dan melalui persatuan gereja dengan Kristus maka gereja pun dipersatukan dengan Bapa. Seperti kata Yohanes, "Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus" (1Yoh. 1:3).
2. Bagi gereja, faktor pemersatu utama adalah Yesus Kristus dan kebenaran-Nya. Gereja adalah perhimpunan umat percaya yang dipanggil dari dunia ini ke dalam persekutuan dengan Kristus dan dengan Bapa berdasarkan kasih dan kebenaran-Nya. Tanpa kasih dan kebenaran Kristus tidak ada gereja atau persekutuan umat percaya.
3. Dalam doa-Nya (Yohanes 17) berkali-kali Yesus menyebutkan tentang firman Allah sebagai dasar kebenaran (ay. 6, 8, 14 dan 17). Tampaknya kebenaran dari firman Allah itu harus mendahului persatuan. Artinya, gereja mesti bersatu berdasarkan kebenaran firman Tuhan, tanpa kebenaran Allah persatuan dalam gereja tidak ada artinya.

Bahan diskusi ekstra kurikuler:
--> Apakah persatuan yang Yesus maksudkan dalam doa-Nya juga termasuk persatuan makro, yaitu antara denominasi-denominasi Kristen?


Rabu, 20 Agustus
SIKAP MEMBANDING-BANDINGKAN (Hambatan Besar Bagi Persatuan)

Menghakimi orang lain. Ketika anda menghakimi orang lain maka anda bukanlah menegaskan tentang siapa orang itu melainkan tentang siapa diri anda. Begitu juga, tatkala anda mengkritik atau memfitnah seseorang maka anda bukan membeberkan kekurangan dan kejelekan orang itu tetapi sebenarnya anda sedang mengumbar kekurangan dan keburukan diri anda sendiri. Yesus mengingatkan kita, "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu" (Mat. 7:1-2).

Kata Grika untuk menghakimi dalam ayat ini adalah krinō, sebuah kata kerja yang juga mengandung arti memisahkan atau memilih (Strong; G2919), yang dalam hal ini berarti "membedakan" orang lain dari diri kita, atau "memilih" orang tertentu lalu membandingkannya dengan kita. Tetapi Yesus menegaskan bahwa kita semua sama dan akan diperlakukan sama di hadapan Allah. Menghakimi orang lain dengan cara membandingkan dan membedakannya dari kita menyangkut sikap serta cara berpikir yang salah terhadap mana Yesus mengamarkan kita semua agar menjauhinya.

"Jauh lebih mudah untuk melihat kesalahan-kesalahan pada orang lain daripada melihat kesalahan kita sendiri. Mengkritik memberikan rasa keunggulan yang palsu sebab kritikan membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain yang tampaknya lebih buruk dari dia. Akan tetapi tujuan kita bukanlah membandingkan diri kita dengan orang lain tetapi dengan Yesus" [alinea pertama].

Apa dan siapa yang anda kritik? Ketika mendiang Edward Moore "Ted" Kennedy [1932-2009], senator dari Massachusetts dan adik mantan presiden John F. Kennedy dari AS, pada suatu hari diundang berbicara di depan sebuah perkumpulan profesional yang sering mengkritik dirinya, dia berkata, "Setidaknya, mereka yang mengkritik saya itu telah berbicara dengan jujur." Langsung saja pernyataannya ini disambut tepuk tangan riuh seluruh hadirin. Kita memang sering mendengar tentang kritikan konstruktif (kritik yang bersifat membangun), sesuatu yang perlu demi kebaikan pihak yang dicela. Mengkritik tidak sama dan sebangun dengan mempersalahkan, sebab dalam mengkritik ada unsur niat positif sedangkan dalam mempersalahkan seluruhnya bersifat negatif.

Alkitab juga memberi dorongan untuk "mengkritik" dengan maksud konstruktif (Mat. 18:15-16), bahkan Yesus sendiri pun kerap mencela para pemimpin (Mat. 23:27; Luk. 11:39, 42-47). Dalam banyak hal kritikan itu perlu untuk suatu perbaikan, maka baik-tidaknya sebuah kritikan terletak pada motif dan cara penyampaiannya sesuai dengan urgensi masalah yang menjadi sasaran kritik. Ketika kita mengkritik pastikanlah bahwa motif kita murni serta tulus, dan ketika persoalan yang hendak dikritisi itu penting atau mendesak terkadang kritikan itu perlu disampaikan secara tegas dan tajam. Rasul Paulus sendiri hanya ingin mengkritik orang-orang di dalam jemaat tetapi menyerahkan mereka yang berada di luar jemaat itu kepada Tuhan (1Kor. 5:12-13), dan dalam mengkritik saudara seiman rasul Yakobus mengingatkan kita: "Berkatalah dan berlakulah seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh hukum yang memerdekakan orang. Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman" (Yak. 2:12-13).

"Yakobus membandingkan lidah dengan api kecil yang membakar hutan yang besar (Yak. 3:5-6). Kalau kita mendengar pergunjingan, seharusnya kita tidak menambahkan kayu ke dalam api, sebab 'bila kayu habis, padamlah api; bila pemfitnah tidak ada, redalah pertengkaran' (Ams. 26:20). Pergunjingan membutuhkan suatu rantai pemancar untuk dapat tetap hidup. Kita bisa menghentikannya hanya dengan menolak untuk mendengarkannya; atau, jika kita sudah mendengarnya, hindari untuk mengulangi" [alinea terakhir: empat kalimat pertama].

Apa yang kita pelajari tentang hambatan terbesar untuk persatuan di jemaat?
1. Selalu ada peluang untuk mengkritik orang lain, apalagi kalau anda memang tipikal orang yang sangat kritis. Sementara kritikan itu dapat mengandung sisi positif, penyusun buku pelajaran SS menyodorkan kepada kita tiga hal sebagai pertimbangan mengkritik: cara yang benar, bersifat mendidik, dan berlandaskan kasih.
2. Mengkritik tidak sama dengan menghakimi, dan jauh berbeda dengan memfitnah atau mencari-cari salah. Kitabsuci melarang kita untuk menghakimi orang lain sebab dalam menghakimi itu kita cenderung menjadikan diri sendiri sebagai patokan yang belum tentu benar, padahal kita sendiri pun akan dihakimi.
3. Sifat suka menghakimi orang lain merupakan hambatan terbesar bagi persatuan di dalam gereja/jemaat, sebab dengan menghakimi orang lain kita seakan hendak memaksakan agar orang lain menjadikan diri kita sebagai standar dalam hal pemikiran, perilaku, dan keyakinan. Yesus tidak menghakimi menurut ukuran manusia tetapi standar Allah (Yoh. 8:15-16).

Bahan diskusi ekstra kurikuler:
--> Apakah di jemaat anda terdapat orang-orang yang suka mengkritik? Bagaimana anda dapat meredam hal itu dengan pendekatan secara Kristiani terhadap mereka, berdasarkan pelajaran SS hari ini?


Kamis, 21 Agustus
MENCIPTAKAN KETENTERAMAN DI JEMAAT (Pemulihan Persatuan)

Pentingnya rekonsiliasi. Nasihat Yesus dalam Matius 5:23-24 sekan menyiratkan bahwa berdamai dengan orang yang bermusuhan dengan kita itu lebih penting daripada beribadah. Namun ini bukan berarti rekonsiliasi dengan sesama manusia lebih penting ketimbang rekonsiliasi dengan Tuhan, sebab konteksnya adalah soal "marah terhadap saudaranya" (ay. 22) sehingga orang yang anda marahi itu dapat menggugat dengan "menyerahkan engkau kepada hakim" (ay. 25). Sebab dalam hukum Musa, menuduh orang lain atau memarahi secara serampangan mengandung konsekuensi hukum.

Kata kafir dalam ayat 22 berasal dari bahasa Aram rhaka, suatu bentuk makian yang lazim digunakan di kalangan masyarakat Palestina pada zaman Yesus yang artinya otak kosong alias tolol; sebutan ini sebenarnya sama dengan kata Grika mōros yang dalam ayat ini diterjemahkan dengan jahil. Versi BIMK menafsirkan ayat ini: "Tetapi sekarang Aku berkata kepadamu, barangsiapa marah tanpa sebab kepada orang lain, akan diadili; dan barangsiapa memaki orang lain, akan diadili di hadapan Mahkamah Agama. Dan barangsiapa mengatakan kepada orang lain, 'Tolol,' patut dibuang ke dalam api neraka" (Mat. 5:22; huruf miring ditambahkan).

"Ada beberapa macam persembahan berbeda yang dibawa ke mezbah, tetapi Yesus kemungkinan sedang merujuk kepada hewan kurban supaya orang yang berdosa itu dapat menerima pengampunan ilahi. Akan tetapi, sebelum kita bisa memperoleh pengampunan Allah, kita harus membereskan persoalan dengan orang lain. Perdamaian menuntut suatu pengakuan yang rendah hati atas kesalahan-kesalahan kita. Tanpa sikap ini, bagaimana kita bisa memohon pengampunan Allah?" [alinea pertama].

Menegur dalam kasih. Gereja kita sangat mengenal tatacara yang diatur dalam Matius 18:15-18 tentang cara menegur seorang saudara seiman yang diketahui berbuat "dosa serius" yang berpotensi dikenakan disiplin atau pemecatan dari keanggotaan jemaat. Mula-mula kita harus menasihati dia secara empat mata, kalau dia tidak mengaku atau menolak nasihat itu ajaklah satu sampai tiga orang lain sebagai saksi, dan jika dia tetap bersikeras barulah dihadapkan kepada majelis kemudian ke hadapan jemaat. Terlepas dari apakah prosedur ini diterapkan atau tidak, cara menegur ini bertujuan untuk "mendapatkannya kembali" agar dia tetap berada di dalam kandang (ay. 15), sehingga dia tidak sampai dianggap sebagai "seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai" (ay. 17).

"Dengan roh kelemahlembutan dan kasih yang halus, kita harus melakukan segala usaha yang memungkinkan untuk menolong dia menyadari kesalahannya, memberi kesempatan dia bertobat dan meminta maaf. Adalah sangat penting agar tidak mempermalukannya dengan membeberkan kesalahannya kepada umum. Hal itu akan membuat pemulihannya jauh lebih sulit" [alinea kedua: tiga kalimat terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Suatu usaha yang tekun untuk menyingkirkan salah pengertian akan menempatkan anda berdua dalam hubungan yang sedemikian rupa di antara satu sama lain dan dengan Allah sehingga Ia dapat memberkati anda. Tetapi anda tidak dapat menerima berkat-Nya selagi anda tidak bersedia melakukan apa yang dapat anda lakukan untuk membereskan persoalan-persoalan sebab untuk melakukan hal ini menuntut kerendahan dari hati anda yang sombong. Ah, betapa berbagai salah pengertian sepele yang timbul bisa dengan mudah dihapuskan! Dan hingga hal ini dilaksanakan, kita tidak siap untuk mengambil bagian dalam upacara-upacara Tuhan yang suci. Apakah anda bersedia melakukan bagian anda untuk membereskan perbedaan-perbedaan yang ada? Kalau ya, sangat besar kata-kata keji dan rasa getir yang akan terhindarkan. Saya diperintahkan untuk menyampaikan perkataan ini sebagai pekabaran dari Allah" (Ellen G. White, Pacific Union Recording, 1 Desember 1904).

Apa yang kita pelajari tentang bagaimana memulihkan persatuan di jemaat?
1. Gampang naik darah mungkin kedengarannya manusiawi, tetapi itu bukanlah watak orang Kristen sejati, apalagi disertai kata-kata kasar. Tidak salah untuk marah terhadap hal-hal yang tidak pantas, seperti ketika Yesus bertindak membersihkan halaman Bait Allah (Mat. 21:12-13), dan disebut "amarah yang patut" (righteous indignation).
2. Semangat rekonsiliasi (kembali rukun) penting demi ketenteraman di masyarakat, apalagi di jemaat. Sedangkan dalam dunia politik orang menyerukan rekonsiliasi--seperti suasana negeri kita pekan ini setelah berakhirnya tahapan Pilpres menyusul putusan MK. Terkadang kegaduhan di jemaat tak kalah riuhnya dengan hiruk-pikuk dunia politik.
3. Gereja/jemaat terdiri atas manusia yang berbeda-beda, maka dalam suasana dinamika sangat mungkin terjadi gesekan bahkan benturan antar pribadi yang bisa merongrong persatuan. Memulihkan kerukunan adalah kewajiban setiap anggota jemaat, untuk mencari pemecahannya berdasarkan kasih, kesabaran dan kerendahan hati.

Bahan diskusi ekstra kurikuler:
--> Apakah anda mengetahui adanya pihak-pihak dalam jemaat yang sedang dalam perselisihan? Apa yang dapat anda lakukan untuk merukunkan mereka, sebagai implementasi nyata dari pelajaran SS hari ini?


Jumat, 22 Agustus
PENUTUP

Persatuan dan berpikir positif. Ada pertalian nyata antara berpikir positif dengan persatuan. Tantangan terhadap usaha untuk membangun dan mempertahankan persatuan tentu dipengaruhi secara langsung oleh interaksi berbagai unsur alamiah manusia yang berbeda-beda seperti sikap, cara berpikir, watak, latar belakang, maupun ciri-ciri kepribadian lainnya dari individu-individu yang tergabung dalam suatu komunitas. Menyadari hal itu maka dapat dikatakan bahwa jika satu perkumpulan tampak kompak bersatu maka persatuan itu adalah prestasi yang patut dibanggakan.

Sebuah perhimpunan sekuler biasanya diadakan oleh orang-orang yang memiliki pelbagai kesamaan tertentu, termasuk kesamaan tujuan dan pandangan. Di panggung politik kita sering mendengar adanya pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok yang bergabung sebagai satu entitas karena merasa memiliki kesamaan platform (tempat berpijak) untuk mewujudkan tujuan perjuangan mereka. Namun, dunia politik juga mengenal adagium: "Dalam politik tidak ada teman atau musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi." (Pepatah ini bersumber dari pernyataan Lord Palmerston [1784-1865], dua kali menjabat perdana menteri Inggris di bawah Ratu Victoria, yang aslinya berbunyi: Britain had no eternal allies, and no perpetual enemies, only interest that were eternal and perpetual; dimodifikasi oleh Dr. Henry Kissinger, menteri luar negeri AS di bawah Presiden Richard Nixon, menjadi America has no permanent friends or enemies, only interests).

Berbeda dari para politikus itu, kita sebagai gereja dan jemaat memiliki teman abadi (Yesus Kristus) serta musuh abadi (Setan) dan sekaligus juga kepentingan abadi (hidup kekal). Kalau orang-orang di dunia politik itu saja, yang hanya karena mempunyai "kepentingan abadi" bisa kompak bersatu--setidaknya untuk sementara waktu--apalagi kita sebagai gereja dan jemaat yang memiliki sahabat abadi dan kepentingan abadi. Sebenarnya, orang Kristen tidak memiliki musuh abadi sebab Setan itu sendiri tidak abadi. Namun, Setan bisa menjadi musuh abadi kalau kita tidak berhasil membangun persatuan yang langgeng sehingga dia menang.

"Persatuan adalah kekuatan; perpecahan adalah kelemahan. Ketika orang-orang yang mempercayai kebenaran masa kini bersatu, mereka mengerahkan suatu pengaruh yang jitu. Setan sangat mengerti hal ini. Tidak pernah dia lebih bertekad seperti sekarang ini untuk membuat kebenaran Allah tidak berpengaruh oleh menyebabkan kepahitan dan perselisihan di antara umat Tuhan" [alinea pertama].

"Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah" (Kol. 3:15).

(Oleh Loddy Lintong/California, 21 Agustus 2014)

Jumat, 15 Agustus 2014

The King's Heralds Quartet-Amor Sublime (Music & Partituras)


The King's Heralds Quartet-Amor Sublime (Music & Partituras)

01 Cuando Llegue al Cielo.mp3
02 Oh al Subir al Subir.mp3
03 Soy Yo Soy Yo.mp3
04 Dnde Estabas Cuando Jess Mu.mp3
05 Sombras no ms.mp3
06 En mis Luchas Todas.mp3
07 Oye la Voz Amorosa.mp3
08 Oh Qu Amigo nos es Cristo.mp3
09 Cuando la Pena Llama.mp3
10 Dame la fe de mi Jesus.mp3
11 Sublime cual el Amor Materna.mp3
12 Sin Hermosa.mp3
13 Carioso Salvador.mp3

1 Cuando vaya al cielo Arr.Wayne Hooper.pdf
2 Oh al subir Arr.Wayne Hooper.pdf
3 Soy yo Senor Arr.Wayne Hooper.pdf
4 Donde estabas Arr.Wayne Hooper.pdf
5 Sombras no mas Arr.Wayne Hooper.pdf
6 En mis luchas todas Arr.Wayne Hooper.pdf
7 Oye la voz amorosa Arr.Wayne Hooper.pdf
8 Oh que amigo nos es Cristo Arr.Wayne Hooper.pdf
9 Cuando la pena llama Arr.Wayne Hooper.pdf
10 Dame la fe de mi Jesus Arr.Wayne Hooper.pdf
11 Sublime cual el amor materna Arr.Wayne Hooper.pdf
12 Sion hermosa Arr.Wayne Hooper.pdf

PELAJARAN SEKOLAH SABAT KE VII 16 AGUSTUS 2014: "MENGASIHI SEPERTI YESUS MENGASIHI"




"HIDUP SEPERTI YESUS"


Sabat Petang, 9 Agustus
PENDAHULUAN

Mengasihi sesama. Alkitab membuktikan bahwa perintah untuk saling mengasihi di antara sesama manusia sudah ada dalam PL. Namun Yesus mengulangi perintah itu dengan memberi penekanan baru ketika Ia berkata: "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi" (Yoh. 13:34, ayat inti; huruf miring ditambahkan).

Kata Grika kainos (=baru) yang digunakan dalam ayat ini adalah sebuah kata sifat yang mengandung dua makna, yaitu bentuk dan substansi. Secara bentuk artinya "baru dibuat" atau "belum pernah digunakan," sedangkan secara substansif berarti "jenis baru" atau "belum pernah ada" (Strong; G2537). Dalam hal ini, dengan bukti bahwa perintah yang sama sudah pernah ada sebelumnya dalam hukum Musa (Im. 19:18), maka apa yang Yesus maksudkan dengan "perintah baru" di sini adalah sikap saling mengasihi sesama manusia dalam "bentuk dan pengertian yang baru."

"Sebelum penjelmaan Kristus, manusia tidak memiliki penyataan kasih Allah yang lengkap. Sekarang, melalui kehidupan-Nya yang tanpa pamrih dan kematian-Nya, Yesus menunjukkan makna yang sesungguhnya dan yang terdalam tentang kasih itu...Pekan ini, sementara kita memikirkan kelembutan Yesus dan kehidupan-Nya yang simpatik, penuh perhatian dan penuh pengasihan, biarlah hati kita terjamah dan dibentuk oleh prinsip yang aktif dari kasih ilahi-Nya yang merupakan tanda-air (watermark) dari Kekristenan sejati" [alinea kedua: dua kalimat terakhir; alinea terakhir].

Sesungguhnya, perintah Yesus untuk saling mengasihi di antara sesama manusia itu bukan saja ditujukan kepada murid-murid-Nya yang pertama pada abad pertama, melainkan itu ditujukan juga kepada semua murid Yesus sepanjang zaman--termasuk anda dan saya. Khususnya bagi orang Kristen, hidup saling mengasihi di antara saudara seiman adalah perintah Tuhan yang mesti diamalkan.

Minggu, 10 Agustus
BERCERMIN PADA HIDUP YESUS (Bagaimana Yesus Hidup)

Yesus dan kaum marginal. Kehidupan Yesus selama di dunia ini dekat dengan kaum marginal, yaitu golongan orang-orang yang terpinggirkan di masyarakat pada masa itu. Tradisi budaya bangsa Yahudi yang merupakan masyarakat patriarki, yaitu sistem sosial di mana lelaki dewasa adalah pusat otoritas kemasyarakatan, menempatkan kaum perempuan dan anak-anak sebagai warga masyarakat kelas dua yang tidak memiliki hak-hak sosial tertentu. Selain itu, keyakinan umum pada masa itu yang menganggap penyakit dan cacat jasmani sebagai kutukan dosa membuat masyarakat menganggap rendah orang-orang yang menderita sakit dan cacat tubuh, seperti halnya mereka memperlakukan kaum pendatang yang dianggap sebagai orang buangan karena tidak mempunyai tanah air sendiri, serta para pemungut cukai yang bekerja untuk penjajah sebagai pengkhianat dan pemeras bangsa sendiri.

Tetapi Yesus menegaskan bahwa Ia telah datang ke dunia ini bagi semua manusia, yaitu orang-orang yang sakit jasmani maupun rohani. "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa," kata-Nya (Mrk. 2:17). Pernyataan ini dibuktikan-Nya melalui pelayanan-pelayanan yang Ia lakukan bagi banyak orang, bahkan tak jarang dalam suatu pelayanan khusus untuk satu orang tertentu yang memerlukan pertolongan-Nya.

"Tangan-Nya yang penuh kerelaan selalu siap meringankan setiap kasus penderitaan yang Ia lihat. Dengan penuh kasih sayang Ia merawat orang-orang yang dianggap sepele oleh masyarakat, seperti anak-anak, kaum wanita, orang asing, penderita kusta, dan para pemungut cukai...Simpati dan perhatian-Nya yang murah hati terhadap kesejahteraan orang lain lebih penting bagi Dia daripada kebutuhan fisik-Nya sendiri akan makanan atau tempat berteduh. Sesungguhnya, bahkan di kayu salib Ia lebih peduli pada ibu-Nya ketimbang pada penderitaan-Nya sendiri (Yoh. 19:25-27)" [alinea pertama: kalimat keempat hingga kelima, dan dua kalimat terakhir].

Belas kasihan Yesus. Kepedulian Yesus terhadap kebutuhan manusia selalu didasari dan digerakkan oleh rasa belas kasihan, termasuk pada kebutuhan jasmani mereka. Ke mana saja Yesus pergi orang banyak mengikuti Dia, bukan semata-mata karena keperluan lahiriah mereka tapi seringkali karena rindu akan pengajaran-pengajaran-Nya yang menyegarkan dan memberi pengharapan. Matius mencatat, "Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala" (Mat. 9:36; huruf miring ditambahkan).

Kerapkali orang banyak itu betah mengikuti Yesus sampai berhari-hari lamanya dengan membawa kerabat dan sahabat mereka yang sakit untuk disembuhkan, sembari mendengarkan khotbah-khotbah Yesus sampai lupa makan seperti yang terjadi pada suatu hari di pesisir danau Galilea. "Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu," kata Yesus kepada murid-murid-Nya. "Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di jalan" (Mat. 15:32).

"Yesus peka pada kebutuhan manusia dan Ia sungguh peduli terhadap mereka. Hati-Nya menjangkau dengan belas kasihan kepada orang banyak itu yang lelah dan terlantar. Ia tergerak dengan belas kasihan terhadap pribadi-pribadi yang tak berdaya seperti dua orang buta di dekat kota Yerikho (Mat. 20:34), seorang penderita kusta yang memohon (Mrk. 1:40-41), dan seorang janda yang telah kehilangan putra satu-satunya (Luk. 7:12-13)...Setiap tindakan kemurahan, setiap mujizat, setiap perkataan Yesus didorong oleh kasih-Nya yang tak terbatas" [alinea kedua; alinea ketiga: kalimat pertama].

Apa yang kita pelajari tentang kehidupan Yesus yang penuh belas kasihan?
1. Selama masa hidup-Nya di atas bumi ini Yesus telah memberi keteladanan tentang belas kasihan dan kepedulian pada setiap kebutuhan manusia, khususnya golongan masyarakat yang terpinggirkan. Meskipun kebutuhan rohani manusia menjadi perhatian utama-Nya, Yesus juga peduli pada kebutuhan jasmani mereka.
2. Orang Kristen sejati bukan saja mengikuti ajaran-ajaran Yesus Kristus tetapi juga meneladani kehidupan-Nya, dalam hal ini adalah meniru belas kasihan dan kepedulian Yesus terhadap keadaan manusia. Secara rohani kita peduli akan keselamatan mereka, secara jasmani kita peduli pada kebutuhan fisik mereka.
3. Substansi dari kepedulian selalu bersifat aktif atau terdorong untuk bertindak, bukan pasif. Demikian pula, inti dari belas kasihan ialah kasih yang menemukan ujudnya dalam pelayanan dan pertolongan kepada sesama. Jiwa dari "kepedulian" dan "belas kasihan" adalah tindakan nyata, bukan sekadar perasaan.

Senin, 11 Agustus
MENGAMALKAN KEHIDUPAN YESUS (Kasihilah Sesamamu)

Mengasihi sesama. Pengajaran Yesus tentang kasih disampaikan-Nya dalam berbagai cara. Melalui khotbah, pengajaran, perumpamaan, dan terutama dinyatakan dalam tindakan keteladanan. Sebagai orang Kristen kita bukan saja menjadi penyambung lidah Kristus tapi juga penerus dari tindakan-tindakan kemanusiaan yang pernah Ia lakukan di dunia ini, khususnya dalam mengamalkan ajaran untuk mengasihi sesama manusia. "Untuk hidup seperti Yesus berarti menunjukkan kasih yang sama seperti Ia telah tunjukkan. Ia menggambarkan jenis kasih ini melalui perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Luk. 10:30-37)" [alinea pertama: dua kalimat pertama].

Yesus menyampaikan perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati sebagai jawaban atas pertanyaan seorang ahli Taurat yang pura-pura bertanya kepada Yesus bagaimana caranya untuk mendapatkan hidup kekal, tapi sebenarnya dia mau mencobai Yesus (Luk. 10:25). Tentu saja Yesus mengetahui niat tersembunyi ini, meski begitu Ia tetap saja melayani ahli Taurat itu. Tampaknya, tanpa disadarinya Yesus sedang menggunakan kesempatan itu untuk balas menguji pengetahuan sang pakar hukum tersebut mengenai esensi dari Hukum Allah. Ahli Taurat itu cukup cerdas ketika dia menjawab Yesus dengan mengutarakan inti dari Sepuluh Perintah, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (ay. 27).

Intisari dari Sepuluh Perintah sebagai hukum moral Allah bagi manusia ialah kasih vertikal terhadap Allah (empat hukum bagian pertama) dan kasih horisontal terhadap sesama manusia (enam hukum bagian kedua). Mengasihi Allah berarti melibatkan segenap diri kita seutuhnya--baik fisik, mental, sosial, dan spiritual; mengasihi sesama manusia berarti memperlakukan orang lain seakan-akan pada diri sendiri, dalam cara yang sama dan pada waktu yang sama--baik perhatian, kepedulian, dan keinginan.

Siapakah sesamaku manusia? Inilah pertanyaan yang diajukan ahli Taurat itu kepada Yesus. Pertanyaan ini kedengaran agak aneh, sebab pakar hukum Taurat itu bisa merangkum dengan tepat intisari dari Sepuluh Perintah itu tetapi tidak mengerti uraiannya sendiri. Kemampuan intelektualitas ahli Taurat ini jelas lebih baik dari orang muda kaya yang datang kepada Yesus dengan maksud serupa, yang ketika Yesus menyinggung tentang kewajiban menuruti perintah Allah dia hanya bisa menyebutkan isi hukum-hukum itu dan penurutannya secara normatif (Mat. 19:17-19). Sebagai pakar hukum Musa ahli Taurat tersebut dapat menyimpulkan esensi dari hukum itu, bagaimana mungkin dia tidak mengerti "siapakah sesama manusia" itu? Namun Alkitab mengatakan bahwa sang ahli Taurat hanya berpura-pura tidak tahu "untuk membenarkan dirinya" (Luk. 10:29).

Setiap orang Kristen tahu dan mengerti tentang makna dari perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati, sehingga di Amerika ungkapan "Good Samaritan" digunakan terhadap orang yang pertama kali memberi pertolongan kepada korban kecelakaan di jalan raya sebelum polisi dan petugas resmi tiba di lokasi. Tetapi makna dari "Orang Samaria yang Baik Hati" tentu jauh lebih mendalam dari itu, sebab hal itu berarti suatu sikap untuk berbuat baik kepada orang lain sekalipun orang itu memusuhi kita. "Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun berbuat demikian," kata Yesus (Luk. 6:32-33). "Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka..." (ay. 35).

"Kita perlu secara khusus mengingat bahwa prinsip ini tidak mengatakan kepada kita untuk memperlakukan orang lain seperti mereka memperlakukan kita. Lagi pula, adalah mudah untuk bersikap baik kepada orang-orang yang baik terhadap kita atau berbuat jahat kepada orang-orang yang bersikap jahat kepada kita; hampir semua orang dapat berbuat begitu. Gantinya, kasih kita terhadap sesama manusia harus selalu terpisah dari cara kita memperlakukan sesama kita" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang mengasihi sesama kita manusia?
1. Inti dari Sepuluh Perintah sebagai hukum moral Allah ialah kasih; kasih secara vertikal kepada Allah, dan kasih secara horisontal kepada sesama manusia. Yesus sendiri yang mengatakan hal itu (Mat. 22:36-40), dan hal yang sama dikemukakan oleh ahli Taurat yang berbicara dengan Yesus (Luk. 10:27).
2. Konsep Yesus tentang "sesama manusia" digambarkan dalam perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati, yakni setiap orang yang memerlukan perhatian dan pertolongan kita tanpa peduli apakah orang itu teman atau musuh. Orang Kristen sejati juga harus memiliki dan menerapkan "konsep sesama manusia" seperti itu.
3. Prinsip dari "sesama manusia" adalah bersifat independen atau netral, yaitu bebas dari pertimbangan maupun pengaruh. Ketika seseorang memerlukan pertolongan atau perhatian dan berada dalam jangkauan kita untuk menolong atau memberi perhatian, siapapun orang itu, orang Kristen sejati akan berbuat kebajikan itu tanpa pamrih.

Selasa, 12 Agustus
BERBUAT KEBAJIKAN UNTUK KRISTUS (Pelayanan Kasih*)

(*Judul asli: Loving Service)

Domba atau Kambing. Dalam khotbah-Nya Yesus memaparkan sebuah pratinjauan (preview) tentang suasana kedatangan kedua kali yang berkaitan dengan penggolongan manusia, antara yang akan selamat dengan yang akan binasa. "Apabila Anak Manusia datang sebagai Raja diiringi semua malaikat-Nya, Ia akan duduk di atas takhta-Nya yang mulia," kata Yesus. "Segala bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya. Lalu Ia akan memisahkan mereka menjadi dua kumpulan seperti gembala memisahkan domba dari kambing. Orang-orang yang melakukan kehendak Allah akan dikumpulkan di sebelah kanan-Nya, dan yang lain di sebelah kiri-Nya" (Mat. 25:31-33, BIMK; huruf miring ditambahkan).

Pokok pekabaran dari perumpamaan eskatologis ini terdapat pada pernyataan Yesus: "Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (ay. 40). Jadi, perbuatan kebajikan apapun yang kita lakukan atau yang lalai kita lakukan terhadap orang lain pada hakikatnya hal itu ditujukan kepada Yesus sendiri. Frase "saudara-Ku yang paling hina" dalam ayat ini merujuk kepada kaum marginal, yaitu orang-orang yang terpinggirkan atau disepelekan dalam jemaat maupun masyarakat luas.

"Pada akhir zaman akan ada banyak kejutan. Mereka yang berada pada sisi kanan Anak Manusia tidak pernah membayangkan bahwa manifestasi kasih mereka yang tidak mementingkan diri akan sangat menentukan. Kristus tidak akan memuji mereka karena khotbah-khotbah mengesankan yang mereka sampaikan, pekerjaan berharga yang mereka sudah lakukan, atau sumbangan-sumbangan kedermawanan yang mereka telah berikan. Gantinya, Kristus akan menyambut mereka ke dalam surga karena perhatian-perhatian sepele yang mereka lakukan terhadap saudara-saudara-Nya yang paling rendah...Mereka yang berada pada sisi kanan juga akan terkejut dengan alasan yang diberikan oleh Sang Raja atas keputusan-Nya" [alinea pertaa; alinea kedua: kalimat pertama].

"Saudara-Ku yang paling hina." Berbagai penafsiran telah muncul berkenaan dengan siapakah mereka yang Yesus maksudkan sebagai "saudara-Ku yang paling hina" dalam ayat di atas. Kata Grika elachistos yang diterjemahkan dengan "paling hina" di sini adalah sebuah kata sifat yang jika dikaitkan dengan manusia merujuk kepada seseorang yang paling rendah kedudukannya atau yang paling tidak diperhitungkan (Strong; G1646). Jadi, ini menyangkut penilaian dan perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap seseorang ataupun sekelompok orang. Ketika kita meremehkan seseorang atau sekelompok orang oleh karena status sosial mereka yang dianggap rendah, pada waktu itulah Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang atau kelompok itu. Sehingga perlakuan kita terhadap orang atau kelompok itu akan diperhitungkan Yesus sebagai perlakuan kita terhadap diri-Nya sendiri, untuk mana Dia akan menuntut pertanggungjawaban dari anda dan saya.

Dalam setiap komunitas selalu ada seseorang atau segolongan orang yang dianggap rendah dan disepelekan, baik di lingkungan masyarakat luas maupun di dalam persekutuan jemaat. Bahkan, disadari atau tidak, dalam struktur kepengurusan jemaat ada jabatan-jabatan yang oleh sebagian orang dipandang rendah dan seolah-olah jabatan-jabatan itu hanya untuk orang-orang dengan tingkat sosial tertentu. Sehingga kita sungkan untuk menempatkan orang-orang dari "kalangan atas" pada jabatan tersebut, atau mereka akan tersinggung jika jemaat memilihi mereka pada jabatan-jabatan itu. Sikap yang meremehkan seseorang ataupun sesuatu jabatan pada hakikatnya adalah menyepelekan Kristus yang sangat rendah hati itu.

"Para komentator telah menyodorkan berbagai penafsiran perihal siapakah 'saudara-Ku yang paling hina' (Mat. 25:40). Adalah penting untuk menentukan siapa mereka untuk mengetahui sejauh mana tanggungjawab Kristiani kita...Tidak disangsikan bahwa semua murid Yesus adalah saudara-saudara-Nya; tetapi ruang lingkup perkataan Yesus kelihatannya lebih luas lagi. Kristus 'menyamakan diri-Nya dengan setiap anak manusia...Dia adalah Anak Manusia, dan dengan demikian menjadi saudara bagi setiap anak laki-laki dan perempuan dari Adam" [alinea terakhir: dua kalimat pertama dan dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang makna dari pelayanan kasih?
1. Pelayanan yang didasarkan pada kasih sejati adalah netral, tanpa pamrih, dan tidak pandang buluh. Ketika kita melayani seseorang atau sekelompok orang, sebagai orang Kristen yang benar kita mesti melakukannya dengan pemikiran bahwa kita sedang melayani Kristus sendiri. Pelayanan kasih Kristiani mengedepankan ketulusan hati, bukan pilih kasih.
2. Pada waktu Yesus datang kedua kali segala perbuatan kebajikan kita akan dinilai dan mendapat balasan. Hanya ada dua golongan, domba atau kambing; domba di sebelah kanan menerima pahala, kambing di sebelah kiri mendapat kutukan. Tidak ada kelompok "dom-bing" (setengah domba dan setengah kambing).
3. Seperti Kristus, setiap orang Kristen harus melayani dengan kasih kepada siapa saja, terutama kepada seseorang atau sekelompok orang yang karena keadaan mereka sering dianggap rendah. Orang-orang Kristen harus sadar dan waspada bahwa Yesus ada pada diri seorang atau sekelompok orang yang "hina" itu.

Rabu, 13 Agustus
KEMUSTAHILAN ATAU KENISCAYAAN (Kasihilah Musuhmu)

Melawan asas? Adalah mustahil untuk tidak mempunyai musuh sama sekali oleh sebab sikap permusuhan acapkali muncul dari pihak lain tanpa kita ingini dan yang tak dapat kita intervensi, tetapi mengasihi musuh selalu menjadi hak privasi kita yang juga tak dapat diintervensi oleh orang lain. Artinya, orang lain bisa saja memusuhi saya kalau dia mau, tetapi saya berhak untuk mengasihi dia kapan saja saya mau.

Menurut paham duniawi, mengasihi musuh adalah suatu kelemahan terbesar, tapi dalam Kekristenan justru itu suatu kejayaan. Bagi dunia mengasihi musuh adalah kemustahilan, bagi orang Kristen hal itu adalah keniscayaan. Mengasihi musuh melawan asas duniawi, namun hal itu selaras dengan asas surgawi. Gilbert K. Chesterton [1874-1936], penulis besar kelahiran Kensington, Inggris menulis: "Alkitab menyuruh kita untuk mengasihi sesama manusia dan mengasihi musuh kita karena mungkin pada umumnya mereka adalah orang-orang yang sama." Maksudnya, musuh kita itu adalah juga sesama manusia terhadap siapa kita harus mengasihi (Im. 19:18; Mat. 19:19).

Fakta bahwa perintah untuk mengasihi sesama manusia telah diturunkan sebagai hukum Allah melalui Musa, dan kemudian menjadi doktrin agama melalui pengajaran Yesus Kristus, menunjukkan bahwa aturan saling mengasihi di antara sesama manusia itu merupakan prinsip ilahi yang tidak pernah berubah. "Bukti tertinggi dari Kekristenan sejati ialah mengasihi musuh-musuh kita. Yesus menetapkan standar yang tinggi ini bertentangan dengan gagasan yang lazim pada zaman-Nya. Dari perintah, 'kasihilah sesama manusia seperti dirimua sendiri' (Im. 19:18), banyak yang telah menyimpulkan sesuatu yang Tuhan tidak pernah katakan atau rencanakan: kamu harus membenci musuhmu. Tentu saja itu tidak tersirat dalam ayat itu sendiri" [alinea pertama].

Mengapa mengasihi musuh? Kekristenan lahir di tengah memuncaknya agama legalistik Yahudi yang kaku dan kurang berbelas kasihan, di mana nilai kerohanian seseorang diukur lebih berdasarkan formalitas ketimbang ketulusan hati. Pada waktu itu masyarakat begitu materialistik, praktik peras-memeras berlangsung marak di antara sesama warga, dan kesenjangan sosial meluas di bawah tekanan kekuatan penjajah. Rakyat biasa yang kebanyakan adalah kaum miskin menjadi sasaran empuk pemilik modal yang tamak. Maka ketika Yesus Kristus tampil dengan ajaran-Nya yang lebih menekankan pada perbuatan kasih di atas dogma yang kering dan kaku, masyarakat luas menyambutnya dengan antusias dan para pemimpin agama jadi seperti kebakaran jenggot.

"Tetapi kepada kalian yang mendengar Aku sekarang ini, Aku beri pesan ini: kasihilah musuh-musuhmu, dan berbuatlah baik kepada orang yang membencimu. Berkatilah orang yang mengutukmu, dan doakanlah orang yang jahat terhadapmu," kata Yesus (Luk. 6:27-28, BIMK). "Dan kalau kalian meminjamkan uang hanya kepada orang-orang yang dapat mengembalikannya, apa jasamu? Orang berdosa pun meminjamkan uang kepada orang berdosa, lalu memintanya kembali! Seharusnya bukan begitu! Kalian sebaliknya harus mengasihi musuhmu dan berbuat baik kepada mereka. Kalian harus memberi pinjam, dan jangan mengharap mendapat kembali. Bila demikian, upahmu akan besar dan kalian akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi. Sebab Allah baik hati terhadap orang yang tidak tahu terima kasih, dan terhadap yang jahat juga. Hendaklah kalian berbelaskasihan seperti Bapamu juga berbelaskasihan!" (ay. 34-36, BIMK).

"Untuk membantu kita memahami perintah yang agung ini, Tuhan menggunakan tiga argumen. Pertama, kita harus hidup di atas standar dunia yang rendah. Bahkan orang-orang berdosa saling mengasihi, dan para penjahat pun saling tolong-menolong. Kalau mengikut Kristus tidak mengangkat kita untuk hidup dan mengasihi dalam cara yang lebih unggul dari kebaikan anak-anak dunia ini, lalu apa yang menjadi nilai lebihnya? Kedua, Allah akan membalas kita karena mengasihi musuh-musuh kita; walaupun kita tidak mengasihi karena upah, Ia akan menganugerahkannya kepada kita dengan sukacita. Dan ketiga, jenis kasih seperti ini adalah bukti dari hubungan kita dengan Bapa semawi kita, yang 'baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, dan terhadap orang-orang jahat' (Luk. 6:35)" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang ajaran Kristus untuk mengasihi musuh?
1. Bagi orang Kristen sejati, mengasihi musuh bukan semata-mata pengamalan ajaran Yesus tetapi lebih dari itu adalah sebuah kesempatan istimewa untuk mengamalkan kasih surgawi yang lebih unggul dari standar duniawi. Kekristenan mengangkat manusia berdosa ke taraf moral yang tak mungkin dijangkau oleh dunia.
2. Argumentasi yang paling jitu tentang alasan mengapa kita harus mengasihi musuh ialah berdasarkan fakta bahwa Allah sendiri menunjukkan kasih-Nya kepada semua orang, baik atau jahat (Mat. 5:45). Kalau Allah tidak membeda-bedakan orang, apakah mereka mengasihi atau memusuhi Dia, mengapa umat-Nya membeda-bedakan orang?
3. "Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?" (Mat. 5:46-47).

Kamis, 14 Agustus
TANTANGAN TERBESAR ORANG KRISTEN (Bagaimana Untuk Hidup Seperti Yesus)

Mengikut jejak Kristus. Alkitab menegaskan, "Barangsiapa mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup" (1Yoh. 2:6). Versi BIMK menerjemahkan ayat ini: "Barangsiapa berkata bahwa ia hidup bersatu dengan Allah, ia harus hidup mengikuti jejak Kristus." Mengikut jejak Kristus berarti mengamalkan cara hidup Yesus secara utuh, bagaimana Dia menjalin hubungan-Nya dengan Allah maupun berinteraksi dengan manusia. Lebih jauh rasul Yohanes menulis, "Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia tetap berada di dalam terang, dan di dalam dia tidak ada penyesatan. Tetapi barangsiapa membenci saudaranya, ia berada di dalam kegelapan dan hidup di dalam kegelapan. Ia tidak tahu ke mana ia pergi, karena kegelapan itu telah membutakan matanya" (ay. 10-11).

Pertanyaannya, mungkinkah bagi seorang manusia berdosa untuk hidup seperti Tuhan? Pertanyaan yang sangat klasik ini menyiratkan kemustahilan bagi mereka yang tidak percaya, tapi sebaliknya mengandung tantangan bagi mereka yang percaya. Manakala Yesus berkata, "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna" (Mat. 5:48), tentu saja Ia tidak sedang menyuruh kita untuk melakukan sesuatu yang mustahil melainkan sebuah tantangan yang mampu kita laksanakan. Begitu juga, tatkala Firman Tuhan mewajibkan kita untuk mengamalkan kehidupan seperti Kristus, itu lebih sebagai dorongan untuk mencapai standar kehidupan yang Yesus inginkan.

"Ajaran Yesus menentukan suatu idaman kehidupan mengasihi dan tidak mementingkan yang sedemikian tinggi sehingga kebanyakan dari kita mungkin merasa kewalahan dan putus asa. Bagaimanakah kita yang secara alami adalah egoistis dapat mengasihi sesama kita tanpa pamrih? Lagi pula, apakah mungkin bagi kita untuk mengasihi musuh-musuh kita? Dari sudut pandang manusiawi hal itu sama sekali tidak mungkin" [alinea pertama].

Tinggal di dalam Kristus. Ada korelasi positif antara tinggal di dalam Kristus dengan mengikut jejak Kristus, di mana yang pertama menyediakan "energi" yang diperlukan untuk menjalankan yang kedua. Tinggal di dalam Kristus, seperti yang telah kita pelajari pekan lalu, melambangkan kebergantungan kita manusia terhadap kuasa ilahi supaya dapat berbuat sesuatu. "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu," kata Yesus. "Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku" (Yoh. 15:4).

"Kebutuhan kita setiap hari bukan hanya menerima lagi kematian Kristus bagi kita, tetapi menyerahkan keinginan kita kepada-Nya dan tinggal di dalam Dia. Dalam cara di mana Yesus sendiri tidak mencari keinginan-Nya sendiri tetapi kehendak Bapa (Yoh. 5:30), demikianlah kita harus bergantung pada Yesus dan kehendak-Nya. Sebab tanpa Dia kita tidak dapat berbuat apa-apa" [alinea keempat].

Pena inspirasi menulis: "Allah menuntut penyerahan seutuhnya. Anda tidak dapat menerima Roh Kudus sampai anda mematahkan setiap kuk perhambaan, segala sesuatu yang mengikat anda pada ciri-ciri tabiat anda yang lama dan tak disukai. Inilah rintangan-rintangan besar bagi anda untuk memikul kuk Kristus dan belajar dari pada-Nya (Mat. 11:29). Ketenteraman abadi--siapa yang memiliki itu? Ketenteraman itu didapatkan bilamana semua sifat membenarkan diri, semua pertimbangan dari pendirian yang mementingkan diri, disingkirkan. Kedekatan dengan Kristus membuat anda mau tinggal di dalam Dia, dan Dia di dalam anda. Penyerahan diri sepenuhnya dituntut" (Ellen G. White, Bible Training School, 1 Agustus 1903).

Apa yang kita pelajari tentang bagaimana untuk hidup seperti Yesus?
1. Selama Yesus hidup di dunia ini banyak orang yang memusuhi Dia, tetapi Yesus tidak membenci mereka tetapi mengasihi mereka. Orang banyak yang atas pengaruh para pemimpin agama telah meneriakkan, "Enyahkan Dia! Enyahkan Dia! Salibkan Dia!" (Yoh. 19:15), tidak membuat Yesus membatalkan kesediaan-Nya untuk mati juga bagi orang-orang itu.
2. Mengasihi musuh adalah tidak logis, tapi dalam Kekristenan logika bukan ukuran. Tapi bagaimana kita dapat mengasihi musuh kalau terhadap saudara sendiri saja kita menaruh benci? Rasul Yohanes mengibaratkan orang yang membenci saudaranya seperti sedang hidup dalam kegelapan dan tersesat (1Yoh. 2:11).
3. Rahasia keberhasilan untuk hidup seperti Yesus, dan dengan demikian mampu mengasihi musuh, adalah bila kita tetap tinggal di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita. Sebaliknya, mustahil bagi seorang manusia untuk hidup seperti Yesus kalau Yesus tidak tinggal di dalam hatinya dan dia sendiri tidak tinggal di dalam Yesus.

Jumat, 15 Agustus
PENUTUP

Rasa simpati. Dalam psikologi dikenal apa yang disebut "sympathy pains," yaitu sensasi nyeri yang dirasakan seseorang karena melihat orang lain menderita rasa sakit, khususnya di antara dua orang yang memiliki keintiman hubungan. Misalnya suami yang turut merasakan sakit yang dialami sang istri yang hendak melahirkan, atau di antara anggota keluarga lainnya maupun sahabat karib. Hasil penelitian para ilmuwan menunjukkan bahwa fenomena ini terjadi akibat terjadinya peningkatan aktivitas di bagian "sistem saraf cermin" (mirror neuron system) pada otak orang yang menyaksikan penderitaan orang lain itu sehingga memicu gejala rasa nyeri pada dirinya sendiri. Jadi semacam rasa sakit yang mengandung sifat imitasi (meniru), di mana semakin erat hubungan antara orang yang menyaksikan dengan penderita maka kian berat pula rasa nyeri yang turut dirasakan.

Ayub sempat mengeluh ketika dalam penderitaannya yang hebat itu dia merasa seakan ditinggalkan sendirian, sehingga dia berkata kepada Tuhan: "Sesungguhnya, masakan orang tidak akan mengulurkan tangannya kepada yang rebah, jikalau ia dalam kecelakaannya tidak ada penolongnya? Bukankah aku menangis karena orang yang mengalami hari kesukaran? Bukankah susah hatiku karena orang miskin?" (Ay. 30:24-25). Ayub mengeluh, kenapa manusia yang secara alami dilahirkan dengan rasa simpati dan empati tetapi tak ada seorangpun yang datang kepadanya untuk menghibur dirinya dengan menunjukkan rasa simpati dan empati?

"Semua orang di sekeliling kita adalah jiwa-jiwa yang malang dan menghadapi ujian yang memerlukan kata-kata simpati dan tindakan pertolongan. Ada perempuan janda yang membutuhkan simpati dan bantuan. Ada anak yatim yang Kristus telah tawarkan kepada para pengikut-Nya untuk terima sebagai tanggungjawab dari Allah...Bukanlah besarnya pekerjaan yang kita lakukan, tetapi kasih dan kesetiaan dengan mana kita melakukannya itulah yang mendapat perkenan Juruselamat" [alinea pertama: tiga kalimat pertama; alinea kedua].

Turut merasakan penderitaan yang dialami oleh orang lain adalah bagian dari aspek afektif seorang manusia normal, semacam rasa peri kemanusiaan yang secara alami terdapat dalam diri kita. Sayangnya, ada sebagian orang yang justru merasa senang kalau melihat orang lain susah, dan merasa susah kalau melihat orang lain senang!

"Kesimpulannya ialah: hendaklah Saudara-saudara seia sekata dan seperasaan. Hendaklah kalian saling sayang-menyayangi seperti orang-orang yang bersaudara. Dan hendaklah kalian saling berbelaskasihan dan bersikap rendah hati. Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki; sebaliknya balaslah dengan memohonkan berkat dari Allah. Sebab Allah memanggil kalian justru supaya kalian menerima berkat daripada-Nya" (1Ptr. 3:8-9, BIMK).

(Oleh Loddy Lintong/California, 13 Agustus 2014)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...